Share

BAB 3

Aku menggeleng. Belum saatnya Mas Bima tahu tentang masalahku. Nanti, jika sudah ada saatnya, ia pun akan mengerti. 

"Jadi, kamu ga mau cerita ke Mas?" 

"Bukan gitu, cuma belum waktunya aja. Pokoknya, aku minta Mas jangan terima kerjasama apapun dari dia. Selain karena ada problem denganku, juga karena aku mencium adanya ketidakberesan antara dia dan pegawai di kantor kita, Mas," ucapku. 

"Maksudmu, dia korupsi?" tanya Mas Bima.

Aku mengedikkan bahu, belum yakin dengan apa yang Mas Bima ucapkan. Karena aku hanya melihat ada dua berkas berbeda di meja kerja Mas Delon. Selama menikah, ia tak mengetahui bahwa perusahaan Anugrah Bimarin itu adalah milik keluargaku, karena di kantor orang-orang memanggil Mas Bima dengan nama Pak Kevin, sesuai nama depannya, Kevindra Bima Maulana Sakti Sudjono.

"Kamu jangan bikin Mas penasaran, Rin." 

"Udah, tenang aja. Kita tinggal tunggu hasil dari orangku yang sedang menyelidiki, Mas." 

Mas Bima semakin menautkan alisnya, dan aku hanya tersenyum saja. Begitu cerobohnya Mas Delon, hingga tak sadar jika sesuatu yang ia letakkan dengan asal, bisa saja menghancurkannya dengan perlahan. 

--

Pagi hari. 

Badanku terasa enak karena bangun dengan suasan sepi. Aku masih tak menyangka sudah terbebas dari suara-suara merdu milik mertua dan ipar. Aku jadi penasaran, seperti apa mamaa mertua menghadapi pekerjaan rumah yang seabrek dan juga anak yang tak mau membantunya? Aku jadi penasaran, hihi. 

Kubuka akun sosial media, lalu mengetik nama Fiona Hilda Sakira. Adik iparku itu paling rajin membuat status di sosial medianya. Benar saja, sudah ada beberapa status yang ia tuliskan dari semalam. Ia tak tahu, jika selama ini berteman denganku di media sosial karena aku memakai nama samaran. 

[Akhirnya, kakak ipar yang nyebelin itu pergi juga dari rumah. Terbebas gue gak ada yang demen nyuruh-nyuruh.] 

Sudah kupastikan, banyak hujatan yang mampir di kolom komentarnya. Dua puluh komentar, dua puluh juga yang menghujatku, wah pintar emang si Fiona ini. 

Namun, mataku tertuju pada sebuah balasan dari Fiona untuk temannya. 

[Iya, karena Mas Delon sebenarnya gak sreg sama dia. Percuma rumah gedongan kalau ortunya nggak bisa bantu apa-apa. Parasit emang! Untung Mas Delon sudah ketemu denga Kak @Rara, semoga mereka segera menikah dan juga mengangkat derajat keluargaku.] 

Hah? 

Mas Delon, mau menikah? Dengan wanita yang Fiona sebutkan di kolom komentar ini? Kuklik nama itu, mataku membeliak seketika. 

Mulutku seketika menganga saat melihat profil dari si Rara yang dimaksud Fiona akan menjadi kakak iparnya. Bagaimana tidak, dia adalah anak dari pembantu dari rumah di ujung blokku, alias pembantu rumah tangga Omku. Ya, aku kenal persis keluarganya karena memang dekat, selain itu, Mbok Rah juga sangat baik orangnya. 

Bukan bermaksud merendahkan, tapi kenapa ucapan Fiona tak sesuai kenyataan? Mengangkat derajat? Sudah bisa dipastikan yang dimaksud mengangkat derajat oleh Fiona ini adalah masalah keuangan. 

Mereka yang terlalu banyak berkhayal, atau ada indikasi kebohongan yang Rara ucapkan? Apakah ini artinya, Rara adalah pelakor dalam rumah tanggaku? 

Tok-tok! 

"Sarapan sudah siap, Non!" Suara Mbak Nah membuatku mengalihkan perhatian sebentar.

"Iya, Mbak!" 

Setelah mencuci muka, segera aku beranjak keluar dan menghampiri yang lain tengah bersarapan. Aku baru kali ini ketemu lagi dengan Kak Rosi, karena memang ia pulangnya selalu larut malam. 

"Wih, pulang lu?" tanyanya. 

"Iya, Kak." 

