"Ja-jangan, Delon. Maafkan Mama. Iya, Mama mau hidup susah sama kamu."
Setelah mencari kontrakan hampir setengah hari, kami dapat juga. Rumah kecil, namun lumayan untuk saat ini, daripada harus tidur di dalam mobil.
Setelah membayar untuk tiga bulan ke depan, aku mengajak Mama membeli perlengkapan rumah. Kasur lipat, tikar, dan juga peralatan masak dan makan.
"Kita harus memulai semuanya lagi dari awal, Lon," ucap Mama sambil terisak.
"Sudah lah, Ma. Nggak usah Mama nangis terus."
Malam hari, Mama masak ayam goreng dan sambal. Aku makan dengan lahap, mengingat seharian belum makan.
"Besok, Mama mau jenguk Caca, Lon," ucap Mama.
"Iya, Delon anterin, Ma. Sekarang makan yang banyak."
Mama mengangguk, malam itu kami makan dalam diam. Aneh, rasanya. Biasanya ada saja yang menjadi percakapan di meja makan. Kini, selain sepi, juga kami makannya di lantai beralaskan tikar.
"Tidur,
"Kamu kenapa, Lon?" tanya Mama. "Aku habis kena tipu, Ma. Sepuluh juta uangku melayang," ucapku lemas. Puluhan kali kucoba menelepon Hari, namun tak kunjung tersambung. Kucari akun sosial medianya, menggunakan nama panjangnya. Ketemu. Namun, aku bertambah lemas saat melihat beberapa tulisan temannya yang meminta uang dikembalikan. Ini sih sudah fix, aku kena tipu. "Kamu ini, Lon. Sudah Mama biayai buat kuliah, kok masih aja bl**n! Masa iya kena tipu tapi nggak nyadar?" "Ya kalau nyadar, nggak bakal kena tipu lah, Ma." Aku pun masuk ke dalam kamar. Berbicara dengan Mama rasanya sia-sia saja. Kupandangi tas tempatku menyimpan uang. Kenapa terbuka? Segera kuambil, dan melihat isinya serta menghitungnya. Kenapa hanya tersisa tujuh juta? Ke mana yang tiga juta? "Ma! Mama!" "Apa, sih? Teriak-teriak dipikir Mama ini b*deg?" "Mama lihat uang Delon yang di tas?" tanyaku. "Ya, sama Mama dibawa ke pasar tadi buat belanja bahan makanan." "Belanja apa yang sampai tiga juta, Ma? Lagian,
"Pak Adrian, Pak." "Oh, Pak Adrian lagi ke luar kota. Ibunya sakit, baru saja diantar pergi." Lah? Ngapain dia minta dikirimin barang, namun tak ada di rumah? "Kebetulan, saya ketua RT di sini. Kalau boleh tau, ada keperluan apa, ya?" "Saya mau mengantarkan ini, Pak." "Apa isinya, Pak?" tanya Pak RT tadi sambil menerima barang yang kuulurkan. "Kurang tahu, saya cuma disuruh antar saja." Pak RT nampak penasaran, dengan bimbang, tangannya hendak melepas seteples yang menjadi penutupnya. "Pak, jangan." "Kenapa, Pak?" "Nanti saya dimarahi oleh orang yang menyuruh saya ke sini." "Saya mantan polisi, Pak. Nah, saya curiga dengan barang yang dibawa oleh Bapak." Setelahnya, Pak RT seperti menelepon seseorang, yang ternyata adalah satpam yang baru saja men
"Apa, Sayang?""Katanya, Vito ini pembawa sial, Ma. Gara-gara Vito, Mama di penjara dan Om Delon juga masuk ke penjara. Emangnya, penjara itu apa, Ma? Apa tempat menyeramkan, sehingga Nenek menyalahkan Vito?"Hatiku mencelos mendengar, apalagi saat Ani menganggukkan kepala tanda semuanya itu benar adanya. Setelah menghibur Vito, kusuruh ia untuk mandi karena sebentar lagi waktunya mengaji.Malam hari.Aku ngobrol dengan Mas Bima di teras balkon kamarku. Kuceritakan semua, termasuk tentang Mas Delon yang dipenjara."Itu lah, hukum tabur tuai lagi dirasakan oleh Delon. Sudah, biarkan saja. Besok, bilangin Ani untuk tak mengajaknya ke taman itu lagi. Bukan tidak mungkin kalau mantan mertuamu akan menyakiti Vito."Aku mengangguk. Apa yang dikatakan oleh Mas Bima memang ada benarnya. Aku tak mau, jika nanti Vito menyalahkan dirinya, meskipun ia masih kecil."Lagi pula, lucu aja kalau neneknya Vito menyalahkan bocah sekecil it
"Aku, boleh masuk, nggak?""Eh? Boleh aja. Ayo."Kami pun masuk ke dalam rumah. Ternyata Ayah, Bunda, Mas Bima, dan Kak Rosi sudah berkumpul di ruang keluarga. Sementara Mbak Inah sedang merapikan meja makan, sepertinya kedua orang tuaku baru saja selesai makan."Om, Tante, Kak."Rio menyalami mereka satu persatu. Tumben banget?"Jadi gimana, Rio?""Tunggu, gimana apanya, Yah?""Begini,Om, Tante. Kedatangan saya ke sini, mau melamar Arin, tapi belum secara resmi. Hanya meminta restu."Deg!Apa? Dia, melamarku? Tapi kenapa ga ngomongin terlebih dahulu tadi?"Bagaimana, Om, Tante?""Ehm, begini, Rio. Seperti yang Rio tau, Arina ini kan janda, dan juga baru bercerai. Apa tidak terburu-buru?" tanya Ayah."Iya, Bunda juga merasa begitu. Toh, kalian kan baru menjalin hubungan, kan?" tanya Bunda, yang kujawab dengan anggukan."Iya, Tante. Saya melakukan ini hanya untuk mengikat A
