"Maksud kamu apa sih? Kenapa kamu masih di sini? Bukan di penjara!" Aku mulai meradang, karena dua kali Ryan malah bicara ngawur. Kemudian, muncul Calista dari balik pintu bersama sang kakak yang tadi membawa polisi ke apartemennya. Aku menyambut dengan baik, karena menurutku Calista lah sebagai penolong untuk meringkus penculik Mas Arlan. "Terima kasih Calista, aku berhutang budi padamu," kataku sambil mengalihkan tubuh ini ke arah Calista. "Ini bukan ideku sepenuhnya, tapi Ryan, ia yang membuka mata hatiku untuk menolong Arlan yang disandera di apartemen milikku oleh Kiara dan Rifat, mereka memang menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi," terang Calista. Ia menjelaskan setengah. Lalu bagaimana bisa Kiara dan Ryan bertemu di apartemen? Banyak pertanyaan yang mengganjal. "Ryan bertemu Kiara di apartemen setelah berjumpa dengan Mbak Dila, bagaimana bisa kamu sebut Ryan sebagai pencetus ide?" tanyaku penasaran. Om Farhan turut menghampiri kami, tapi ia malah mempersilakan s
Mas Arlan mengisyaratkan aku supaya diam, dengan melebarkan telapak tangannya. Aku jadi benar-benar penasaran sebenarnya siapa yang berada dalam sambungan telepon itu. "Tolong, jangan sakiti keluarga saya," ucap Mas Arlan. Ucapannya membuatku menangkap bahwa penelpon memberikan kabar buruk. "Siapa, Mas?" tanyaku penasaran. Mas Arlan masih serius bicara dengan orang dalam sambungan telepon. "Kalian pengecut, bisanya culik menculik!" cetus Mas Arlan. "Halo, Halo, halo! Argh!" sambung Mas Arlan dengan decakan kesal. Aku meraih ponsel yang ia genggam. Itu ponselku, berati orang yang menghubungi kenal denganku. "Apa keluargamu diculik, Mas?""Ya, barusan yang hubungi kamu itu Danang, ia meminta kamu cabut laporan dan membebaskan Kiara juga Rifat," terang Mas Arlan. Aku menghela napas dalam-dalam, ternyata Danang diam-diam langsung bertindak ketika tahu anak dan adiknya masuk bui. "Nggak, Mas, kalau laporan dicabut, kapan bikin jera mereka?" tanyaku padanya. "Aku juga berpikir se
"Tapi, Om, Ryan kemarin datang bersama Kiara," tukas Mas Arlan lagi. Emosinya meledak karena saat ia disekap, Ryan datang bersama Kiara. Sedangkan saat Ryan dan Calista menjelaskan semuanya, Mas Arlan masih tertidur pulas. Om Farhan menghampiri kami, kemudian tangannya menepuk bahu Mas Arlan. Aku terdiam sejenak, sambil menyoroti Mas Arlan, ia cemburu sekaligus kesal karena suamiku pikir Ryan menculiknya demi mendapatkan aku. Kemudian, Ryan pun berani menghampiri Mas Arlan. Ia meraih ponsel dari sakunya. "Kebetulan, kemarin saat diinterogasi oleh pihak yang berwajib, semua terekam di sini, aku yakin kalau hanya menjelaskan tanpa bukti, kamu tidak akan percaya padaku, Arlan," ungkap Ryan membuatku menurunkan bahu seketika. Perasaan ini menjadi agak tenang, padahal saat ia datang tadi cukup menegangkan. Mas Arlan terdiam, tidak mempedulikan ucapan Ryan, kemudian, tangan Om Farhan yang menarik telapak tangan Mas Arlan, lalu menyuruhnya ambil ponsel tersebut. Hening, seketika semua
"Kamu pura-pura tergeletak, Pak Juna, jadi kalau misal orang itu Danang, ia akan mengira semua kena bius," suruh Ryan. Kemudian, kami saling mendekat, namun Mama Desti terlihat sudah tidak kuat berdiri. Jadi Ryan membantunya berjalan. Pintu luar terbuka, kemudian muncul seseorang yang ternyata adalah kakaknya Calista, yang bernama Hendra. "Kalian baik-baik aja?" tanya Mas Hendra sambil membantu Gerry. Laki-laki yang telah menghamili adiknya. "Mas Hendra tahu kita di sini dari Calista ya?" tanya Ryan penasaran. "Iya, Calista yang meminta untuk menyelamatkan Gerry, karena ia ingin bertemu untuk terakhir kalinya," terang Mas Hendra. "Ya, tadi saya sempat bicara pada Calista melalui sambungan telepon, ia sangat mencemaskan Mas Gerry," tambah Ryan. Mata Mas Gerry berkaca-kaca. Aku tahu ia pasti terharu dengan sikap Calista, ia rela pergi demi keutuhan rumah tangga Mas Gerry dengan Mbak Dila, tapi ternyata wanita itu tidak ada kapoknya, menghalalkan cara demi mendapatkan harta secar
