“Tidak bisa ambo percaya dengan apa yang Mak Datuak katakan. Bukankah mamak-mamak sekalian yang menjodohkan ambo dengan Uda Abdul? Sekarang, kenapa semuanya seolah-olah ambo yang bersikeras menjadi istrinya?”
Buk Suna terisak pelan di depan Datuak Gadang Dirajo yang sekarang seperti kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan keponakannya itu.“Dengar, Suna!” Pakiah Basa yang ada di samping Datuak Gadang Dirajo merasa tidak enak melihat pemimpin tertinggi di kaumnya itu disudutkan. “Maksud Mak Datuak itu baik. Sekian tahun kawu menikah dengan si Abdul, lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Sudah berapa kali kawu atau si Fikri habis ditanganinya? Kalau bukan karena kebaikan kami sebagai keluarga kawu, sudah jauh-jauh hari dia tidak lagi berada di rumah ini. Lagi pula, ada atau tidak ada pun dia, tidak ada gunanya. Buktinya saja, anaknya sakit seperti ini saja dia tidak mau tahu. Penting baginya memenuhi perutnya itu dengan tuak.”Buk Suna tidak berPak Anwar tergagau dari tidurnya ketika mendengar bunyi gedoran di pintu masuk Rumah Gadang. Dia yang tadinya masih terlelap dibuai mimpi, sontak melompat dari tempat tidur.“ANWAR! Ada wa’ang di dalam? KELUARLAH!”Teriakan menggelegar disertai guguhan pintu membuatnya mengernyitkan kening. Hatinya mendadak tidak enak. ‘Mungkinkah jasad si Abdul sudah ditemukan?’Setelah menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang, dia segera keluar dari kamar, berjalan malas menuju sumber suara.“Kalau wa’ang tidak buka, jangan salahkan jika aku hancurkan pintu rumah wa’ang, Anwar!”Semakin dia dekat, suara teriakan di luar semakin nyaring di telinga. Hatinya jadi kesal dan mempercepat langkahnya, ingin tahu siapa manusia kurang etika yang berteriak-teriak di depan pintu.Begitu pintu terbuka, tiga sosok lelaki berdiri dengan wajah penuh kemarahan. Salah satu dari mereka adalah Malin Palito. Lelaki bertubuh k
Galogandang, tahun 1963“Lekaslah wa’ang* ke surau, Buyuang! Atau kusepak pantatmu itu nanti.”Bocah laki-laki bernama Kasim dan berusia 12 tahun itu baru saja selesai mandi ketika tiba-tiba ayahnya—Pak Uday—berdiri di depannya dengan wajah tidak ramah. Kasim melewati sang ayah dan bergegas masuk ke dalam bilik bambu.Dia merungut sambil mengenakan pakaian. “Baru juga selesai mandi. Perut lapar pula. Ayah ini tega sekali sama anak sendiri.”Di luar kamar, Pak Uday mendengar gerutuan anaknya itu. “Apa yang wa’ang katai-kataikan*, Kasim? Sebentar lagi maghrib. Pergilah wa’ang salat dan mengaji di surau. Habis tu baru wa’ang bisa makan.”Kasim dengan cepat mengenakan pakaian. Tidak lupa dia mengalungkan kain sarung di lehernya dan memakai kopiah hitam yang sudah kusam di kepalanya. Dia segera keluar dari kamar dan mendapati Pak Uday sedang bersandar sambil melinting rokok daun enau.“Ayah ini menyuruh saja bisanya. Memangnya Ayah tidak wajib salat? Kok, ambo* saja yang harus beribadah, s
Pak Anwar mengarahkan senter ke sumber suara. Namun, tidak ada jawaban. Kasim dan Fikri mati-matian menahan napas sambil menutup mulut. Ketakutan sedang menguasai hati mereka.“Semakin hari, setan semakin berani berkeliaran. Kalau kalian setan, jangan pernah ganggu aku. Aku tidak mengusik kalian dan kalian jangan mengusik kehidupanku.”Kasim dan Fikri melihat Pak Anwar komat-kamit seperti membaca sesuatu. Lalu tanpa terduga, ayah sahabat mereka itu melepehkan ludah dengan kecepatan maksimal.Sialnya, air liur tersebut menempel di pipi Fikri. Andai tidak sedang bersembunyi, mungkin dia sudah memaki panjang pendek.Kasim mati-matian menahan gelak tawa. Sungguh dia tidak menyangka kalau Pak Anwar mengira mereka setan yang harus diusir dengan mantra-mantra.Mereka berdua tetap berdiam diri tanpa bergerak sedikit pun, hanya bisa saling pandang, walau suasana di tempat mereka gelap, terbantu oleh cahaya lampu senter Pak Anwar yang terkadang menyorot ke arah mereka.“Sebentar lagi Idul Adha,
Pak Anwar seolah terpaku ke bumi ketika melihat tangan kasarnya malah mencelakai anaknya sendiri. Khairul tergeletak di tanah tidak sadarkan diri. Kasim dan Fikri berteriak-teriak sambil menggoyang-goyangkan badan sahabatnya itu.“Ini semua gara-gara kalian!” Pak Anwar mendorong tubuh Fikri dan Kasim keras. “Jauhi anakku dan berkirab kalian dari sini! Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumahku. Dasar anak-anak setan!”Kasim dan Fikri masih sesenggukan. Mereka sangat ingin menolong Khairul, tetapi tidak ingin membuat Pak Anwar kian marah. Mereka mundur teratur dan perlahan-lahan menjauh dari rumah Pak Anwar.“Rul! Bangun ….”Khairul masih belum sadar. Pak Anwar segera membopong tubuh anaknya itu dan segera membawanya ke dalam rumah.Buk Rosma—ibu Khairul—tidak mengetahui apa yang telah terjadi karena dia sedang sibuk di kamar menghitung uangnya yang banyak.Dia sontak merapikan uang kertas dan koin yang bertebaran di atas kasurnya ketika mendengar panggilan suaminya—Pak Anwar.“La
