Aku menggeleng. Belum saatnya Mas Bima tahu tentang masalahku. Nanti, jika sudah ada saatnya, ia pun akan mengerti.
"Jadi, kamu ga mau cerita ke Mas?"
"Bukan gitu, cuma belum waktunya aja. Pokoknya, aku minta Mas jangan terima kerjasama apapun dari dia. Selain karena ada problem denganku, juga karena aku mencium adanya ketidakberesan antara dia dan pegawai di kantor kita, Mas," ucapku.
"Maksudmu, dia korupsi?" tanya Mas Bima.
Aku mengedikkan bahu, belum yakin dengan apa yang Mas Bima ucapkan. Karena aku hanya melihat ada dua berkas berbeda di meja kerja Mas Delon. Selama menikah, ia tak mengetahui bahwa perusahaan Anugrah Bimarin itu adalah milik keluargaku, karena di kantor orang-orang memanggil Mas Bima dengan nama Pak Kevin, sesuai nama depannya, Kevindra Bima Maulana Sakti Sudjono.
"Kamu jangan bikin Mas penasaran, Rin."
"Udah, tenang aja. Kita tinggal tunggu hasil dari orangku yang sedang menyelidiki, Mas."
Mas Bima semakin menautkan alisnya, dan aku hanya tersenyum saja. Begitu cerobohnya Mas Delon, hingga tak sadar jika sesuatu yang ia letakkan dengan asal, bisa saja menghancurkannya dengan perlahan.
--
Pagi hari.
Badanku terasa enak karena bangun dengan suasan sepi. Aku masih tak menyangka sudah terbebas dari suara-suara merdu milik mertua dan ipar. Aku jadi penasaran, seperti apa mamaa mertua menghadapi pekerjaan rumah yang seabrek dan juga anak yang tak mau membantunya? Aku jadi penasaran, hihi.
Kubuka akun sosial media, lalu mengetik nama Fiona Hilda Sakira. Adik iparku itu paling rajin membuat status di sosial medianya. Benar saja, sudah ada beberapa status yang ia tuliskan dari semalam. Ia tak tahu, jika selama ini berteman denganku di media sosial karena aku memakai nama samaran.
[Akhirnya, kakak ipar yang nyebelin itu pergi juga dari rumah. Terbebas gue gak ada yang demen nyuruh-nyuruh.]
Sudah kupastikan, banyak hujatan yang mampir di kolom komentarnya. Dua puluh komentar, dua puluh juga yang menghujatku, wah pintar emang si Fiona ini.
Namun, mataku tertuju pada sebuah balasan dari Fiona untuk temannya.
[Iya, karena Mas Delon sebenarnya gak sreg sama dia. Percuma rumah gedongan kalau ortunya nggak bisa bantu apa-apa. Parasit emang! Untung Mas Delon sudah ketemu denga Kak @Rara, semoga mereka segera menikah dan juga mengangkat derajat keluargaku.]
Hah?
Mas Delon, mau menikah? Dengan wanita yang Fiona sebutkan di kolom komentar ini? Kuklik nama itu, mataku membeliak seketika.
Mulutku seketika menganga saat melihat profil dari si Rara yang dimaksud Fiona akan menjadi kakak iparnya. Bagaimana tidak, dia adalah anak dari pembantu dari rumah di ujung blokku, alias pembantu rumah tangga Omku. Ya, aku kenal persis keluarganya karena memang dekat, selain itu, Mbok Rah juga sangat baik orangnya.
Bukan bermaksud merendahkan, tapi kenapa ucapan Fiona tak sesuai kenyataan? Mengangkat derajat? Sudah bisa dipastikan yang dimaksud mengangkat derajat oleh Fiona ini adalah masalah keuangan.
Mereka yang terlalu banyak berkhayal, atau ada indikasi kebohongan yang Rara ucapkan? Apakah ini artinya, Rara adalah pelakor dalam rumah tanggaku?
Tok-tok!
"Sarapan sudah siap, Non!" Suara Mbak Nah membuatku mengalihkan perhatian sebentar.
"Iya, Mbak!"
Setelah mencuci muka, segera aku beranjak keluar dan menghampiri yang lain tengah bersarapan. Aku baru kali ini ketemu lagi dengan Kak Rosi, karena memang ia pulangnya selalu larut malam.
"Wih, pulang lu?" tanyanya.
"Iya, Kak."
