Kita kembali dulu pada saat Fikri dan Kasim meninggalkan Khairul dan Pak Anwar.
Kasim merangkul Fikri yang berjalan sambil memegang perutnya.“Perutku sakit sekali, Sim.” Fikri mengeluh dengan tubuh bergetar. Tidak pernah dia merasakan sesakit ini. Tendangan Anwar di perutnya membuat dadanya sesak. Dia meludah ketika merasakan air liurnya terasa asin.Kasim yang juga merasakan badannya sakit dan pegal, hanya bisa mengusap lembut punggung Fikri. “Sabar, Fik. Aku antarkan wa’ang sampai rumah. Mulai saat ini, kita tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah setan ini. Hanya gara-gara ubi, dia tega menjatuhkan tangan kasar. Aku tidak menyangka ayahnya si Khairul akan sekejam itu. Jangankan ke kita, ke anaknya saja dia tidak ragu-ragu memukul. Tadiny aku mengira, ayahku sudah paling kejam di dunia ini, ternyata ada yang lebih jahat.”Amarah dan kebencian sedang menguasai hati dan pikiran Kasim. Fikri di sampingnya terbatuk. Asin darah semakin pe“Wa’ang makanlah dulu, Fikri! Ini amak sudah masak nasi dan sambal ikan asin. Tadi Tek Nur yang punya kadai di Luak Batuang sudah membolehkan amak berutang. Ya, tapi harus dibayar secepatnya. Besok amak akan coba pergi menjajakan periuk tanah itu ke kampung sebelah. Kalau ditunggu-tunggu juga ayah wa’ang, tidak akan ada pemasukan.”Buk Suna sedang memeriksa nasi dan sambal yang ada di dapur. Fikri yang dia suruh makan tidak kunjung menyahut. Dia merasa mungkin anaknya itu sedang marah karena dari siang tidak kunjung mendapatkan makanan. Air mata mendadak merembes membasahi pipi Buk Suna.“Fikriii … makanlah dulu, Nak. Bangunlah wa’ang dari kasur, tu!” Dia mencoba meredam kesedihan yang sempat menguasai hati dan pikirannya. Meratapi nasib tidak akan pernah ada habisnya. Setelah seharian air mata seperti terkuras dari matanya. Malam ini dia tidak akan menangis lebih lama. Fikri tidak pernah suka melihatnya menangis. Dengan ujung selendang, dia usap air mata di pipiny
Jeritan Buk Suna dan teriakan panik Pak Abdul tidak membuat para tetangga berdatangan dikarenakan hujan deras yang sedang melanda.Bukan mereka enggan untuk menjenguk, tetapi suara hujan membungkam semua jeritan dan teriakan sepasang suami istri tersebut, sehingga kepanikan yang melanda keluarga Pak Abdul tidak sampai ke tetangga.“Udaaa …. Bagaimana ini?” Buk Suna masih meratap meraung-raung. “Fikriii … buka mata wa’ang, Nak! Fikriii ….”Fikri yang berada di pangkuan Buk Suna terlihat megap-megap seperti kehabisan napas.Belum pernah sekali pun Buk Suna melihat anaknya berada dalam keadaan mengenaskan seperti ini.Anak yang periang, yang selalu melucu, dan ringan tangan itu terbaring tidak berdaya.“Kawu tunggulah di sini dulu, Suna. Biar aku cari Mak Naro. Dia pasti bisa mengobati si Fikri. Aku akan panggil juga Tek Mina untuk menemani kawu di sini.”Pak Abdul sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Hatinya melantunkan
Kita kembali lagi ke rumah Khairul begitu Pak Anwar memutuskan keluar dari rumah ….Pak Tuo masih memijit dan mengurut sekujur badan cucunya itu dengan lembut. Minyak tanak yang hangat dia balurkan ke tubuh cucunya yang berkulit sawo matang tersebut. Di samping Pak Tuo, Mak Tuo duduk sambi bibirnya melanjutkan dzikir.“Keterlaluan sekali si Anwar. Lama-lama bisa kuusir dia dari rumah ini. Lelaki tidak berguna. Kalau tidak mengingat hubungan baikku dengan Pakiah Sinaro, mungkin sudah kubuat dia hidup di jalanan.” Pak Tuo membaui minyak tersebut di hidung Khairul.“Sudahlah, Uda. Kita sudah memilih dia menjadi menantu. Baik dan buruknya harus siap kita terima. Membencinya tidak akan mengubah keadaan. Sekarang, kita fokus sama ke si Khairul. Setelah dia sadar nanti, dia pasti akan menceritakan kebenarannya.” Mak Tuo mengusap lembut lengan Pak Tuo. Lelaki yang rambutnya sudah memutih itu menghela napas panjang.Rumah Pak Tuo ini berupa rumah adat. Di
