"Dokter Evan, tapi-"
"Tak apa, Dok. Kebetulan golongan darah saya AB, jadi bisa untuk transfusi."
"Baik, kalau begitu, diperiksa dulu ya, Dok, sebentar."
Seperginya Evan, aku masih berdiri mematung. Tak menyangka jika akan bertemu dengannya, dalam keadaan begini.
Evan Samudra, lelaki yang dulu sempat meninggalkanku sewaktu kami sama-sama lulus SMA. Ia, pergi ke luar negri untuk melanjutkan kuliah di sana karena mendapat beasiswa, sementara aku, memilih melanjutkan di daerah Jakarta saja.
"Itu, Evan," ucap Rio menyadarkanku.
"Ah, iya."
"Kamu, masih ingat padanya?"
"Mana mungkin lupa?"
Kupikir, getar itu sudah menghilang, seiring berjalannya waktu dan aku pun menikah. Namun ternyata salah, getar itu masih ada. Namun tak sekeras dulu.
"Jangan terlalu mengenang. Ingat, dulu dia meninggalkanmu begitu saja."
Aku menoleh, Rio memasang wajah yang san
"Sepertinya, Rio masih suka sama kamu, Rin." Mataku membeliak mendengar Evan mengucapkan hal demikian. Apa katanya? Suka? Rio sama aku? Jika tadi adalah lawakan, maka tak ada unsur lucunya sama sekali. "Jangan bercanda, kami sudah sahabatan sejak lama.""Aku dan Rio sama-sama lelaki, Rin. Aku tau persis bagaimana sikap dan tingkah laku pria ketika tengah cemburu, dan baru saja, Rio cemburu sama aku. Mungkin, dia mengira kita bakal balikan," ucapnya sambil terkekeh. Aku menoleh ke arahnya. Sungguhkah tadi? Kalau Rio memendam rasa untukku? Kuingat kembali, tentang percakapan kami waktu itu, saat ia meng-iyakan pertanyaan temannya soal status kami, dan juga tentang ia yang seakan sudah lama memperhatikanku. Benar, ada keanehan di sini. Kutatap pintu yang tertutup itu, Rio, benarkah kamu menyukaiku? "Mbak, ini makannnya. Maaf lama ya, soalnya tadi ngantri." Aku sungguh terkejut karena Risti tiba-tiba saja datang saat aku tengah memperhatikan pintu. Evan berdiri, berpamitan untuk perg
"Kok bisa ada botol minuman keras di paviliun, Ris?" tanyaku. "Oh, itu kemarin anak buah Anwar kali, Mbak. Aku juga nggak tahu." Aku menggelengkan kepala. Anwar akan kutegur nanti. Meskipun ia berbeda agama denganku, namun jika habis minum, sebaiknya dibuang saja. Andai dia tak ceroboh dan meletakkannya sembarangan, kejadian ini tentu tak akan terjadi, kan?--Keesokan harinya. Aku pergi menemui Kak Caca di kantor polisi. Ia langsung membabi buta begitu melihatku. Beruntung, ada sekat yang memisahkan kami. "Puas kamu, menghancurkan hidupku?" "Tentu, Kak. Salah siapa, kalian yang duluan mencari gara-gara denganku." "Dasar iblis!" teriaknya sambil menggebrak meja. "Kalau aku iblis, kamu apa? Dajjal? Seorang ibu tega mencelakai anaknya hanya karena bangkrut. Lupa, kalau dulu bertaruh nyawa saat melahirkannya? Jangan duiiit terus yang dipikirin! Kasihan Vito punya ibu sepertimu." "Diam! Wanita mandul sepertimu, mana tau rasanya punya anak!" sinisnya. "Jangan sembarangan kalau ngo
Di sana, Rio tengah duduk berdua dengan Risti. Senyum terlihat di wajah lelaki yang sudah menemaniku selama lima tahun belakangan ini. Sementara Vito tengah melihat ikan di kolam yang terletak di tengah-tengah taman.Aku terdiam sesaat, memangnya, apa yang kurasakan saat ini? Salahkah jika mereka berdua saling jatuh cinta? Kenapa rasanya, menyakitkan? Apakah aku cemburu?Aku berbalik, tak jadi bergabung dengan mereka dan berjalan menuju kamar. Di dalam kamar aku termenung. Apa yang tengah kurasakan sekarang? Benarkah aku cemburu? Atau, hanya terkejut saja? Yah, pasti karena terkejut, kan? Apalagi selama ini tak pernah sekalipun kulihat Rio bersama wanita lain. Sikapnya yang dingin pada wanita, sempat membuatku berpikir kalau dia tak normal.Dret!Suara pintu dibuka. Aku mendongak, ternyata Rio, Risti dan juga Vito sudah kembali."Tante Arin!" panggilnya sambil berjalan memelukku.Kuusap pungg
