"Bu-bunda!"
Bunda terlihat memegang dadanya, aku dan Ayah segera menghampiri Bunda yang langsung lemas. Kutatap Mas Delon yang seakan tak merasa bersalah karena telah membuat Bunda menjadi seperti ini.
"Kita bawa masuk saja, Yah," ucapku pada Ayah.
"Iya, ayo."
Berdua dengan Ayah, kubantu Bunda untuk berdiri dan berjalan menuju ke dalam rumah meskipun tampak begjtu lemas. Kuminta Mbak Nah membuat segelas teh manis untuk Bunda.
"Ada tamu, bukannya ditemui hingga selesai, malah ditinggal begitu saja. Sungguh keluarga yang tidak sopan!" ucap Mama tanpa merasa bersalah.
Aku segera menoleh saat mendengar suara Mama yang tiba-tiba sudah berada di dalam rumah. Bukankah tadi katanya tidak perlu? Kenapa sekarang malah masuk tanpa persetujuan dari kami? Dasar, keluarga tak beradab!
"Apa kalian tidak lihat, Bunda sedang seperti ini. Urusan Mas Delon denganku, biar kami urus sendiri. Keluarga tak ada yang boleh ikut campur termasuk kalian," ucapku sambil menunjuk ke arah Kak Caca dan Mama. Rasanya, rasa hormatku sudah hilang pada mereka.
"Ya sudah, terserah. Kedatangan kami ke sini, untuk meminta mahar yang dulu diberikan oleh Delon untuk Arina. Tanpa ada yang dikurangi, kalian harus mengembalikan semuanya," ucap Mama dengan penuh kepercayaan dirinya.
Kulihat Ayah mengepalkan tangannya, wajahnya sudah memerah menahan amarah karena mendengar ucapan mantan mertuaku itu.
"Kalian meminta mahar kembali? Apa kalian sudah tak memiliki malu?" tanya Ayah. Aku salut, beliau masih bisa menahan gejolak amarah.
"Untuk apa kami malu? Itu adalah milik Delon karena membelinya dari uang Delon sendiri. Tak ada campur tangan Arina di dalamnya," ucap Mama.
"Iya, aku juga meminta perhiasan yang pernah Delon beri sewaktu kalian baru saja menikah," lanjut Kak Caca.
Astaghfirullah!
Mereka manusia atau setan? Kenapa kelakuannya mirip sekali dengan dajjal?
"Lalu, bagaimana dengan keperawananku yang sudah direnggut oleh Mas Delon? Kalian bisa mengembalikannya?" tanyaku sambil menatap tajam Mas Delon.
Ia terlihat salah tingkah. Mungkin tak menyangka aku akan mengatakan hal ini. Berani-beraninya ia meminta kembali atas apa yang pernah ia beri.
"Kalian juga harus menjadi pembantu di sini selama satu bulan, menggantikan keringatku yang sudah menetes karena mengikuti perintah kalian. Jangan lupa, Kak Caca harus mengembalikan uangku yang dipinjam oleh Mas Reza."
"Jangan fitnah, kapan suamiku meminjam uang darimu?" tanya Kak Caca.
"Tanyakan saja sendiri sama Mas Reza, itupun kalau dia mau mengakui."
"Kamu-"
"Stop!" Suara Ayah melengking.
Kami semua terdiam, termasuk Kak Caca yang baru saja hendak melanjutkan kata-katanya.
"Kalian meminta mahar itu kembali? Baik, akan saya lakukan. Tapi, kalian harus membayar keringat atas apa yang telah Arina kerjakan di sana senilai tiga puluh juta, bagaimana?"
"Apa? Jangan g*la ya, Pak!"
"Yang g*la itu kalian! Bukan kami!"
Mas Delon terlihat santai saja melihat kedua orang tua kami bertengkar. Sementara Bunda menatap kosong ke depan. Ya Allah, aku sangat khawatir dengan bundaku.
Kring! Kring!
Ponsel Mas Delon berdering. Senyum mengembang saat itu juga, apakah itu telepon dari Rara?
"Halo, selamat siang, Pak?"
"..."
"T-tunggu, Pak, bukankah kemarin katanya menyukai proposal yang saya ajukan?"
"..."
"Tapi, Pak, kenapa bisa ditolak begini?"
"..."
"Bisakah kita bertemu, Pak?"
Melihat ekspresi dan juga tingkahnya yang gelisah, aku sudah bisa menduga kalau Mas Bima sudah melakukan yang aku suruh. Saat Mas Delon menatapku, kusunggingkan senyum manis padanya, agar ia merasa terhina.
"Sudah lah, Ma, kita pulang saja. Tak ada gunanya lama-lama di sini," ucap Mas Delon.
"Tapi maharnya..."
