"Kemana Desry?" bentak seorang pria berambut kribo pada pria kurus berambut hampir plontos, rambut yang bahkan tidak terlihat tumbuh sejak kedatangan mahasiswa, "jawab!" sentak pria kribo itu lagi yang kali ini menguatkan cengkeramannya di baju dekat leher milik lawan bicaranya yang ia raup."Eng ... Enggak tahu, aku enggak tahu," jawab pria itu menggelengkan kepalanya dan menoleh ke sembarang arah, seperti mencari sesuatu yang bahkan tidak diketahui siapapun, "kamu lihat kunci rumah bapaknya Ririn, enggak? Aku enggak bisa masuk sana loh, kuncinya hilang," lanjutnya berontak keras kemudian terduduk dan menggigit jari telunjuk."Ck," decak pria bertubuh atletis di dekat keduanya, mengacak-acak rambut dan menendang batu kecil di jalan setapak dekat rumah, "kuncinya hilang?" tanyanya kini berjongkok mendekati pria kurus yang justru menangis."Aaaaa ... hilang, kuncinya hilang! Entar aku diomelin Agus, hilang sudah kuncinya aaaaa," tangisnya pecah bersamaan dengan rengek yang terdengar mem
"Kak, kenapa kakak bisa tahu kalau Desry dibawa Danang ke pendopo belakang sana?" tanya seorang pria berkulit putih sambil memperhatikan temannya membaringkan seorang wanita, pertanyaan diajukan pada pembimbing dari desa yang menunjukkan keberadaan seorang wanita bernama Desry."Aku lihat dia gendong Desry," jawab wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berdiri dan menyandarkan dirinya di pojok ruang tidur mahasiswa sambil bersedekap dada, "tadi aku mau samper Vina sama Liona yang langsung kabur gitu saja setelah ibuku tanya Dayat, tapi di jalan belakang aku lihat Danang gendong orang sambil celingak-celinguk," lanjutnya menjelaskan situasi yang dialami."Terus?" tanya si wakil ketua kelompok mengernyitkan dahinya heran, merasa bingung atas tindakan Danang yang begitu cepat sampai tidak membuat suara keras saat dirinya dan Liona berlari ke rumah, "ada tali enggak di leher orang yang digendong itu?" lanjutnya bertanya juga.Terdiam sejenak wanita desa yang kini pula mengernyitk
Sunyi.Memekakan telinga.Hening namun tanpa ketenangan, taluan jantung berdegup tidak berpola menghasilkan ketakutan dalam diri. Mata saling melirik satu sama lain, tidak ada yang berani menjawab dan tidak ada juga yang mau bertanggung jawab.Jauh di benak seorang pria berambut kribo bernama Erwin Widianto ingin mengatakan, bahwa Erina yang memukul Danang menggunakan panci. Tapi ia tahu, itu hanya akan menimbulkan perpecahan secara internal kelompoknya dan desa."Aku," kata Vina secara tiba-tiba memecahkan keheningan, semua mata sontak tertuju padanya sampai hening hampir kembali menyelimuti, "aku pukul pakai baskom karena Danang menculik temanku, Danang memaksa temanku untuk membuat rekaman video asusila, Danang melecehkan temanku, dan Danang tidak menghormati tamu," lanjut wanita berkalung liontin sabit itu dengan lugunya.Tidak ada keseganan yang dirasa, dan tidak ada kecanggungan yang ditunjukkan. Yang ada ketegasan terpancar dari tajamnya mata menatap, dan keberanian yang terpan
"Aahh!" teriak Vina sambil mengangkat kedua tangan ke udara.Begitu banyak rasanya beban yang ingin diluapkan hanya dari teriakan semata, tapi juga ada banyak beban yang takkan terselesaikan meski sudah berteriak hingga pita suara rusak. Membaringkan diri Vina di sembarang sisi ruang tidurnya, "capek banget," komentar Liona melihat wakil ketua kelompoknya yang terlihat penat."Begitulah," jawab Vina seadanya melihat ke arah Desry dan Liona yang juga sedang melihatnya, "semua orang di sini sekarang jadi aji mumpung, memanfaatkan kita dan Erina buat urus rutinitas mereka. Alasannya kita dan Erina sudah bunuh Pak Ujang, sudah pukul Danang, sudah buat kekacauan dan masalah terus di desa sampai jadi enggak tenang.""Lah?" tukas Liona dan Desry serentak, "terus tadi lo urus apa saja?" tanya Liona dengan wajah mengerut sebal karena cerita temannya itu."Banyak. Masak, gali tanah buat menanamkan bibit baru, panen, bersihkan akar, rapikan kebun. Pokoknya urusan yang biasanya dikerjakan semua c
