Share

BAB 2

Tok-tok! 

Kuketuk pintu jati kokoh ini. Tak lama kemudian, Mbak Inah membukakan pintu. 

"Eh, Non Arin. Ayo masuk!"

Aku pun masuk sambil menyeret koper, suasana sepi. Mungkin karena Mas Bima dan Kak Rosi masih bekerja, sementara Ayah pasti tengah mengurus kebun. 

"Loh, Arin? Mana Delon?" 

"B-bun..." Sekuat tenaga kutahan air mata yang sudah berdesekan ingin keluar. 

"Nah, tolong bawa koper Mbak Arin ke kamar, ya!" ucap Bunda, seakan mengerti kalau aku sedang tak baik-baik saja.  

"Baik, Bu." 

Setelah kepergian Mbak Inah, kupeluk erat Bunda. Tak menyangka, jika aku harus kembali lagi ke sini. Impian indah setelah menikah, nyatanya hanya khayalan saja. Semuanya palsu, bertahan seminggu setelah pernikahan kami, lalu semua kembali pada sifat masing-masing. 

Ipar pemalas, mertua cerewet, dan suami yang tak peduli pada istri. Sebulan pernikahan, aku hanya diberi uang lima ratus ribu untuk membeli sayur. Ya, aku harus modal sendiri untuk makan, sementara uang sisa gajian Mas Delon, diserahkan pada Mama yang diyakini lebih bijak dalam mengelola pengeluaran. 

"Kamu kenapa, Nak?" Pertanyaan Bunda tak sanggup kujawab, hingga akhirnya isakan itu keluar dari mulutku. 

Tak munafik, meskipun sakit hati, tapi nyatanya aku hanya manusia biasa. Yang bisa menangis karena ucapan dan tingkah laku seseorang. Siapa yang bakal tak menangis jika mendapat nasib sepertiku? 

"Kenapa menangis? Ada apa? Kok kamu pulang bawa koper? Pernikahan kalian baik-baik saja, kan?" tanya Bunda sambil mengelus rambutku.

Ikatan bathin seorang ibu dan anak memang tak diragukan lagi. Memang, seorang ibu lah yang sanggup menyayangi kita tanpa henti, yang sanggup memedulikan kita tanpa pamrih. 

"Mau istirahat dulu? Nanti cerita kalau kamu sudah lebih baik perasaannya." 

Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar yang begitu kurindukan. Mas Delon, aku yakin kamu akan mendapat karma dari semua ini. Aku, takkan membuatmu bahagia di atas penderitaanku. 

Kutatap lagi foto pernikahan kami. Siapa sangka, senyum manis, tawa bahagia, dan juga pelukan dari anggota keluarga suami hanyalah kebohongan semata. Aku, merasa ditipu mentah-mentah oleh mereka.

Drrt!

Sebuah pesan masuk dari Mas Delon. 

[Bajumu yang masih di sini, akan aku antarkan besok. Ga usah kamu ke sini.] 

Aku hanya membacanya saja, tanpa berniat membalas. Capek sendiri menghadapi orang seperti mereka. Apakah mereka pikir, aku ini orang yang bisa mereka atur? Oh, tidak! Tidak bisa! Dulu mungkin aku diam karena masih berpikir dia imamku, tapi aku tak bodoh. Apa dia pikir aku akan diam saja menanggapi penghinaan ini?

"Silakan berbahagia untuk sesaat, Mas. Aku pastikan setelah ini kamu akan memintaku untuk kembali padamu lagi. Aku, Arina, takkan membiarkan air mataku jatuh barang satu tetes untukmu lagi! Jangan anggap aku remeh!" 

Setelah menata baju, kuputuskan untuk mandi karena memang sedari pagi belum membasuh badan. Ya, saking banyaknya pekerjaan rumah, belum disuruh ini dan itu oleh mereka, sehingga aku biasanya mandi satu kali sehari.

Kutatap diri dalam cermin, ternyata aku sudah jauh berbeda dari aku yang dulu. Kulitku tampak kusam dan tak bersinar lagi. Wajar, sehari-hari kuhabiskan waktu di depan kompor dan juga mengasuh anak Kak Caca. 

