Denyut malam kian melemah seiring dengan berjalannya waktu. Pak Uday membawa Pak Anwar ke suatu tempat yang cukup jauh dari kedai kopi. Wajah Pak Uday menegang, penuh dengan kemarahan. Sedangkan Pak Anwar mencoba menenangkan diri.
Di bawah pokok beringin, mereka berdiri saling berhadap-hadapan.
“Apa yang ingin kawan
bicarakan? Sepertinya penting sekali.” Pak Anwar berusaha melihat binar mata Pak Uday di bawah suramnya cahaya rembulan. Walau tidak jelas, dia yakin Pak Uday pasti akan menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan si Kasim.“Langsung saja, Anwar! Apa yang telah wa’ang perbuat ke si Kasim? Pulang-pulang dia merasakan punggungnya sakit.”
“Apa yang aku perbuat? Aku tidak berbuat apa-apa. Apa maksud wa’ang, Uday?” Pak Anwar menjawab dengan nada meremehkan.
“Jangan berucap dusta wa’ang, Anwar! Si Kasim mengatakan kalau wa’ang membanting tubuhnya. Aku melihat dengan kepala sendiri lecet dan memar di badannya. Kenapa wa’ang tega menganiaya anak kecil? Apa salah anakku ke wa’ang?”
Pak Uday sudah mencengkeram kerah baju Pak Anwar. Tinggi badan mereka sama. Jarak mereka yang begitu dekat, memungkinkan ketegangan kian memuncak.
“Baik, jika wa’ang memaksa. Andai wa’ang tahu, anak wa’ang yang bernama si Kasim itu telah menyuruh anakku mencuri makanan. Aku hanya memberi pelajaran agar dia tidak mengulangi perbuatannya. Seharusnya wa’ang malu, Uday, membiarkan anak wa’ang kelaparan lalu meminta-minta ke anakku biar perutnya kenyang. Wa’ang yang tidak bisa mengurus anak.” Pak Anwar mendengkus kuat sambil menyentakkan tangan Pak Uday di lehernya.
Wajah Pak Uday merah padam mendengar perkataan lelaki di depannya itu. Darah seakan-akan naik ke ubun-ubun kepalanya.
“Jangan berani wa’ang mengarang cerita, Anwar! Aku tidak pernah mengajari anakku mengemis kepada siapa pun. Justru otak wa’ang yang tidak berjalan. Hanya karena makanan, wa’ang hampir membunuh anak kecil.”
Anwar mendecih marah. Kepalanya sudah penuh dengan masalah. Dia tidak ingin berlama-lama melayani Pak Uday.
“Sekarang, apa yang wa’ang inginkan, Uday?” Mata Pak Anwar membelalak lebar. Dia tidak takut sama sekali ke lelaki yang mengalungkan sarung di lehernya itu.
“Apa yang aku inginkan? Hmm—sudah berani wa’ang menantang aku, Anwar?”
Pak Anwar benar-benar tidak menduga sama sekali ketika tinju Pak Uday menghantam pipinya. Dia merasakan rasa perih dan kebas di bagian wajahnya dalam cara bersamaan.
“Jahanam! Berani wa’ang menurunkan tangan kasar, Uday! Jangan dikira aku takut.”
Dua orang dewasa itu saling baku hantam. Di bawah rindangnya pohon beringin tua mereka menunjukkan ego masing-masing. Pak Uday yang selama ini dikenal sebagai “urang bagak” alias preman, tentu saja murka ditantang berkelahi oleh Pak Anwar yang terkenal kaya, tetapi pelit.
“Selama ini tidak ada yang berani melawan wa’ang, Uday! Wa’ang tahu kenapa? Karena mereka masih menghormati istri wa’ang yang wa’ang jadikan kuda pelajang bukit! Dasar sampah tidak berguna! Kita seperguruan silat, ilmu wa’ang tidak lebih tinggi dari aku. Yang besar selama ini, hanya omongan wa’ang saja.”