"Sudah lah, Delon ada urusan yang lebih penting lagi. Ngapain ngurusin Arina yang bahkan nggak bisa membantu menaikkan derajat keluarga kita."
"Ah iya, benar juga. Kamu tunggu saja surat dari pengadilan, Arina. Kalian akan segera bercerai sah secara negara."
Baik aku maupun Ayah, tak ada yang menjawab ucapan mantan mertuaku tadi. Kami sungguh muak dengan kedatangan mereka ke sini. Benar-benar keluarga sableng!
Setelah mobil mereka melesat meninggalkan halaman, aku berdiri di teras. Melihat jauh ke depan sana, seolah tengah melihat Mas Delon yang dulu. Kenapa, setelah menikah ia berubah? Kenapa tak seperti Delon yang dulu? Atau jangan-jangan, selama ini ia pura-pura saja?
-
Kubuka ponsel, mencari kontak Mas Bima. Ingin menanyakan tentang telepon yang baru saja Mas Delon terima.
"Halo, Mas?" sapaku saat telepon diangkat oleh kakak sulungku itu.
"Iya, Dek."
"Mas udah ngelakuin hal yang semalem aku minta?" tanyaku sambil duduk di teras.
"Sudah."
"Pantes."
"Kenapa?" tanya Mas Bima.
"Tadi Mas Delon ke sini, lagi ngobrol, eh dapet telepon langsung gelisah dan ketakutan," ucapku.
"Ngapain Delon ke situ? Jemput kamu?" tanya Mas Bima.
"Nggak, dia nganterin barang-barangku yang ketinggalan di sana, Mas."
"Tunggu. Dianterin ke rumah? Kalian, cerai?" tanya Mas Bima.
"Ya, gitu lah. Bunda sampai lemas saat mantan mertuaku itu bilang kami sudah bercerai."
"Tapi Bunda nggak papa, kan?" tanya Mas Bima.
"Sudah agak baikan setelah diolesi minyak angin. Ya sudah, Mas. Aku mau mandi dulu. Terima kasih bantuannya."
"Kamu hutang penjelasan sama Mas, ya?"
"Hehehe, iya. Nanti pulang, aku akan ceritakan semuanya."
Di antara kakak-kakakku, aku memang paling dekat dengannya daripada dengan Kak Rosi. Kakak perempuanku itu terlalu berambisi pada sesuatu sehingga jarang di rumah ataupun bersantai.
"Nggak ke salon, Kak?" tanyaku.
"Tutup," jawabnya sambil terus menatap layar lebar di depannya.
"Tumben banget."
"Ada yang mau Kakak selesaiin. Sini kamu!" perintahnya sambil melambaikan tangan.
Aku segera mendekat, tersenyum samar karena menyadari ia akan melakukan apa.
"Jelaskan, kalian bercerai?"
"Kakak denger?"
"Gimana nggak denger? Suara mertuamu itu cempreng, suaranya sampai ke sini. Belum lagi kakak iparmu itu, udah judes, cempreng, mirip banget sama emaknya."
Aku terkekeh saat melihat ekspresi Kak Rosi.
"Katakan, apa yang harus kakak lakukan demi membalas sakit hatimu itu?"
"Tenang aja, Kak. Semuanya baik-baik saja, aku bisa mengurusnya sendiri."
"Terus tentang Rara yang tadi pagi kamu tanyakan, apakah itu ada kaitannya?"
Aku mengangguk. Yah, sedikit tidak menyangka jika gadis muda itu berani menggoda suamiku. Apakah ia tak tahu jika Delon adalah suamiku?
Namun, masuk akal juga. Terlebih memang saat pernikahanku, keluarga mereka tengah pulang kampung, mudik lebaran. Jadi, Rara menggoda suami orang tanpa tahu latar belakangnya?
"Jadi, Rara dan Mas Delon akan menikah bulan depan katanya, Kak," kataku.
"What? Menikah? Delon sama Rara?" teriaknya.
"Sssst! Jangan keras-keras, nanti Ayah dan Bunda dengar!"
"Oh, iya-iya. Kok bisa? Apa Delon itu tak tahu kalau Rara anak pembantu? Terlebih, Fiona bilang kalau Rara akan mengangkat derajat keluarga mereka," ucapku.
"Wih, si Rara berbohong? Ngaku-ngaku orang kaya demi menggaet Delon? Berani juga dia, dan juga licik. Tapi setahu Kakak, Rara memang bukan anak kandung Mbok Rah. Kalau gak salah, dia anak saudara jauhnya yang meninggal karena kecelakaan. Tapi karena Mbok Rah belum memiliki anak, jadinya Rara diasuh."
"Iyakah? Aku baru dengar ini. Kakak dengar dari mana?"
"Mana lagi? Mama cerita semuanya."
Aku ber-oh ria, karena memang baru kali ini mendengar ceritanya. Rara, ternyata kamu salah menentukan target, karena aku akan menghancurkan kalian sekaligus.
