Share

5. Karih Datuak Itam

Pak Uday akhirnya lebih dulu meninggalkan Pak Anwar yang masih berdiri dengan sikap menantang. Andai dia tidak ingat dengan kemarahan Datuak Rajo Balang, mungkin dia akan kembali melawan lelaki itu. Dia masih belum puas sebelum membuat Pak Anwar tergeletak mengenaskan.

“Urusan kita belum selesai, Anwar! Jangan wa’ang kira aku akan membiarkan wa’ang hidup tenang.” Pak Uday masih sempat melayangkan ancaman ke Pak Anwar yang dibalas lelaki itu dengan membuang ludah ke tanah.

“Silahkan saja, Uday! Aku tidak takut! Cih!”

Dalam gelapnya malam yang ditengarai dengan gerimis nan mulai berjatuhan, Pak Uday mempercepat langkah menuju pulang. Rasa marahnya belumlah tersalurkan. Dia masih ingin baku antam, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Hanya merutuk dan mengutuk sepanjang jalan.

“Ini semua gara-gara anak setan itu. Ada-ada saja ulahnya. Kenapa pula dia harus mengemis minta makan sama si Anwar? Ingin kupecahkan saja batok kepalanya itu. Benar-benar membuat darahku terbakar. Kasim sialan!”

Kampung kecil itu belum tersentuh listrik. Penerangan masih menggunakan lampu berbahan bakar minyak tanah. Kedai kopi yang tadi dia masuki pun sudah tutup. Rumah-rumah penduduk serasa ditinggali hantu bilau. Senyap dan gelap. Tidak ada orang yang menghidupkan lampu kalau sudah bergolek di atas pembaringan.

“Anak setan itu, semoga dia masih bernapas. Sedih juga aku mengingat apa yang aku lakukan padanya. Andai saja aku bisa menahan berangku, tentu tidak perlu aku menjatuhkan tangan kasar ke tubuh kecilnya itu. Aku benar-benar seorang ayah yang buruk.”

Kilasan beberapa jam yang lalu berkelebat di pelupuk mata Pak Uday. 

Kasim pulang ke rumah sambil memegang perut dan badannya yang terasa sakit. Pak Uday yang sedang merokok di dalam rumah kontan mengernyit melihat anaknya yang seperti kesakitan.

“Kenapa wa’ang, Kasim? Sakit perut, wa’ang?” Pak Uday bertanya acuh tak acuh. Sudah sering dia melihat anak lelakinya itu pulang dalam keadaan kelaparan. Bukan karena dia pelit, tetapi memang yang akan dimakan itu yang tidak ada. 

Selama si Kasim pergi ke surau, dia berusaha meminjam beras dan bahan untuk dimasak dekat warung rumahnya. Seperti biasa juga, dia akan disemprot dulu oleh si pemilik warung, baru diberikan pinjaman. Pak Uday menjamin kalau besok, istrinya akan pulang dari berdagang dan akan membayar lunas semua utang-utangnya.

“Iya, Ayah. Sakit dan tulang-tulang di badan ambo serasa mau patah.” Kasim meringis kesakitan sambil berusaha menahan tangis. Seumur hidup baru kali ini dia dibanting dan dipukuli oleh orang dewasa. 

Lampu di dalam rumah Pak Uday adalah sebuah lampu dinding teplok yang hampir kehabisan minyak. Dia tidak bisa melihat dengan jelas mimik wajah Kasim yang menyedihkan.

“Lapar wa’ang?” Pak Uday menghisap rokok dan mengembuskan asapnya pelan. “Aku tadi masak samba goreng bada*. Makanlah wa’ang lagi.”

“Ambo tidak lapar, Ayah. Badan ambo sudah tidak menentu rasanya. Mau mati ambo dibuatnya.”

Kasim akhirnya tidak mampu lagi menahan tangis dan rasa sakit. Dia pun sesenggukan dengan bahu terguncang.

Tingkah Kasim membuat Pak Uday mengernyit heran. Tidak biasanya anaknya ini menangis. “Apa yang terjadi, Kasim? Kenapa wa’ang menangis?”

Kasim tidak menjawab. Dia sebenarnya sangat takut jika jujur sama ayahnya. Tangisannya justru kian kencang. Hal itu membuat Pak Uday habis kesabaran. Segera dia berdiri mendekati Kasim yang menangis sambil bergelung di lantai. Ditariknya tangan anaknya itu.

“Kalau wa’ang menangis seperti ini, aku tampar wa’ang, Kasim! Jangan buat malu aku, wa’ang. Sudah malam ini. Dikira orang aku pula yang menghajar wa’ang!”

