Hening, tidak ada suara yang terdengar. Sunyi, tidak ada gerakan yang dapat menimbulkan bunyi. Begitu hampa dirasa setelah Vina bertanya, bukan pertanyaan yang membuat canggung keadaan tapi reaksi Erina kala pertanyaan itu diajukan."Ya," jawab Erina setelah sekian lama terdiam dan hanya melakukan kontak mata dengan Vina, jawaban yang sekaligus memutus kontak mata keduanya, "aku dipaksa hidup kayak mereka, aku dilarang percaya sama bapakku sendiri, bapakku dimusuhi dan dikata-katain padahal sudah mati. Kayak gitu, aku harus maafin mereka? Kalau hidup kalian kayak gitu, kalian mau maafin mereka?"Teralih pandangan Vina pada Liona yang berdeham singkat, mata keduanya saling bertukar informasi singkat hanya untuk memberi konfirmasi. Sejauh mana emosi Erina yang mereka sadari?"Enggak, tapi kenapa kakak mau mereka mati? Aku juga benci orang di kota, tapi aku enggak mau dia mati," ujar Liona menggali cara berpikir Erina yang dibenci warga desa, kali ini timbul pertanyaan baru dalam benak Li
"Hah? Gimana maksud lo gimana?"Pagi yang mendung di pinggir pantai menyambut dengan kesejukan teruntuk orang-orang di desa Metanoia, kesejukan yang tidak selaras dengan suasana hati dan pikiran bagi sebagian pengunjung desa Metanoia. Bingung, itulah yang dirasakan oleh tiga wanita berstatus mahasiswa setelah mendengar penjelasan dari tiga teman pria mereka."Apa sih? Enggak ngerti gue," sahut wanita lainnya sambil menyisir rambut, "baru juga bangun, sudah disuruh mikir," lanjutnya menggerutu."Oke gini. Kemarin Erina nangis kan, Li ... Vin?" tanya pria berambut kribo pada dua teman wanitanya yang mengangguk, "menurut kalian, dia nangis kenapa?""Menurut gue sih, dia nangis karena bapaknya dihina sama warga desa bahkan ibunya juga," jawab wanita dengan kalung liontin sabit yang selalu menggantung bebas di lehernya, "gue bakal marah kalau bapak gue dihina sama ibu gue sendiri, tapi kalau gue enggak bisa bertindak banyak ya gue pasti bakal nangis. Gue merasa gagal untuk menjaga nama bap
Mengernyit kening wanita berpakaian lusuh itu, sorot mata yang bahkan tiba-tiba menjadi sendu dan kepala yang perlahan menunduk. Napas Erina yang tetap teratur sedikit-banyak membuat Vina dan Desry spontan bertukar tatap, saling memberitahu kondisi yang dipahami meski berakhir dengan terangkatnya dua bahu yang bingung.Vina mencolek Liona dan mengangkat dagunya sedikit, mempertanyakan tujuan temannya itu bertanya hal cukup sensitif.Liona hanya menoleh untuk memicingkan matanya dan kembali melihat Erina, tidak ada jawaban yang dapat dipahami Desry atau Vina atas responnya yang dirasa menyebalkan. Erina pun menggeleng dan perlahan mengangkat kepalanya, "aku enggak pernah berpikir dari dulu. Kemarin aku marah ... marah banget, mereka selalu jahat ke orang baik. Aku enggak mau diam saja sampai kalian jadi korban, biar anak-anak aku saja yang jadi korban karena aku diam, jangan ada lagi," tutur Erina pelan yang justru membuat Vina dan Desry mengernyit bingung, berbeda dengan Liona yang mem
[10 Jam Sebelumnya]"Oi, Afrian!" seru seorang pria di atas kapal memanggil."Ya." Pria muda berambut cepak yang mulai tumbuh secara acak menyahut, berlari ia menghampiri orang yang memanggilnya, "kenapa?""Mau ikut berlayar atau urus tugas kuliah lo?" tanya pria dari desa Metanoia, tidak banyak penduduk membuat mahasiswa dengan mudah mengetahui setiap orang dari desa hanya dari fisik."Dekat atau jauh?" tanggap Afrian dengan pertanyaan juga."Dekat kayaknya, cuma mau ambil udang saja," jawab pria bertubuh kurus itu."Entar deh, gue tanya yang lain dulu," kata Afrian bergegas turun dari kapal itu lalu menghampiri Erwin yang berada di dalam lubang galian, "Win!" panggil Afrian pada temannya yang identik dengan rambut kribo khas."Ha?" sahut Erwin mendongakkan kepalanya untuk melihat orang yang memanggil, "kenapa?""Naik dulu sini," titah Afrian kembali berjalan menuju Angga, yang sudah pasti sedang bersama laptopnya di bawah pohon rindang.Ketua kelompok mahasiswa itu duduk bersila dan
