Gelapnya malam di langit Galogandang membuat Pak Uday mempercepat langkah. Malam tidak saja berjelaga, tetapi rinai hujan mulai berjatuhan membasahi bumi yang memang beberapa minggu ini kering kerontang.
Luak Batuang yang biasanya jadi tempat mandi, airnya pun sudah jauh surut. Jika hujan tidak deras malam ini, alamat akan ke Tandau atau Lubuak Burai orang mencari air untuk mencuci baju dan kebutuhan di rumah.
Kampung kecil ini berada di ketinggian. Curah hujan tidaklah terlalu tinggi. Perubahan cuacanya juga tidak menentu. Dalam keadaan panas, dalam sekejap bisa saja berubah mendung, lalu hujan akan turun dengan deras.
Seperti hari ini. Siangnya terasa panas menggigit, bahkan Pak Uday tidak sanggup mengayunkan cangkul di tengah hari bolong. Dia memilih berteduh di dalam dangau dan tidur sampai sore menjelang.
Sebenarnya Pak Uday masih memiliki seorang istri bernama Buk Nurni. Namun, penghasilan Pak Uday yang pas-pasan memaksa Buk Nurni harus ikut memutar otak untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Ini sudah seminggu lebih lamanya sang istri menjajakan dagangannya berupa gerabah dari satu desa ke desa lainya. Tidak kenal hujan dan panas. Semua itu dia perjuangkan agar kehidupan tetap berjalan dan kebutuhan rumah tangga terpenuhi.
“Seharusnya dia sudah pulang malam ini. Apa karena hujan deras?” Pak Uday mendorong pintu masuk rumah. Bau lembab papan lantai seketika menyapa hidungnya. Suasana gelap gulita. “Sial. Minyak tanah di lampu pasti habis ini. Kenapa si Kasim betah berkelam-kelam di dalam kamar?”
Di luar hujan sudah mulai mendera dengan hebatnya. Sesekali petir menyambar, membuat Pak Uday tersentak. “Petir sialan. Dalam keadaan seperti ini ada saja yang membuat terkejut.”
Sambil meraba dinding, Pak Uday terus berjalan ke belakang menuju dapur. Di ruangan tempat masak itu masih ada tergantung satu buah lampu teplok di dindingnya. Walau gelap, Pak Uday berhasil meraih lampu tersebut. Segera dia keluarkan korek api dari kantong celananya. Sesaat kemudian, ruangan yang gelap itu sudah terang seketika.
Pak Uday membuka songkok yang ada di meja makan. Nasi dan sambalnya masih utuh, belum tersentuh pertanda anaknya belum makan.
“Mau mati si Kasim. Sudah tengah malam, dia tahan laparnya. Kalau nanti sakit, aku juga yang repot dibuatnya. Belum lagi kalau si Nurni tahu, bisa panjang muncungnya itu.”
Memikir sampai di sana, Pak Uday membawa lampu ke ruang tengah. Dia menatap pintu kamar Uday yang tertutup. Tanpa mengetuk, dia masuk ke dalam kamar anaknya tersebut.
Di atas kasur, Kasim terlihat pulas. Badannya bergelung di dalam kain sarung. Dia raba dengan lembut kepala si Kasim.
Ada haru yang menyelinap di dalam dada Pak Uday. “Waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa sudah 12 tahun saja umur wa’ang, Kasim. Bukannya aku tidak ingin membuat wa’ang bahagia, tetapi jalan menuju kebahagiaan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Aku minta maaf jika terlalu keras dalam membesarkan wa’ang.”
Pak Uday menghela napas dalam-dalam. Tadinya dia berniat hendak membangunkan si Kasim, tetapi urung dia lakukan melihat anaknya itu tidur begitu nyenyak. Dia kembali mengusap kepala si Kasim dan kemudian beranjak keluar dari kamar tersebut.
Sepeninggalnya Pak Uday, Kasim perlahan membuka mata. Dia memegang perutnya. Laparnya sudah tidak tertahankan. Rasa perih seakan menusuk lambungnya.
“Lapar sekali perut ini. Kalau aku tidak makan, bisa mati aku nanti.” Kasim mencoba untuk duduk. Dia berniat hendak keluar rumah, tetapi dia masih malas untuk bertemu dengan Pak Uday. Tamparan ayahnya itu masih terasa panas di pipinya.
“Kalau aku keluar dan merengek minta makan, ayah pasti akan besar hidung. Huh, malas bertemu dengan ayah. Tega sekali menampar pipiku. Dikira tidak sakit apa? Coba ada amak, mana berani ayah memukulku. Membentakku saja ayah sudah dimarahin amak habis-habisan.” Dia kembali merebahkan badan. “Sudah seminggu amak pergi, kenapa masih belum pulang? Apakah amak baik-baik saja. Ya Allah, lindungilah amak di mana saja berada.”