Namun, Pak Uday terkejut ketika melihat goresan berdarah di tangan putra semata wayangnya itu. “Berkelahi wa’ang, Kasim?”

Bukan hanya sekadar bertanya, Pak Uday juga menyentakkan tubuh Kasim sehingga membuat bocah berambut jabrik itu terduduk. Kasim mencoba menahan tangisnya kembali. Dia sangat takut akan kemarahan Pak Uday.

“Kenapa wa’ang diam? Dengan siapa wa’ang mencari masalah? Jawab!”

Bentakan Pak Uday membuat Kasim terkejut. Dengan terbata-bata dia ceritakan apa yang terjadi di rumah Khairul. Darah ayahnya itu langsung naik ke ubun-ubun. Tak terduga oleh Kasim, tangan ayahnya itu langsung saja berkelebat dan hinggap di pipinya yang tirus.

“Dasar anak setan! Siapa yang menyuruh wa’ang mengemis ke keluarga si Anwar, ha? Bukankah sudah aku katakan kalau wa’ang bisa makan begitu pulang dari surau? Wa’ang benar-benar membuat aku malu, Kasim!”

Kasim tersentak hebat, terkejut, tidak percaya kalau lelaki di depannya ini, yang dia panggil ayah, menamparnya tanpa belas kasih.

“A—yah menampar ambo?”

Tangan Pak Uday masih bergetar. Dia melihat binar kecewa di mata Kasim. Seumur-umur dia tidak pernah melayangkan pukulan dan tamparan ke anak yang sudah dia besarkan ini. Emosi benar-benar telah menguasai hatinya. 

Jika dia turutkan amarahnya, bisa-bisa dia membunuh bocah malang yang mengeluarkan darah dari mulutnya itu. Pak Uday merasa menyesal telah menyakiti Kasim sedemikian rupa.

“Kasim—kecewa, Ayah! Orang yang seharusnya mengasihi, tega menjatuhkan tangan kasar ke anaknya sendiri. Apa beda Ayah dengan ayahnya si Khairul? Kenapa tidak ayah bunuh saja ambo!”

Kasim dengan cepat berdiri dan bergegas ke dalam bilik berdinding pelupuh. Di kamar tanpa pelita itu, Kasim merebahkan badannya di atas kasur kapuk. Mengelumuni tubuh kurusnya dengan selimut yang sudah sebulan tidak dicuci. Dalam kesedihan seperti ini, dia teringat dengan ibunya. Kasim menangis terisak-isak di dalam selimut usang.

Sementara itu di luar kamar, Pak Uday tidak bisa berkata apa-apa. Dia sendiri merasa terkejut dengan apa yang dia perbuat. 12 tahun sudah usia anak bujangnya itu, baru kali ini dia menampar wajah Kasim. Dia mengutuk tangannya sendiri.

“Anwar! Aku tidak menyangka wa’ang sanggup menjatuhkan tangan besi ke anakku. Jangan dikira karena kini wa’ang sudah menjadi orang kaya, lalu aku akan takut ke wa’ang? Mimpi wa’ang, Anwar! Aku akan bikin perhitungan dengan wa’ang. Wa’ang telah membuat si Kasim sedih dan mendapat perlakuan kasar. Jika tidak aku yang babak belur, maka roh wa’ang yang minggat ke akhirat!”

Berpikir sampai di sana, Pak Uday masuk ke dalam kamarnya sendiri. Dari bawah tempat tidur dia tarik sebuah peti kayu. Walau gelap, dia tahu di mana persisnya dia menyimpan senjata andalannya. Di dalam peti ada sebuah kotak kecil. Segera Pak Uday ambil dan bawa keluar.

Di bawah cahaya temaram lampu teplok, Pak Uday menarik keluar sebilah keris berwarna hitam legam. Keris itu dengan tiga lekukan. Ujungnya sangat runcing. Sekali saja masuk ke dalam perut seseorang, jangan harap akan ada yang selamat, mengingat racun jahat yang ada di senjata tersebut.

“Karih Datuak Itam! Dengan keris ini, wa’ang akan aku kirim ke neraka, Anwar!”

Mata Pak Uday berkilat-kilat penuh kebencian. Sambil menahan kemarahan, dia selipkan keris tersebut di pinggangnya, lalu keluar rumah secepat yang dia bisa. 

Ingatan itu masih terekam jelas di pikiran Pak Uday. “Andai tadi Datuak Rajo Balang tidak muncul, mungkin aku sudah berhasil menghabisi nyawa si Anwar bangsat itu! Dia beruntung tidak mati malam ini, tetapi ingat saja! Lambat laun, aku pasti akan mengirim jasadnya ke liang kematian!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status