"Apa? G*la si Caca itu!" ucap Bunda saat kuceritakan semua.Bunda dan Kak Rosi datang menjenguk Vito, tapi anak itu tertidur setelah kuminumkan obat tadi."Iya lah, Bun, kalau waras juga gak bakal kaya gjtu. Aku sampai nggak habis pikir loh, Rin, kok bisa ada seorang ibu yang tega menyakiti anaknya hanya karena tak mencapai tujuan keinginannya? Duit mulu yang dipikirin," ucap Kak Rosi."Iya, dia stress kali, Kak. Suaminya kan nikah lagi, udah punya bayi pula.""Hah? Pantes. Iya lah, siapa juga yang tahan sama wanita iblis seperti dia," sungut Kak Rosi."Rosi," tegur Bunda."Hehe, maaf, Bun, terlalu menghayati." Aku terkekeh melihatnya.Aku menceritakan juga tentang siasatku, yang harus menjalin kerja sama dengan wanita malam. Bukan aku membenarkan, tapi memang siapa lagi yang bisa mengerjakan misi ini selain wanita seperti Risti?"Tapi kamu tetap salah, Nak. Bunda kan pernah bilan
"A-apa maksudmu?" tanyaku sambil memalingkan wajah. Pasti saat ini wajahku sudah memerah saking malunya."Rin, kamu nggak mau?""Mau apa?""Kamu nggak mau nikah sama aku?""Kamu ini nawarin, apa gimana, sih? Di mana-mana, orang ngelamar itu nanyanya mau nggak? Bukan nggak mau!"Rio terkekeh setelah mendengar ucapanku. Aku langsung kehilangan mood, kusuruh ia untuk melajukan mobil lagi. Suasana tiba-tiba menjadi canggung, dan hawanya pun panas.Sepuluh menit kemudian, kami sampai di kantor. Amel langsung memberiku materi rapat nanti. Kubaca, lalu menyerahkan padanya lagi."Aku tunggu jawabanmu nanti sore."Aku menoleh ke arah Rio yang tersenyum, kemudian menghilang di balik pintu. Untuk sesaat aku tercenung, lalu mengambil minum saat menyadari hatiku sedang tak baik-baik saja.Debaran dalam dada yang selama ini tak pernah terasa, tiba-tiba memenuhi rongga. Namun, aku teringa
"Ja-jangan, Delon. Maafkan Mama. Iya, Mama mau hidup susah sama kamu."Setelah mencari kontrakan hampir setengah hari, kami dapat juga. Rumah kecil, namun lumayan untuk saat ini, daripada harus tidur di dalam mobil.Setelah membayar untuk tiga bulan ke depan, aku mengajak Mama membeli perlengkapan rumah. Kasur lipat, tikar, dan juga peralatan masak dan makan."Kita harus memulai semuanya lagi dari awal, Lon," ucap Mama sambil terisak."Sudah lah, Ma. Nggak usah Mama nangis terus."Malam hari, Mama masak ayam goreng dan sambal. Aku makan dengan lahap, mengingat seharian belum makan."Besok, Mama mau jenguk Caca, Lon," ucap Mama."Iya, Delon anterin, Ma. Sekarang makan yang banyak."Mama mengangguk, malam itu kami makan dalam diam. Aneh, rasanya. Biasanya ada saja yang menjadi percakapan di meja makan. Kini, selain sepi, juga kami makannya di lantai beralaskan tikar."Tidur,
"Kamu kenapa, Lon?" tanya Mama. "Aku habis kena tipu, Ma. Sepuluh juta uangku melayang," ucapku lemas. Puluhan kali kucoba menelepon Hari, namun tak kunjung tersambung. Kucari akun sosial medianya, menggunakan nama panjangnya. Ketemu. Namun, aku bertambah lemas saat melihat beberapa tulisan temannya yang meminta uang dikembalikan. Ini sih sudah fix, aku kena tipu. "Kamu ini, Lon. Sudah Mama biayai buat kuliah, kok masih aja bl**n! Masa iya kena tipu tapi nggak nyadar?" "Ya kalau nyadar, nggak bakal kena tipu lah, Ma." Aku pun masuk ke dalam kamar. Berbicara dengan Mama rasanya sia-sia saja. Kupandangi tas tempatku menyimpan uang. Kenapa terbuka? Segera kuambil, dan melihat isinya serta menghitungnya. Kenapa hanya tersisa tujuh juta? Ke mana yang tiga juta? "Ma! Mama!" "Apa, sih? Teriak-teriak dipikir Mama ini b*deg?" "Mama lihat uang Delon yang di tas?" tanyaku. "Ya, sama Mama dibawa ke pasar tadi buat belanja bahan makanan." "Belanja apa yang sampai tiga juta, Ma? Lagian,
"Pak Adrian, Pak." "Oh, Pak Adrian lagi ke luar kota. Ibunya sakit, baru saja diantar pergi." Lah? Ngapain dia minta dikirimin barang, namun tak ada di rumah? "Kebetulan, saya ketua RT di sini. Kalau boleh tau, ada keperluan apa, ya?" "Saya mau mengantarkan ini, Pak." "Apa isinya, Pak?" tanya Pak RT tadi sambil menerima barang yang kuulurkan. "Kurang tahu, saya cuma disuruh antar saja." Pak RT nampak penasaran, dengan bimbang, tangannya hendak melepas seteples yang menjadi penutupnya. "Pak, jangan." "Kenapa, Pak?" "Nanti saya dimarahi oleh orang yang menyuruh saya ke sini." "Saya mantan polisi, Pak. Nah, saya curiga dengan barang yang dibawa oleh Bapak." Setelahnya, Pak RT seperti menelepon seseorang, yang ternyata adalah satpam yang baru saja men