Buk Nurni berdagang perginya tidak sendirian. Namun, ada beberapa orang yang ikut serta. Mereka menjajakan gerabah berupa belanga atau periuk yang terbuat dari tanah liat. Barang ini merupakan kerajinan sekaligus mata pencaharian masyarakat Galogandang, tentunya selain bertani dan berladang.
Produk gerabah atau belanga ini dibuat sendiri oleh para perempuan di kampung ini. Tidak ada campur tangan lelaki. Mulai dari penyediaan tanah, mengolahnya, membakarnya, sampai menjualnya. Semuanya diurus oleh ibu-ibu dan anak anak-anak gadisnya. Kegiatan ini dinamakan dengan istilah “batampo”.
Mengenang kesusahan yang dialami ibunya, membuat Kasim bertekad di dalam hati tidak akan mau menjadi miskin. Apalagi ketika dia ingat bagaimana penghinaan yang dia terima dari Pak Anwar, membuat darah kebencian menggelegak di dalam dadanya.
“Jika nanti aku kaya, akan aku beli mulut mereka. Dendamku ke Pak Anwar tidak akan padam sebelum aku membuatnya menjilat kakiku. Saat ini dia boleh bersenang-senang dan bergembira karena punya banyak uang dan harta benda. Namun, aku pastikan dia akan mengiba, meratap, dan memohon belas kasih dariku!”
Dada Kasim terasa panas oleh amarah. Kepalanya seakan-akan berasap. Dia hela napas dalam-dalam agar pikirannya bisa tenang kembali. Wajah Khairul selintas membayang. Kebencian yang tadi menggebu-gebu, seketika berubah rasa menjadi kebingungan.
“Bagaiamana bisa aku menyakiti Pak Anwar, sedangkan anaknya adalah sahabatku. Demi menyelamatkan aku dan Fikri, Khairul rela dipukul oleh ayahnya. Aku hanya tidak habis pikir, kenapa Pak Anwar begitu benci ke si Khairul? Bukankah Khairul itu anak kandungnya? Aku jadi tidak tenang. Apakah Khairul saat ini baik-baik saja?”
Ingatannya melompat ke peristiwa di dekat kandang sapi. Khairul, sahabatnya itu terkapar di tanah setelah tengkuknya dipukul secara tidak sengaja oleh Pak Anwar.
“Apakah dia sudah siuman, ya? Akh, andai Pak Anwar tidak mengusirku tadi, mungkin aku akan menjaga Khairul di rumahnya sampai dia sadarkan diri. Pak Anwar benar-benar tidak bisa dipercaya. Tega-teganya menganiaya kami yang kecil-kecil ini.”
Namun, sesaat kemudian Kasim seperti menyadari satu hal. Dia ingat ketika dari dalam kamar, melalui celah dinding dia melihat Pak Uday mengeluarkan sebilah keris berluk tiga. Awalnya Kasim tidak paham maksud ayahnya mengeluarkan senjata tajam tersebut. Namun, mengingat lelaki berbadan sempurna itu pergi dengan wajah marah, barulah Kasim paham sekarang.
“Jangan-jangan ayah sudah membunuh Pak Anwar? Ya Allah, ya Tuhan. Aku tidak ingin hal buruk terjadi. Jangan sampai ayah berurusan dengan polisi.”
Kasim merasakan kegelisahan seketika memenuhi ruang dadanya. Dia segera keluar dari kamar dan mendapati Pak Uday sedang duduk bersila di ruang tengah.
“Ayah ….”
Lidah Kasim terasa kelu. Hal-hal buruk telah mengisi kepalanya. Dia takut kalau Pak Anwar sudah tewas di tangan ayahnya. Pada masa ini, pembunuhan gampang saja terjadi kalau sudah menyangkut harga diri.
“Makanlah!”
Pak Uday tidak membuka mata. Dia langsung memerintah Kasim untuk segera makan.
“Ambo tidak lapar. Ambo ingin ….”
“Aku akan melayani semua pertanyaan wa’ang, kalau wa’ang sudah selesai makan, Kasim!”
Tidak ingin hal buruk kembali terjadi, Kasim segera pergi ke dapur. Dengan penerangan seadanya, dia mulai mengambi sepiring nasi dan sambal ikan asin yang siap digoreng.
Dia membawa makanannya ke dekat yang lebih terang. Sambil makan dia memperhatikan ayahnya yang seperti bersemedi. Barulah Kasim melihat kalau di tubuh ayahnya ada luka dan percikan darah. Hatinya benar-benar seperti diremas tangan tak kasat mata. Dadanya langsung sesak.
“Apa ayah membunuh Pak Anwar?”