Sambil terus melayangkan tinju, Pak Anwar melontarkan ejekan dan cacian yang membuat amarah Pak Uday kian tersulut.
“Banyak bicara wa’ang, Anwar! Terima ini!”
Tendangan Pak Uday melayang di udara. Jika Pak Anwar tidak mengelak, sudah pasti serangan itu hinggap di dadanya. Kesempatan itu dia gunakan menyerang balik ketika Pak Uday hanya menghantam tempat kosong.
“Aku ajarkan wa’ang apa itu sadar diri, Uday! Mampus, wa’ang!”
Kali ini, Pak Uday yang dibuat terkejut. Tanpa dia duga, tinju Pak Anwar mendarat di tengkuknya, membuat pandangannya nanar seketika. Kakinya sempoyongan, sesaat kemudian dia jatuh ke tanah. Anwar tertawa terbahak-bahak melihat Pak Uday yang terduduk sambil memegang lehernya.
“Jika bukan aku yang mati, maka wa’ang yang mampus, Anwar! Cukup aku memberi wa’ang waktu main-main.”
Dari balik punggungnya, Pak Uday mengeluarkan sebuah keris yang masih tersimpan di dalam sarungnya. Paras Pak Anwar seketika berubah. Dia tidak menyangka kalau lawannya itu benar-benar berniat membunuhnya.
“Tahan, Uday! Apa yang wa’ang lakukan?”
Bagaimanapun, melihat keris beraura gelap dan dingin itu membuat tengkuk Pak Anwar meremang.
“Wa’ang telah berani menyinggung harga diriku, Anwar! Tidak ada seorang pun yang pernah selamat jika aku sudah mengeluarkan keris ini. Berikan nyawa wa’ang, Setan!”
Pak Uday melompat ke arah Pak Anwar sambil menghunuskan keris berluk tiga tersebut. Tidak mau mati konyol, Pak Anwar melompat ke samping, berusaha mengelakkan senjata tajam tersebut. Walau dia sudah bergerak cepat, ujung keris tetap menyambar lengannya. Seketika lengannya terluka, meski tidak dalam, tetapi darah mulai mengalir membasahi bajunya.
“Uday! Wa’ang jangan memperturutkan amarah. Jika aku mati, wa’ang kira masalah akan selesai begitu saja? Ingat anak dan bini wa’ang, Uday! Jangan sampai wa’ang membusuk di penjara karena menghabisi nyawaku!”
Sebagai seorang preman, peringatan semacam itu tentu saja tidak berguna bagi seorang Pak Uday. Dia justru semakin yakin kalau lawan berada di bawah rasa takut. Semakin ketakutan Pak Anwar, semakin semangat Pak Uday menyerangnya dengan keris.
“Takut wa’ang, Anwar? Ha? Seharusnya wa’ang berpikir sebelum menantang duel denganku. Seharusnya wa’ang berpikir sebelum mencari masalah denganku. Oh, kaya wa’ang tu yang wa’ang banggakan? Ingat, Anwar! Yang kaya itu istri wa’ang, keluarga istri wa’ang! Jadi, jangan merasa jumawa di depanku.”
Darah Pak Anwar seketika menggelegak. Dia tidak terima dikatakan penakut apalagi Pak Uday menyinggung-nyingung keluarganya. Amarahnya pun tidak terbendung.
“Tadinya aku mengira, dengan bicara baik-baik wa’ang masih bisa hidup tenang, Uday. Namun, ucapan wa’ang barusan membuatku berubah pikiran. Mari kita selesaikan duel ini. Aku atau wa’ang nan mati malam ini!”
Pak Anwar membusungkan dada. Dia mengambil ancang-ancang. Baginya menghadapi Pak Uday tidaklah sulit karena mereka berasal dari perkumpulan silat yang sama. Semua jurus-jurus andalan Pak Uday dia tahu, begitu juga dengan kelemahannya.
