Mas Arlan mengisyaratkan aku supaya diam, dengan melebarkan telapak tangannya. Aku jadi benar-benar penasaran sebenarnya siapa yang berada dalam sambungan telepon itu. "Tolong, jangan sakiti keluarga saya," ucap Mas Arlan. Ucapannya membuatku menangkap bahwa penelpon memberikan kabar buruk. "Siapa, Mas?" tanyaku penasaran. Mas Arlan masih serius bicara dengan orang dalam sambungan telepon. "Kalian pengecut, bisanya culik menculik!" cetus Mas Arlan. "Halo, Halo, halo! Argh!" sambung Mas Arlan dengan decakan kesal. Aku meraih ponsel yang ia genggam. Itu ponselku, berati orang yang menghubungi kenal denganku. "Apa keluargamu diculik, Mas?""Ya, barusan yang hubungi kamu itu Danang, ia meminta kamu cabut laporan dan membebaskan Kiara juga Rifat," terang Mas Arlan. Aku menghela napas dalam-dalam, ternyata Danang diam-diam langsung bertindak ketika tahu anak dan adiknya masuk bui. "Nggak, Mas, kalau laporan dicabut, kapan bikin jera mereka?" tanyaku padanya. "Aku juga berpikir se
"Tapi, Om, Ryan kemarin datang bersama Kiara," tukas Mas Arlan lagi. Emosinya meledak karena saat ia disekap, Ryan datang bersama Kiara. Sedangkan saat Ryan dan Calista menjelaskan semuanya, Mas Arlan masih tertidur pulas. Om Farhan menghampiri kami, kemudian tangannya menepuk bahu Mas Arlan. Aku terdiam sejenak, sambil menyoroti Mas Arlan, ia cemburu sekaligus kesal karena suamiku pikir Ryan menculiknya demi mendapatkan aku. Kemudian, Ryan pun berani menghampiri Mas Arlan. Ia meraih ponsel dari sakunya. "Kebetulan, kemarin saat diinterogasi oleh pihak yang berwajib, semua terekam di sini, aku yakin kalau hanya menjelaskan tanpa bukti, kamu tidak akan percaya padaku, Arlan," ungkap Ryan membuatku menurunkan bahu seketika. Perasaan ini menjadi agak tenang, padahal saat ia datang tadi cukup menegangkan. Mas Arlan terdiam, tidak mempedulikan ucapan Ryan, kemudian, tangan Om Farhan yang menarik telapak tangan Mas Arlan, lalu menyuruhnya ambil ponsel tersebut. Hening, seketika semua
"Kamu pura-pura tergeletak, Pak Juna, jadi kalau misal orang itu Danang, ia akan mengira semua kena bius," suruh Ryan. Kemudian, kami saling mendekat, namun Mama Desti terlihat sudah tidak kuat berdiri. Jadi Ryan membantunya berjalan. Pintu luar terbuka, kemudian muncul seseorang yang ternyata adalah kakaknya Calista, yang bernama Hendra. "Kalian baik-baik aja?" tanya Mas Hendra sambil membantu Gerry. Laki-laki yang telah menghamili adiknya. "Mas Hendra tahu kita di sini dari Calista ya?" tanya Ryan penasaran. "Iya, Calista yang meminta untuk menyelamatkan Gerry, karena ia ingin bertemu untuk terakhir kalinya," terang Mas Hendra. "Ya, tadi saya sempat bicara pada Calista melalui sambungan telepon, ia sangat mencemaskan Mas Gerry," tambah Ryan. Mata Mas Gerry berkaca-kaca. Aku tahu ia pasti terharu dengan sikap Calista, ia rela pergi demi keutuhan rumah tangga Mas Gerry dengan Mbak Dila, tapi ternyata wanita itu tidak ada kapoknya, menghalalkan cara demi mendapatkan harta secar