Aku pun duduk di samping Bunda, lalu menyedok nasi goreng buatan Mbak Nah. Hemm, nikmat. Bukan hanya masakannya, tapi juga badanku yang terasa jauh lebih enak karena tak harus mengerjakan pekerjaan rumah yang biasa kupegang jika di rumah mertua. 

"Oh iya, Ma, Mbok Rah masih kerja di rumah Om Julian?" tanyaku. 

"Sudah resign dia," jawab Ayah. 

"Hah? Resign? Kalau suaminya?" 

"Suaminya masih jadi supir, ya kalau nggak gitu, dari mana pemasukan? Mbok Rah memutuskan resign karena sudah tua. Ga sanggup untuk naik turun tangga." 

Aku hanya mengangguk-anggukan kepala saja. Jadi, Mbok Rah sudah resign. Ah, susah untukku menggali informasi tentang Rara kalau begini. 

"Emang kenapa?" tanya Kak Rosi.

"Oh, nggak papa, Kak."

Kami pun melanjutkan sarapan, lalu aku membantu Mbak Nah mengangkat piring ke dapur karena kulihat ia sedang makan tadi. 

"Aduh non, padahal mah biarin aja. Nanti sama saya diangkat." 

"Nggak papa, Mbak. Biar Mbak bisa makan dengan tenang." 

Aku tahu pasti bagaimana rasanya mengerjakan pekerjaan rumah yang memang tak ada habisnya ini. Makanya, sedikit-sedikit kubantu ia. 

Aku berjalan ke teras, menghirup udara pagi yang terasa menyejukkan. Kuhampiri Ayah yang tengah menyiram tanaman. Bunda memang hobi menanam tanaman, tapi selalu malas untuk menyiramnya. 

"Ada apa, Rin?" tanya Ayah. 

"Ya?" 

"Kamu, kenapa pulang? Apakah Delon menyakitimu?" 

"Oh, nggak, Yah. Kami baik-baik aja."

"Baik-baik aja kok pulangnya sendiri, bawa koper pula. Seandainya Delon memang tak mau melanjutkan, lebih baik pulangkan kamu dengan baik-baik. Ayah tak akan jatuh miskin hanya karena ngasih makan kamu lagi." 

Untuk sesaat, aku terharu. Beginilah orang tua, selalu memberi tanpa dipinta, selalu berkata tanpa bertanya. Tapi entah kenapa, aku merasakan kekecewaan yang besar di dalamnya. Ah, sudah pasti. Mana ada orang tua yang baik-baik saja melihat anaknya tak baik-baik saja? 

"Kelihatan banget ya, Yah?" 

Ayah tak menjawab, malah mematikan air dan menggulung selang lagi. Lalu beliau menyuruhku untuk duduk di teras samping rumah. Aku dan beliau memang sangat dekat, dan ini juga tempat favorite kami untuk bertukar pikiran. 

"Jadi, Ayah harus gimana sekarang?" 

"Nggak ngapa-ngapain, Yah." 

"Delon ngapain? Marahin kamu? Ngebentak? Apa dia mukul kamu?" 

Aku menggeleng, karena memabg bukan itu alasannya. Jauh lebih menyakitkan hanya sekedar dari luka di tubuh yang bisa hilang, ngebentak yang bisa dimaafkan, dan dimarahi yang bisa kumengerti. Tapi ini tentang talak. Satu kata yang memiliki ribuan kesakitan saat diucapkan. 

"Ya, Ayah tahu kamu sudah dewasa. Pasti ingin menyelesaikan masalah dengan sendiri. Tapi, apa Ayah ini sudah tak berhak untuk sekedar tahu permasalahanmu?" 

"Bukan-" 

Belum selesai ucapanku, sebuah mobil masuk ke dalam rumah. Itu adalah mobil Mas Delon. Tak lama kemudian, Mama, Mas Delon dan Kak Caca keluar dari dalam mobil. Mas Delon berjalan ke bagasi dan mengeluarkan beberapa totebag besar dan diletakkan di hadapanku begitu kami berhadapan. 

"Ayo besan, kita masuk dulu," ucap Ayah. 

"Nggak perlu, Pak. Oh iya, mulai sekarang, kita bukan besan lagi. Karena Delon sudah menjatuhkan talak untuk Arina," ucap Mama dengan entengnya. 

"A-apa? T-talak?" 

Aku langsung berbalik begitu mendengar suara Bunda. Oh, tidak! 

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status