“Tidak berpanjang mulut, Anwar! Wa’ang rasakan ini!”
Keris kembali melaju secepat kedipan mata. Kalau tadi Pak Anwar masih ragu melayani serangan Pak Uday, kali ini dia pun tidak segan-segan lagi. Sembari menghindari sabetan dan tusukan keris, dia mulai mengeluarkan silat andalannya.
Namun, tetap saja Pak Anwar mulai terdesak. Melawan orang bersenjata, tentu berbeda dengan yang tidak memakai senjata.
Satu jam lamanya mereka terus bertarung. Puncaknya, Pak Anwar tidak mampu menangkis serangan keris yang melaju ke arah dadanya. Sesaat lagi ujung keris menembus tubuh Pak Anwar, tiba-tiba seseorang berteriak nyaring sambil mendorong tubuh Pak Uday kuat.
“Setan alas! Siapa yang berani mengganggu? Benar-benar mencari mati!” Pak Uday marah besar. Dia sampai terpelanting saking kuatnya daya dorong di tubuhnya.
“Hentikan, Uday! Memalukan!”
Sebuah suara kembali menggelegar. Di depan Pak Uday dan Pak Anwar berdiri seorang kakek-kakek yang seluruh rambut, alis, dan janggutnya sudah memutih semua. Di bahunya tersampir kain sarung kotak-kotak berwarna kecoklatan.
“Datuak Rajo Balang!”
Pak Anwar dan Pak Uday sontak terkejut menatap orang tua yang berdiri marah di depan mereka. Keduanya segera menjura hormat.
“Maafkan kami, Tuan Guru!”
Pelipis Datuak Rajo Balang menegang. “Dasar murid-murid bodoh! Jadi, untuk ini ilmu silat yang aku ajarkan kalian gunakan? Menyerang sesama murid seperguruan? Di mana otak kalian!”
Tangan kurus Datuak Rajo Balang berkelebat, menampar pipi kedua lelaki dewasa tersebut.
“Jauh-jauh aku pergi merantau, pulang dari rantau, ini hadiah yang aku dapatkan! Andai ada orang yang melihat kebodohan kalian tadi, ke mana hendak aku sembunyikan maluku? Dasar anak-anak setan!”
Keduanya menunduk tanpa sanggup bicara lagi. Pipi mereka terasa panas. Sang tuan guru tidak tanggung-tanggung memberi tamparan.
“Mulai hari, keris yang ada di tangan wa’ang, Uday, aku sita! Menyesal aku memberikan benda keramat ini. Hampir saja wa’ang membunuh saudara seperguruan wa’ang sendiri. Kalian benar-benar membuat aku menyesal telah mengajari kalian ilmu silat! Sangat menyesal!”
Habis berbicara seperti itu, Datuak Rajo Balang seketika merampas keris yang masih ada di tangan Pak Uday. Dia juga mengambil sebuah kopiah yang tadi terlepas dari kepalanya ketika mendorong Pak Uday. Kopiah hitam dan bermotif itu, dia kenakan di kepalanya, menutupi rambutnya yang beruban. Tanpa bicara lagi lelaki tua itu pun pergi meninggalkan murid-muridnya yang terdiam dalam keheningan malam.
Pak Uday menatap Pak Anwar masih dengan tatapan membara. Akankah mereka kembali baku hantam?