--
Hari ini dengan ditemani Novia, sahabatku, kami bertandang ke rumah Mas Delon. Bukan untuk mengemis maaf dan juga belas kasihan, tapi untuk mengambil buku nikah dan juga menagih hutang pada Mas Reza.
"Lu yakin, nih?" tanya Novia.
"Yakin lah, Nov."
"Emangnya, mereka bakal percaya? Ntar kalau mangkir gimana?"
"Tenang aja, nggak akan terjadi itu."
Mobil kukemudikan menuju rumah mantan suamiku, tepat empat puluh menit kemudian, kami sampai di halaman rumah berlantai dua ini. Melihat dari luar yang begitu kotor, apakah mereka belum memiliki pembantu? Atau, mereka tak sanggup membayar? Mengingat jika hanya Mas Delon yang bekerja di sini.
Tanpa mengetuk pintu, aku masuk begitu saja. Sebuah pemandangan kulihat, mereka tengah bercengkrama di ruang tamu dengan seorang tamu cantik. Aku tersenyum.
"Hai, Rara," sapaku sambil tersenyum lebar.
Sudah dapat dipastikan, wajah wanita itu langsung pucat pasi. Mau ke mana kamu, Ra?
"Kak Rara, kenal Kak Arina?" tanya Fiona setelah sadar dari keterkejutannya melihatku datang. "I-iya, Fi." "Kamu kenapa, Sayang?" Cih! Padahal baru kemarin dia mengucap talak padaku, tapi Mas Delon sudah berani-beraninya memanggil wanita lain dengan panggilan Sayang? "Ngapain kamu ke sini lagi?" tanya Kak Caca yang sedang menyuapi Viko. "Aku ke sini mau ambil buku nikah," ucapku sambil duduk di single sofa depan mereka. "Itu bisa aku antarkan. Kenapa juga ke sini? Dan lagi, sepertinya kedatanganmu mengganggu calon istriku," ucap Mas Delon tanpa rasa bersalah. Kutatap tajam Rara yang sedang menatapku hingga akhirnya ia menunduk. Dasar wanita tak tahu diri! Jadi dia, yang merebut suamiku? "Oh, ya? Apa kamu nggak nyaman sama aku, Ra?" tanyaku dengan wajah yang dibuat-buat sesendu mungkin. "Nggak, Mbak." "Ya sudah, mana buku nikahnya? Aku akan mendaftarkan perceraian kita besok. Kelamaan nungguin kalian." "Tunggu di sini," ucap Mas Delon. Aku menatap ke sekeliling, namun tak
"Kakak tadi lihat undangan atas nama Delon dan Rara di ponsel customer, kayaknya mereka temen atau saudaranya kali, ya? Dan mereka menikah seminggu lagi." "Hah? Bukannya kami bahkan belum resmi bercerai secara negara?" Kak Rosi mengedikkam bahu, aku jadi semakin takjub dengan Mas Delon. Benar-benar manusi tak tahu malu. Apa saking ngebetnya ia, hingga ingin menjadikam Rara istri kedua di catatan negara? "Lalu?" "Kakak ada ide, sini kamu." --Hari ini, aku akan datang sebagai pemilik perusahaan tempat Mas Delon mengajukan kontrak. Sesuai jadwal, aku datang sekitar pukul sepuluh pagi. Mas Bima sendiri tak akan datang karena aku yang meminta. "Kamu serius, Rin?" tanya Kak Rosi sewaktu mobil berhenti di depan kantor."Tentu saja. Ide Kakak pun akan aku laksanakan, tapi ini yang lebih penting lagi. Mas Delon harus tahu kalau aku takkan tinggal diam saja setelah ia buang.""Kakak banyak janji hari ini, jadi ga bisa nemenin," ucap Kak Rosi. "Nggak papa, Kak. Nanti aku minta ditemani
Setelah mempersilakan duduk, Mas Bima mulai mengeluarkan bukti-bukti serta surat pernyataan saksi yang melihat mereka berdua tengah bernegosiasi. Sesuai perjanjian, kami tak menyebut nama mereka, karena mereka takut jika ada sesuatu yang tak diinginkan.Awalnya Mas Delon dan Pak Ahmad menyangkal, namun setelah kami tekan ditambah diancam akan laporkan kasus ini ke pihak berwajib, akhirnya mereka mengaku. Tak lupa, aku meminta Rio untuk merekam ini semua."Jadi bagaimana, Pak? Setelah saya pikirkan, akhirnya saya memiliki dua opsi. Dilaporkan ke polisi, atau bapak sekalian mau membayar kerugian yang telah kami tanggung? Jika dilihat dari data, Pak Ahmad membuat dua kwitansi dan mengubah harga perkilo, bukan perikat kain yang dikirim ke perusahaan Surya Mas. Maka, kami akan menjumlahkan semuanya.""Ampun, Pak Kevin, maafkan saya. Saya lebih baik membayar kerugian yang telah dialami oleh perusahaan daripada masu
