Tok-tok!
Kuketuk pintu jati kokoh ini. Tak lama kemudian, Mbak Inah membukakan pintu.
"Eh, Non Arin. Ayo masuk!"
Aku pun masuk sambil menyeret koper, suasana sepi. Mungkin karena Mas Bima dan Kak Rosi masih bekerja, sementara Ayah pasti tengah mengurus kebun.
"Loh, Arin? Mana Delon?"
"B-bun..." Sekuat tenaga kutahan air mata yang sudah berdesekan ingin keluar.
"Nah, tolong bawa koper Mbak Arin ke kamar, ya!" ucap Bunda, seakan mengerti kalau aku sedang tak baik-baik saja.
"Baik, Bu."
Setelah kepergian Mbak Inah, kupeluk erat Bunda. Tak menyangka, jika aku harus kembali lagi ke sini. Impian indah setelah menikah, nyatanya hanya khayalan saja. Semuanya palsu, bertahan seminggu setelah pernikahan kami, lalu semua kembali pada sifat masing-masing.
Ipar pemalas, mertua cerewet, dan suami yang tak peduli pada istri. Sebulan pernikahan, aku hanya diberi uang lima ratus ribu untuk membeli sayur. Ya, aku harus modal sendiri untuk makan, sementara uang sisa gajian Mas Delon, diserahkan pada Mama yang diyakini lebih bijak dalam mengelola pengeluaran.
"Kamu kenapa, Nak?" Pertanyaan Bunda tak sanggup kujawab, hingga akhirnya isakan itu keluar dari mulutku.
Tak munafik, meskipun sakit hati, tapi nyatanya aku hanya manusia biasa. Yang bisa menangis karena ucapan dan tingkah laku seseorang. Siapa yang bakal tak menangis jika mendapat nasib sepertiku?
"Kenapa menangis? Ada apa? Kok kamu pulang bawa koper? Pernikahan kalian baik-baik saja, kan?" tanya Bunda sambil mengelus rambutku.
Ikatan bathin seorang ibu dan anak memang tak diragukan lagi. Memang, seorang ibu lah yang sanggup menyayangi kita tanpa henti, yang sanggup memedulikan kita tanpa pamrih.
"Mau istirahat dulu? Nanti cerita kalau kamu sudah lebih baik perasaannya."
Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar yang begitu kurindukan. Mas Delon, aku yakin kamu akan mendapat karma dari semua ini. Aku, takkan membuatmu bahagia di atas penderitaanku.
Kutatap lagi foto pernikahan kami. Siapa sangka, senyum manis, tawa bahagia, dan juga pelukan dari anggota keluarga suami hanyalah kebohongan semata. Aku, merasa ditipu mentah-mentah oleh mereka.
Drrt!
Sebuah pesan masuk dari Mas Delon.
[Bajumu yang masih di sini, akan aku antarkan besok. Ga usah kamu ke sini.]
Aku hanya membacanya saja, tanpa berniat membalas. Capek sendiri menghadapi orang seperti mereka. Apakah mereka pikir, aku ini orang yang bisa mereka atur? Oh, tidak! Tidak bisa! Dulu mungkin aku diam karena masih berpikir dia imamku, tapi aku tak bodoh. Apa dia pikir aku akan diam saja menanggapi penghinaan ini?
"Silakan berbahagia untuk sesaat, Mas. Aku pastikan setelah ini kamu akan memintaku untuk kembali padamu lagi. Aku, Arina, takkan membiarkan air mataku jatuh barang satu tetes untukmu lagi! Jangan anggap aku remeh!"
Setelah menata baju, kuputuskan untuk mandi karena memang sedari pagi belum membasuh badan. Ya, saking banyaknya pekerjaan rumah, belum disuruh ini dan itu oleh mereka, sehingga aku biasanya mandi satu kali sehari.
Kutatap diri dalam cermin, ternyata aku sudah jauh berbeda dari aku yang dulu. Kulitku tampak kusam dan tak bersinar lagi. Wajar, sehari-hari kuhabiskan waktu di depan kompor dan juga mengasuh anak Kak Caca.
Kucopot satu per satu foto pernikahan kami, lalu memasukkannya ke dalam kardus. Rasanya segar setelah mandi, kepala pun terasa ringan, tak seberat tadi.
"Rin?"
