"Tapi, Om, Ryan kemarin datang bersama Kiara," tukas Mas Arlan lagi. Emosinya meledak karena saat ia disekap, Ryan datang bersama Kiara. Sedangkan saat Ryan dan Calista menjelaskan semuanya, Mas Arlan masih tertidur pulas. Om Farhan menghampiri kami, kemudian tangannya menepuk bahu Mas Arlan. Aku terdiam sejenak, sambil menyoroti Mas Arlan, ia cemburu sekaligus kesal karena suamiku pikir Ryan menculiknya demi mendapatkan aku. Kemudian, Ryan pun berani menghampiri Mas Arlan. Ia meraih ponsel dari sakunya. "Kebetulan, kemarin saat diinterogasi oleh pihak yang berwajib, semua terekam di sini, aku yakin kalau hanya menjelaskan tanpa bukti, kamu tidak akan percaya padaku, Arlan," ungkap Ryan membuatku menurunkan bahu seketika. Perasaan ini menjadi agak tenang, padahal saat ia datang tadi cukup menegangkan. Mas Arlan terdiam, tidak mempedulikan ucapan Ryan, kemudian, tangan Om Farhan yang menarik telapak tangan Mas Arlan, lalu menyuruhnya ambil ponsel tersebut. Hening, seketika semua
"Kamu pura-pura tergeletak, Pak Juna, jadi kalau misal orang itu Danang, ia akan mengira semua kena bius," suruh Ryan. Kemudian, kami saling mendekat, namun Mama Desti terlihat sudah tidak kuat berdiri. Jadi Ryan membantunya berjalan. Pintu luar terbuka, kemudian muncul seseorang yang ternyata adalah kakaknya Calista, yang bernama Hendra. "Kalian baik-baik aja?" tanya Mas Hendra sambil membantu Gerry. Laki-laki yang telah menghamili adiknya. "Mas Hendra tahu kita di sini dari Calista ya?" tanya Ryan penasaran. "Iya, Calista yang meminta untuk menyelamatkan Gerry, karena ia ingin bertemu untuk terakhir kalinya," terang Mas Hendra. "Ya, tadi saya sempat bicara pada Calista melalui sambungan telepon, ia sangat mencemaskan Mas Gerry," tambah Ryan. Mata Mas Gerry berkaca-kaca. Aku tahu ia pasti terharu dengan sikap Calista, ia rela pergi demi keutuhan rumah tangga Mas Gerry dengan Mbak Dila, tapi ternyata wanita itu tidak ada kapoknya, menghalalkan cara demi mendapatkan harta secar
"Alhamdulillah, masih, Mbak. Minta tolong cepat, Mas, kalau nggak salah belok kanan lurus dikit ada rumah sakit," terang Hesti sambil menunjukkan arah ke depan. "Iya sebentar lagi kita sampai, ini Maps nunjukin arah yang kamu sebut," sambung Ryan. Aku panik tapi berusaha tenang. Kepikiran juga dengan kondisi Mama Desti, lalu bagaimana dengan Mas Arlan kalau ia mengetahui semua ini? 'Nggak, Mas Arlan jangan tahu kondisi Mama Desti, tubuhnya juga masih sangat lemah,' batinku sambil menyoroti ke arah belakang, tubuh dan wajah yang berlumur darah segar. Kemudian, Ryan berhenti di area parkir rumah sakit, aku segera turun meminta bala bantuan petugas untuk membawa Mama Desti ke UGD. Hesti turun setelah memastikan Mama Desti sudah dibawa dengan kereta dorong oleh petugas. Kami mengekor dari belakang, tapi agak pelan karena Hesti tiba-tiba menggigit bibirnya sambil meremas perut. "Kenapa?" tanyaku padanya. "Kram, Mbak, perutku kram, biasa kalau terkena guncangan, mungkin karena tadi
Tiba-tiba Adit menghampiri Hesti lebih dekat lagi, ia seraya menantang Hesti, jarak mereka sangat dekat, hanya sekitar lima senti, tangannya menyentuh dagu Hesti yang lancip. Sepertinya ia serius dengan perkataannya. "Baiklah, kita batalkan pernikahan, beruntung belum sebar undangan!" tekan Adit. "Ayo, Mah, Pah, kita pulang!" ajak Adit sambil balik badan lalu pergi. Kedua orang tuanya hanya mengejar dan berteriak minta tunggu pada anaknya yang tengah tersulut emosi itu. Aku menyaksikan dimana adik iparku kini patah hati, hal yang sangat ditakutinya pada waktu itu terjadi juga, padahal kami sudah menutupi keburukan yang Mama Desti lakukan. Aku mendekati Hesti, menatih bahunya ke kursi tunggu, matanya mengembun, ada air mata yang ia tahan di pelupuk matanya. "Kamu emosi, kenapa tidak tenangkan dulu?" tanyaku sambil merapikan rambutnya. "Iya, kan bisa dibicarakan saat situasi sudah membaik," sambung Ryan ikut menasihati. "Keputusan ini sudah bulat, Adit bukan laki-laki yang baik un
