(Pagi hari setelah Erina kejang, dan sebelum menelepon dosen)"Enggak bisa begitu! Kita sudah berdebat dari semalam ya, kita sudah bilang enggak bisa berarti enggak bisa!" tegas Afrian tidak ragu lagi untuk meninggikan intonasi suaranya.Bagaimana tidak? Sejak mahasiswa laki-laki sepakat untuk membuka pintu semalam dan menghadapi warga desa yang datang, sedangkan tiga mahasiswi menjaga Erina yang masih belum stabil.Setidaknya sudah lebih dari lima jam, tiga mahasiswa berdebat dengan warga desa terutama Agus dan Dayat. Dua pria desa yang sesungguhnya berstatus sebagai suami dan adik ipar Erina, tapi dua pria itu juga yang secara nyata menyakiti mental dan fisik Erina.Tidak waras. Dua kata yang rasanya sudah puluhan kali Erwin katakan sepanjang malam yang dipenuhi perdebatan."Sudah kita bilang dari tadi malam, kalian cuma orang asing, jangan ikut campur!" bentak pria berbadan kurus dengan tulang pipi yang terlihat jelas, sosok yang tak lain dan tak bukan, sudah pasti suami dari Erina
Tiga kata penuh makna, tiga kata yang menimbulkan kecemasan, dan tiga kata yang sontak membuat area rumah menjadi hening seolah kosong dan tidak ada satu pun makhluk hidup. Begitu hampa sampai memekakan telinga, "maksud?" tanya Agus sudah mengepalkan tangan, begitu pula dengan Afrian dan dua mahasiswa lain yang bersiap untuk menghentikan segala kejadian buruk.Begitu banyak kemungkinan yang berkelebat dalam pikiran lima mahasiswa itu, dengan kemampuan dan fokus masing-masing, mahasiswa sudah saling menyiapkan diri dan posisi atas segala hal yang seolah sudah pasti akan terjadi. Kekerasan, itulah yang melekat erat pada pikiran mahasiswa tentang tindak laku warga Desa Metanoia."Cerai, lo tolol kalau enggak tahu," tukas Erina membuat Agus kian menguatkan kepalan tangannya."Mau apa lo?" gertak Erwin sambil memegang kedua bahu Erina dan menarik mundur wanita itu agar menjauh dari Agus, "mau pukul perempuan lagi? Banci banget jadi orang, kalau mau lawan sesama cowok!" lanjutnya menantang,
Perdebatan sengit antara mahasiswa dengan warga desa yang hendak membawa paksa Erina telah selesai begitu saja, tidak ada kesepakatan lebih lanjut dan tidak ada juga kata mengalah atau memenangkan perdebatan. Fokus mereka secara serentak beralih pada seorang pria hampir botak yang ditemukan berada di atas badan salah satu mahasiswi, wanita muda yang kini masih mengatur napasnya sambil memejamkan mata dan mendengar segala aba-aba dari temannya.Terlihat seorang wanita di ambang pintu yang melihat tajam penuh emosi pada pria hampir botak yang dijaga oleh tiga mahasiswa, wanita itu pun bergegas masuk dan menghampiri tiga mahasiswa, "dia kenapa lagi?" tanyanya pada mahasiswa yang masih terdiam bahkan tidak menanggapi tatapannya, justru yang didapat hanya pandangan teralih pada area belakangnya.Menoleh perlahan wanita itu ke belakang dan mendapati lorong menuju kamar sudah dipenuhi warga desa, begitu sepi terdengarnya meski ada banyak orang dalam satu ruangan. Dari sekian banyak orang juga
"G-gue enggak bisa lebih lama lagi, di sini isinya orang enggak waras," sentak seorang wanita yang masih mengenakan pakaian tidur, kantung mata menghitam dengan garis halus melekuk di sepanjang garis senyum dekat bibirnya.Wanita cantik berkulit tan kesayangan ribuan orang, wanita cantik yang terbiasa hidup dengan segala kemewahan dan kebutuhan yang senantiasa terkabul, dan wanita cantik yang terlahir menjadi anak tunggal bersifat ramah dari keluarga kaya raya dengan bisnis yang banyak disukai masyarakat luas. Sungguh keberuntungan yang akan selalu mengikuti hidupnya, tapi keberuntungan itu seolah berhenti mengikuti saat kakinya melangkah masuk melewati gerbang utama Desa Metanoia.Sejak awal kedatangan, dirinya sudah mengalami berbagai pelecehan dan keanehan. Dari ditatap sedemikian rupa, di-intip saat mandi, menemani teman kelompoknya untuk menyaksikan perzinahan, difitnah, diculik, dan sekarang disekap yang belum diketahui tujuannya.Apa ini derita orang cantik? Tentu bukan! Ini de