Kucopot satu per satu foto pernikahan kami, lalu memasukkannya ke dalam kardus. Rasanya segar setelah mandi, kepala pun terasa ringan, tak seberat tadi. 

"Rin?" 

Aku menoleh, ternyata Bunda sudah berdiri di ambang pintu. Beliau tersenyum, lalu menghampiriku yang sedang duduk di atas ranjang. 

"Coba cerita, ada apa? Bunda khawatir melihatmu datang dengan kondisi seperti ini. Ada apa?" 

Jantungku berdetak tak karuan, bagaimana bila penyakit asma Bunda kambuh setelah aku jujur? Aku harus bagaimana? 

-

"Nggak apa-apa, Bun. Arin cuma kangen Bunda aja sama Ayah," jawabku sambil tersenyum.

"Kamu tau, kan, kalau Bunda nggak suka dibohongi?" tanya Bunda. 

"Iya, Bunda." 

"Ya sudah, ini mau magrib, jangan lupa salat ya, Nak." 

"Siap, Bunda!" 

Setelah kepergian Bunda, kubuka ponsel. Ada beberapa pesan dari Kak Caca dan juga Fiona. Sementara Mas Delon sendiri tak mengirimkan pesan apa-apa. 

@KakCaca:

[Syukur deh, kalau kamu pergi dari rumah ini. Itu artinya, aku bisa menghandle Delon lagi. Kalau bisa, kamu jangan pernah lagi ke sini. Paham?] 

Aku tersenyum kecut. Ternyata selama ini Kak Caca ketakutan jika aku akan memanfaatkan Mas Delon. Lagi pula, bukankah sudah kewajiban adiknya untuk menafkahiku?

[Kasihan sekali Kak Caca, punya suami tapi nggak ada gunanya. Apa-apanya masih ngandelin dari adik. Aku jadi kasihan sama Mas Delon. Apa perlu aku kirimkan pesan ini pada Mas Delon?] balasku. 

Setelah tanda centang berubah warna biru, pesan yang dikirimkan oleh Kak Caca langsung ditarik kembali. Aku terkekeh, dia kalah cepat dengan aku yang sudah berhasil meng-capturenya. 

Lalu aku beralih pada pesan dari Fiona. Dia cukup baik padaku, meskipun kadang juga suka menyuruhku untuk melakukan hal-hal yang dia bisa kerjakan sendiri. 

@Fiona:

[Kak Arina, tolong setrikain hoddie warna merah, ya. Nanti malam mau aku pakai ke mall.] 

Aku tersenyum miring. Lihat, kan? Dia baik, tapi ada maunya. Segera kubalas lagi pesan itu. 

[Tanganmu buat apa, Fi? Kalau apa-apanya masih nyuruh Kakak?] 

Tak ada balasan, dan kupastikan ia tengah menggerutu di seberang sana. Aku sendiri bingung dengan didikan mertua pada anak-anaknya, kenapa tak ada satu pun yang ber-atittude baik? Semuanya serba meremehkan. 

Suara azan berkumandang, kuletakkan ponsel di atas nakas dan berjalan menuju kamar mandi.

"Delon nggak nyusul, Rin?" tanya Mas Bima saat kami baru selesai makan malam. Ayah belum tanya mengenai suami, maksudku mantan suamiku itu. Entahlah, apa Ayah sudah menduganya?

"Nggak, Mas."

"Apa ini ada hubungannya dengan kamu menyuruh untuk tak menerima kerjasama dengan PT Surya Mas?" tanyanya. 

Aku mengangguk. Perusahaan yang dikelola Mas Bima adalah milik kami berdua. Ya, aku dan kakak sulungku itu bekerja sama sebelum akhirnya aku meminta cuti setelah menikah. Sementara Kak Rosi sendiri memilih membuka sebuah salon kecantikan, sesuai dengan hobinya. 

"Iya," jawabku pada akhirnya. 

"Apa Delon macam-macam?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status