"Gue enggak habis pikir sama Erina, licik banget," gumam Liona sambil beriringan jalan menuju rumah sementara mereka selama di desa, "kalau begini keadaannya, kan gue jadi takut sama Erina, Vin. Jadi trust issue, siapa lagi yang mau gue percaya di desa ini sampai kelar KKN?" lanjut Liona mencecar Vina dengan perasaan dan pikirannya.Kebohongan yang jelas dilakukan Erina pada polisi mendatangkan perasaan tidak enak bagi Vina dan Liona, menyadari kebohongan untuk melukai orang lain dan menciptakan sandiwara seolah ada buronan yang menyerang, tidaklah baik untuk tetap dipendam, "kami balik," ucap Vina setelah sepanjang langkahnya hanya mengabaikan Liona yang pada akhirnya terdiam.Setelah mengunci pintu utama, dua wanita itu berjalan ke kamar pojok tanpa lagi niat untuk memeriksa penjuru rumah. Tidak kaget rasanya saat menjumpai dua petugas berseragam yang sebelumnya menginterogasi Erina, "kenapa di sini, pak?" tanya Vina sambil melangkah masuk bersama Liona, lalu duduk di antara Desry da
Keramaian desa yang dikunjungi oleh berbagai kalangan perlahan kembali pada ciri khas desa, sepi dan tenang. Para pencari berita, polisi, petugas kesehatan, pemerintah daerah setempat, dan utusan pihak kampus dari para mahasiswa juga telah berpamitan setelah menelusuri desa dengan segala bantuan dan bimbingan warga desa."Iya, Pak ... Iya betul, tidak perlu bapak sampai patroli atau menunggu desa ini, kami akan mengganti rantai dan gembok di gerbang agar lebih aman," ujar Danang mengantarkan beberapa petugas polisi dan dosen ke depan gerbang desa, gerbang yang menjadi satu-satunya pintu masuk dan keluar desa Metanoia."Tapi untuk mahasiswa kami, apa dijamin keamanannya?" tanya dosen pembimbing mahasiswa, kunjungan untuk yang ketiga kalinya setelah mendengar berita penyerangan desa oleh buronan."Dijamin kok, Pak. Aman kita," jawab Afrian mengancungkan ibu jarinya dengan senyum lebar dan menunjukkan barisan giginya."Kalau begitu, mohon disosialisasikan ke seluruh warga desa. Kalau ter
"Besok kita mulai kerja lagi kayak biasa, ya," kata pria berbadan sedikit bongkok dengan perut buncitnya yang khas, "mahasiswa tolong diatur lagi seperti sebelumnya.""Tapi polisi, wartawan, dan dokter enggak akan ke sini lagi, Pak?" tanya pria muda mewakilkan lima temannya sambil memperhatikan raut wajah pria buncit itu dengan saksama, "maksud saya, kalau mereka ke sini lagi, program kerja kami bisa terus diundur dan rencana buat program lainnya bisa berantakan," lanjut pria muda bernama Afrian itu menyadari perubahan ekspresi lawan bicara yang menatapnya lebih tajam."Apa program lain kalian selain bikin saluran pembuangan air?" sahut pria bertubuh sedikit bongkok bernama Danang Harja."Sesuai permintaan warga desa, yang minta kami dari mahasiswa membangun aula," jawab Afrian dengan lugasnya."Rencana kalian buat kegiatan belajar, enggak jadi, kan?" Afrian menggeleng sambil mengulum senyum, "bagus, jadi kalian cuma bikin saluran pembuangan dan aula, ya?""Iya, betul," ucap Afrian me
Hening, tidak ada suara yang terdengar. Sunyi, tidak ada gerakan yang dapat menimbulkan bunyi. Begitu hampa dirasa setelah Vina bertanya, bukan pertanyaan yang membuat canggung keadaan tapi reaksi Erina kala pertanyaan itu diajukan."Ya," jawab Erina setelah sekian lama terdiam dan hanya melakukan kontak mata dengan Vina, jawaban yang sekaligus memutus kontak mata keduanya, "aku dipaksa hidup kayak mereka, aku dilarang percaya sama bapakku sendiri, bapakku dimusuhi dan dikata-katain padahal sudah mati. Kayak gitu, aku harus maafin mereka? Kalau hidup kalian kayak gitu, kalian mau maafin mereka?"Teralih pandangan Vina pada Liona yang berdeham singkat, mata keduanya saling bertukar informasi singkat hanya untuk memberi konfirmasi. Sejauh mana emosi Erina yang mereka sadari?"Enggak, tapi kenapa kakak mau mereka mati? Aku juga benci orang di kota, tapi aku enggak mau dia mati," ujar Liona menggali cara berpikir Erina yang dibenci warga desa, kali ini timbul pertanyaan baru dalam benak Li