"Alhamdulillah, masih, Mbak. Minta tolong cepat, Mas, kalau nggak salah belok kanan lurus dikit ada rumah sakit," terang Hesti sambil menunjukkan arah ke depan. "Iya sebentar lagi kita sampai, ini Maps nunjukin arah yang kamu sebut," sambung Ryan. Aku panik tapi berusaha tenang. Kepikiran juga dengan kondisi Mama Desti, lalu bagaimana dengan Mas Arlan kalau ia mengetahui semua ini? 'Nggak, Mas Arlan jangan tahu kondisi Mama Desti, tubuhnya juga masih sangat lemah,' batinku sambil menyoroti ke arah belakang, tubuh dan wajah yang berlumur darah segar. Kemudian, Ryan berhenti di area parkir rumah sakit, aku segera turun meminta bala bantuan petugas untuk membawa Mama Desti ke UGD. Hesti turun setelah memastikan Mama Desti sudah dibawa dengan kereta dorong oleh petugas. Kami mengekor dari belakang, tapi agak pelan karena Hesti tiba-tiba menggigit bibirnya sambil meremas perut. "Kenapa?" tanyaku padanya. "Kram, Mbak, perutku kram, biasa kalau terkena guncangan, mungkin karena tadi
Tiba-tiba Adit menghampiri Hesti lebih dekat lagi, ia seraya menantang Hesti, jarak mereka sangat dekat, hanya sekitar lima senti, tangannya menyentuh dagu Hesti yang lancip. Sepertinya ia serius dengan perkataannya. "Baiklah, kita batalkan pernikahan, beruntung belum sebar undangan!" tekan Adit. "Ayo, Mah, Pah, kita pulang!" ajak Adit sambil balik badan lalu pergi. Kedua orang tuanya hanya mengejar dan berteriak minta tunggu pada anaknya yang tengah tersulut emosi itu. Aku menyaksikan dimana adik iparku kini patah hati, hal yang sangat ditakutinya pada waktu itu terjadi juga, padahal kami sudah menutupi keburukan yang Mama Desti lakukan. Aku mendekati Hesti, menatih bahunya ke kursi tunggu, matanya mengembun, ada air mata yang ia tahan di pelupuk matanya. "Kamu emosi, kenapa tidak tenangkan dulu?" tanyaku sambil merapikan rambutnya. "Iya, kan bisa dibicarakan saat situasi sudah membaik," sambung Ryan ikut menasihati. "Keputusan ini sudah bulat, Adit bukan laki-laki yang baik un
Aku pernah mendapatkan satu pelajaran, dimana membicarakan perihal balasan di dunia. Tuhan punya cara untuk membuat manusia tersadar dengan membenturkan satu masalah yang setidaknya menjadikan seseorang berkaca. Saat ini Mas Gerry merasa ini adalah buah dari apa yang pernah ia lakukan selama ini, adiknya mengalami hal yang serupa dengan wanita yang dipermainkan olehnya. Meskipun sejujurnya aku tidak menyukai kepribadian Mbak Dila, dan merasakan pantas ia diperlakukan seperti itu dengan suaminya, tapi aku tidak membenarkan juga dengan apa yang dilakukan oleh Mas Gerry. Alasan apa pun, selingkuh itu tetap dilarang karena jatuhnya perzinahan. Namun, setiap manusia berhak untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Mungkin pilihan Calista dan Hesti sudah benar, menjalani hidup masing-masing dan mencari laki-laki yang benar-benar tulus mencintai bukan karena darah daging mereka yang tumbuh dalam rahim perempuan. Dikarenakan sudah ada Mas Gerry di rumah sakit, akhirnya aku pamit untuk me
"Pah, ada apa ini? Jangan buat aku penasaran," timpalku dengan tangan bergetar. "Eyang meninggal dunia, Nilam," jawab papa membuatku lemas seketika. Memang eyang sudah tua, sering sakit-sakitan, tapi aku belum sempat jenguk semenjak papa ke sana. Air mata tak terasa berlinang, teringat pesannya sewaktu aku kecil dulu. "Nilam, kalau kamu nanti hidup berumah tangga, jangan lupa bersosialisasi dengan tetangga, kalau ada yang sakit kamu jenguk. Kita hidup di tengah-tengah lingkungan mereka, harus tahu jika ada salah seorang yang sakit bahkan meninggal," kata eyang seperti itu. "Nilam," panggil papa membuyarkan lamunanku. "Ya, Pah," sahutku. "Arlan gimana? Apa kamu bisa terbang ke sini untuk antar Eyang ke peristirahatan terakhirnya?" tanya papa. Aku nggak mungkin melewatkan hal ini, jadi memang harus izin pada Mas Arlan untuk terbang ke Kalimantan. "Iya, Pah. Aku ke sana, Om Farhan gimana?" tanyaku lagi. "Kamu sudah dibelikan tiket oleh Farhan, nanti dia jemput di rumah sakit, set