Kasim tidak sanggup lagi menahan diri untuk tidak bertanya. Mata Pak Uday membelalak seketika.
Kasim mengkeret takut ketika melihat mata Pak Uday melotot penuh kemarahan. Dia merutuk di dalam hati kenapa tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Bocah itu buru-buru menghabiskan nasi di dalam piring, dia segera beranjak ke dapur untuk menaruh piring kotor tersebut. Sebelum keluar dari dapur, dia meneguk segelas air teh dingin. Salah satu ciri khas air minum orang di kampung ini, selalu menaruh air teh di dalam cerek mereka, bukan air putih bening. Pak Uday menghela napas berat ketika Kasim kembali duduk di depannya. Bocah itu menatapnya seperti menunggu sesuatu. Hal itu membuat Pak Uday mengambil keputusan untuk menceritakan apa yang terjadi. “Mulai besok, wa’ang tidak usah bergaul lagi dengan si Khairul. SI Fikri kan ada. Tidak perlu berteman dengan anak orang kaya, kalau orang tuanya tidak bisa menghargai orang miskin. Aku terpaksa bertarung dengan si Anwar demi membela wa’ang, Kasim. Kalau saja Datuak Rajo Balang tidak muncul, mungkin Karih Datuak Itam sudah bersarang
Kasim masih terisak-isak di dalam kamar. Dia semakin takut dengan Pak Uday. Rencana jahat dan niat busuk ayahnya itu membuatnya cemas. Pak Uday telah memanfaatkan kemarahan Pak Abdul untuk menghabisi Pak Anwar. Jika benar terjadi, Kasim tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya.“Ayah seharusnya tidak melakukan hal itu. Bagaimana jika hal buruk menimpa Pak Anwar? Apa Ayah mau bertanggung jawab? Atau bagaimana jika Pak Abdul tidak mampu melawannya, dan dia yang tewas di tangan Pak Anwar? Bagaimana, Ayah?”Pak Uday baru saja membuka pintu langsung diserbu pertanyaan oleh Kasim. Bocah itu meluapkan kegundahan hatinya sambil mengepalkan tinju. Tampaknya rasa kesal sedang memuncaki hati lelaki kecil itu. Melihat Pak Uday yang timbul di pikirannya saat ini hanya rasa benci.Lelaki berbadan tegap dan bagus itu membusungkan dada sambil tersenyum dingin. Dia menghenyakkan pantatnya di samping putra semata wayangnya tersebut. Tangannya memegang bahu Kasim lembut.
Kita kembali dulu pada saat Fikri dan Kasim meninggalkan Khairul dan Pak Anwar.Kasim merangkul Fikri yang berjalan sambil memegang perutnya.“Perutku sakit sekali, Sim.” Fikri mengeluh dengan tubuh bergetar. Tidak pernah dia merasakan sesakit ini. Tendangan Anwar di perutnya membuat dadanya sesak. Dia meludah ketika merasakan air liurnya terasa asin. Kasim yang juga merasakan badannya sakit dan pegal, hanya bisa mengusap lembut punggung Fikri. “Sabar, Fik. Aku antarkan wa’ang sampai rumah. Mulai saat ini, kita tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah setan ini. Hanya gara-gara ubi, dia tega menjatuhkan tangan kasar. Aku tidak menyangka ayahnya si Khairul akan sekejam itu. Jangankan ke kita, ke anaknya saja dia tidak ragu-ragu memukul. Tadiny aku mengira, ayahku sudah paling kejam di dunia ini, ternyata ada yang lebih jahat.”Amarah dan kebencian sedang menguasai hati dan pikiran Kasim. Fikri di sampingnya terbatuk. Asin darah semakin pe
“Wa’ang makanlah dulu, Fikri! Ini amak sudah masak nasi dan sambal ikan asin. Tadi Tek Nur yang punya kadai di Luak Batuang sudah membolehkan amak berutang. Ya, tapi harus dibayar secepatnya. Besok amak akan coba pergi menjajakan periuk tanah itu ke kampung sebelah. Kalau ditunggu-tunggu juga ayah wa’ang, tidak akan ada pemasukan.”Buk Suna sedang memeriksa nasi dan sambal yang ada di dapur. Fikri yang dia suruh makan tidak kunjung menyahut. Dia merasa mungkin anaknya itu sedang marah karena dari siang tidak kunjung mendapatkan makanan. Air mata mendadak merembes membasahi pipi Buk Suna.“Fikriii … makanlah dulu, Nak. Bangunlah wa’ang dari kasur, tu!” Dia mencoba meredam kesedihan yang sempat menguasai hati dan pikirannya. Meratapi nasib tidak akan pernah ada habisnya. Setelah seharian air mata seperti terkuras dari matanya. Malam ini dia tidak akan menangis lebih lama. Fikri tidak pernah suka melihatnya menangis. Dengan ujung selendang, dia usap air mata di pipiny
