Untung lah, wanita di hadapanku ini tak melakukan apapun. Ia hanya bertanya sekedar, karena percakapan kami terpotong oleh kehadiran Mama dan Kak Caca. Mereka sudah selesai berbelanja rupanya.
Ada satu hal yang tak kutahu, ternyata Mas Reza, suami Kak Caca, memiliki hutang senilai empat puluh juta pada Mbak Arin. Ini menjadikan sikap waspadaku bangkit, jangan sampai, aku menjadi korban selanjutnya.
Entah apa yang dibisikkan oleh Mbak Arina, hingga Kak Caca begitu marah dengan wanita yang sudah menjadi mantan istri suamiku itu. Adegan jambak menjambak pun tak terelakkan, dan jujur, aku senang dengan itu semua.
Sepulangnya Mbak Arin, aku berpura-pura peduli pada Kak Caca, padahal dalam hati aku bersyukur melihatnya begini. Ia terus meringis karena kepalanya terasa sakit, mungkin efek tarikan rambut yang kencang.
Beberapa hari kemudian, datang lagi Mbak Arin. Kenapa wanita ini selalu had
Kupikir, setelah semua yang kuberi, Mas Delon dan keluarganya akan berperilaku baik padaku. Namun ternyata tidak, mereka justru semakin semena-semena padaku. Apakah sudah saatnya aku untuk mengaku hamil padanya?"Rara! Cepat bersihkan ini!" teriak Mama saat aku baru saja selesai membersihkan gudang.Dengan sisa kekuatan, aku segera berjalan ke dalam kamar Mama, di sana banyak baju yang seakan sengaja dikeluarkan oleh beliau."Cepat bereskan baju dan bersihin kolong ranjang."Aku mengangguk, lalu tanpa bantahan langsung melipat kembali baju yang dikeluarkan oleh Mama. Sungguh, rasanya badanku terasa begitu ringan hingga akhirnya...Gelap!--Aku mengernyit saat terbangun dan melihat lampu tepat di atas tubuhku. Kutoleh kepala ke kanan dan ke kiri, namun tak kutemui Mas Delon maupun Mama dan juga Kak Caca. Ke mana mereka?
"Jadi, selama ini, kamu sudah selingkuh di belakangku, Mas? Siapa? Siapa perempuan itu?" teriakku, meski perutku terasa sakit, namun harga diriku lebih sakit."Iya lah, kamu pikir, hanya kamu yang bisa main serong di belakangku? Jangankan dengan satu wanita, aku bahkan bisa menjalin dengan puluhan wanita di belakangmu, jika aku ingin. Dasar, wanita tak tahu diri!"Aku menangis tersedu. Apakah aku akan menjadi korban selanjutnya? Mas Delon, kamu memang penjahat wanita!Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Mas Delon sudah mengenalkan wanita yang akan menjadi adik maduku. Seorang janda kaya raya, seksi, dan juga cantik. Pantas Mas Delon menyukainya.Lelaki yang masih sah menjadi suamiku itu mengundang temannya untuk pesta di rumah. Tentu saja aku diperkenalkan sebagai asisten rumah tangganya. Apakah Mas Delon segitu malunya memiliki istri sepertiku?Hari itu juga, kami kedatan
Pov Delon"Apa? Rara meninggal?"Aku yang masih digelung selimut bersama Risti pun langsung terduduk begitu mendapat telepon dari Arina. Sudah seminggu ini, aku tak tidur dengan istriku itu. Males! Mending sama Risti."Ya, biarin saja, aku tak akan datang," ucapku pada Arina."G*la kamu! Istrimu meninggal loh, Mas! Bisa-bisanya kamu tega tak datang hanya karena pelakor itu?""Apa kamu lupa, kalau orang yang kamu bela saat ini dulunya juga pelakor?" tanyaku, barangkali dia lupa.Benar saja, dia terdiam. Jika memang Rara meninggal, ya sudah. Apa hubungannya denganku? Aku kini sudah memiliki Risti yang mempunyai segalanya. Tak memerlukan lagi istri durhaka yang ternyata malag hamil anak orang lain.Segera kututup telepon itu. Males karena pasti Arina akan menceramahiku. Seharusnya, jika sudah jadi mantan, harus saling menjauh, kan? Kenapa harus terus berurusan? Dasar suka ikuf campur urusan orang
Esok hari.Aku pergi bersiap untuk ke kantor. Jam sudah menunjukkan pukul setengah duadelapan. Karena kantor tak begitu jauh dari rumah, maka aku bisa bersantai seperti ini.Sampai kantor pukul delapan lebih lima belas menit, aku menyapa teman-teman lain, lalu mengobrol sebentar sebelum akhirnya naik ke lantai atas. Namun, betapa terkejutnya aku saat sampai ruangan, Pak Yosep, CEO kantorku ini, ada di ruanganku."Pak, ada apa, ya?" tanyaku sambil masuk ke dalam.Beberapa asisten yang selalu mengikutinya ke mana pun, berdiri di samping meja."Ke mana kamu kemarin seharian?" tanyanya dengan nada tegas, membuatku sedikit gugup."A-nu, Pak. Saya kemarin ambil cuti karena ada acara keluarga," jawabku."Acar keluarga apanya? Saya tahu kemarin kamu di rumah berpesta, kan?"Mataku membeliak, bagaimana Pak Yosep tahu semua itu? Siapa yang memberitahunya?"Lihat ini dan jelaska
