"Kok sudah pulang? Bukannya baru berangkat tadi?" tanya Mama begitu aku masuk ke dalam rumah.
"Iya, perasaan baru aja pamitan," ucap Kak Caca yang tengah menyuapi Vito. "Aku dipecat, Ma," lirihku. Prang!Piring yang ditangan Kak Caca langsung terhempas ke bawah. Yah, sudah pasti mereka terkejut. Karena aku satu-satunya harapan keluarga ini. "Kok bisa?" tanya Kak Caca. "Aduh, mau makan apa kita?" Kupegang kepala, apalagi Mama dan Kak Caca terus-terusan mengoceh tanpa henti. Bahkan, piring yang pecah pun belum dibereskannya. Apa ia tak takut Viko akan terkena serpihan piring itu? "Stop!" teriakku, sukses membuat dua wanita itu terdiam. "Ma, aku baru saja dipecat, jangan terlalu heboh memikirkan kita akan makan apa besok, karena untuk makan pun aku masih punya uang, dan Kak Caca, berhenti berisik. Bersihkan dulu itu pecahan piring,Keningku berkerut. Apa maksudnya meminta sertifikat rumah ini? Apakah ia ingin menguasai? "Maksudmu apa, Ris?" tanya Kak Caca, wajahnya sudah tak bersahabat. "Begini, Kak. Aku tahu dari orang properti, katanya rumah sekarang jadi aset. Gimana kalau aku bantu urus prosesnya?""Proses gimana tuh?" "Jadi, kalau kita taruh sertifikat di sana, nanti nilainya semakin besar. Nah begitu sertifikat masuk, kita pindah ke rumahku." "Rumahmu yang besar itu, Ris?" tanya Kak Caca, wajahnya berubah menjadi cerah. Begitupun dengan Ibu. Aku terdiam. Apa maksud Risti? Bisnis macam apa yang menggunakan sertifikat rumah? Kenapa aku baru mengenalnya? "Jadi gimana, Mas?" tanya Risti padaku. "Kok kedengerannya seperti gadai ya, Ris?" "Mas nggak percaya sama aku? Yaudah kalau gitu, aku mending pergi saja, kita putus, dan kamu kembalikan uangku saat ini juga." Mataku membeliak dibuatnya. Apa? Putus? Nggak! Aku sudah terlanjur cinta dengannya. Bagaimana bisa kami ini putus? Kupegang kedua tangan Risti
Kak Caca bangkit, lalu mendekati meja yang ditempati oleh Mas Reza dengan perempuan itu. Aku dan Mama memperhatikannya dari jauh. "Benar-benar k*r*ng ajar Reza itu, Lon. Berani-beraninya dia mengkhianati anak Mama." Aku berdiri, lalu mendekati Kak Caca yang sudah menyentuh pundak Mas Reza. "Mas Reza," panggil Kak Caca. Lelaki itu menoleh. Benar, dia Mas Reza. Bisa kudengar suara gemeteran kakakku itu, namun Mas Reza nampak acuh saja pada Kak Caca. "Mas, kamu ke mana saja?" "Kenapa? Apa urusannya denganmu?" Tanganku mengepal mendengar pertanyaan kakak iparku itu. "Mas, aku ini istrimu. Lihat, anakmu saja belum besar. Kenapa kamu tega, Mas? Dan kamu, j*l*ng! Berani kamu merebut suamiku?" teriak Kak Caca, beberapa pengunjung menoleh ke arah kami. Bahkan seorang pelayan langsung mendekat, meminta kami untuk bersabar. "Maaf, Mbak." "Maaf? Maaf, hah? Kamu pikir, dengan maafmu itu, sakit hatiku langsung sembuh? Iya?" Wanita itu menunduk, tak menanggapi ucapan Kak Caca lagi. Mas Reza
"Bukannya ini untuk diinvestasikan, Sayang?" tanyaku, dengan kepala dingin, berusaha positif thinking meskipun banyak hal negatif yang memenuhi otak."Hahah, Mas-mas. Kamu ini pintar, pendidikan tinggi, kemarin pun kerja di jabatan yang cukup wah. General manager, tapi bisa tertipu dengan ini?"Mata Mama sudah berkaca-kaca saat mendengarkan Risti berbicara. Beliau pasti tengah membayangkan rumah yang kubangun dengan kerja kerasku itu justru kini ada di tangan Risti."Delon, jangan diam saja. Ambil kembali sertifikat itu!" ucap Kak Caca, suaranya sudah bergetar."Sayang, mana sini sertifikatnya? Aku nggak papa kalau nggak tinggal sendiri, aku masih mending di rumahku sendiri."Namun, bukan sertifikat yang kudapat, justru ia tertawa dengan kencangnya. Lalu ia menyeragkan satu lembar fotokopian yang entah apa isinya."Apa ini?" tanyaku."Kamu baca saja se
"Iya, Mas, ini aku.""Kenapa kamu, bisa di sini? Kalian, saling mengenal?""Oh, tentu. Kalau tak kenal, nggak mungkin aku ada di sini, kan?"Aku terdiam, perasaan waktu itu, mereka tak saling mengenal, kenapa kini malah seakan akrab?"Perkenalkan, dia adalah Risti. Orang yang kubayar untuk menggodamu.""Itu semua bohong kan, Sayang?" tanyaku pada Risti."Sorry, tapi itu memang kenyataannya. Aku hanya seorang pekerja s*ks kom*rsial yang disewa oleh Mbak Arina untuk menggodamu. Mbak, tugasku sudah selesai. Rumah itu, sudah kubalik menjadi namaku, itu bayaran darimu, kan?""Tentu, Sayang. Aku jamin, ini semua tak akan bisa digugat olehnya.""Kenapa kamu melakukan ini, Rin? Apa kamu masih belom move on dari aku? Iya?""Heh, mikir! Kamu pikir, kamu ini siapa sampai bisa