"Lupa, ya? Aku Dimas, mantan suaminya Kiara." Dia memperkenalkan dirinya lebih dulu. Aku benar-benar lupa dengan wajahnya, jauh berbeda saat kulihat dia melalui foto di sosial media. Dimana laki-laki itu masih terlihat culun sekali. "Eh bukan lupa, tapi kita kan memang belum pernah jumpa, aku pernah tahu kabar Kiara cerai juga dari pemberitaan sosial media," sanggahku padanya. "Tapi, kok kamu kenal aku?" tanyaku gantian. "Kenal dari Kiara, aku sempat bantuin dia neror kamu, maaf ya," celetuknya membuatku menghela napas sambil geleng kepala. Ternyata selama ini Kiara neror aku dibantu olehnya, mantan suaminya. "Aku laporin polisi juga ya, mau?" tanyaku agak mengancam. "Jangan, aku sadar hanya dimanfaatkan oleh Kiara dan Om Rifat, makanya kusudahi semuanya, untung tidak terlampau jauh aku ikut dalam kejahatan yang ia buat," jelasnya lagi. "Terus, kamu ngapain di sini? Lari dari masalah atau gimana? Aku lapor ya," ancamku lagi. Sebenarnya ancaman ini hanya menutupi rasa takutku, kha
"Apa yang diculik itu sekarang masih hidup, Mbok?" tanyaku menyelidik. Ini kesempatan emas untukku mencari tahu, khawatir hal ini ada kaitannya dengan cincin inisial C."Baru saja meninggal tadi, Non. Makanya Mbok ke sini, takut, Mbok punya firasat tidak enak. Ingat kejadian dulu Mama Desti yang telah membunuh mamanya Mas Arlan," ungkap Mbok Nur.Aku pun mendadak berkeringat, ini masalah yang dulu bisa diungkap kembali jika ada sesuatu yang terjadi dan Mama Desti membantunya."Om curiga ini Dila menculik Calista, dan kakaknya, sampai sekarang informasi itu masih simpang siur," ucap Om Farhan.Aku tertunduk, masih merasakan cucuran keringat yang keluar sedikit demi sedikit sebesar biji jagung."Kebenaran akan menang, Om, kejahatan pasti akan kalah," timpal Mas Arlan.***Akikah anak pertamaku telah tiba, acara banyak dikunjungi oleh tamu undangan. Semua sudah datang untuk mendoakan baby AN menjadi anak soleh.Acara dilaksanakan penuh khidmat. Lantunan ayat membuat acara yang netral me
Aku termenung sejenak, meneliti huruf inisial yang tertera di cincin. Namun, tiba-tiba saja Baby AN nangis, aku langsung menggendongnya, cincin itu digenggam Mas Arlan.Kami semua masuk dan menuju kamarku, pernak pernik bayi sudah terukir di sudut kamar, "Ah senangnya memiliki bayi, seperti punya kehidupan baru lagi," ucapku sambil menghela napas dan menyoroti ruangan.Tangan Mas Arlan berada di bahu, ia menepuk pundak ini pelan, lalu menciumi keningku dan Baby AN."Kesayanganku, kalian ini jantung hatiku," ungkap Mas Arlan.Aku tersenyum sambil menyandarkan kepala di bahunya.Inilah keluarga kecilku, setelah beberapa purnama mengharapkan kehadiran sang buah hati, kini bayi mungil berada di pangkuan kami.Mama keseringan bolak-balik karena tidak bisa mendengar Baby AN nangis, ia langsung buru-buru datang ketika tangisan cucunya memekikkan telinga. Padahal hanya buang air besar, mamaku sudah khawatir padanya."Kalau lihat dia ngejan langsung buru-buru salin dong jangan sampai lecet," s
