Pak Uday akhirnya lebih dulu meninggalkan Pak Anwar yang masih berdiri dengan sikap menantang. Andai dia tidak ingat dengan kemarahan Datuak Rajo Balang, mungkin dia akan kembali melawan lelaki itu. Dia masih belum puas sebelum membuat Pak Anwar tergeletak mengenaskan.
“Urusan kita belum selesai, Anwar! Jangan wa’ang kira aku akan membiarkan wa’ang hidup tenang.” Pak Uday masih sempat melayangkan ancaman ke Pak Anwar yang dibalas lelaki itu dengan membuang ludah ke tanah.
“Silahkan saja, Uday! Aku tidak takut! Cih!”
Dalam gelapnya malam yang ditengarai dengan gerimis nan mulai berjatuhan, Pak Uday mempercepat langkah menuju pulang. Rasa marahnya belumlah tersalurkan. Dia masih ingin baku antam, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Hanya merutuk dan mengutuk sepanjang jalan.
“Ini semua gara-gara anak setan itu. Ada-ada saja ulahnya. Kenapa pula dia harus mengemis minta makan sama si Anwar? Ingin kupecahkan saja batok kepalanya itu. Benar-benar membuat darahku terbakar. Kasim sialan!”
Kampung kecil itu belum tersentuh listrik. Penerangan masih menggunakan lampu berbahan bakar minyak tanah. Kedai kopi yang tadi dia masuki pun sudah tutup. Rumah-rumah penduduk serasa ditinggali hantu bilau. Senyap dan gelap. Tidak ada orang yang menghidupkan lampu kalau sudah bergolek di atas pembaringan.
“Anak setan itu, semoga dia masih bernapas. Sedih juga aku mengingat apa yang aku lakukan padanya. Andai saja aku bisa menahan berangku, tentu tidak perlu aku menjatuhkan tangan kasar ke tubuh kecilnya itu. Aku benar-benar seorang ayah yang buruk.”
Kilasan beberapa jam yang lalu berkelebat di pelupuk mata Pak Uday.
Kasim pulang ke rumah sambil memegang perut dan badannya yang terasa sakit. Pak Uday yang sedang merokok di dalam rumah kontan mengernyit melihat anaknya yang seperti kesakitan.
“Kenapa wa’ang, Kasim? Sakit perut, wa’ang?” Pak Uday bertanya acuh tak acuh. Sudah sering dia melihat anak lelakinya itu pulang dalam keadaan kelaparan. Bukan karena dia pelit, tetapi memang yang akan dimakan itu yang tidak ada.
Selama si Kasim pergi ke surau, dia berusaha meminjam beras dan bahan untuk dimasak dekat warung rumahnya. Seperti biasa juga, dia akan disemprot dulu oleh si pemilik warung, baru diberikan pinjaman. Pak Uday menjamin kalau besok, istrinya akan pulang dari berdagang dan akan membayar lunas semua utang-utangnya.
“Iya, Ayah. Sakit dan tulang-tulang di badan ambo serasa mau patah.” Kasim meringis kesakitan sambil berusaha menahan tangis. Seumur hidup baru kali ini dia dibanting dan dipukuli oleh orang dewasa.
Lampu di dalam rumah Pak Uday adalah sebuah lampu dinding teplok yang hampir kehabisan minyak. Dia tidak bisa melihat dengan jelas mimik wajah Kasim yang menyedihkan.
“Lapar wa’ang?” Pak Uday menghisap rokok dan mengembuskan asapnya pelan. “Aku tadi masak samba goreng bada*. Makanlah wa’ang lagi.”
“Ambo tidak lapar, Ayah. Badan ambo sudah tidak menentu rasanya. Mau mati ambo dibuatnya.”
Kasim akhirnya tidak mampu lagi menahan tangis dan rasa sakit. Dia pun sesenggukan dengan bahu terguncang.
Tingkah Kasim membuat Pak Uday mengernyit heran. Tidak biasanya anaknya ini menangis. “Apa yang terjadi, Kasim? Kenapa wa’ang menangis?”
Kasim tidak menjawab. Dia sebenarnya sangat takut jika jujur sama ayahnya. Tangisannya justru kian kencang. Hal itu membuat Pak Uday habis kesabaran. Segera dia berdiri mendekati Kasim yang menangis sambil bergelung di lantai. Ditariknya tangan anaknya itu.
“Kalau wa’ang menangis seperti ini, aku tampar wa’ang, Kasim! Jangan buat malu aku, wa’ang. Sudah malam ini. Dikira orang aku pula yang menghajar wa’ang!”
Namun, Pak Uday terkejut ketika melihat goresan berdarah di tangan putra semata wayangnya itu. “Berkelahi wa’ang, Kasim?”