Aku menoleh, ternyata Bunda sudah berdiri di ambang pintu. Beliau tersenyum, lalu menghampiriku yang sedang duduk di atas ranjang.
"Coba cerita, ada apa? Bunda khawatir melihatmu datang dengan kondisi seperti ini. Ada apa?"
Jantungku berdetak tak karuan, bagaimana bila penyakit asma Bunda kambuh setelah aku jujur? Aku harus bagaimana?
-
"Nggak apa-apa, Bun. Arin cuma kangen Bunda aja sama Ayah," jawabku sambil tersenyum.
"Kamu tau, kan, kalau Bunda nggak suka dibohongi?" tanya Bunda.
"Iya, Bunda."
"Ya sudah, ini mau magrib, jangan lupa salat ya, Nak."
"Siap, Bunda!"
Setelah kepergian Bunda, kubuka ponsel. Ada beberapa pesan dari Kak Caca dan juga Fiona. Sementara Mas Delon sendiri tak mengirimkan pesan apa-apa.
@KakCaca:
[Syukur deh, kalau kamu pergi dari rumah ini. Itu artinya, aku bisa menghandle Delon lagi. Kalau bisa, kamu jangan pernah lagi ke sini. Paham?]
Aku tersenyum kecut. Ternyata selama ini Kak Caca ketakutan jika aku akan memanfaatkan Mas Delon. Lagi pula, bukankah sudah kewajiban adiknya untuk menafkahiku?
[Kasihan sekali Kak Caca, punya suami tapi nggak ada gunanya. Apa-apanya masih ngandelin dari adik. Aku jadi kasihan sama Mas Delon. Apa perlu aku kirimkan pesan ini pada Mas Delon?] balasku.
Setelah tanda centang berubah warna biru, pesan yang dikirimkan oleh Kak Caca langsung ditarik kembali. Aku terkekeh, dia kalah cepat dengan aku yang sudah berhasil meng-capturenya.
Lalu aku beralih pada pesan dari Fiona. Dia cukup baik padaku, meskipun kadang juga suka menyuruhku untuk melakukan hal-hal yang dia bisa kerjakan sendiri.
@Fiona:
[Kak Arina, tolong setrikain hoddie warna merah, ya. Nanti malam mau aku pakai ke mall.]
Aku tersenyum miring. Lihat, kan? Dia baik, tapi ada maunya. Segera kubalas lagi pesan itu.
[Tanganmu buat apa, Fi? Kalau apa-apanya masih nyuruh Kakak?]
Tak ada balasan, dan kupastikan ia tengah menggerutu di seberang sana. Aku sendiri bingung dengan didikan mertua pada anak-anaknya, kenapa tak ada satu pun yang ber-atittude baik? Semuanya serba meremehkan.
Suara azan berkumandang, kuletakkan ponsel di atas nakas dan berjalan menuju kamar mandi.
"Delon nggak nyusul, Rin?" tanya Mas Bima saat kami baru selesai makan malam. Ayah belum tanya mengenai suami, maksudku mantan suamiku itu. Entahlah, apa Ayah sudah menduganya?
"Nggak, Mas."
"Apa ini ada hubungannya dengan kamu menyuruh untuk tak menerima kerjasama dengan PT Surya Mas?" tanyanya.
Aku mengangguk. Perusahaan yang dikelola Mas Bima adalah milik kami berdua. Ya, aku dan kakak sulungku itu bekerja sama sebelum akhirnya aku meminta cuti setelah menikah. Sementara Kak Rosi sendiri memilih membuka sebuah salon kecantikan, sesuai dengan hobinya.
"Iya," jawabku pada akhirnya.
"Apa Delon macam-macam?"