Aku tahu ia tengah melarangku, tapi untuk apa aku mendengarkannya?"Mungkin saja, wanita dan pria itu dibayar oleh Rara untuk berpura-pura menjadi orang tuanya. Lihat ke arah sana! Mereka adalah orang tua Rara yang sebenarnya. Meskipun bukan orang tua kandung, tapi mereka lah yang telah membesarkan Rara dari kecil sampai sekarang.Rara tumbuh berkat tetesan keringat dari kedua orang itu. Dan sekarang setelah ia besar, Rara justru enggan mengakuinya hanya demi cinta dan demi menjadi pelakor dalam rumah tangga saya.Rara, kamu pantasnya ada di pasar dan dijual murah sekalian!" teriakku padanya.Emosi yang selama ini kubendung, akhirnya tumpah hari ini juga. Tak munafik, melihat Mas Delon dan juga Rara bersanding, di sudut hati ini merasa berdenyut nyeri. Tapi aku bisa pastikan, kalau ini terakhir kalinya aku merasakan perasaan ini pada b*j*ngan itu!Beberapa orang datang
Alangkah terkejutnya aku saat mengetahui jika ternyata Arina adalah CEO di perusahaan ini dan Pak Kevin adalah Mas Bima. Bisa-bisanya mereka membohongiku. Mengaku hanya pekerja biasa, namun ternyata pemilik perusahaan.Namun, yang lebih mengenaskan lagi adalah, ternyata kedatanganku ke sini untuk diperiksa mengenai kecurangan yang kulakukan dengan Pak Ahmad. Arrrgh, s*al! Kenapa semua jadi seperti ini?"Sudah, nggak papa. Masih ada Rara yang bisa memberi kita materi. Jadi nggak masalah kalau gajimu dipotong," ucap Mama menenangkanku."Iyakah, Ma?""Tentu. Mama lihat, Rara sangat cinta sama kamu. Pasti ia akan melakukan apapun yang kamu pinta," ucap Mama.
"Aaah! Aaah!" Rara gelagapan karena seseorang menyiramnya dengan tiba-tiba. "Arin! Apa yang kamu lakukan?" "Apa yang aku lakukan? Harusnya aku yang nanya itu ke kamu, Mas! Apa yang kamu lakukan saat ini! Kamu tega, Mas! Kamu tega!" teriaknya seraya menarik kerahku hingga bibirnya sampai ke telinga, lalu membisikkan kalimat yang memuakkan. "Bagaimana? Aktingku, bagus, kan?" bisiknya. -- "Ra, tolong jelaskan, apa benar mereka orang tua kandungmu?" tanyaku pada Rara saat kami sudah masuk ke dalam rumah. Aku terpaksa mengakhiri pesta karena melihat suasana tidak kondusif, ditambah dengan makian dari para tamu untukku, terlebih untuk Rara. Entah umpatan seperti apa saja yang terdengar tadi. "Iya, Ra. Apa yang diucapkan oleh Arina gak benar, kan? Mereka bukan orang tua kandungmu, kan?" tanya Mama sambil mendekati Rara. Ra
Seminggu kemudian.Hari ini akan ada acara keluarga besar, dan kebetulan giliran di rumahku. Semenjak menikah, Rara benar-benar berubah seratus persen. Ia menjadi pelit pada Mama, dan kerap meminta uang padaku. Kenapa ia begini? Bukankah dia orang kaya? Seharusnya ia yang memberi padaku, bukan aku yang memberi padanya."Ma, tamunya sudah pada datang," ucapku pada Mama."Rara mana, Lon?" tanya Mama."Ada di kamar, nggak enak badan katanya. Makanya mau keluar nanti aja, nyusul."Mama mengangguk, lalu menggandeng tanganku keluar. Oh iya aku lupa, semenjak kejadian Arina menagih hutang pada Kak Caca, semenjak itu juga Mas Reza tak pern
"Ke kamar, Ma," jawab Rara."Enak banget, beresin semua ini.""Rara, Ma?""Ya iyalah, masa Mama atau Caca?"Rara terlihat menekuk wajahnya, lalu membereskan semua sampah. Aku hendak membantu, tapi tak diperbolehkan oleh orang tua tunggalku itu. Aku pun menuruti, lalu masuk ke dalam kamar Mama."Viko, jangan berantakin kamar Nenek!" ucap Mama saat Viko hendak memasukkan mainannya ke kamar Mama."Tapi, Nek, Viko mau sama Ibu.""Main di luar dulu, sama Tante Rara!" perintah Kak Caca."Nggak mau, Tante Rara ga mau main sama Viko, gak kaya