Pak Uday akhirnya lebih dulu meninggalkan Pak Anwar yang masih berdiri dengan sikap menantang. Andai dia tidak ingat dengan kemarahan Datuak Rajo Balang, mungkin dia akan kembali melawan lelaki itu. Dia masih belum puas sebelum membuat Pak Anwar tergeletak mengenaskan.“Urusan kita belum selesai, Anwar! Jangan wa’ang kira aku akan membiarkan wa’ang hidup tenang.” Pak Uday masih sempat melayangkan ancaman ke Pak Anwar yang dibalas lelaki itu dengan membuang ludah ke tanah.“Silahkan saja, Uday! Aku tidak takut! Cih!”Dalam gelapnya malam yang ditengarai dengan gerimis nan mulai berjatuhan, Pak Uday mempercepat langkah menuju pulang. Rasa marahnya belumlah tersalurkan. Dia masih ingin baku antam, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Hanya merutuk dan mengutuk sepanjang jalan.“Ini semua gara-gara anak setan itu. Ada-ada saja ulahnya. Kenapa pula dia harus mengemis minta makan sama si Anwar? Ingin kupecahkan saja batok kepalanya itu. Benar-benar membuat darahku terbakar. Kasim sialan!”Kamp
Gelapnya malam di langit Galogandang membuat Pak Uday mempercepat langkah. Malam tidak saja berjelaga, tetapi rinai hujan mulai berjatuhan membasahi bumi yang memang beberapa minggu ini kering kerontang.Luak Batuang yang biasanya jadi tempat mandi, airnya pun sudah jauh surut. Jika hujan tidak deras malam ini, alamat akan ke Tandau atau Lubuak Burai orang mencari air untuk mencuci baju dan kebutuhan di rumah.Kampung kecil ini berada di ketinggian. Curah hujan tidaklah terlalu tinggi. Perubahan cuacanya juga tidak menentu. Dalam keadaan panas, dalam sekejap bisa saja berubah mendung, lalu hujan akan turun dengan deras.Seperti hari ini. Siangnya terasa panas menggigit, bahkan Pak Uday tidak sanggup mengayunkan cangkul di tengah hari bolong. Dia memilih berteduh di dalam dangau dan tidur sampai sore menjelang.Sebenarnya Pak Uday masih memiliki seorang istri bernama Buk Nurni. Namun, penghasilan Pak Uday yang pas-pasan memaksa Buk Nurni harus ikut memutar otak untuk mencukupi kebutuha
Kasim mengkeret takut ketika melihat mata Pak Uday melotot penuh kemarahan. Dia merutuk di dalam hati kenapa tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Bocah itu buru-buru menghabiskan nasi di dalam piring, dia segera beranjak ke dapur untuk menaruh piring kotor tersebut. Sebelum keluar dari dapur, dia meneguk segelas air teh dingin. Salah satu ciri khas air minum orang di kampung ini, selalu menaruh air teh di dalam cerek mereka, bukan air putih bening. Pak Uday menghela napas berat ketika Kasim kembali duduk di depannya. Bocah itu menatapnya seperti menunggu sesuatu. Hal itu membuat Pak Uday mengambil keputusan untuk menceritakan apa yang terjadi. “Mulai besok, wa’ang tidak usah bergaul lagi dengan si Khairul. SI Fikri kan ada. Tidak perlu berteman dengan anak orang kaya, kalau orang tuanya tidak bisa menghargai orang miskin. Aku terpaksa bertarung dengan si Anwar demi membela wa’ang, Kasim. Kalau saja Datuak Rajo Balang tidak muncul, mungkin Karih Datuak Itam sudah bersarang
Kasim masih terisak-isak di dalam kamar. Dia semakin takut dengan Pak Uday. Rencana jahat dan niat busuk ayahnya itu membuatnya cemas. Pak Uday telah memanfaatkan kemarahan Pak Abdul untuk menghabisi Pak Anwar. Jika benar terjadi, Kasim tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya.“Ayah seharusnya tidak melakukan hal itu. Bagaimana jika hal buruk menimpa Pak Anwar? Apa Ayah mau bertanggung jawab? Atau bagaimana jika Pak Abdul tidak mampu melawannya, dan dia yang tewas di tangan Pak Anwar? Bagaimana, Ayah?”Pak Uday baru saja membuka pintu langsung diserbu pertanyaan oleh Kasim. Bocah itu meluapkan kegundahan hatinya sambil mengepalkan tinju. Tampaknya rasa kesal sedang memuncaki hati lelaki kecil itu. Melihat Pak Uday yang timbul di pikirannya saat ini hanya rasa benci.Lelaki berbadan tegap dan bagus itu membusungkan dada sambil tersenyum dingin. Dia menghenyakkan pantatnya di samping putra semata wayangnya tersebut. Tangannya memegang bahu Kasim lembut.