"Hah? Gimana maksud lo gimana?"Pagi yang mendung di pinggir pantai menyambut dengan kesejukan teruntuk orang-orang di desa Metanoia, kesejukan yang tidak selaras dengan suasana hati dan pikiran bagi sebagian pengunjung desa Metanoia. Bingung, itulah yang dirasakan oleh tiga wanita berstatus mahasiswa setelah mendengar penjelasan dari tiga teman pria mereka."Apa sih? Enggak ngerti gue," sahut wanita lainnya sambil menyisir rambut, "baru juga bangun, sudah disuruh mikir," lanjutnya menggerutu."Oke gini. Kemarin Erina nangis kan, Li ... Vin?" tanya pria berambut kribo pada dua teman wanitanya yang mengangguk, "menurut kalian, dia nangis kenapa?""Menurut gue sih, dia nangis karena bapaknya dihina sama warga desa bahkan ibunya juga," jawab wanita dengan kalung liontin sabit yang selalu menggantung bebas di lehernya, "gue bakal marah kalau bapak gue dihina sama ibu gue sendiri, tapi kalau gue enggak bisa bertindak banyak ya gue pasti bakal nangis. Gue merasa gagal untuk menjaga nama bap
Mengernyit kening wanita berpakaian lusuh itu, sorot mata yang bahkan tiba-tiba menjadi sendu dan kepala yang perlahan menunduk. Napas Erina yang tetap teratur sedikit-banyak membuat Vina dan Desry spontan bertukar tatap, saling memberitahu kondisi yang dipahami meski berakhir dengan terangkatnya dua bahu yang bingung.Vina mencolek Liona dan mengangkat dagunya sedikit, mempertanyakan tujuan temannya itu bertanya hal cukup sensitif.Liona hanya menoleh untuk memicingkan matanya dan kembali melihat Erina, tidak ada jawaban yang dapat dipahami Desry atau Vina atas responnya yang dirasa menyebalkan. Erina pun menggeleng dan perlahan mengangkat kepalanya, "aku enggak pernah berpikir dari dulu. Kemarin aku marah ... marah banget, mereka selalu jahat ke orang baik. Aku enggak mau diam saja sampai kalian jadi korban, biar anak-anak aku saja yang jadi korban karena aku diam, jangan ada lagi," tutur Erina pelan yang justru membuat Vina dan Desry mengernyit bingung, berbeda dengan Liona yang mem
[10 Jam Sebelumnya]"Oi, Afrian!" seru seorang pria di atas kapal memanggil."Ya." Pria muda berambut cepak yang mulai tumbuh secara acak menyahut, berlari ia menghampiri orang yang memanggilnya, "kenapa?""Mau ikut berlayar atau urus tugas kuliah lo?" tanya pria dari desa Metanoia, tidak banyak penduduk membuat mahasiswa dengan mudah mengetahui setiap orang dari desa hanya dari fisik."Dekat atau jauh?" tanggap Afrian dengan pertanyaan juga."Dekat kayaknya, cuma mau ambil udang saja," jawab pria bertubuh kurus itu."Entar deh, gue tanya yang lain dulu," kata Afrian bergegas turun dari kapal itu lalu menghampiri Erwin yang berada di dalam lubang galian, "Win!" panggil Afrian pada temannya yang identik dengan rambut kribo khas."Ha?" sahut Erwin mendongakkan kepalanya untuk melihat orang yang memanggil, "kenapa?""Naik dulu sini," titah Afrian kembali berjalan menuju Angga, yang sudah pasti sedang bersama laptopnya di bawah pohon rindang.Ketua kelompok mahasiswa itu duduk bersila dan