"Hai, Mas!""Arina, kenapa kamu di sini?""Sungguh lancang, kenapa masuk tanpa ketuk pintu dulu?!""Oh, jadi dia yang melaporkanku, Pak?""Kalau iya, kenapa?""Br*ngs*k!"Aku merangsek maju, lalu menarik kerahnya. Ia sedikit kesakitan, tapi belum sempat aku menumpahkan kemarahan ini, tanganku sudah dipegang oleh asisten Pak Yosep."Delon, mulai hari ini, kamu saya pecat. Cepat tinggalkan kantor ini!" ucap Pak Yosep, Arina tersenyum padaku, dan aku sangat membenci senyuman itu."Tapi, Pak, saya sudah membawa uang ganti rugi. Kenapa saya dipecat?"Pak Yosep terdiam sebentar. Aku tersenyum pada Arina, tak semudah itu menyingkirkanku, Rin. Kamu mungkin memang punya harta, tapi aku selalu mendapatkan apapun yang kumau."Baik, kalau b
"Kok sudah pulang? Bukannya baru berangkat tadi?" tanya Mama begitu aku masuk ke dalam rumah."Iya, perasaan baru aja pamitan," ucap Kak Caca yang tengah menyuapi Vito."Aku dipecat, Ma," lirihku.Prang!Piring yang ditangan Kak Caca langsung terhempas ke bawah. Yah, sudah pasti mereka terkejut. Karena aku satu-satunya harapan keluarga ini."Kok bisa?" tanya Kak Caca."Aduh, mau makan apa kita?"Kupegang kepala, apalagi Mama dan Kak Caca terus-terusan mengoceh tanpa henti. Bahkan, piring yang pecah pun belum dibereskannya. Apa ia tak takut Viko akan terkena serpihan piring itu?"Stop!" teriakku, sukses membuat dua wanita itu terdiam."Ma, aku baru saja dipecat, jangan terlalu heboh memikirkan kita akan makan apa besok, karena untuk makan pun aku masih punya uang, dan Kak Caca, berhenti berisik. Bersihkan dulu itu pecahan piring,
Keningku berkerut. Apa maksudnya meminta sertifikat rumah ini? Apakah ia ingin menguasai? "Maksudmu apa, Ris?" tanya Kak Caca, wajahnya sudah tak bersahabat. "Begini, Kak. Aku tahu dari orang properti, katanya rumah sekarang jadi aset. Gimana kalau aku bantu urus prosesnya?""Proses gimana tuh?" "Jadi, kalau kita taruh sertifikat di sana, nanti nilainya semakin besar. Nah begitu sertifikat masuk, kita pindah ke rumahku." "Rumahmu yang besar itu, Ris?" tanya Kak Caca, wajahnya berubah menjadi cerah. Begitupun dengan Ibu. Aku terdiam. Apa maksud Risti? Bisnis macam apa yang menggunakan sertifikat rumah? Kenapa aku baru mengenalnya? "Jadi gimana, Mas?" tanya Risti padaku. "Kok kedengerannya seperti gadai ya, Ris?" "Mas nggak percaya sama aku? Yaudah kalau gitu, aku mending pergi saja, kita putus, dan kamu kembalikan uangku saat ini juga." Mataku membeliak dibuatnya. Apa? Putus? Nggak! Aku sudah terlanjur cinta dengannya. Bagaimana bisa kami ini putus? Kupegang kedua tangan Risti
Kak Caca bangkit, lalu mendekati meja yang ditempati oleh Mas Reza dengan perempuan itu. Aku dan Mama memperhatikannya dari jauh. "Benar-benar k*r*ng ajar Reza itu, Lon. Berani-beraninya dia mengkhianati anak Mama." Aku berdiri, lalu mendekati Kak Caca yang sudah menyentuh pundak Mas Reza. "Mas Reza," panggil Kak Caca. Lelaki itu menoleh. Benar, dia Mas Reza. Bisa kudengar suara gemeteran kakakku itu, namun Mas Reza nampak acuh saja pada Kak Caca. "Mas, kamu ke mana saja?" "Kenapa? Apa urusannya denganmu?" Tanganku mengepal mendengar pertanyaan kakak iparku itu. "Mas, aku ini istrimu. Lihat, anakmu saja belum besar. Kenapa kamu tega, Mas? Dan kamu, j*l*ng! Berani kamu merebut suamiku?" teriak Kak Caca, beberapa pengunjung menoleh ke arah kami. Bahkan seorang pelayan langsung mendekat, meminta kami untuk bersabar. "Maaf, Mbak." "Maaf? Maaf, hah? Kamu pikir, dengan maafmu itu, sakit hatiku langsung sembuh? Iya?" Wanita itu menunduk, tak menanggapi ucapan Kak Caca lagi. Mas Reza