Sudah biasa, katanya. Apa yang sudah biasa? Terlalu ambigu untuk dimengerti. Sudah biasa anak diasuh orang lain, atau sudah biasa berhubungan badan dengan orang lain?Afrian memejamkan matanya kuat, desa ini terlalu rancu untuk dimengerti dan diwajarkan. Lantas, apa lagi yang harus dipahami?"Sudah biasa gimana maksudnya?" tanya mahasiswa itu setelah lama terdiam untuk mencerna, walau telah memakan waktu namun tidak ada juga hal yang bisa dipahami."Sudah biasa kita tukar istri dan teman, seru banget. Mau coba?" jawab Galuh diakhiri tawaran mengejutkan bagi Afrian, "kenapa kaget gitu? Memangnya anak kota enggak pernah begitu? Pernah pasti, gue pernah diajak juga kok."Meringis pria berambut cepak kala mendengarnya, ia sangat tahu golongan orang di kota seperti itu, tapi sejauh yang ia tahu juga orang di kota tidak bisa berbangga seperti orang dari Desa Metanoia bahkan melakukannya cenderung bersembunyi, "kaget saja kalau sampai punya anak, soalnya setahuku walau di kota ada begitu juga
"S-serius mereka mau produksi film dewasa dan disetujui kepala desa? Sinting!" sentak Liona penuh tekanan pada setiap kata yang terucap, napasnya memburu seolah baru selesai maraton, "level gilanya sudah enggak ada obat," lanjutnya menggelengkan kepalanya dan berucap pelan.Terdiam Vina sambil memejamkan matanya dan menunduk, sedangkan Desry meletakkan kamera lalu menunduk dan bertumpu pada kedua tangannya, "terus kita harus apa? Mereka maniak dan kelainan," ucap Desry tanpa mengangkat kepala atau melirik ke arah teman-temannya."Tadi siang gue langsung kasih tahu Angga dan Erwin, gue berencana buat enggak usah kasih tahu kalian biar tahu saja sendiri dari mulut para perempuan desa. Erwin berencana buat kasih tahu kalian lewat tulisan di buku khusus kita, tanpa kasih tahu sumbernya. Dan menurut Angga, rencana gue sama Erwin terlalu brutal dan bisa bikin pecah kepercayaan," ujar Afrian menjelaskan situasi di antara mereka, sebagai bagian dari komitmennya untuk mempertahankan komunikasi
Malam kian berlarut dengan segala desiran ombak pada hari yang gelap, menemani setiap langkah tiga wanita yang bergegas menuju rumah sementara para mahasiswa. Keberuntungan bagi wanita dengan kamera di tangannya dan wanita berkalung liontin sabit, sosok yang dijemput dan diperlukannya belum terlelap.Meski keadaan seringkali gelap gulita saat malam karena terbatasnya akses listrik, tidak melunturkan tekad mahasiswa untuk benar-benar menyelesaikan tugas akhir kuliah mereka. Walau satu sampai dua orang dalam kelompok sempat ingin menyerah, pernah ingin kabur dari desa, dan menyatakan gagal dalam menyelesaikan tugas akhir. Tetapi tekad kebersamaan untuk menyelesaikan pada akhirnya lebih kuat, dari pada sekadar ego dan ketakutan saat menyadari keanehan desa."Tadi kenapa kak Erina belum tidur?" tanya wanita berkalung liontin sabit saat mereka telah berada di jalan setapak depan rumah.Berbekal satu senter saja, ketiganya kembali ke rumah mahasiswa dengan selamat dan damai, "enggak tahu," j
Pertanyaan demi pertanyaan terdengar bersahutan, disusul dengan langkah bergerak cepat mendekat dari dalam rumah. Seruan mahasiswi jurusan Psikologi Kepribadian dan Sosial itu memicu kecemasan semua orang dalam rumah, tidak cukup keras namun cukup memekakan telinga yang sedang menikmati kesunyian malam."Kenapa, Vin?""Vina ... Vin, kenapa?""Ada apaan sih teriak-teriak?"Dan berbagai sahutan pertanyaan lainnya, sedangkan wanita bersetelan baju tidur itu masih saja menunjuk pada orang yang tergeletak di teras. Lemahnya pencahayaan membuat orang-orang menjadi bingung dan takut, reaksi keras Vina memecahkan kebingungan itu jadi seutuhnya ketakutan."Sini, Vin." Pria berkulit putih dengan garis rahang tegas menarik tangan Vina yang menunjuk, dibantu pria berambut kribo untuk menuntun Vina ke pinggir ruang utama rumah kayu.Dibiarkan Vina untuk duduk lemas di pinggir sambil meluruskan kakinya, didampingi wanita berambut ikal yang memilih untuk duduk di sampingnya dan mengelus-elus punggung