Kita kembali dulu pada saat Fikri dan Kasim meninggalkan Khairul dan Pak Anwar.Kasim merangkul Fikri yang berjalan sambil memegang perutnya.“Perutku sakit sekali, Sim.” Fikri mengeluh dengan tubuh bergetar. Tidak pernah dia merasakan sesakit ini. Tendangan Anwar di perutnya membuat dadanya sesak. Dia meludah ketika merasakan air liurnya terasa asin. Kasim yang juga merasakan badannya sakit dan pegal, hanya bisa mengusap lembut punggung Fikri. “Sabar, Fik. Aku antarkan wa’ang sampai rumah. Mulai saat ini, kita tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah setan ini. Hanya gara-gara ubi, dia tega menjatuhkan tangan kasar. Aku tidak menyangka ayahnya si Khairul akan sekejam itu. Jangankan ke kita, ke anaknya saja dia tidak ragu-ragu memukul. Tadiny aku mengira, ayahku sudah paling kejam di dunia ini, ternyata ada yang lebih jahat.”Amarah dan kebencian sedang menguasai hati dan pikiran Kasim. Fikri di sampingnya terbatuk. Asin darah semakin pe
“Wa’ang makanlah dulu, Fikri! Ini amak sudah masak nasi dan sambal ikan asin. Tadi Tek Nur yang punya kadai di Luak Batuang sudah membolehkan amak berutang. Ya, tapi harus dibayar secepatnya. Besok amak akan coba pergi menjajakan periuk tanah itu ke kampung sebelah. Kalau ditunggu-tunggu juga ayah wa’ang, tidak akan ada pemasukan.”Buk Suna sedang memeriksa nasi dan sambal yang ada di dapur. Fikri yang dia suruh makan tidak kunjung menyahut. Dia merasa mungkin anaknya itu sedang marah karena dari siang tidak kunjung mendapatkan makanan. Air mata mendadak merembes membasahi pipi Buk Suna.“Fikriii … makanlah dulu, Nak. Bangunlah wa’ang dari kasur, tu!” Dia mencoba meredam kesedihan yang sempat menguasai hati dan pikirannya. Meratapi nasib tidak akan pernah ada habisnya. Setelah seharian air mata seperti terkuras dari matanya. Malam ini dia tidak akan menangis lebih lama. Fikri tidak pernah suka melihatnya menangis. Dengan ujung selendang, dia usap air mata di pipiny
Jeritan Buk Suna dan teriakan panik Pak Abdul tidak membuat para tetangga berdatangan dikarenakan hujan deras yang sedang melanda.Bukan mereka enggan untuk menjenguk, tetapi suara hujan membungkam semua jeritan dan teriakan sepasang suami istri tersebut, sehingga kepanikan yang melanda keluarga Pak Abdul tidak sampai ke tetangga.“Udaaa …. Bagaimana ini?” Buk Suna masih meratap meraung-raung. “Fikriii … buka mata wa’ang, Nak! Fikriii ….”Fikri yang berada di pangkuan Buk Suna terlihat megap-megap seperti kehabisan napas.Belum pernah sekali pun Buk Suna melihat anaknya berada dalam keadaan mengenaskan seperti ini.Anak yang periang, yang selalu melucu, dan ringan tangan itu terbaring tidak berdaya.“Kawu tunggulah di sini dulu, Suna. Biar aku cari Mak Naro. Dia pasti bisa mengobati si Fikri. Aku akan panggil juga Tek Mina untuk menemani kawu di sini.”Pak Abdul sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Hatinya melantunkan
