"Eh?""Pembunuh?""Siapa yang pembunuh?"Mendengar seruan keras di balik pintu menuding kasar, membuat lima mahasiswa bertanya-tanya. Mahasiswa berambut kribo berinisiatif untuk menyalakan senter dan menyorot secara tak langsung ke arah teman-temannya, mempertanyakan respon yang harus diberikan.Tak lama kemudian, listrik menyala yang disusul gerakan seorang mahasiswa berambut kribo yang biasa disapa Erwin untuk mematikan senternya. Mata mereka mengerjap guna menyesuaikan pandangan dengan cahaya, "oi, buka pintunya! Jangan sampai kita dobrak ini."Teriakan penuh amarah terdengar bergantian dengan gedoran di pintu, sesekali terdengar pula suara orang menangis di antara keramaian di depan rumah. Sedangkan kondisi dalam rumah kayu begitu hening, semua mata tertuju pada seorang pria berkaus oblong, "sebentar dulu, menurut kalian siapa yang membunuh Pak Ujang?" tanya ketua kelompok itu pada setiap anggotanya, "kalian kenal suara orang-orang yang teriak, kan? Setidaknya pasti bisa mengenali.
Kreett ....Lemari berukuran sedang yang sepanjang malam menghalangi pintu bergeser perlahan usai terdengar suara dosen memanggil, begitu pula dengan suara petugas dari kepolisian yang cukup familiar di telinga mahasiswa. Menunduk Vina mengintip dari lubang kunci untuk melihat keadaan di luar kamar, terlihat beberapa warga desa sedang berdiri dan menyandarkan dirinya di dinding sambil berbincang kecil dengan beberapa petugas kepolisian berseragam."Aman," kata Vina mengacungkan ibu jari sambil berbalik ke arah teman-temannya yang menunggu, "ada beberapa polisi juga," lanjutnya kemudian melangkah mundur dan membiarkan Afrian sebagai ketua kelompok mengambil alih keputusan."Kita harus selesaikan ini dengan baik dan tenang. Kalian masih mau lanjut di sini dan tuntaskan sisa tiga puluh hari terakhir kita di sini, atau cari tempat baru dan mulai dari awal?" kata pria bernama lengkap Afrian Firmansyah itu bertanya pada kelompoknya."Gue sih lanjut saja, gue masih merasa ada kemungkinan kit
Sudah hampir dua puluh empat jam lamanya berdiam diri di rumah seluas kurang lebih dua ratus meter persegi, dikunci dari luar dan jendela pun dipasang kayu menyilang pada bagian luar. Setelah polisi dan dosen menerima barang bukti berupa baju dengan cipratan darah dan pisau berlumuran darah, warga desa sepakat untuk mengurung enam mahasiswa di rumah sementara mereka."Biar aman desa ini dari pembunuh sambil kita tunggu polisi," ujar sang kepala desa, Danang Harja.Banyaknya orang yang setuju dengan pendapat Danang, membuat polisi dan dosen terpaksa mengabulkan permintaan warga untuk membantu mereka mengurung mahasiswa. Walau sebenarnya mengganggu nilai kemanusiaan dan praduga tak bersalah, tetapi kembali lagi setiap tempat memiliki kebiasaan yang mungkin berbeda.Duduk bersandar di dinding sambil meluruskan kaki dan menatap kosong ke arah jendela yang tertutup gorden, "kok polisi belum kasih kabar, ya?" kata wanita dengan anting magnet yang selalu dipasangnya lagi setiap bangun tidur,
"Oh iya, ini uraian tugas yang harus kalian kerjakan dari pihak kampus," ujar dosen Herdi saat beberapa warga desa, enam mahasiswa, dan petugas berwenang berada di gerbang desa.Gerbang tinggi besar dengan kesan tertutup, gerbang yang menjadi akses masuk dan keluar semua orang berdasarkan kontrol dari Danang selaku kepala desa, dan gerbang yang berada di antara barisan tembok tinggi mengelilingi perbatasan desa dengan jalanan. Begitu tertutup dan perilaku warga desa pun seolah memang sengaja menutup diri, "kok tugas lagi sih, Pak?" protes Erwin yang diikuti dengan hela napas penat dari Angga.Jika sudah berkaitan dengan tugas yang akan terhubung langsung dengan laptop, maka itu otomatis akan menjadi tugas Angga walau tetap dibantu. Padahal bagi Angga, tugas laporan berisikan proses program di tempat KKN tiap pekan, dan jurnal hasil pengamatan terhadap perilaku desa sudah cukup melelahkan.Mengetahui kondisi mahasiswa yang sudah jelas terancam jiwa dan raga, fisik dan mental, kesehatan