Aku menoleh ke belakang, terkejut melihat Vito yang sudah berlumur darah karena dipukul menggunakan botol yang entah dia dapat dari mana."Kak, jangan gila!" teriakku, lalu mendekati Vito yang sudah terkapar bersimbah darah."Biar saja! Hidupku sudah hancur! Suami nikah lagi, nggak punya rumah, nggak punya harta, sekalian aja gue nggak punya anak!" teriaknya sambil melotot, membuatku sedikit ngeri.Mungkin karena mendengar suara pecahan, anak buah Anwar datang ke sini, lalu kusuruh mereka mengamankan Kak Caca. Jangan sampai dia kabur, hingga tak tanggung jawab pada perbuatannya."Aku akan melaporkanmu ke polisi, Mbak!" ancamku."Tolong, Arin. Jangan lakukan itu. Nanti Mama gimana kalau Caca dipenjara?""Bukan urusan saya, Tante," ucapku dengan penekanan pada kata Tante.Mama terdiam, mungkin tak menyangka aku akan menjawab begini."Salah siapa? Bukankah Mama sendiri yang dulu meny
"Dokter Evan, tapi-""Tak apa, Dok. Kebetulan golongan darah saya AB, jadi bisa untuk transfusi.""Baik, kalau begitu, diperiksa dulu ya, Dok, sebentar."Seperginya Evan, aku masih berdiri mematung. Tak menyangka jika akan bertemu dengannya, dalam keadaan begini.Evan Samudra, lelaki yang dulu sempat meninggalkanku sewaktu kami sama-sama lulus SMA. Ia, pergi ke luar negri untuk melanjutkan kuliah di sana karena mendapat beasiswa, sementara aku, memilih melanjutkan di daerah Jakarta saja."Itu, Evan," ucap Rio menyadarkanku."Ah, iya.""Kamu, masih ingat padanya?""Mana mungkin lupa?"Kupikir, getar itu sudah menghilang, seiring berjalannya waktu dan aku pun menikah. Namun ternyata salah, getar itu masih ada. Namun tak sekeras dulu."Jangan terlalu mengenang. Ingat, dulu dia meninggalkanmu begitu saja."Aku menoleh, Rio memasang wajah yang san
"Sepertinya, Rio masih suka sama kamu, Rin." Mataku membeliak mendengar Evan mengucapkan hal demikian. Apa katanya? Suka? Rio sama aku? Jika tadi adalah lawakan, maka tak ada unsur lucunya sama sekali. "Jangan bercanda, kami sudah sahabatan sejak lama.""Aku dan Rio sama-sama lelaki, Rin. Aku tau persis bagaimana sikap dan tingkah laku pria ketika tengah cemburu, dan baru saja, Rio cemburu sama aku. Mungkin, dia mengira kita bakal balikan," ucapnya sambil terkekeh. Aku menoleh ke arahnya. Sungguhkah tadi? Kalau Rio memendam rasa untukku? Kuingat kembali, tentang percakapan kami waktu itu, saat ia meng-iyakan pertanyaan temannya soal status kami, dan juga tentang ia yang seakan sudah lama memperhatikanku. Benar, ada keanehan di sini. Kutatap pintu yang tertutup itu, Rio, benarkah kamu menyukaiku? "Mbak, ini makannnya. Maaf lama ya, soalnya tadi ngantri." Aku sungguh terkejut karena Risti tiba-tiba saja datang saat aku tengah memperhatikan pintu. Evan berdiri, berpamitan untuk perg
"Kok bisa ada botol minuman keras di paviliun, Ris?" tanyaku. "Oh, itu kemarin anak buah Anwar kali, Mbak. Aku juga nggak tahu." Aku menggelengkan kepala. Anwar akan kutegur nanti. Meskipun ia berbeda agama denganku, namun jika habis minum, sebaiknya dibuang saja. Andai dia tak ceroboh dan meletakkannya sembarangan, kejadian ini tentu tak akan terjadi, kan?--Keesokan harinya. Aku pergi menemui Kak Caca di kantor polisi. Ia langsung membabi buta begitu melihatku. Beruntung, ada sekat yang memisahkan kami. "Puas kamu, menghancurkan hidupku?" "Tentu, Kak. Salah siapa, kalian yang duluan mencari gara-gara denganku." "Dasar iblis!" teriaknya sambil menggebrak meja. "Kalau aku iblis, kamu apa? Dajjal? Seorang ibu tega mencelakai anaknya hanya karena bangkrut. Lupa, kalau dulu bertaruh nyawa saat melahirkannya? Jangan duiiit terus yang dipikirin! Kasihan Vito punya ibu sepertimu." "Diam! Wanita mandul sepertimu, mana tau rasanya punya anak!" sinisnya. "Jangan sembarangan kalau ngo