Sementara itu Pak Anwar merasa badannya sangat lelah dan letih sehabis bertarung dengan Pak Uday. Dia mencoba menenangkan diri dan memulihkan energinya sembari duduk bersila di bawah kerindangan pohon beringin.Hujan sudah tercurah ke bumi. Malam yang gelap terkadang terang benderang ketika kilat menyambar dari atas langit. Suara petir sesekali menggelegar dan merasuki gendang telinga. Membuat jantung siapa saja yang mendengarnya jadi berdegup lebih kencang."Si Uday benar-benar hendak membunuhku. Sudah tidak ada lagi rasa belas kasihan di hatinya. Dendam telah membakar habis semua kebaikan yang pernah kuberikan. Puluhan tahun berlalu, dia masih tidak bisa melupakan kebenciannya itu."Pak Anwar menghela napas panjang dan mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan. Pakaian di badan sudah kuyup. Dinginnya malam kian melinukan tulang."Aku harus bisa menjaga jarak dengannya. Jika pun nanti ada keadaan yang membuat kami kembali bertemu, aku pun takka
Degup jantung Abdul berdetak kian kencang ketika mendekati rumah Pak Tuo. Rumah orang terpandang di kampung itu menjulang bagaikan raksasa angkuh yang siap menelannya bulat-bulat. Gonjong Rumah dengan balutan seng runcing lancip menantang langit. Hujan deras yang mendera tidak membuat nyali Abdul ciut.Setelah mengumpulkan segala keberaniannya dia menaiki tangga rumah. Dari bawah tadi dia sudah melihat cahaya terang lampu, pertanda penghuni rumah masih terjaga. Begitu berada di depan pintu, tangannya menggedor keras dan mulutnya meneriakkan kata-kata kebencian.“Anwar! Keluar wa’ang. Anwar … aku datang mau buat perhitungan dengan wa’ang, Bangsat!”Berkali-kali Abdul menggedor pintu, tetapi tidak kunjung terbuka. Ketika dia berniat menghantam daun pintu dengan kakinya, saat itulah pintu berderit. Di depannya seorang lelaki tua beraura dingin berdiri sambil menatapnya tajam.“Benar-benar sudah tidak ada lagi adab sopan
Hujan yang mengiringi langkah Pak Abdul masih mendera dengan lebatnya. Lelaki bertubuh kecil itu melangkah dengan setengah berlari dan terseok-seok diterpa badai. Badannya yang masih terasa sakit, tidak dia pedulikan. Dia menggertakkan rahang mencoba menghalau rasa dingin yang menyergap.“Aku harus tuntaskan malam ini. Tidak tenang hidupku jika aku tidak berhasil membuat si Anwar meminta maaf dan sujud di kakiku. Apa pun yang terjadi pada malam ini, semoga alam berpihak kepadaku.”Kaki kurusnya terus menderap menyibak jalanan berlubang yang tergenang air. Sesekali dia terperosok dan membuatnya terjatuh. Di sekitarnya sawah menghampar dengan luas. Tidak jelas kelihatan apakah padi sedang berbuah atau sudah siap untuk dipanen.Semakin cepat dia berlari, semakin cepat dia sampai di rumah Pak Anwar. Rumah besar itu berdiri menjulang menggapai langit. Atap yang terbuat dari ijuk sama pekatnya dengan malam yang tanpa bintang. Tidak terlihat pelita sedikit pun da
Pak Anwar menganggap ucapan Pak Abdul hanyalah lelucon belaka dan dia tidak punya waktu untuk meladeninya. Segera dia memutar badan hendak masuk ke dalam rumah. Namun, begitu dia membelakangi Pak Abdul, hal tidak dia sangka-sangka pun terjadi.Lelaki berperawakan jangkung itu terpental ke depan, lalu jatuh terjerembab ke lantai ketika Pak Abdul menendang punggungnya telak. Rasa sakit seketika mendera. Tulangnya terasa patah, dadanya pun sesak untuk sesaat.“Bangsat wa’ang, Abdul! Beraninya wa’ang membokongku. Benar-benar pengecut tidak beradab.” Pak Anwar segera bangkit dan menerjang Pak Abdul yang berdiri berkacak pinggang. Tinju Pak Anwar mengarah ke kepalanya. Ayahnya si Fikri ini pun segera mengelak, lalu membalas dengan menyikut tulang rusuk Pak Anwar.Teriakan kesakitan kembali melompat dari mulut Pak Anwar. Ini jauh lebih sakit dari pada tendangan di punggungnya tadi. Dia megap-megap dan sempoyongan
Mak Naro sudah sampai di halaman rumah Pak Abdul di saat hujan masih mendera bumi. Hebatnya, tidak setetes pun air hujan yang membuatnya kebasahan.Dari luar dia mendengar ratapan mengiba hati. Secepat kilat dia melesat memasuki pintu rumah yang tidak tertutup. Di dalam rumah ada tiga orang laki-laki separuh baya dan dua orang perempuan.“Mana si Fikri?”Kedatangan Mak Naro dan pertanyaannya yang tiba-tiba mengejutkan orang di dalam rumah. Mereka sontak menoleh ke arah Mak Naro yang berdiri di depan pintu.“Mak Naro?” Buk Suna salah satu perempuan di ruangan itu segera berdiri. Dia mendekati lelaki tua itu dengan terisak-isak. “Di sini dia, Mak. Tolong Fikri, Mak. Tolong ….” Sambil terisak dia memasuki kamar di mana Fikri masih terbaring tidak berdaya. Bocah itu sudah tidak mengeluarkan suara bahkan tidak bergerak sama sekali.Mak Naro segera mendekatkan jemarinya di hidung anak laki-laki Pak Abdul