Kita kembali lagi ke rumah Khairul begitu Pak Anwar memutuskan keluar dari rumah ….Pak Tuo masih memijit dan mengurut sekujur badan cucunya itu dengan lembut. Minyak tanak yang hangat dia balurkan ke tubuh cucunya yang berkulit sawo matang tersebut. Di samping Pak Tuo, Mak Tuo duduk sambi bibirnya melanjutkan dzikir.“Keterlaluan sekali si Anwar. Lama-lama bisa kuusir dia dari rumah ini. Lelaki tidak berguna. Kalau tidak mengingat hubungan baikku dengan Pakiah Sinaro, mungkin sudah kubuat dia hidup di jalanan.” Pak Tuo membaui minyak tersebut di hidung Khairul.“Sudahlah, Uda. Kita sudah memilih dia menjadi menantu. Baik dan buruknya harus siap kita terima. Membencinya tidak akan mengubah keadaan. Sekarang, kita fokus sama ke si Khairul. Setelah dia sadar nanti, dia pasti akan menceritakan kebenarannya.” Mak Tuo mengusap lembut lengan Pak Tuo. Lelaki yang rambutnya sudah memutih itu menghela napas panjang.Rumah Pak Tuo ini berupa rumah adat. Di
Pak Anwar tergagau dari tidurnya ketika mendengar bunyi gedoran di pintu masuk Rumah Gadang. Dia yang tadinya masih terlelap dibuai mimpi, sontak melompat dari tempat tidur.“ANWAR! Ada wa’ang di dalam? KELUARLAH!”Teriakan menggelegar disertai guguhan pintu membuatnya mengernyitkan kening. Hatinya mendadak tidak enak. ‘Mungkinkah jasad si Abdul sudah ditemukan?’Setelah menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang, dia segera keluar dari kamar, berjalan malas menuju sumber suara.“Kalau wa’ang tidak buka, jangan salahkan jika aku hancurkan pintu rumah wa’ang, Anwar!”Semakin dia dekat, suara teriakan di luar semakin nyaring di telinga. Hatinya jadi kesal dan mempercepat langkahnya, ingin tahu siapa manusia kurang etika yang berteriak-teriak di depan pintu.Begitu pintu terbuka, tiga sosok lelaki berdiri dengan wajah penuh kemarahan. Salah satu dari mereka adalah Malin Palito. Lelaki bertubuh k
“Tidak bisa ambo percaya dengan apa yang Mak Datuak katakan. Bukankah mamak-mamak sekalian yang menjodohkan ambo dengan Uda Abdul? Sekarang, kenapa semuanya seolah-olah ambo yang bersikeras menjadi istrinya?”Buk Suna terisak pelan di depan Datuak Gadang Dirajo yang sekarang seperti kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan keponakannya itu.“Dengar, Suna!” Pakiah Basa yang ada di samping Datuak Gadang Dirajo merasa tidak enak melihat pemimpin tertinggi di kaumnya itu disudutkan. “Maksud Mak Datuak itu baik. Sekian tahun kawu menikah dengan si Abdul, lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Sudah berapa kali kawu atau si Fikri habis ditanganinya? Kalau bukan karena kebaikan kami sebagai keluarga kawu, sudah jauh-jauh hari dia tidak lagi berada di rumah ini. Lagi pula, ada atau tidak ada pun dia, tidak ada gunanya. Buktinya saja, anaknya sakit seperti ini saja dia tidak mau tahu. Penting baginya memenuhi perutnya itu dengan tuak.”Buk Suna tidak ber