Denyut malam kian melemah seiring dengan berjalannya waktu. Pak Uday membawa Pak Anwar ke suatu tempat yang cukup jauh dari kedai kopi. Wajah Pak Uday menegang, penuh dengan kemarahan. Sedangkan Pak Anwar mencoba menenangkan diri.Di bawah pokok beringin, mereka berdiri saling berhadap-hadapan.“Apa yang ingin kawan bicarakan? Sepertinya penting sekali.” Pak Anwar berusaha melihat binar mata Pak Uday di bawah suramnya cahaya rembulan. Walau tidak jelas, dia yakin Pak Uday pasti akan menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan si Kasim.“Langsung saja, Anwar! Apa yang telah wa’ang perbuat ke si Kasim? Pulang-pulang dia merasakan punggungnya sakit.” “Apa yang aku perbuat? Aku tidak berbuat apa-apa. Apa maksud wa’ang, Uday?” Pak Anwar menjawab dengan nada meremehkan. “Jangan berucap dusta wa’ang, Anwar! Si Kasim mengatakan kalau wa’ang membanting tubuhnya. Aku melihat dengan kepala sendiri lecet dan memar di badannya. Kenapa wa’ang tega menganiaya anak kecil? Apa salah anakku ke wa’an
Pak Uday akhirnya lebih dulu meninggalkan Pak Anwar yang masih berdiri dengan sikap menantang. Andai dia tidak ingat dengan kemarahan Datuak Rajo Balang, mungkin dia akan kembali melawan lelaki itu. Dia masih belum puas sebelum membuat Pak Anwar tergeletak mengenaskan.“Urusan kita belum selesai, Anwar! Jangan wa’ang kira aku akan membiarkan wa’ang hidup tenang.” Pak Uday masih sempat melayangkan ancaman ke Pak Anwar yang dibalas lelaki itu dengan membuang ludah ke tanah.“Silahkan saja, Uday! Aku tidak takut! Cih!”Dalam gelapnya malam yang ditengarai dengan gerimis nan mulai berjatuhan, Pak Uday mempercepat langkah menuju pulang. Rasa marahnya belumlah tersalurkan. Dia masih ingin baku antam, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Hanya merutuk dan mengutuk sepanjang jalan.“Ini semua gara-gara anak setan itu. Ada-ada saja ulahnya. Kenapa pula dia harus mengemis minta makan sama si Anwar? Ingin kupecahkan saja batok kepalanya itu. Benar-benar membuat darahku terbakar. Kasim sialan!”Kamp
Gelapnya malam di langit Galogandang membuat Pak Uday mempercepat langkah. Malam tidak saja berjelaga, tetapi rinai hujan mulai berjatuhan membasahi bumi yang memang beberapa minggu ini kering kerontang.Luak Batuang yang biasanya jadi tempat mandi, airnya pun sudah jauh surut. Jika hujan tidak deras malam ini, alamat akan ke Tandau atau Lubuak Burai orang mencari air untuk mencuci baju dan kebutuhan di rumah.Kampung kecil ini berada di ketinggian. Curah hujan tidaklah terlalu tinggi. Perubahan cuacanya juga tidak menentu. Dalam keadaan panas, dalam sekejap bisa saja berubah mendung, lalu hujan akan turun dengan deras.Seperti hari ini. Siangnya terasa panas menggigit, bahkan Pak Uday tidak sanggup mengayunkan cangkul di tengah hari bolong. Dia memilih berteduh di dalam dangau dan tidur sampai sore menjelang.Sebenarnya Pak Uday masih memiliki seorang istri bernama Buk Nurni. Namun, penghasilan Pak Uday yang pas-pasan memaksa Buk Nurni harus ikut memutar otak untuk mencukupi kebutuha
Kasim mengkeret takut ketika melihat mata Pak Uday melotot penuh kemarahan. Dia merutuk di dalam hati kenapa tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Bocah itu buru-buru menghabiskan nasi di dalam piring, dia segera beranjak ke dapur untuk menaruh piring kotor tersebut. Sebelum keluar dari dapur, dia meneguk segelas air teh dingin. Salah satu ciri khas air minum orang di kampung ini, selalu menaruh air teh di dalam cerek mereka, bukan air putih bening. Pak Uday menghela napas berat ketika Kasim kembali duduk di depannya. Bocah itu menatapnya seperti menunggu sesuatu. Hal itu membuat Pak Uday mengambil keputusan untuk menceritakan apa yang terjadi. “Mulai besok, wa’ang tidak usah bergaul lagi dengan si Khairul. SI Fikri kan ada. Tidak perlu berteman dengan anak orang kaya, kalau orang tuanya tidak bisa menghargai orang miskin. Aku terpaksa bertarung dengan si Anwar demi membela wa’ang, Kasim. Kalau saja Datuak Rajo Balang tidak muncul, mungkin Karih Datuak Itam sudah bersarang