Aku menggeleng. Belum saatnya Mas Bima tahu tentang masalahku. Nanti, jika sudah ada saatnya, ia pun akan mengerti. "Jadi, kamu ga mau cerita ke Mas?" "Bukan gitu, cuma belum waktunya aja. Pokoknya, aku minta Mas jangan terima kerjasama apapun dari dia. Selain karena ada problem denganku, juga karena aku mencium adanya ketidakberesan antara dia dan pegawai di kantor kita, Mas," ucapku. "Maksudmu, dia korupsi?" tanya Mas Bima. Aku mengedikkan bahu, belum yakin dengan apa yang Mas Bima ucapkan. Karena aku hanya melihat ada dua berkas berbeda di meja kerja Mas Delon. Selama menikah, ia tak mengetahui bahwa perusahaan Anugrah Bimarin itu adalah milik keluargaku, karena di kantor orang-orang memanggil Mas Bima dengan nama Pak Kevin, sesuai nama depannya, Kevindra Bima Maulana Sakti Sudjono. "Kamu jangan bikin Mas penasaran, Rin." "Udah, tenang aja. Kita tinggal tunggu hasil dari orangku yang sedang menyelidiki, Mas." Mas Bima semakin menautkan alisnya, dan aku hanya tersenyum s
"Bu-bunda!" Bunda terlihat memegang dadanya, aku dan Ayah segera menghampiri Bunda yang langsung lemas. Kutatap Mas Delon yang seakan tak merasa bersalah karena telah membuat Bunda menjadi seperti ini. "Kita bawa masuk saja, Yah," ucapku pada Ayah. "Iya, ayo." Berdua dengan Ayah, kubantu Bunda untuk berdiri dan berjalan menuju ke dalam rumah meskipun tampak begjtu lemas. Kuminta Mbak Nah membuat segelas teh manis untuk Bunda. "Ada tamu, bukannya ditemui hingga selesai, malah ditinggal begitu saja. Sungguh keluarga yang tidak sopan!" ucap Mama tanpa merasa bersalah. Aku segera menoleh saat mendengar suara Mama yang tiba-tiba sudah berada di dalam rumah. Bukankah tadi katanya tidak perlu? Kenapa sekarang malah masuk tanpa persetujuan dari kami? Dasar, keluarga tak beradab! "Apa kalian tidak lihat, Bunda sedang seperti ini. Urusan Mas Delon denganku, biar kami urus sendiri. Keluarga tak ada yang boleh ikut campur termasuk kalian," ucapku sambil menunjuk ke arah Kak Caca dan
"Kak Rara, kenal Kak Arina?" tanya Fiona setelah sadar dari keterkejutannya melihatku datang. "I-iya, Fi." "Kamu kenapa, Sayang?" Cih! Padahal baru kemarin dia mengucap talak padaku, tapi Mas Delon sudah berani-beraninya memanggil wanita lain dengan panggilan Sayang? "Ngapain kamu ke sini lagi?" tanya Kak Caca yang sedang menyuapi Viko. "Aku ke sini mau ambil buku nikah," ucapku sambil duduk di single sofa depan mereka. "Itu bisa aku antarkan. Kenapa juga ke sini? Dan lagi, sepertinya kedatanganmu mengganggu calon istriku," ucap Mas Delon tanpa rasa bersalah. Kutatap tajam Rara yang sedang menatapku hingga akhirnya ia menunduk. Dasar wanita tak tahu diri! Jadi dia, yang merebut suamiku? "Oh, ya? Apa kamu nggak nyaman sama aku, Ra?" tanyaku dengan wajah yang dibuat-buat sesendu mungkin. "Nggak, Mbak." "Ya sudah, mana buku nikahnya? Aku akan mendaftarkan perceraian kita besok. Kelamaan nungguin kalian." "Tunggu di sini," ucap Mas Delon. Aku menatap ke sekeliling, namun tak
"Kakak tadi lihat undangan atas nama Delon dan Rara di ponsel customer, kayaknya mereka temen atau saudaranya kali, ya? Dan mereka menikah seminggu lagi." "Hah? Bukannya kami bahkan belum resmi bercerai secara negara?" Kak Rosi mengedikkam bahu, aku jadi semakin takjub dengan Mas Delon. Benar-benar manusi tak tahu malu. Apa saking ngebetnya ia, hingga ingin menjadikam Rara istri kedua di catatan negara? "Lalu?" "Kakak ada ide, sini kamu." --Hari ini, aku akan datang sebagai pemilik perusahaan tempat Mas Delon mengajukan kontrak. Sesuai jadwal, aku datang sekitar pukul sepuluh pagi. Mas Bima sendiri tak akan datang karena aku yang meminta. "Kamu serius, Rin?" tanya Kak Rosi sewaktu mobil berhenti di depan kantor."Tentu saja. Ide Kakak pun akan aku laksanakan, tapi ini yang lebih penting lagi. Mas Delon harus tahu kalau aku takkan tinggal diam saja setelah ia buang.""Kakak banyak janji hari ini, jadi ga bisa nemenin," ucap Kak Rosi. "Nggak papa, Kak. Nanti aku minta ditemani