Suasana di luar kamar Fikri terasa mencekam. Ke lima orang yang ada di ruangan itu menunggu dengan perasaan tidak menentu. Belum pernah mereka mendengar auman harimau yang begitu mengerikan. Mengingat namanya saja sudah membuat bulu kuduk meremang.Inyiak Tigo Tampat!Inyiak yang dalam bahasa Minang merupakan sebutan untuk harimau jadi-jadian. Sosok harimau yang ada di alam gaib. Kebiasaan di kampung ini pantang menyebut harimau dengan kata harimau. Konon, jika ada yang berani menyebut harimau, maka binatang buas itu akan mendatangi kediaman orang yang menyebut namanya tadi pada tengah malam, dan bisa mencelakainya dengan mudah.Tigo Tampat merupakan tiga kuburan keramat yang dijaga sampai sekarang. Menurut cerita orang dahulu, jasad yang bersemayam di dalam makam tersebut adalah jasad orang-orang alim dan berilmu tinggi. Baik secara mental atau pun spiritual.Masyarakat di kampung itu percaya kalau ketiga penghuni makam itu ad
Mak Naro sudah sampai di halaman rumah Pak Abdul di saat hujan masih mendera bumi. Hebatnya, tidak setetes pun air hujan yang membuatnya kebasahan.Dari luar dia mendengar ratapan mengiba hati. Secepat kilat dia melesat memasuki pintu rumah yang tidak tertutup. Di dalam rumah ada tiga orang laki-laki separuh baya dan dua orang perempuan.“Mana si Fikri?”Kedatangan Mak Naro dan pertanyaannya yang tiba-tiba mengejutkan orang di dalam rumah. Mereka sontak menoleh ke arah Mak Naro yang berdiri di depan pintu.“Mak Naro?” Buk Suna salah satu perempuan di ruangan itu segera berdiri. Dia mendekati lelaki tua itu dengan terisak-isak. “Di sini dia, Mak. Tolong Fikri, Mak. Tolong ….” Sambil terisak dia memasuki kamar di mana Fikri masih terbaring tidak berdaya. Bocah itu sudah tidak mengeluarkan suara bahkan tidak bergerak sama sekali.Mak Naro segera mendekatkan jemarinya di hidung anak laki-laki Pak Abdul
Pak Anwar menganggap ucapan Pak Abdul hanyalah lelucon belaka dan dia tidak punya waktu untuk meladeninya. Segera dia memutar badan hendak masuk ke dalam rumah. Namun, begitu dia membelakangi Pak Abdul, hal tidak dia sangka-sangka pun terjadi.Lelaki berperawakan jangkung itu terpental ke depan, lalu jatuh terjerembab ke lantai ketika Pak Abdul menendang punggungnya telak. Rasa sakit seketika mendera. Tulangnya terasa patah, dadanya pun sesak untuk sesaat.“Bangsat wa’ang, Abdul! Beraninya wa’ang membokongku. Benar-benar pengecut tidak beradab.” Pak Anwar segera bangkit dan menerjang Pak Abdul yang berdiri berkacak pinggang. Tinju Pak Anwar mengarah ke kepalanya. Ayahnya si Fikri ini pun segera mengelak, lalu membalas dengan menyikut tulang rusuk Pak Anwar.Teriakan kesakitan kembali melompat dari mulut Pak Anwar. Ini jauh lebih sakit dari pada tendangan di punggungnya tadi. Dia megap-megap dan sempoyongan
Hujan yang mengiringi langkah Pak Abdul masih mendera dengan lebatnya. Lelaki bertubuh kecil itu melangkah dengan setengah berlari dan terseok-seok diterpa badai. Badannya yang masih terasa sakit, tidak dia pedulikan. Dia menggertakkan rahang mencoba menghalau rasa dingin yang menyergap.“Aku harus tuntaskan malam ini. Tidak tenang hidupku jika aku tidak berhasil membuat si Anwar meminta maaf dan sujud di kakiku. Apa pun yang terjadi pada malam ini, semoga alam berpihak kepadaku.”Kaki kurusnya terus menderap menyibak jalanan berlubang yang tergenang air. Sesekali dia terperosok dan membuatnya terjatuh. Di sekitarnya sawah menghampar dengan luas. Tidak jelas kelihatan apakah padi sedang berbuah atau sudah siap untuk dipanen.Semakin cepat dia berlari, semakin cepat dia sampai di rumah Pak Anwar. Rumah besar itu berdiri menjulang menggapai langit. Atap yang terbuat dari ijuk sama pekatnya dengan malam yang tanpa bintang. Tidak terlihat pelita sedikit pun da