"Itu dia, Nilam, Om obrolan Om belum selesai tapi Dila udah datang," kata Om Farhan.Papa melirik ke arah adiknya, lalu berpindah ke arahku."Apa kematian Calista sabotase Dila?" tanya papa tiba-tiba curiga."Masa iya kecelakaan kapal bisa salah? Waktu itu kita nggak datang sih ya ke rumah sanak saudara mengucapkan bela sungkawa," timpalku. "Lagian kalau sabotase, sembilan bulan masa iya tidak tercium," tambahku masih tidak percaya."Bukankah mamaku juga meninggal dunia karena sabotase Mama Desti? Dan baru ketahuan setelah puluhan tahun," sambung Mas Arlan.Aku terdiam sejenak, yang dikatakan oleh Mas Arlan ada benarnya, tapi ini juga termasuk buruk sangka, sebab saat Calista dinyatakan meninggal dunia, Mbak Dila itu berada di dalam jeruji besi."Ah sudahlah, tak usah memikirkan yang sudah tidak ada, lagi pula yang namanya bangkai pasti terkuak. Jika ada sabotase dalam kematian Calista dan kakaknya, cepat atau lambat akan terbongkar juga. Sekarang, kalian fokus dengan Baby AN, mau dik
"Kamu harus kuat, Nak. Demi Mama," lirih mamaku seraya memohon.Terlintas semua yang kulalui bersama Mas Arlan. Seketika kekuatan muncul dan perut terasa mulas ingin buang air besar."Mah, aku kepingin mengejan," kataku dengan suara pelan. Rasanya tenaga yang tersisa sudah tidak banyak.Mama menoleh ke area bawah, ia terkejut melihat sudah banyak darah yang mengalir dari area vagina. "Nilam, sepertinya kamu sudah pembukaan sembilan, ya sudah dicoba mengejan," suruh mama.Aku berhitung dalam hati lalu mengerang sambil mengejan, dan mama menyuruhku terus dan tambahkan kekuatan. Setelah mengejan ketiga kalinya, tiba-tiba saja seperti ada yang jatuh ke daerah jok mobil. Kemudian, suara bayi menangis pun melengking tinggi."Ya Allah anakmu sudah lahir, Nilam. Bayinya laki-laki," ungkap mama.Aku tersenyum sambil menurunkan bahu. Ada tangis mengiringi, akhirnya aku kuat mengeluarkan bayi di dalam mobil sendirian, hanya di bantu mama."Mah tapi aku masih mulas," kataku sambil menjerit kembal
Aku sudah kongkalikong saat melakukan pembayaran. Tadinya hanya minta tolong periksa, tapi kata Mas Arlan, sekalian kalau ada yang janggal bikin bagaimana caranya mengetahui bahwa Tante Sita ini berbohong. Jadi, ketika keluar ruangan aku pun melakukan sandiwara seperti Tante Sita. "Sekarang sudah jelas, Tante yang mengurung Om Farhan dua hari ini, kan?" cecarku sengaja. "Jangan sembarangan nuduh kamu, Nilam!" sanggah Tante Sita. "Aku nggak sembarangan, tentu disertai bukti. Dokter Lutfi adalah temanku, ia bilang obat bius itu takkan mungkin digunakan sendiri oleh Om Farhan, itu artinya ada orang yang masuk sebelum Tante Sita," terangku. "Tapi bukan Tante.""Lalu siapa wanita yang dia hari ini bolak balik ke sini? Sudahlah jangan bohong!" Aku bukan sembarangan menuduh tapi sudah bilang pada petugas hotel untuk mengirim rekaman CCTV-nya ke nomorku. "Jadi kamu?" Tante Sita mulai sadar. "Ya, tadi petugasnya aku bisikan sesuatu, aku minta dikirim rekaman CCTV saat Om Farhan datang,
"Kita ikutin aja, apa jangan-jangan Om Farhan dibius atau disekap?" Mas Arlan curiga dan langsung membuka sabuk pengamannya. Aku pun ikut membuka sabuk dan turun membuntuti Tante Sita. Kami berjalan dengan sembunyi-sembunyi, bersama dengan iringan langkah Tante Sita. Namun, kami kesulitan saat ia masuk lift. Tidak mungkin juga kami ikut masuk ke dalamnya. Akhirnya aku dan Mas Arlan membiarkan Tante Sita naik duluan. "Aku yakin dia ke apartemen Om Farhan, dan dua hari ini Tante Sita bersama dengannya," ucap Mas Arlan seakan menuduh bahwa Tante Sita yang menyembunyikan Om Farhan. "Aku sempat ketemu dengannya kemarin, Mas. Apa dia sengaja?" Aku jadi ikut curiga, sebab ia memohon untuk merayu Om Farhan. "Kalau gitu kita harus cepat ke kamarnya, kalau nggak nanti Tante Sita akan berbuat nekat, atau bahkan bisa memindahkannya," tutur suamiku. Kemudian lift kembali terbuka, kami segera menuju apartemen milik Om Farhan. Langkah kaki kami begitu cepat hingga mereka yang melihat pun menyo