Sunyi ruang seluas 3×3 meter, Desry sudah duduk dengan ketenangan yang masih berusaha ia raih. Cahaya temaram dari satu lentera dan tiga senter, cukup untuk enam insan muda saling bertukar pandang dalam kebingungan.Untuk apa foto seorang jurnalis ternama ada di rumah Danang? Apa ada alasan lain dari jurnalis itu secara tiba-tiba mengungkapkan, bahwa kisah desa Metanoia adalah kebohongan semata?"Eh ... lagi apa kalian? Kenapa duduk diam saja?" tanya seorang pria yang tidak terlihat begitu jelas, berjalan masuk pria bertubuh sedikit bongkok, "gimana got buat beraknya? Sudah bisa belum?"Tetap sunyi, tidak ada satu pun di antara mereka membuka suara sampai pria itu berjongkok tepat di depan Liona dan mengambil salah satu senter, "kalian kenapa?" tanya pria itu menyorotkan cahaya senter langsung ke depan muka Liona, membuat wanita berambut ikal itu spontan mengerjap dan melenguh pelan."Kita cuma kaget lihat ada foto cewek di rumah Pak Danang, kita kira bapak enggak punya istri atau ana
"Kak Erina, kenapa harus sampai segininya sih?""Gue enggak tahu lagi ya sama orang-orang desa, otaknya kayak hewan!""Benar. Makan sama seks doang tiap hari yang dilakukan, yang dibahas, yang dipikirkan.""Enggak ada akal sehatnya.""Sudah kelainan sih gue rasa."Dan berbagai ocehan bersirat amarah yang spontan dilakukan oleh enam mahasiswa, di antara gulitanya dini hari yang ditemani kesunyian. Mereka duduk mengelilingi seorang wanita yang terbaring tak sadarkan diri, wanita yang dibawa Angga ke rumah tanpa memberitahu teman-temannya, dan wanita yang perlahan disayangi oleh mahasiswa sebagai pembimbing yang baik.***(Dua jam sebelumnya)Mengernyit mata seorang pria bersetelan kaus oblong dan celana pendek sebatas lutut. Sejauh matanya melihat pada kegelapan di depan rumah kepala desa, penglihatannya menangkap siluet berjalan sempoyongan menuju ke bangunan tempat ia berada. Tak disang-sangka, seorang wanita dengan rambut sebatas bahu yang berantakan hingga menutupi wajahnya, berjala
"Maksud lo?""Tadi lo bilang dipaksa minum minuman keras terus diperkosa, tapi lo juga yang bilang itu dilakukan secara sadar.""Maksud gue, Erina buat kesepakatan bersedia untuk bikin video konten asusila, dengan syarat kita enggak diganggu warga desa lagi. Jadi secara enggak langsung, Erina sadar kalau dia mau dilecehkan." Afrian menjelaskan ulang kalimat yang telah diucapkan sebelumnya, rangkaian kata yang dengan cepat mendapat protes dari Desry dan Vina, "tapi sialnya, memang tuman para cowok Desa Metanoia buat memanfaatkan segala situasi demi ego dan merendahkan wanita demi nafsu. Erina malah dipaksa minum minuman keras biar lebih gampang buat dilecehkan, alhasil mereka bikin video asusila yang berisikan pemerkosaan dan kekerasan seksual."Sontak, sunyi memekakan telinga menyelimuti enam insan muda yang kini berada di jalan setapak saling terdiam, tidak merespon penjelasan Afrian meski hanya dengan bahasa tubuh atau sebatas raut wajah. Saling membisu dan seolah tidak berniat menun