Sudah biasa, katanya. Apa yang sudah biasa? Terlalu ambigu untuk dimengerti. Sudah biasa anak diasuh orang lain, atau sudah biasa berhubungan badan dengan orang lain?Afrian memejamkan matanya kuat, desa ini terlalu rancu untuk dimengerti dan diwajarkan. Lantas, apa lagi yang harus dipahami?"Sudah biasa gimana maksudnya?" tanya mahasiswa itu setelah lama terdiam untuk mencerna, walau telah memakan waktu namun tidak ada juga hal yang bisa dipahami."Sudah biasa kita tukar istri dan teman, seru banget. Mau coba?" jawab Galuh diakhiri tawaran mengejutkan bagi Afrian, "kenapa kaget gitu? Memangnya anak kota enggak pernah begitu? Pernah pasti, gue pernah diajak juga kok."Meringis pria berambut cepak kala mendengarnya, ia sangat tahu golongan orang di kota seperti itu, tapi sejauh yang ia tahu juga orang di kota tidak bisa berbangga seperti orang dari Desa Metanoia bahkan melakukannya cenderung bersembunyi, "kaget saja kalau sampai punya anak, soalnya setahuku walau di kota ada begitu juga
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat
Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili
[Tepat hari pengantaran Erina ke rumah tahanan]"Vina sudah sembuh?" tanya wanita bersetelan serba biru dengan nomor di dada kiri dan punggungnya, setelan yang diberikan pihak berwenang sebagai identitas selama menjalani masa hukuman."Sudah," jawab wanita muda yang jadi bagian dari mahasiswa KKN di Metanoia, "kenapa memangnya? Kok aku enggak ditanya?""Dia kelihatan lebih kasihan pas lihat mayatnya Pak Ujang," ucap wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berusaha keras selama belasan tahun untuk keluar dari desa, tapi berakhir di balik jeruji besi, "kamu juga kelihatan baik kok, buat apa aku tanya?" lanjutnya terkekeh ringan.Meski kini dirinya sudah terima kenyataan, bahwa semua yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi. Tapi dalam benak seorang Erina tetap tersisa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan, lantas kenapa Danang mati begitu saja dengan segala kejahatannya? Haruskah Erina semakin membenci Agus yang juga sudah mati di tangannya, karena Agus membunuh Danang?Namun
Jauh di pelosok dari pinggir kota, sebuah mobil berjalan lambat di jalan yang dilihatnya sudah lebih lebar sejak terakhir dilewati untuk pembukaan tempat wisata. Semak belukar liar di pinggir jalan kini sudah bersih, jalan rusak berbatu pun kini sudah berganti jadi beton, dan sepanjang jalan yang tiap malam mengalami kegelapan kini sudah dilengkapi lampu jalan setiap tiga meter.Usai kejadian menggemparkan yang membuat semua pihak terlibat dan merasa gelisah, perkembangan untuk setiap lokasi dilakukan dengan berbagai cara dan mengorbankan banyak materi. Mengadakan lampu jalan, memperbaiki jalan rusak, memperbaiki lampu jalan yang rusak, memberi akses listrik dan internet pada semua lokasi secara terbuka hingga dapat diakses semua orang, dan mengadakan jadwal rutin untuk pemeriksaan lokasi juga warga."Eh ... itu mau jadi perumahan ya?" tunjuk wanita hamil yang duduk tepat di samping kemudi."Mana?" tanya pria di balik kemudi yang menepikan kendaraan, "kelihatannya begitu," lanjutnya m
Tok ... tok ... tok.Napas lega yang bersahut dengan seruan tidak terima terdengar jelas, bersatu tidak padu dalam sidang keputusan perkara pembunuhan berencana. Senyum simpul diulum tipis oleh pemilik banyak cabang pusat sarana olahraga, senyum yang ditujukan pada kuasa hukum muda dari firma ternama di negeri.Setelah hampir satu tahun berlalu sejak mahasiswa berhasil keluar dari desa, setelah lima bulan sejak sidang perdana dimulai, setelah empat bulan sejak mahasiswa dinyatakan stabil secara psikologi, dan setelah dua bulan sejak Erina mengetahui keluarga kandungnya. Putusan perkara telah ditetapkan tanpa melewati aju banding, penetapan hukuman dengan berbagai pertimbangan atas masa lalu dan segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di Metanoia, sepuluh tahun adalah angka untuk hukuman wanita cantik dari desa di pelosok pinggir kota."Pasti hakimnya dibayar sih ini, secara pelakunya kan anak orang kaya yang sudah lama hilang.""Hukum dibeli itu biasa, tapi ini soal nyawa. Tega ba