"Gimana hasil sidang, Mas?" tanyaku padanya. "Mengecewakan, Dek. Aku bingung cerita di sini, nanti aja di rumah sakit ya," terang Mas Arlan.Aku terdiam, mengecewakan dalam arti bukan bebas kan? Kalau bebas aku sangat menyayangkan, ini semua gara-gara Mas Gerry dan Mama Desti. Mereka tidak tahu terima kasih, sudah diberikan kesempatan dan tidak dilaporkan masalah pembunuhan mamanya Mas Arlan, kini malah menikam. "Kalau misalnya mereka menantang, kamu buka kembali kasus mamamu dulu, Mas. Ini cara satu-satunya memenangkan," jawabku. Mas Arlan terdiam sejenak, tapi sambungan telepon masih tersambung. "Kamu nggak capek, Dek ngurusin seperti ini?" tanyaku Mas Arlan padaku. "Aku geregetan aja, Mas," jawabku. "Ya sudah, aku pulang ke rumah sakit ya, nanti cerita di sana," ungkap Mas Arlan. Lalu telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam. Aku meletakkan ponsel dengan wajah merengut. Papa sontak memberikan saran untuk melihat sosial media. Pasti ada pemberitaannya, karen
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika orang yang berada di belakangku selama ini kini dikabarkan sakit. Telepon pun sengaja aku putus setelah mengetahui papaku dirawat di rumah sakit. Mas Arlan pun langsung mengantarkan aku tanpa berpikir panjang. Semua jadwal meeting untuk siang ini ditunda. "Setelah antar aku ke rumah sakit, kamu balik aja ke kantor, Mas," suruhku."Nggak, aku juga ingin nunggu Papa," jawab Mas Arlan. "Tapi, Mas, jadwal meeting sudah dibuat masa dipending ulang, reschedule lagi gitu?" tanyaku balik. "Mertuaku adalah orang tuaku, Sayang," jawab Mas Arlan. "Kamu tahu kan aku sudah nggak punya orang tua? Jadi hanya mertua yang kupunya," kata Mas Arlan. Aku tak bisa berkata apa-apa, memang kesehatan lebih penting dari segalanya, dan keluarga adalah paling utama. Namun, entah kenapa Mas Gerry dan Mbak Dila tidak melakukan hal itu. Apa karena mereka saudara tiri? Mama Desti pun sama, mereka mudah terpengaruhi. "Kadang aku heran, Mas, kenapa kamu jauh berbeda deng
"Aduh mimpi apa aku semalam, dapat telepon dari kamu, Mbak. Calon narapidana," ejekku melalui sambungan telepon. Mas Arlan menoleh sambil memegang setir, matanya ikut menyorotiku. "Hari ini sidang ketiga, yang kemungkinan di akhir sidang nanti akan dibacakan vonis, kamu siapin mental ya, mental kalah," kata Mbak Dila sambil terkekeh. "Tapi tetap dihukum, kan? Menghirup udara melalui sel tahanan," jawabku. "Setelah keluar dari sini, kita akan bertemu lagi. Ingat Nilam, kita masih ada urusan!" ancam Mbak Dila. Kemudian, telepon pun terputus. Aku menghela napas, sambil meletakkan ponsel kembali ke atas dashboard mobil. "Kembali seperti awal lagi, Mas. Mbak Dila balik dengan Mas Gerry, Mama dan Hesti kini berpihak padanya juga." Aku mengeluh sambil mengusap pelipis. "Maafkan aku ya, Dek. Kalau saja semalam kita tolongin Mama, mungkin nggak akan seperti ini," ucap Mas Arlan. Namun aku hanya menepuk pundak sebelah kirinya. "Kita jadi tahu, Mas, itu artinya Mama dan Hesti tidak tulus