Degup jantung Abdul berdetak kian kencang ketika mendekati rumah Pak Tuo. Rumah orang terpandang di kampung itu menjulang bagaikan raksasa angkuh yang siap menelannya bulat-bulat. Gonjong Rumah dengan balutan seng runcing lancip menantang langit. Hujan deras yang mendera tidak membuat nyali Abdul ciut.Setelah mengumpulkan segala keberaniannya dia menaiki tangga rumah. Dari bawah tadi dia sudah melihat cahaya terang lampu, pertanda penghuni rumah masih terjaga. Begitu berada di depan pintu, tangannya menggedor keras dan mulutnya meneriakkan kata-kata kebencian.“Anwar! Keluar wa’ang. Anwar … aku datang mau buat perhitungan dengan wa’ang, Bangsat!”Berkali-kali Abdul menggedor pintu, tetapi tidak kunjung terbuka. Ketika dia berniat menghantam daun pintu dengan kakinya, saat itulah pintu berderit. Di depannya seorang lelaki tua beraura dingin berdiri sambil menatapnya tajam.“Benar-benar sudah tidak ada lagi adab sopan
Sementara itu Pak Anwar merasa badannya sangat lelah dan letih sehabis bertarung dengan Pak Uday. Dia mencoba menenangkan diri dan memulihkan energinya sembari duduk bersila di bawah kerindangan pohon beringin.Hujan sudah tercurah ke bumi. Malam yang gelap terkadang terang benderang ketika kilat menyambar dari atas langit. Suara petir sesekali menggelegar dan merasuki gendang telinga. Membuat jantung siapa saja yang mendengarnya jadi berdegup lebih kencang."Si Uday benar-benar hendak membunuhku. Sudah tidak ada lagi rasa belas kasihan di hatinya. Dendam telah membakar habis semua kebaikan yang pernah kuberikan. Puluhan tahun berlalu, dia masih tidak bisa melupakan kebenciannya itu."Pak Anwar menghela napas panjang dan mengusap wajahnya yang basah oleh air hujan. Pakaian di badan sudah kuyup. Dinginnya malam kian melinukan tulang."Aku harus bisa menjaga jarak dengannya. Jika pun nanti ada keadaan yang membuat kami kembali bertemu, aku pun takka
Kita kembali lagi ke rumah Khairul begitu Pak Anwar memutuskan keluar dari rumah ….Pak Tuo masih memijit dan mengurut sekujur badan cucunya itu dengan lembut. Minyak tanak yang hangat dia balurkan ke tubuh cucunya yang berkulit sawo matang tersebut. Di samping Pak Tuo, Mak Tuo duduk sambi bibirnya melanjutkan dzikir.“Keterlaluan sekali si Anwar. Lama-lama bisa kuusir dia dari rumah ini. Lelaki tidak berguna. Kalau tidak mengingat hubungan baikku dengan Pakiah Sinaro, mungkin sudah kubuat dia hidup di jalanan.” Pak Tuo membaui minyak tersebut di hidung Khairul.“Sudahlah, Uda. Kita sudah memilih dia menjadi menantu. Baik dan buruknya harus siap kita terima. Membencinya tidak akan mengubah keadaan. Sekarang, kita fokus sama ke si Khairul. Setelah dia sadar nanti, dia pasti akan menceritakan kebenarannya.” Mak Tuo mengusap lembut lengan Pak Tuo. Lelaki yang rambutnya sudah memutih itu menghela napas panjang.Rumah Pak Tuo ini berupa rumah adat. Di