Jeritan Buk Suna dan teriakan panik Pak Abdul tidak membuat para tetangga berdatangan dikarenakan hujan deras yang sedang melanda.Bukan mereka enggan untuk menjenguk, tetapi suara hujan membungkam semua jeritan dan teriakan sepasang suami istri tersebut, sehingga kepanikan yang melanda keluarga Pak Abdul tidak sampai ke tetangga.“Udaaa …. Bagaimana ini?” Buk Suna masih meratap meraung-raung. “Fikriii … buka mata wa’ang, Nak! Fikriii ….”Fikri yang berada di pangkuan Buk Suna terlihat megap-megap seperti kehabisan napas.Belum pernah sekali pun Buk Suna melihat anaknya berada dalam keadaan mengenaskan seperti ini.Anak yang periang, yang selalu melucu, dan ringan tangan itu terbaring tidak berdaya.“Kawu tunggulah di sini dulu, Suna. Biar aku cari Mak Naro. Dia pasti bisa mengobati si Fikri. Aku akan panggil juga Tek Mina untuk menemani kawu di sini.”Pak Abdul sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Hatinya melantunkan
Kita kembali lagi ke rumah Khairul begitu Pak Anwar memutuskan keluar dari rumah ….Pak Tuo masih memijit dan mengurut sekujur badan cucunya itu dengan lembut. Minyak tanak yang hangat dia balurkan ke tubuh cucunya yang berkulit sawo matang tersebut. Di samping Pak Tuo, Mak Tuo duduk sambi bibirnya melanjutkan dzikir.“Keterlaluan sekali si Anwar. Lama-lama bisa kuusir dia dari rumah ini. Lelaki tidak berguna. Kalau tidak mengingat hubungan baikku dengan Pakiah Sinaro, mungkin sudah kubuat dia hidup di jalanan.” Pak Tuo membaui minyak tersebut di hidung Khairul.“Sudahlah, Uda. Kita sudah memilih dia menjadi menantu. Baik dan buruknya harus siap kita terima. Membencinya tidak akan mengubah keadaan. Sekarang, kita fokus sama ke si Khairul. Setelah dia sadar nanti, dia pasti akan menceritakan kebenarannya.” Mak Tuo mengusap lembut lengan Pak Tuo. Lelaki yang rambutnya sudah memutih itu menghela napas panjang.Rumah Pak Tuo ini berupa rumah adat. Di
Sementara itu Pak Anwar merasa badannya sangat lelah dan letih sehabis bertarung dengan Pak Uday. Dia mencoba menenangkan diri dan memulihkan energinya sembari duduk bersila di bawah kerindangan pohon beringin.Hujan sudah tercurah ke bumi. Malam yang gelap terkadang terang benderang ketika kilat menyambar dari atas langit. Suara petir sesekali menggelegar dan merasuki gendang telinga. Membuat jantung siapa saja yang mendengarnya jadi berdegup lebih kencang."Si Uday benar-benar hendak membunuhku. Sudah tidak ada lagi rasa belas kasihan di hatinya. Dendam telah membakar habis semua kebaikan yang pernah kuberikan. Puluhan tahun berlalu, dia masih tidak bisa melupakan kebenciannya itu."Pak Anwar menghela napas panjang dan mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan. Pakaian di badan sudah kuyup. Dinginnya malam kian melinukan tulang."Aku harus bisa menjaga jarak dengannya. Jika pun nanti ada keadaan yang membuat kami kembali bertemu, aku pun takka
Degup jantung Abdul berdetak kian kencang ketika mendekati rumah Pak Tuo. Rumah orang terpandang di kampung itu menjulang bagaikan raksasa angkuh yang siap menelannya bulat-bulat. Gonjong Rumah dengan balutan seng runcing lancip menantang langit. Hujan deras yang mendera tidak membuat nyali Abdul ciut.Setelah mengumpulkan segala keberaniannya dia menaiki tangga rumah. Dari bawah tadi dia sudah melihat cahaya terang lampu, pertanda penghuni rumah masih terjaga. Begitu berada di depan pintu, tangannya menggedor keras dan mulutnya meneriakkan kata-kata kebencian.“Anwar! Keluar wa’ang. Anwar … aku datang mau buat perhitungan dengan wa’ang, Bangsat!”Berkali-kali Abdul menggedor pintu, tetapi tidak kunjung terbuka. Ketika dia berniat menghantam daun pintu dengan kakinya, saat itulah pintu berderit. Di depannya seorang lelaki tua beraura dingin berdiri sambil menatapnya tajam.“Benar-benar sudah tidak ada lagi adab sopan