"Alhamdulillah, masih, Mbak. Minta tolong cepat, Mas, kalau nggak salah belok kanan lurus dikit ada rumah sakit," terang Hesti sambil menunjukkan arah ke depan. "Iya sebentar lagi kita sampai, ini Maps nunjukin arah yang kamu sebut," sambung Ryan. Aku panik tapi berusaha tenang. Kepikiran juga dengan kondisi Mama Desti, lalu bagaimana dengan Mas Arlan kalau ia mengetahui semua ini? 'Nggak, Mas Arlan jangan tahu kondisi Mama Desti, tubuhnya juga masih sangat lemah,' batinku sambil menyoroti ke arah belakang, tubuh dan wajah yang berlumur darah segar. Kemudian, Ryan berhenti di area parkir rumah sakit, aku segera turun meminta bala bantuan petugas untuk membawa Mama Desti ke UGD. Hesti turun setelah memastikan Mama Desti sudah dibawa dengan kereta dorong oleh petugas. Kami mengekor dari belakang, tapi agak pelan karena Hesti tiba-tiba menggigit bibirnya sambil meremas perut. "Kenapa?" tanyaku padanya. "Kram, Mbak, perutku kram, biasa kalau terkena guncangan, mungkin karena tadi
Tiba-tiba Adit menghampiri Hesti lebih dekat lagi, ia seraya menantang Hesti, jarak mereka sangat dekat, hanya sekitar lima senti, tangannya menyentuh dagu Hesti yang lancip. Sepertinya ia serius dengan perkataannya. "Baiklah, kita batalkan pernikahan, beruntung belum sebar undangan!" tekan Adit. "Ayo, Mah, Pah, kita pulang!" ajak Adit sambil balik badan lalu pergi. Kedua orang tuanya hanya mengejar dan berteriak minta tunggu pada anaknya yang tengah tersulut emosi itu. Aku menyaksikan dimana adik iparku kini patah hati, hal yang sangat ditakutinya pada waktu itu terjadi juga, padahal kami sudah menutupi keburukan yang Mama Desti lakukan. Aku mendekati Hesti, menatih bahunya ke kursi tunggu, matanya mengembun, ada air mata yang ia tahan di pelupuk matanya. "Kamu emosi, kenapa tidak tenangkan dulu?" tanyaku sambil merapikan rambutnya. "Iya, kan bisa dibicarakan saat situasi sudah membaik," sambung Ryan ikut menasihati. "Keputusan ini sudah bulat, Adit bukan laki-laki yang baik un
Aku pernah mendapatkan satu pelajaran, dimana membicarakan perihal balasan di dunia. Tuhan punya cara untuk membuat manusia tersadar dengan membenturkan satu masalah yang setidaknya menjadikan seseorang berkaca. Saat ini Mas Gerry merasa ini adalah buah dari apa yang pernah ia lakukan selama ini, adiknya mengalami hal yang serupa dengan wanita yang dipermainkan olehnya. Meskipun sejujurnya aku tidak menyukai kepribadian Mbak Dila, dan merasakan pantas ia diperlakukan seperti itu dengan suaminya, tapi aku tidak membenarkan juga dengan apa yang dilakukan oleh Mas Gerry. Alasan apa pun, selingkuh itu tetap dilarang karena jatuhnya perzinahan. Namun, setiap manusia berhak untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Mungkin pilihan Calista dan Hesti sudah benar, menjalani hidup masing-masing dan mencari laki-laki yang benar-benar tulus mencintai bukan karena darah daging mereka yang tumbuh dalam rahim perempuan. Dikarenakan sudah ada Mas Gerry di rumah sakit, akhirnya aku pamit untuk me
"Pah, ada apa ini? Jangan buat aku penasaran," timpalku dengan tangan bergetar. "Eyang meninggal dunia, Nilam," jawab papa membuatku lemas seketika. Memang eyang sudah tua, sering sakit-sakitan, tapi aku belum sempat jenguk semenjak papa ke sana. Air mata tak terasa berlinang, teringat pesannya sewaktu aku kecil dulu. "Nilam, kalau kamu nanti hidup berumah tangga, jangan lupa bersosialisasi dengan tetangga, kalau ada yang sakit kamu jenguk. Kita hidup di tengah-tengah lingkungan mereka, harus tahu jika ada salah seorang yang sakit bahkan meninggal," kata eyang seperti itu. "Nilam," panggil papa membuyarkan lamunanku. "Ya, Pah," sahutku. "Arlan gimana? Apa kamu bisa terbang ke sini untuk antar Eyang ke peristirahatan terakhirnya?" tanya papa. Aku nggak mungkin melewatkan hal ini, jadi memang harus izin pada Mas Arlan untuk terbang ke Kalimantan. "Iya, Pah. Aku ke sana, Om Farhan gimana?" tanyaku lagi. "Kamu sudah dibelikan tiket oleh Farhan, nanti dia jemput di rumah sakit, set