(Gedung kampus di kota)"Kok bisa begitu lagi? Ini konfliknya enggak pernah selesai, ya? Apa sih masalah kalian sebenarnya?" cecar seorang pria berbadan tinggi besar dengan kulit sawo matang, diayunkannya badan di atas kursi kerja dalam ruangan yang cukup luas, dengan berbagai meja panjang dan kursi kerja lainnya.Tangan memegang ponsel dalam sambungan telepon, pria berusia sekitar empat puluh delapan tahun terlihat memejamkan mata, sambil terus mendengarkan keluh kesah mahasiswa bimbingannya dari sambungan telepon. Sampai kemudian ia menghentikan berbagai keluhan dalam satu sambungan itu dengan berkata, "Nanti saya ke sana sama Gadis Nirmala, saya cari kontak dan cara menghubunginya dulu biar cepat merespon. Kalian bertahan di sana, karena petinggi kampus juga masih memproses kepulangan cepat kalian."Bukan segera sambungan telepon itu terputus, justru teriakan dari balik sambungan telepon terdengar memekakan telinga, membuat pria dewasa itu sontak menjauhkan ponselnya dari telinga s
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat
Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili
[Tepat hari pengantaran Erina ke rumah tahanan]"Vina sudah sembuh?" tanya wanita bersetelan serba biru dengan nomor di dada kiri dan punggungnya, setelan yang diberikan pihak berwenang sebagai identitas selama menjalani masa hukuman."Sudah," jawab wanita muda yang jadi bagian dari mahasiswa KKN di Metanoia, "kenapa memangnya? Kok aku enggak ditanya?""Dia kelihatan lebih kasihan pas lihat mayatnya Pak Ujang," ucap wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berusaha keras selama belasan tahun untuk keluar dari desa, tapi berakhir di balik jeruji besi, "kamu juga kelihatan baik kok, buat apa aku tanya?" lanjutnya terkekeh ringan.Meski kini dirinya sudah terima kenyataan, bahwa semua yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi. Tapi dalam benak seorang Erina tetap tersisa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan, lantas kenapa Danang mati begitu saja dengan segala kejahatannya? Haruskah Erina semakin membenci Agus yang juga sudah mati di tangannya, karena Agus membunuh Danang?Namun
Jauh di pelosok dari pinggir kota, sebuah mobil berjalan lambat di jalan yang dilihatnya sudah lebih lebar sejak terakhir dilewati untuk pembukaan tempat wisata. Semak belukar liar di pinggir jalan kini sudah bersih, jalan rusak berbatu pun kini sudah berganti jadi beton, dan sepanjang jalan yang tiap malam mengalami kegelapan kini sudah dilengkapi lampu jalan setiap tiga meter.Usai kejadian menggemparkan yang membuat semua pihak terlibat dan merasa gelisah, perkembangan untuk setiap lokasi dilakukan dengan berbagai cara dan mengorbankan banyak materi. Mengadakan lampu jalan, memperbaiki jalan rusak, memperbaiki lampu jalan yang rusak, memberi akses listrik dan internet pada semua lokasi secara terbuka hingga dapat diakses semua orang, dan mengadakan jadwal rutin untuk pemeriksaan lokasi juga warga."Eh ... itu mau jadi perumahan ya?" tunjuk wanita hamil yang duduk tepat di samping kemudi."Mana?" tanya pria di balik kemudi yang menepikan kendaraan, "kelihatannya begitu," lanjutnya m
Tok ... tok ... tok.Napas lega yang bersahut dengan seruan tidak terima terdengar jelas, bersatu tidak padu dalam sidang keputusan perkara pembunuhan berencana. Senyum simpul diulum tipis oleh pemilik banyak cabang pusat sarana olahraga, senyum yang ditujukan pada kuasa hukum muda dari firma ternama di negeri.Setelah hampir satu tahun berlalu sejak mahasiswa berhasil keluar dari desa, setelah lima bulan sejak sidang perdana dimulai, setelah empat bulan sejak mahasiswa dinyatakan stabil secara psikologi, dan setelah dua bulan sejak Erina mengetahui keluarga kandungnya. Putusan perkara telah ditetapkan tanpa melewati aju banding, penetapan hukuman dengan berbagai pertimbangan atas masa lalu dan segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di Metanoia, sepuluh tahun adalah angka untuk hukuman wanita cantik dari desa di pelosok pinggir kota."Pasti hakimnya dibayar sih ini, secara pelakunya kan anak orang kaya yang sudah lama hilang.""Hukum dibeli itu biasa, tapi ini soal nyawa. Tega ba