Setelah mempersilakan duduk, Mas Bima mulai mengeluarkan bukti-bukti serta surat pernyataan saksi yang melihat mereka berdua tengah bernegosiasi. Sesuai perjanjian, kami tak menyebut nama mereka, karena mereka takut jika ada sesuatu yang tak diinginkan.Awalnya Mas Delon dan Pak Ahmad menyangkal, namun setelah kami tekan ditambah diancam akan laporkan kasus ini ke pihak berwajib, akhirnya mereka mengaku. Tak lupa, aku meminta Rio untuk merekam ini semua."Jadi bagaimana, Pak? Setelah saya pikirkan, akhirnya saya memiliki dua opsi. Dilaporkan ke polisi, atau bapak sekalian mau membayar kerugian yang telah kami tanggung? Jika dilihat dari data, Pak Ahmad membuat dua kwitansi dan mengubah harga perkilo, bukan perikat kain yang dikirim ke perusahaan Surya Mas. Maka, kami akan menjumlahkan semuanya.""Ampun, Pak Kevin, maafkan saya. Saya lebih baik membayar kerugian yang telah dialami oleh perusahaan daripada masu
Aku tahu ia tengah melarangku, tapi untuk apa aku mendengarkannya?"Mungkin saja, wanita dan pria itu dibayar oleh Rara untuk berpura-pura menjadi orang tuanya. Lihat ke arah sana! Mereka adalah orang tua Rara yang sebenarnya. Meskipun bukan orang tua kandung, tapi mereka lah yang telah membesarkan Rara dari kecil sampai sekarang.Rara tumbuh berkat tetesan keringat dari kedua orang itu. Dan sekarang setelah ia besar, Rara justru enggan mengakuinya hanya demi cinta dan demi menjadi pelakor dalam rumah tangga saya.Rara, kamu pantasnya ada di pasar dan dijual murah sekalian!" teriakku padanya.Emosi yang selama ini kubendung, akhirnya tumpah hari ini juga. Tak munafik, melihat Mas Delon dan juga Rara bersanding, di sudut hati ini merasa berdenyut nyeri. Tapi aku bisa pastikan, kalau ini terakhir kalinya aku merasakan perasaan ini pada b*j*ngan itu!Beberapa orang datang
Alangkah terkejutnya aku saat mengetahui jika ternyata Arina adalah CEO di perusahaan ini dan Pak Kevin adalah Mas Bima. Bisa-bisanya mereka membohongiku. Mengaku hanya pekerja biasa, namun ternyata pemilik perusahaan.Namun, yang lebih mengenaskan lagi adalah, ternyata kedatanganku ke sini untuk diperiksa mengenai kecurangan yang kulakukan dengan Pak Ahmad. Arrrgh, s*al! Kenapa semua jadi seperti ini?"Sudah, nggak papa. Masih ada Rara yang bisa memberi kita materi. Jadi nggak masalah kalau gajimu dipotong," ucap Mama menenangkanku."Iyakah, Ma?""Tentu. Mama lihat, Rara sangat cinta sama kamu. Pasti ia akan melakukan apapun yang kamu pinta," ucap Mama.
"Aaah! Aaah!" Rara gelagapan karena seseorang menyiramnya dengan tiba-tiba. "Arin! Apa yang kamu lakukan?" "Apa yang aku lakukan? Harusnya aku yang nanya itu ke kamu, Mas! Apa yang kamu lakukan saat ini! Kamu tega, Mas! Kamu tega!" teriaknya seraya menarik kerahku hingga bibirnya sampai ke telinga, lalu membisikkan kalimat yang memuakkan. "Bagaimana? Aktingku, bagus, kan?" bisiknya. -- "Ra, tolong jelaskan, apa benar mereka orang tua kandungmu?" tanyaku pada Rara saat kami sudah masuk ke dalam rumah. Aku terpaksa mengakhiri pesta karena melihat suasana tidak kondusif, ditambah dengan makian dari para tamu untukku, terlebih untuk Rara. Entah umpatan seperti apa saja yang terdengar tadi. "Iya, Ra. Apa yang diucapkan oleh Arina gak benar, kan? Mereka bukan orang tua kandungmu, kan?" tanya Mama sambil mendekati Rara. Ra