Aku pernah mendapatkan satu pelajaran, dimana membicarakan perihal balasan di dunia. Tuhan punya cara untuk membuat manusia tersadar dengan membenturkan satu masalah yang setidaknya menjadikan seseorang berkaca. Saat ini Mas Gerry merasa ini adalah buah dari apa yang pernah ia lakukan selama ini, adiknya mengalami hal yang serupa dengan wanita yang dipermainkan olehnya. Meskipun sejujurnya aku tidak menyukai kepribadian Mbak Dila, dan merasakan pantas ia diperlakukan seperti itu dengan suaminya, tapi aku tidak membenarkan juga dengan apa yang dilakukan oleh Mas Gerry. Alasan apa pun, selingkuh itu tetap dilarang karena jatuhnya perzinahan. Namun, setiap manusia berhak untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Mungkin pilihan Calista dan Hesti sudah benar, menjalani hidup masing-masing dan mencari laki-laki yang benar-benar tulus mencintai bukan karena darah daging mereka yang tumbuh dalam rahim perempuan. Dikarenakan sudah ada Mas Gerry di rumah sakit, akhirnya aku pamit untuk me
"Pah, ada apa ini? Jangan buat aku penasaran," timpalku dengan tangan bergetar. "Eyang meninggal dunia, Nilam," jawab papa membuatku lemas seketika. Memang eyang sudah tua, sering sakit-sakitan, tapi aku belum sempat jenguk semenjak papa ke sana. Air mata tak terasa berlinang, teringat pesannya sewaktu aku kecil dulu. "Nilam, kalau kamu nanti hidup berumah tangga, jangan lupa bersosialisasi dengan tetangga, kalau ada yang sakit kamu jenguk. Kita hidup di tengah-tengah lingkungan mereka, harus tahu jika ada salah seorang yang sakit bahkan meninggal," kata eyang seperti itu. "Nilam," panggil papa membuyarkan lamunanku. "Ya, Pah," sahutku. "Arlan gimana? Apa kamu bisa terbang ke sini untuk antar Eyang ke peristirahatan terakhirnya?" tanya papa. Aku nggak mungkin melewatkan hal ini, jadi memang harus izin pada Mas Arlan untuk terbang ke Kalimantan. "Iya, Pah. Aku ke sana, Om Farhan gimana?" tanyaku lagi. "Kamu sudah dibelikan tiket oleh Farhan, nanti dia jemput di rumah sakit, set
"Lupa, ya? Aku Dimas, mantan suaminya Kiara." Dia memperkenalkan dirinya lebih dulu. Aku benar-benar lupa dengan wajahnya, jauh berbeda saat kulihat dia melalui foto di sosial media. Dimana laki-laki itu masih terlihat culun sekali. "Eh bukan lupa, tapi kita kan memang belum pernah jumpa, aku pernah tahu kabar Kiara cerai juga dari pemberitaan sosial media," sanggahku padanya. "Tapi, kok kamu kenal aku?" tanyaku gantian. "Kenal dari Kiara, aku sempat bantuin dia neror kamu, maaf ya," celetuknya membuatku menghela napas sambil geleng kepala. Ternyata selama ini Kiara neror aku dibantu olehnya, mantan suaminya. "Aku laporin polisi juga ya, mau?" tanyaku agak mengancam. "Jangan, aku sadar hanya dimanfaatkan oleh Kiara dan Om Rifat, makanya kusudahi semuanya, untung tidak terlampau jauh aku ikut dalam kejahatan yang ia buat," jelasnya lagi. "Terus, kamu ngapain di sini? Lari dari masalah atau gimana? Aku lapor ya," ancamku lagi. Sebenarnya ancaman ini hanya menutupi rasa takutku, kha
"Angkat, Nilam," suruh papa. "Tapi jangan bilang macam-macam, Papa sudah sewa pengacara juga kok," kata papa lagi. Aku segera mengangkat telepon darinya, mungkin ada hal penting yang harus orang itu katakan. "Halo," ucapku padanya. "Halo, Nilam, apa kabar?" timpal orang yang di seberang sana, suara itu ternyata suara Kiara. Berati pengacara itu sedang berada di penjara. "Hemm, tentu baik, ngapain Anda telepon saya?" tanyaku heran. "Aku ingin minta maaf, Nilam, maafkan segala kesalahanku, jujur saja aku khilaf," ungkap Kiara membuatku tambah keheranan. Sebab kami tidak saling bertatap muka, jadi tidak tahu sebenarnya Kiara tulus atau tidak. "Khilaf? Tapi dua kali loh, apa papamu juga khilaf?" cecarku merasa aneh. "Aku benar-benar nggak tahu kalau papa melakukan hal yang sama, tolong maafkan aku ya," lirih Kiara. Aku terdiam bertanya pada papa dan Mas Arlan dengan bahasa isyarat bibir dikomat-kamit. "Kalau aku sudah maafkan, lalu apa lagi?" tanyaku seperti menantang. "Nggak ad