Bukan hanya sekadar bertanya, Pak Uday juga menyentakkan tubuh Kasim sehingga membuat bocah berambut jabrik itu terduduk. Kasim mencoba menahan tangisnya kembali. Dia sangat takut akan kemarahan Pak Uday.
“Kenapa wa’ang diam? Dengan siapa wa’ang mencari masalah? Jawab!”
Bentakan Pak Uday membuat Kasim terkejut. Dengan terbata-bata dia ceritakan apa yang terjadi di rumah Khairul. Darah ayahnya itu langsung naik ke ubun-ubun. Tak terduga oleh Kasim, tangan ayahnya itu langsung saja berkelebat dan hinggap di pipinya yang tirus.
“Dasar anak setan! Siapa yang menyuruh wa’ang mengemis ke keluarga si Anwar, ha? Bukankah sudah aku katakan kalau wa’ang bisa makan begitu pulang dari surau? Wa’ang benar-benar membuat aku malu, Kasim!”
Kasim tersentak hebat, terkejut, tidak percaya kalau lelaki di depannya ini, yang dia panggil ayah, menamparnya tanpa belas kasih.
“A—yah menampar ambo?”
Tangan Pak Uday masih bergetar. Dia melihat binar kecewa di mata Kasim. Seumur-umur dia tidak pernah melayangkan pukulan dan tamparan ke anak yang sudah dia besarkan ini. Emosi benar-benar telah menguasai hatinya.
Jika dia turutkan amarahnya, bisa-bisa dia membunuh bocah malang yang mengeluarkan darah dari mulutnya itu. Pak Uday merasa menyesal telah menyakiti Kasim sedemikian rupa.
“Kasim—kecewa, Ayah! Orang yang seharusnya mengasihi, tega menjatuhkan tangan kasar ke anaknya sendiri. Apa beda Ayah dengan ayahnya si Khairul? Kenapa tidak ayah bunuh saja ambo!”
Kasim dengan cepat berdiri dan bergegas ke dalam bilik berdinding pelupuh. Di kamar tanpa pelita itu, Kasim merebahkan badannya di atas kasur kapuk. Mengelumuni tubuh kurusnya dengan selimut yang sudah sebulan tidak dicuci. Dalam kesedihan seperti ini, dia teringat dengan ibunya. Kasim menangis terisak-isak di dalam selimut usang.
Sementara itu di luar kamar, Pak Uday tidak bisa berkata apa-apa. Dia sendiri merasa terkejut dengan apa yang dia perbuat. 12 tahun sudah usia anak bujangnya itu, baru kali ini dia menampar wajah Kasim. Dia mengutuk tangannya sendiri.
“Anwar! Aku tidak menyangka wa’ang sanggup menjatuhkan tangan besi ke anakku. Jangan dikira karena kini wa’ang sudah menjadi orang kaya, lalu aku akan takut ke wa’ang? Mimpi wa’ang, Anwar! Aku akan bikin perhitungan dengan wa’ang. Wa’ang telah membuat si Kasim sedih dan mendapat perlakuan kasar. Jika tidak aku yang babak belur, maka roh wa’ang yang minggat ke akhirat!”
Berpikir sampai di sana, Pak Uday masuk ke dalam kamarnya sendiri. Dari bawah tempat tidur dia tarik sebuah peti kayu. Walau gelap, dia tahu di mana persisnya dia menyimpan senjata andalannya. Di dalam peti ada sebuah kotak kecil. Segera Pak Uday ambil dan bawa keluar.
Di bawah cahaya temaram lampu teplok, Pak Uday menarik keluar sebilah keris berwarna hitam legam. Keris itu dengan tiga lekukan. Ujungnya sangat runcing. Sekali saja masuk ke dalam perut seseorang, jangan harap akan ada yang selamat, mengingat racun jahat yang ada di senjata tersebut.
“Karih Datuak Itam! Dengan keris ini, wa’ang akan aku kirim ke neraka, Anwar!”
Mata Pak Uday berkilat-kilat penuh kebencian. Sambil menahan kemarahan, dia selipkan keris tersebut di pinggangnya, lalu keluar rumah secepat yang dia bisa.
Ingatan itu masih terekam jelas di pikiran Pak Uday. “Andai tadi Datuak Rajo Balang tidak muncul, mungkin aku sudah berhasil menghabisi nyawa si Anwar bangsat itu! Dia beruntung tidak mati malam ini, tetapi ingat saja! Lambat laun, aku pasti akan mengirim jasadnya ke liang kematian!”