Aku pun duduk di samping Bunda, lalu menyedok nasi goreng buatan Mbak Nah. Hemm, nikmat. Bukan hanya masakannya, tapi juga badanku yang terasa jauh lebih enak karena tak harus mengerjakan pekerjaan rumah yang biasa kupegang jika di rumah mertua.
"Oh iya, Ma, Mbok Rah masih kerja di rumah Om Julian?" tanyaku.
"Sudah resign dia," jawab Ayah.
"Hah? Resign? Kalau suaminya?"
"Suaminya masih jadi supir, ya kalau nggak gitu, dari mana pemasukan? Mbok Rah memutuskan resign karena sudah tua. Ga sanggup untuk naik turun tangga."
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala saja. Jadi, Mbok Rah sudah resign. Ah, susah untukku menggali informasi tentang Rara kalau begini.
"Emang kenapa?" tanya Kak Rosi.
"Oh, nggak papa, Kak."
Kami pun melanjutkan sarapan, lalu aku membantu Mbak Nah mengangkat piring ke dapur karena kulihat ia sedang makan tadi.
"Aduh non, padahal mah biarin aja. Nanti sama saya diangkat."
"Nggak papa, Mbak. Biar Mbak bisa makan dengan tenang."
Aku tahu pasti bagaimana rasanya mengerjakan pekerjaan rumah yang memang tak ada habisnya ini. Makanya, sedikit-sedikit kubantu ia.
Aku berjalan ke teras, menghirup udara pagi yang terasa menyejukkan. Kuhampiri Ayah yang tengah menyiram tanaman. Bunda memang hobi menanam tanaman, tapi selalu malas untuk menyiramnya.
"Ada apa, Rin?" tanya Ayah.
"Ya?"
"Kamu, kenapa pulang? Apakah Delon menyakitimu?"
"Oh, nggak, Yah. Kami baik-baik aja."
"Baik-baik aja kok pulangnya sendiri, bawa koper pula. Seandainya Delon memang tak mau melanjutkan, lebih baik pulangkan kamu dengan baik-baik. Ayah tak akan jatuh miskin hanya karena ngasih makan kamu lagi."
Untuk sesaat, aku terharu. Beginilah orang tua, selalu memberi tanpa dipinta, selalu berkata tanpa bertanya. Tapi entah kenapa, aku merasakan kekecewaan yang besar di dalamnya. Ah, sudah pasti. Mana ada orang tua yang baik-baik saja melihat anaknya tak baik-baik saja?
"Kelihatan banget ya, Yah?"
Ayah tak menjawab, malah mematikan air dan menggulung selang lagi. Lalu beliau menyuruhku untuk duduk di teras samping rumah. Aku dan beliau memang sangat dekat, dan ini juga tempat favorite kami untuk bertukar pikiran.
"Jadi, Ayah harus gimana sekarang?"
"Nggak ngapa-ngapain, Yah."
"Delon ngapain? Marahin kamu? Ngebentak? Apa dia mukul kamu?"
Aku menggeleng, karena memabg bukan itu alasannya. Jauh lebih menyakitkan hanya sekedar dari luka di tubuh yang bisa hilang, ngebentak yang bisa dimaafkan, dan dimarahi yang bisa kumengerti. Tapi ini tentang talak. Satu kata yang memiliki ribuan kesakitan saat diucapkan.
"Ya, Ayah tahu kamu sudah dewasa. Pasti ingin menyelesaikan masalah dengan sendiri. Tapi, apa Ayah ini sudah tak berhak untuk sekedar tahu permasalahanmu?"
"Bukan-"
Belum selesai ucapanku, sebuah mobil masuk ke dalam rumah. Itu adalah mobil Mas Delon. Tak lama kemudian, Mama, Mas Delon dan Kak Caca keluar dari dalam mobil. Mas Delon berjalan ke bagasi dan mengeluarkan beberapa totebag besar dan diletakkan di hadapanku begitu kami berhadapan.
"Ayo besan, kita masuk dulu," ucap Ayah.
"Nggak perlu, Pak. Oh iya, mulai sekarang, kita bukan besan lagi. Karena Delon sudah menjatuhkan talak untuk Arina," ucap Mama dengan entengnya.
"A-apa? T-talak?"
Aku langsung berbalik begitu mendengar suara Bunda. Oh, tidak!