"Kak Erina!" panggil Vina setelah melihat kepergian Agus dan Erna yang sudah menjauh dari area rumah, "Des, kalau ke rumah kita kira-kira aman, enggak? Kotak obat di rumah, kan?"Mendengar pertanyaan itu, Desry berlari ke luar halaman rumah Erina dan menoleh ke sisi jalan kiri dan kanan. Berbalik arah wanita muda itu dan berjalan lagi memasuki area rumah Erina sambil menggeleng, "di sana banyak orang," kata Desry menunjuk jalan setapak ke arah dermaga."Ck, shh ...," decak dan desis Vina saat dirinya mulai merasa pusing dan pikiran jahat mulai mengintai benaknya, rasa kegagalan menyelamatkan nyawa orang dan penyesalan telah bertindak seenaknya perlahan merambat lagi dalam ingatan. Sebelum tubuh merasa lemas sebab melawan pikiran buruk itu, Vina sadar bahwa dirinya harus bertindak cepat."Gue bantu kak Erina ke dalam, terus lo ke rumah buat ambil kotak obat," ucap Vina dengan wajah memerah.Menyadari kelemahan Vina dalam mengatasi rasa takut berlebih pada darah yang banyak, Desry berla
Berlari Vina dan Liona menuju gerbang utama desa, meninggalkan Desry di rumah Erina untuk menjaga pembimbingnya yang masih belum sadarkan diri. Apa maksud Galih berkata ibunya ada yang beli? Itulah yang harus dipertanyakan dan dicari tahu jawabannya.Terhenti langkah dua wanita itu saat melihat perdebatan Angga dengan Agus, di sisi lainnya ada seorang pria yang terasa asing di penglihatan Liona maupun Vina. Menoleh wanita berambut ikal itu guna mempertanyakan kondisi pada si wakil kelompok, alih-alih menjawab justru Vina lanjut jalan mendekat."Enggak bisa begitu, dia bini lo. Paham, kagak?" hardik Angga pada pria kurus dengan tulang pipi yang terlihat jelas."Gue sudah bilang dari tadi, karena dia bini gue, jadi bebas mau gue jual atau gue tukar," sahut pria kurus bernama Agusyadi, "lo juga cuma mahasiswa di sini, lo cuma tamu beruntung yang kita bolehin masuk. Jangan kurang ajar, sembarangan bunuh ketua kita dan sekarang banyak bacot," lanjutnya membentak Angga."Lo!" seru pria berk
"Maksud lo apa sih main setuju gitu saja, Af?""Lo anggap kita enggak sih? Ambil keputusan seenaknya sendiri.""Kita sepakat buat mengamankan diri, kan? Di sisi lain kita diminta buat meneliti mereka, kalau lo setuju kita enggak boleh ini-itu, terus tugas kita gimana?""Lo dengar kita enggak sih, Af?"Dan sekian ocehan akhirnya terhenti setelah si ketua kelompok berdeham, usai terdiam cukup lama sejak tiba di rumah sambil mendengar berbagai omelan yant saling bersahutan, tidak memberinya kesempatan untuk bicara bahkan seolah pula tidak memberinya kesempatan mencerna omelan yang terlontar. Semua mata tertuju padanya yang masih menundukkan kepala, bukan menyesali melainkan hanya sakit kepala memikirkan keadaan."Sekarang begini saja, kalian mau panggil polisi dan dosen lagi setelah kita dapat buku arahan itu? Belum ada dua puluh empat jam, bahkan gue belum dapat kesempatan buat bagi tugas itu tapi sudah ada masalah lagi, lagi, dan lagi!" ujar Afrian menjaga intonasi suara meski terlihat
