Setelah mempersilakan duduk, Mas Bima mulai mengeluarkan bukti-bukti serta surat pernyataan saksi yang melihat mereka berdua tengah bernegosiasi. Sesuai perjanjian, kami tak menyebut nama mereka, karena mereka takut jika ada sesuatu yang tak diinginkan.Awalnya Mas Delon dan Pak Ahmad menyangkal, namun setelah kami tekan ditambah diancam akan laporkan kasus ini ke pihak berwajib, akhirnya mereka mengaku. Tak lupa, aku meminta Rio untuk merekam ini semua."Jadi bagaimana, Pak? Setelah saya pikirkan, akhirnya saya memiliki dua opsi. Dilaporkan ke polisi, atau bapak sekalian mau membayar kerugian yang telah kami tanggung? Jika dilihat dari data, Pak Ahmad membuat dua kwitansi dan mengubah harga perkilo, bukan perikat kain yang dikirim ke perusahaan Surya Mas. Maka, kami akan menjumlahkan semuanya.""Ampun, Pak Kevin, maafkan saya. Saya lebih baik membayar kerugian yang telah dialami oleh perusahaan daripada masu
Aku tahu ia tengah melarangku, tapi untuk apa aku mendengarkannya?"Mungkin saja, wanita dan pria itu dibayar oleh Rara untuk berpura-pura menjadi orang tuanya. Lihat ke arah sana! Mereka adalah orang tua Rara yang sebenarnya. Meskipun bukan orang tua kandung, tapi mereka lah yang telah membesarkan Rara dari kecil sampai sekarang.Rara tumbuh berkat tetesan keringat dari kedua orang itu. Dan sekarang setelah ia besar, Rara justru enggan mengakuinya hanya demi cinta dan demi menjadi pelakor dalam rumah tangga saya.Rara, kamu pantasnya ada di pasar dan dijual murah sekalian!" teriakku padanya.Emosi yang selama ini kubendung, akhirnya tumpah hari ini juga. Tak munafik, melihat Mas Delon dan juga Rara bersanding, di sudut hati ini merasa berdenyut nyeri. Tapi aku bisa pastikan, kalau ini terakhir kalinya aku merasakan perasaan ini pada b*j*ngan itu!Beberapa orang datang
Alangkah terkejutnya aku saat mengetahui jika ternyata Arina adalah CEO di perusahaan ini dan Pak Kevin adalah Mas Bima. Bisa-bisanya mereka membohongiku. Mengaku hanya pekerja biasa, namun ternyata pemilik perusahaan.Namun, yang lebih mengenaskan lagi adalah, ternyata kedatanganku ke sini untuk diperiksa mengenai kecurangan yang kulakukan dengan Pak Ahmad. Arrrgh, s*al! Kenapa semua jadi seperti ini?"Sudah, nggak papa. Masih ada Rara yang bisa memberi kita materi. Jadi nggak masalah kalau gajimu dipotong," ucap Mama menenangkanku."Iyakah, Ma?""Tentu. Mama lihat, Rara sangat cinta sama kamu. Pasti ia akan melakukan apapun yang kamu pinta," ucap Mama.
"Aaah! Aaah!" Rara gelagapan karena seseorang menyiramnya dengan tiba-tiba. "Arin! Apa yang kamu lakukan?" "Apa yang aku lakukan? Harusnya aku yang nanya itu ke kamu, Mas! Apa yang kamu lakukan saat ini! Kamu tega, Mas! Kamu tega!" teriaknya seraya menarik kerahku hingga bibirnya sampai ke telinga, lalu membisikkan kalimat yang memuakkan. "Bagaimana? Aktingku, bagus, kan?" bisiknya. -- "Ra, tolong jelaskan, apa benar mereka orang tua kandungmu?" tanyaku pada Rara saat kami sudah masuk ke dalam rumah. Aku terpaksa mengakhiri pesta karena melihat suasana tidak kondusif, ditambah dengan makian dari para tamu untukku, terlebih untuk Rara. Entah umpatan seperti apa saja yang terdengar tadi. "Iya, Ra. Apa yang diucapkan oleh Arina gak benar, kan? Mereka bukan orang tua kandungmu, kan?" tanya Mama sambil mendekati Rara. Ra
Seminggu kemudian.Hari ini akan ada acara keluarga besar, dan kebetulan giliran di rumahku. Semenjak menikah, Rara benar-benar berubah seratus persen. Ia menjadi pelit pada Mama, dan kerap meminta uang padaku. Kenapa ia begini? Bukankah dia orang kaya? Seharusnya ia yang memberi padaku, bukan aku yang memberi padanya."Ma, tamunya sudah pada datang," ucapku pada Mama."Rara mana, Lon?" tanya Mama."Ada di kamar, nggak enak badan katanya. Makanya mau keluar nanti aja, nyusul."Mama mengangguk, lalu menggandeng tanganku keluar. Oh iya aku lupa, semenjak kejadian Arina menagih hutang pada Kak Caca, semenjak itu juga Mas Reza tak pern
"Ke kamar, Ma," jawab Rara."Enak banget, beresin semua ini.""Rara, Ma?""Ya iyalah, masa Mama atau Caca?"Rara terlihat menekuk wajahnya, lalu membereskan semua sampah. Aku hendak membantu, tapi tak diperbolehkan oleh orang tua tunggalku itu. Aku pun menuruti, lalu masuk ke dalam kamar Mama."Viko, jangan berantakin kamar Nenek!" ucap Mama saat Viko hendak memasukkan mainannya ke kamar Mama."Tapi, Nek, Viko mau sama Ibu.""Main di luar dulu, sama Tante Rara!" perintah Kak Caca."Nggak mau, Tante Rara ga mau main sama Viko, gak kaya
Sepulangnya dari rumah Mas Delon, aku mengantar Mbok Rah dan juga suaminya dulu pulang ke rumah. Aku bisa melihat kesedihan di raut kedua orang tua itu.Aku juga tak habis pikir, bisa-bisanya Rara tak mengakui mereka. Padahal, meskipun bukan orang tua kandung, tapi Mbok Rah memiliki andil penting dalam kehidupan Rara."Yang sabar ya, Mbok," ucapku sambil mengelus lengan Mbok Rah saat sampai di depan rumah."Mbok nggak nyangka, Neng, kalau Rara tak mau mengakui kita. Bisa-bisanya, dia menikah malah tak memberitahu kami. Awalnya kami nggak percaya sama omongan Neng, tapi karena Bapak terus meyakinkan, jadi kami ikut, dan ternyata benar, Rara betul-betul menikah, tanpa restu dan izin dari kami," ucap Mbok Rah sambil tergugu.Mang Ujang masuk ke
Sebuah tepukan tangan hinggap di bahu kiriku, saat menoleh ternyata Bunda. Beliau menyunggingkan sebuah senyum, lalu duduk di sampingku."Rin, jangan memendam kebencian yang berlebihan. Allah tak suka hambanya menjadi seorang pendendam. Cukup do'akan saja Delon mendapat hidayahnya.""Bunda...""Apa yang Bunda katakan itu benar, Rin. Ayah juga nggak suka kamu begini."Akhirnya, terpaksa aku mengangguk, tapi mengirimkan kode lewat mata untuk Rio tetap melakukan pekerjaan yang kusuruh."Oh iya, Ri, kok kamu belum nikah? Usiamu sudah mau tiga puluh tahun, loh," ucap Bunda."Belum kepikiran, Tante. Lagipula, kasihan Mama jika nanti Rio tinggal