BAB 50---ENDING _______Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Rio dan wanita itu. Hatiku sungguh terbakar. Apa maksudnya itu? "Bu, ini, ada makan siang yang dikirim oleh Pak Rio," ucap Amel seraya menyodorkan sebuah kotak makan padaku. "Buat kamu aja, Mel. Oh, ya, kalau misal dia cari saya, bilang saja nggak ada." "Tapi, Bu, apa nggak papa?" tanya Amel, mungkin dia takut Rio tersinggung. "Nggak papa, Mel. Saya habis ini mau pulang ya. Badan nggak enak." Amel mengangguk. Aku yakin, ia bisa menghandle semuanya. Saat baru turun dan keluar dari lift, aku bertemu dengan Rio yang tampak tengah tersenyum melihat layar ponselnya."Ehem," ucapku, membuat Rio mendongakkan kepalanya. Ia menyapaku dengan mengangkat tangannya. "Kamu mau ke mana, Rin? Kok bawa tas?" "Mau pulang, nggak enak badan." "Oh yaudah hati-hati, ya." Aku sempat tertegun sebentar saat melihat Rio yang pergi begitu saja. Ingin rasanya aku tertawa lebar saat melihatnya pergi. "Oh, jadi kamu mau menjauh dariku, Ri?
"Arina, ambil ini!" "Ini sekalian!" "Rin, ambilkan minum untuk Viko sekalian!" Suara-suara itu adalah milik mertua serta ipar-iparku. Mereka selalu saja menganggap aku babu gratisan. Menyuruh ini dan itu sesuka hatinya, seakan aku tak memiliki harga diri. "Delon, istrimu itu, loh. Kerjaannya tidur saja seharian, Mama capek bebenah rumah." Hatiku mencelos saat mendengar laporan mertuaku pada Mas Delon, suamiku. Apa katanya? Aku tiduran seharian ini? Lalu, dipikirnya, baju bisa rapi sendiri? Masakan bisa mateng sendiri? Rumah bisa bersih sendiri? "Arina!" Aku menutup mata. Bukan takut, tapi sudah muak dengan perilaku manusia yang tidak memanusiakan orang lain di rumah ini. Rumah sebesar ini, ditinggali oleh delapan orang. Mama Mertua, Mas Delon, Kak Caca dan suami serta dua orang anak mereka, aku, dan juga Fiona, anak bungsu di rumah ini. "Apa, Mas?" tanyaku sambil membenarkan hijab. "Apa kurangku, Na?" tanya Mas Delon. "Maksud Mas apa?" "Apa kurangku hingga kamu ha
Tok-tok! Kuketuk pintu jati kokoh ini. Tak lama kemudian, Mbak Inah membukakan pintu. "Eh, Non Arin. Ayo masuk!" Aku pun masuk sambil menyeret koper, suasana sepi. Mungkin karena Mas Bima dan Kak Rosi masih bekerja, sementara Ayah pasti tengah mengurus kebun. "Loh, Arin? Mana Delon?" "B-bun..." Sekuat tenaga kutahan air mata yang sudah berdesekan ingin keluar. "Nah, tolong bawa koper Mbak Arin ke kamar, ya!" ucap Bunda, seakan mengerti kalau aku sedang tak baik-baik saja. "Baik, Bu." Setelah kepergian Mbak Inah, kupeluk erat Bunda. Tak menyangka, jika aku harus kembali lagi ke sini. Impian indah setelah menikah, nyatanya hanya khayalan saja. Semuanya palsu, bertahan seminggu setelah pernikahan kami, lalu semua kembali pada sifat masing-masing. Ipar pemalas, mertua cerewet, dan suami yang tak peduli pada istri. Sebulan pernikahan, aku hanya diberi uang lima ratus ribu untuk membeli sayur. Ya, aku harus modal sendiri untuk makan, sementara uang sisa gajian Mas Delon, d
Aku menggeleng. Belum saatnya Mas Bima tahu tentang masalahku. Nanti, jika sudah ada saatnya, ia pun akan mengerti. "Jadi, kamu ga mau cerita ke Mas?" "Bukan gitu, cuma belum waktunya aja. Pokoknya, aku minta Mas jangan terima kerjasama apapun dari dia. Selain karena ada problem denganku, juga karena aku mencium adanya ketidakberesan antara dia dan pegawai di kantor kita, Mas," ucapku. "Maksudmu, dia korupsi?" tanya Mas Bima. Aku mengedikkan bahu, belum yakin dengan apa yang Mas Bima ucapkan. Karena aku hanya melihat ada dua berkas berbeda di meja kerja Mas Delon. Selama menikah, ia tak mengetahui bahwa perusahaan Anugrah Bimarin itu adalah milik keluargaku, karena di kantor orang-orang memanggil Mas Bima dengan nama Pak Kevin, sesuai nama depannya, Kevindra Bima Maulana Sakti Sudjono. "Kamu jangan bikin Mas penasaran, Rin." "Udah, tenang aja. Kita tinggal tunggu hasil dari orangku yang sedang menyelidiki, Mas." Mas Bima semakin menautkan alisnya, dan aku hanya tersenyum s