"Bu-bunda!" Bunda terlihat memegang dadanya, aku dan Ayah segera menghampiri Bunda yang langsung lemas. Kutatap Mas Delon yang seakan tak merasa bersalah karena telah membuat Bunda menjadi seperti ini. "Kita bawa masuk saja, Yah," ucapku pada Ayah. "Iya, ayo." Berdua dengan Ayah, kubantu Bunda untuk berdiri dan berjalan menuju ke dalam rumah meskipun tampak begjtu lemas. Kuminta Mbak Nah membuat segelas teh manis untuk Bunda. "Ada tamu, bukannya ditemui hingga selesai, malah ditinggal begitu saja. Sungguh keluarga yang tidak sopan!" ucap Mama tanpa merasa bersalah. Aku segera menoleh saat mendengar suara Mama yang tiba-tiba sudah berada di dalam rumah. Bukankah tadi katanya tidak perlu? Kenapa sekarang malah masuk tanpa persetujuan dari kami? Dasar, keluarga tak beradab! "Apa kalian tidak lihat, Bunda sedang seperti ini. Urusan Mas Delon denganku, biar kami urus sendiri. Keluarga tak ada yang boleh ikut campur termasuk kalian," ucapku sambil menunjuk ke arah Kak Caca dan
"Kak Rara, kenal Kak Arina?" tanya Fiona setelah sadar dari keterkejutannya melihatku datang. "I-iya, Fi." "Kamu kenapa, Sayang?" Cih! Padahal baru kemarin dia mengucap talak padaku, tapi Mas Delon sudah berani-beraninya memanggil wanita lain dengan panggilan Sayang? "Ngapain kamu ke sini lagi?" tanya Kak Caca yang sedang menyuapi Viko. "Aku ke sini mau ambil buku nikah," ucapku sambil duduk di single sofa depan mereka. "Itu bisa aku antarkan. Kenapa juga ke sini? Dan lagi, sepertinya kedatanganmu mengganggu calon istriku," ucap Mas Delon tanpa rasa bersalah. Kutatap tajam Rara yang sedang menatapku hingga akhirnya ia menunduk. Dasar wanita tak tahu diri! Jadi dia, yang merebut suamiku? "Oh, ya? Apa kamu nggak nyaman sama aku, Ra?" tanyaku dengan wajah yang dibuat-buat sesendu mungkin. "Nggak, Mbak." "Ya sudah, mana buku nikahnya? Aku akan mendaftarkan perceraian kita besok. Kelamaan nungguin kalian." "Tunggu di sini," ucap Mas Delon. Aku menatap ke sekeliling, namun tak
"Kakak tadi lihat undangan atas nama Delon dan Rara di ponsel customer, kayaknya mereka temen atau saudaranya kali, ya? Dan mereka menikah seminggu lagi." "Hah? Bukannya kami bahkan belum resmi bercerai secara negara?" Kak Rosi mengedikkam bahu, aku jadi semakin takjub dengan Mas Delon. Benar-benar manusi tak tahu malu. Apa saking ngebetnya ia, hingga ingin menjadikam Rara istri kedua di catatan negara? "Lalu?" "Kakak ada ide, sini kamu." --Hari ini, aku akan datang sebagai pemilik perusahaan tempat Mas Delon mengajukan kontrak. Sesuai jadwal, aku datang sekitar pukul sepuluh pagi. Mas Bima sendiri tak akan datang karena aku yang meminta. "Kamu serius, Rin?" tanya Kak Rosi sewaktu mobil berhenti di depan kantor."Tentu saja. Ide Kakak pun akan aku laksanakan, tapi ini yang lebih penting lagi. Mas Delon harus tahu kalau aku takkan tinggal diam saja setelah ia buang.""Kakak banyak janji hari ini, jadi ga bisa nemenin," ucap Kak Rosi. "Nggak papa, Kak. Nanti aku minta ditemani
Setelah mempersilakan duduk, Mas Bima mulai mengeluarkan bukti-bukti serta surat pernyataan saksi yang melihat mereka berdua tengah bernegosiasi. Sesuai perjanjian, kami tak menyebut nama mereka, karena mereka takut jika ada sesuatu yang tak diinginkan.Awalnya Mas Delon dan Pak Ahmad menyangkal, namun setelah kami tekan ditambah diancam akan laporkan kasus ini ke pihak berwajib, akhirnya mereka mengaku. Tak lupa, aku meminta Rio untuk merekam ini semua."Jadi bagaimana, Pak? Setelah saya pikirkan, akhirnya saya memiliki dua opsi. Dilaporkan ke polisi, atau bapak sekalian mau membayar kerugian yang telah kami tanggung? Jika dilihat dari data, Pak Ahmad membuat dua kwitansi dan mengubah harga perkilo, bukan perikat kain yang dikirim ke perusahaan Surya Mas. Maka, kami akan menjumlahkan semuanya.""Ampun, Pak Kevin, maafkan saya. Saya lebih baik membayar kerugian yang telah dialami oleh perusahaan daripada masu