"Bacot, Ah!" sentak seorang wanita muda mengubah posisi tidurnya, dengan mata yang terpejam erat dan bibir merengut sebal, "urus saja diri lo sendiri, gue mau tidur pagi ini," ocehnya seraya menarik satu bantal lain dan meletakkan bantal itu di atas kepala untuk menutupi telinga.Ocehan yang mendapat kekehan ringan dari dua wanita muda lainnya, "ya sudah, kita di rumah Erina atau kebun ya. Yang cowok kayak biasa di dermaga," ujar seorang wanita itu pada temannya yang memilih tetap terlelap, ujaran yang tidak mendapat jawaban atau tanggapan apapun."Ayo," ajak wanita berambut ikal menarik temannya yang mengatur selimut untuk sosok yang terlelap nyenyak, "kita harus masak pagi, kan."Wanita berkulit putih dengan kalung liontin sabit itu berdeham dan bergegas pergi usai menutup pintu kamar, meninggalkan teman sekelompoknya yang memang sepanjang malam menghabisi waktu untuk tetap membuka mata dengan emosinya. Bagaimana tidak? Hari yang terasa berjalan lambat karena berbagai drama dari warg
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat
Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili
[Tepat hari pengantaran Erina ke rumah tahanan]"Vina sudah sembuh?" tanya wanita bersetelan serba biru dengan nomor di dada kiri dan punggungnya, setelan yang diberikan pihak berwenang sebagai identitas selama menjalani masa hukuman."Sudah," jawab wanita muda yang jadi bagian dari mahasiswa KKN di Metanoia, "kenapa memangnya? Kok aku enggak ditanya?""Dia kelihatan lebih kasihan pas lihat mayatnya Pak Ujang," ucap wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berusaha keras selama belasan tahun untuk keluar dari desa, tapi berakhir di balik jeruji besi, "kamu juga kelihatan baik kok, buat apa aku tanya?" lanjutnya terkekeh ringan.Meski kini dirinya sudah terima kenyataan, bahwa semua yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi. Tapi dalam benak seorang Erina tetap tersisa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan, lantas kenapa Danang mati begitu saja dengan segala kejahatannya? Haruskah Erina semakin membenci Agus yang juga sudah mati di tangannya, karena Agus membunuh Danang?Namun
Jauh di pelosok dari pinggir kota, sebuah mobil berjalan lambat di jalan yang dilihatnya sudah lebih lebar sejak terakhir dilewati untuk pembukaan tempat wisata. Semak belukar liar di pinggir jalan kini sudah bersih, jalan rusak berbatu pun kini sudah berganti jadi beton, dan sepanjang jalan yang tiap malam mengalami kegelapan kini sudah dilengkapi lampu jalan setiap tiga meter.Usai kejadian menggemparkan yang membuat semua pihak terlibat dan merasa gelisah, perkembangan untuk setiap lokasi dilakukan dengan berbagai cara dan mengorbankan banyak materi. Mengadakan lampu jalan, memperbaiki jalan rusak, memperbaiki lampu jalan yang rusak, memberi akses listrik dan internet pada semua lokasi secara terbuka hingga dapat diakses semua orang, dan mengadakan jadwal rutin untuk pemeriksaan lokasi juga warga."Eh ... itu mau jadi perumahan ya?" tunjuk wanita hamil yang duduk tepat di samping kemudi."Mana?" tanya pria di balik kemudi yang menepikan kendaraan, "kelihatannya begitu," lanjutnya m
Tok ... tok ... tok.Napas lega yang bersahut dengan seruan tidak terima terdengar jelas, bersatu tidak padu dalam sidang keputusan perkara pembunuhan berencana. Senyum simpul diulum tipis oleh pemilik banyak cabang pusat sarana olahraga, senyum yang ditujukan pada kuasa hukum muda dari firma ternama di negeri.Setelah hampir satu tahun berlalu sejak mahasiswa berhasil keluar dari desa, setelah lima bulan sejak sidang perdana dimulai, setelah empat bulan sejak mahasiswa dinyatakan stabil secara psikologi, dan setelah dua bulan sejak Erina mengetahui keluarga kandungnya. Putusan perkara telah ditetapkan tanpa melewati aju banding, penetapan hukuman dengan berbagai pertimbangan atas masa lalu dan segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di Metanoia, sepuluh tahun adalah angka untuk hukuman wanita cantik dari desa di pelosok pinggir kota."Pasti hakimnya dibayar sih ini, secara pelakunya kan anak orang kaya yang sudah lama hilang.""Hukum dibeli itu biasa, tapi ini soal nyawa. Tega ba