Gelapnya malam di langit Galogandang membuat Pak Uday mempercepat langkah. Malam tidak saja berjelaga, tetapi rinai hujan mulai berjatuhan membasahi bumi yang memang beberapa minggu ini kering kerontang.Luak Batuang yang biasanya jadi tempat mandi, airnya pun sudah jauh surut. Jika hujan tidak deras malam ini, alamat akan ke Tandau atau Lubuak Burai orang mencari air untuk mencuci baju dan kebutuhan di rumah.Kampung kecil ini berada di ketinggian. Curah hujan tidaklah terlalu tinggi. Perubahan cuacanya juga tidak menentu. Dalam keadaan panas, dalam sekejap bisa saja berubah mendung, lalu hujan akan turun dengan deras.Seperti hari ini. Siangnya terasa panas menggigit, bahkan Pak Uday tidak sanggup mengayunkan cangkul di tengah hari bolong. Dia memilih berteduh di dalam dangau dan tidur sampai sore menjelang.Sebenarnya Pak Uday masih memiliki seorang istri bernama Buk Nurni. Namun, penghasilan Pak Uday yang pas-pasan memaksa Buk Nurni harus ikut memutar otak untuk mencukupi kebutuha
Kasim mengkeret takut ketika melihat mata Pak Uday melotot penuh kemarahan. Dia merutuk di dalam hati kenapa tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Bocah itu buru-buru menghabiskan nasi di dalam piring, dia segera beranjak ke dapur untuk menaruh piring kotor tersebut. Sebelum keluar dari dapur, dia meneguk segelas air teh dingin. Salah satu ciri khas air minum orang di kampung ini, selalu menaruh air teh di dalam cerek mereka, bukan air putih bening. Pak Uday menghela napas berat ketika Kasim kembali duduk di depannya. Bocah itu menatapnya seperti menunggu sesuatu. Hal itu membuat Pak Uday mengambil keputusan untuk menceritakan apa yang terjadi. “Mulai besok, wa’ang tidak usah bergaul lagi dengan si Khairul. SI Fikri kan ada. Tidak perlu berteman dengan anak orang kaya, kalau orang tuanya tidak bisa menghargai orang miskin. Aku terpaksa bertarung dengan si Anwar demi membela wa’ang, Kasim. Kalau saja Datuak Rajo Balang tidak muncul, mungkin Karih Datuak Itam sudah bersarang
Kasim masih terisak-isak di dalam kamar. Dia semakin takut dengan Pak Uday. Rencana jahat dan niat busuk ayahnya itu membuatnya cemas. Pak Uday telah memanfaatkan kemarahan Pak Abdul untuk menghabisi Pak Anwar. Jika benar terjadi, Kasim tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya.“Ayah seharusnya tidak melakukan hal itu. Bagaimana jika hal buruk menimpa Pak Anwar? Apa Ayah mau bertanggung jawab? Atau bagaimana jika Pak Abdul tidak mampu melawannya, dan dia yang tewas di tangan Pak Anwar? Bagaimana, Ayah?”Pak Uday baru saja membuka pintu langsung diserbu pertanyaan oleh Kasim. Bocah itu meluapkan kegundahan hatinya sambil mengepalkan tinju. Tampaknya rasa kesal sedang memuncaki hati lelaki kecil itu. Melihat Pak Uday yang timbul di pikirannya saat ini hanya rasa benci.Lelaki berbadan tegap dan bagus itu membusungkan dada sambil tersenyum dingin. Dia menghenyakkan pantatnya di samping putra semata wayangnya tersebut. Tangannya memegang bahu Kasim lembut.