Aku tahu ia tengah melarangku, tapi untuk apa aku mendengarkannya?"Mungkin saja, wanita dan pria itu dibayar oleh Rara untuk berpura-pura menjadi orang tuanya. Lihat ke arah sana! Mereka adalah orang tua Rara yang sebenarnya. Meskipun bukan orang tua kandung, tapi mereka lah yang telah membesarkan Rara dari kecil sampai sekarang.Rara tumbuh berkat tetesan keringat dari kedua orang itu. Dan sekarang setelah ia besar, Rara justru enggan mengakuinya hanya demi cinta dan demi menjadi pelakor dalam rumah tangga saya.Rara, kamu pantasnya ada di pasar dan dijual murah sekalian!" teriakku padanya.Emosi yang selama ini kubendung, akhirnya tumpah hari ini juga. Tak munafik, melihat Mas Delon dan juga Rara bersanding, di sudut hati ini merasa berdenyut nyeri. Tapi aku bisa pastikan, kalau ini terakhir kalinya aku merasakan perasaan ini pada b*j*ngan itu!Beberapa orang datang
Alangkah terkejutnya aku saat mengetahui jika ternyata Arina adalah CEO di perusahaan ini dan Pak Kevin adalah Mas Bima. Bisa-bisanya mereka membohongiku. Mengaku hanya pekerja biasa, namun ternyata pemilik perusahaan.Namun, yang lebih mengenaskan lagi adalah, ternyata kedatanganku ke sini untuk diperiksa mengenai kecurangan yang kulakukan dengan Pak Ahmad. Arrrgh, s*al! Kenapa semua jadi seperti ini?"Sudah, nggak papa. Masih ada Rara yang bisa memberi kita materi. Jadi nggak masalah kalau gajimu dipotong," ucap Mama menenangkanku."Iyakah, Ma?""Tentu. Mama lihat, Rara sangat cinta sama kamu. Pasti ia akan melakukan apapun yang kamu pinta," ucap Mama.
"Aaah! Aaah!" Rara gelagapan karena seseorang menyiramnya dengan tiba-tiba. "Arin! Apa yang kamu lakukan?" "Apa yang aku lakukan? Harusnya aku yang nanya itu ke kamu, Mas! Apa yang kamu lakukan saat ini! Kamu tega, Mas! Kamu tega!" teriaknya seraya menarik kerahku hingga bibirnya sampai ke telinga, lalu membisikkan kalimat yang memuakkan. "Bagaimana? Aktingku, bagus, kan?" bisiknya. -- "Ra, tolong jelaskan, apa benar mereka orang tua kandungmu?" tanyaku pada Rara saat kami sudah masuk ke dalam rumah. Aku terpaksa mengakhiri pesta karena melihat suasana tidak kondusif, ditambah dengan makian dari para tamu untukku, terlebih untuk Rara. Entah umpatan seperti apa saja yang terdengar tadi. "Iya, Ra. Apa yang diucapkan oleh Arina gak benar, kan? Mereka bukan orang tua kandungmu, kan?" tanya Mama sambil mendekati Rara. Ra
Seminggu kemudian.Hari ini akan ada acara keluarga besar, dan kebetulan giliran di rumahku. Semenjak menikah, Rara benar-benar berubah seratus persen. Ia menjadi pelit pada Mama, dan kerap meminta uang padaku. Kenapa ia begini? Bukankah dia orang kaya? Seharusnya ia yang memberi padaku, bukan aku yang memberi padanya."Ma, tamunya sudah pada datang," ucapku pada Mama."Rara mana, Lon?" tanya Mama."Ada di kamar, nggak enak badan katanya. Makanya mau keluar nanti aja, nyusul."Mama mengangguk, lalu menggandeng tanganku keluar. Oh iya aku lupa, semenjak kejadian Arina menagih hutang pada Kak Caca, semenjak itu juga Mas Reza tak pern