Kita kembali dulu pada saat Fikri dan Kasim meninggalkan Khairul dan Pak Anwar.Kasim merangkul Fikri yang berjalan sambil memegang perutnya.“Perutku sakit sekali, Sim.” Fikri mengeluh dengan tubuh bergetar. Tidak pernah dia merasakan sesakit ini. Tendangan Anwar di perutnya membuat dadanya sesak. Dia meludah ketika merasakan air liurnya terasa asin. Kasim yang juga merasakan badannya sakit dan pegal, hanya bisa mengusap lembut punggung Fikri. “Sabar, Fik. Aku antarkan wa’ang sampai rumah. Mulai saat ini, kita tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah setan ini. Hanya gara-gara ubi, dia tega menjatuhkan tangan kasar. Aku tidak menyangka ayahnya si Khairul akan sekejam itu. Jangankan ke kita, ke anaknya saja dia tidak ragu-ragu memukul. Tadiny aku mengira, ayahku sudah paling kejam di dunia ini, ternyata ada yang lebih jahat.”Amarah dan kebencian sedang menguasai hati dan pikiran Kasim. Fikri di sampingnya terbatuk. Asin darah semakin pe
“Wa’ang makanlah dulu, Fikri! Ini amak sudah masak nasi dan sambal ikan asin. Tadi Tek Nur yang punya kadai di Luak Batuang sudah membolehkan amak berutang. Ya, tapi harus dibayar secepatnya. Besok amak akan coba pergi menjajakan periuk tanah itu ke kampung sebelah. Kalau ditunggu-tunggu juga ayah wa’ang, tidak akan ada pemasukan.”Buk Suna sedang memeriksa nasi dan sambal yang ada di dapur. Fikri yang dia suruh makan tidak kunjung menyahut. Dia merasa mungkin anaknya itu sedang marah karena dari siang tidak kunjung mendapatkan makanan. Air mata mendadak merembes membasahi pipi Buk Suna.“Fikriii … makanlah dulu, Nak. Bangunlah wa’ang dari kasur, tu!” Dia mencoba meredam kesedihan yang sempat menguasai hati dan pikirannya. Meratapi nasib tidak akan pernah ada habisnya. Setelah seharian air mata seperti terkuras dari matanya. Malam ini dia tidak akan menangis lebih lama. Fikri tidak pernah suka melihatnya menangis. Dengan ujung selendang, dia usap air mata di pipiny
Jeritan Buk Suna dan teriakan panik Pak Abdul tidak membuat para tetangga berdatangan dikarenakan hujan deras yang sedang melanda.Bukan mereka enggan untuk menjenguk, tetapi suara hujan membungkam semua jeritan dan teriakan sepasang suami istri tersebut, sehingga kepanikan yang melanda keluarga Pak Abdul tidak sampai ke tetangga.“Udaaa …. Bagaimana ini?” Buk Suna masih meratap meraung-raung. “Fikriii … buka mata wa’ang, Nak! Fikriii ….”Fikri yang berada di pangkuan Buk Suna terlihat megap-megap seperti kehabisan napas.Belum pernah sekali pun Buk Suna melihat anaknya berada dalam keadaan mengenaskan seperti ini.Anak yang periang, yang selalu melucu, dan ringan tangan itu terbaring tidak berdaya.“Kawu tunggulah di sini dulu, Suna. Biar aku cari Mak Naro. Dia pasti bisa mengobati si Fikri. Aku akan panggil juga Tek Mina untuk menemani kawu di sini.”Pak Abdul sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Hatinya melantunkan
Kita kembali lagi ke rumah Khairul begitu Pak Anwar memutuskan keluar dari rumah ….Pak Tuo masih memijit dan mengurut sekujur badan cucunya itu dengan lembut. Minyak tanak yang hangat dia balurkan ke tubuh cucunya yang berkulit sawo matang tersebut. Di samping Pak Tuo, Mak Tuo duduk sambi bibirnya melanjutkan dzikir.“Keterlaluan sekali si Anwar. Lama-lama bisa kuusir dia dari rumah ini. Lelaki tidak berguna. Kalau tidak mengingat hubungan baikku dengan Pakiah Sinaro, mungkin sudah kubuat dia hidup di jalanan.” Pak Tuo membaui minyak tersebut di hidung Khairul.“Sudahlah, Uda. Kita sudah memilih dia menjadi menantu. Baik dan buruknya harus siap kita terima. Membencinya tidak akan mengubah keadaan. Sekarang, kita fokus sama ke si Khairul. Setelah dia sadar nanti, dia pasti akan menceritakan kebenarannya.” Mak Tuo mengusap lembut lengan Pak Tuo. Lelaki yang rambutnya sudah memutih itu menghela napas panjang.Rumah Pak Tuo ini berupa rumah adat. Di
Sementara itu Pak Anwar merasa badannya sangat lelah dan letih sehabis bertarung dengan Pak Uday. Dia mencoba menenangkan diri dan memulihkan energinya sembari duduk bersila di bawah kerindangan pohon beringin.Hujan sudah tercurah ke bumi. Malam yang gelap terkadang terang benderang ketika kilat menyambar dari atas langit. Suara petir sesekali menggelegar dan merasuki gendang telinga. Membuat jantung siapa saja yang mendengarnya jadi berdegup lebih kencang."Si Uday benar-benar hendak membunuhku. Sudah tidak ada lagi rasa belas kasihan di hatinya. Dendam telah membakar habis semua kebaikan yang pernah kuberikan. Puluhan tahun berlalu, dia masih tidak bisa melupakan kebenciannya itu."Pak Anwar menghela napas panjang dan mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan. Pakaian di badan sudah kuyup. Dinginnya malam kian melinukan tulang."Aku harus bisa menjaga jarak dengannya. Jika pun nanti ada keadaan yang membuat kami kembali bertemu, aku pun takka