Hari yang cerah tidak selamanya dinanti dan diharap, begitu pula dengan hari yang mendung tidak selalu ditolak dan dibenci. Berjalan tanpa suara tiga wanita menuju pendopo kebun terdekat, menghampiri seorang wanita lainnya yang masih duduk bersandar dengan tatapan kosong ke area perkebunan."Des," panggil wanita berambut cokelat yang tergerai bebas, "lo baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan harapan cemas dan menjaga intonasinya agar tetap terjaga dan tidak menyinggung."Hm," deham wanita yang biasa disebut Desry, mengangguk pelan ia tanpa sedikitpun melirik lawan bicaranya, seolah area perkebunan begitu menarik untuk terus diperhatikan."Ah," desah wanita lainnya bernama Vina, sebagai mahasiswi akhir dari jurusan psikologi kepribadian dan sosial, dirinya sudah tahu hal yang dirasa dan dipikirkan Desry sebagai korban upaya pelecehan, "ya sudah kak, kita harus tetap lanjut kerjakan tugas. Tolong titip Desry, ya kak," lanjutnya pada seorang wanita desa yang cukup dekat dengan mahasiswa s
Berdiri mematung dua insan berbadan semampai, mata mereka tertuju pada tiga pria dari kelompoknya yang berada di dalam lubang galian untuk tempat pembuangan, "minggir dulu minggir!" seru seorang pria bersuara cukup tinggi, mengejutkan dua insan yang tadi terdiam.Spontan keduanya bergeser dan memilih untuk berdiri di bawah pohon kelapa, bukan karena hawa sejuk dari semilir angin pantai, namun karena bawah pohon sudah pasti tidak dilewati para pekerja. Walau sudah sekian masalah dialami dan terjadi, walau hampir tidak ada kata maaf dan perasaan legawa, dan walau para pria desa secara nyata saling kontra dalam berprinsip hidup dengan mahasiswa, tapi mereka memiliki kerja sama yang baik untuk mengerjakan saluran pembuangan.Menggali aliran untuk pipa ke lubang pembuangan, memasang pipa, membawakan pipa, memotong pipa, sampai memeriksa kokohnya dinding bata pada setiap sisi dari lubang galian. Sungguh hubungan yang berbeda antara wanita desa dengan mahasiswi yang masih tetap bersitegang,
"Lo enggak suka kalau lagi diskusi ditinggal Afrian, tapi kita lagi diskusi malah lo pergi gitu saja," oceh Liona setelah mengejar Vina dan kini berjalan di sebelahnya."Ya lo kelamaan jawabnya," kata Vina begitu santai menanggapi ocehan temannya."Enggak selama itu juga ya sampai bisa jadi alasan lo pergi," sahut Liona membuat Vina terkekeh pelan."Ya sudah iya, gue yang benar," tukas Vina sontak membuat Liona membuka matanya lebar dan menghentikan langkah sejenak.Bisa-bisanya Vina menggunakan intonasi seolah sedang mengakui kesalahan, tapi kata-kata yang digunakan sama sekali tidak mencerminkan bahwa ia mengakui kesalahannya, justru mengaku bahwa dirinya benar, "ergh!" erang Liona kembali melangkah lagi dan menghampiri Vina yang sudah duduk berhadapan dengan dua laki-laki, di bangku panjang nan lebar dari anyaman bambu."Jadi gimana, Af?" tanya Vina terdengar seperti langsung pada inti pembicaraan, "dosen mau dikasih tahu atau enggak?" katanya lagi menegaskan arah pertanyaan."Kasih
"Memang, tapi kan kalian juga yang bilang kalau cewek-cowok itu sama. Ya sudah biar Pak Danang uruslah itu, biar cewek bisa melaut juga, diajar mereka," ujar salah satu pria desa melanjutkan kegiatannya memasang pipa menggunakan lem pipa, tentu dibantu oleh sesama pria desa.Sedangkan Afrian dan Erwin yang berada di dekat lubang penggalian pun bertukar tatap, mengernyit keduanya dan merasa heran sekaligus aneh dengan jawaban warga desa, "seharusnya enggak semudah itu mereka mengubah cara berpikir, kan?" gumam Afrian bertanya pada Erwin yang hanya mengangguk.Anggukan yang membuat Afrian terdiam dalam rasa bingungnya, walau Erwin terlihat acuh tak acuh, namun Afrian dapat menduga bahwa pria rambut kribo itu memikirkan hal serupa dengannya. Begitu pula dengan Vina dan Liona yang terdiam satu sama lain, memandang kosong ke hamparan laut luas, "kayak ada yang aneh," kata Liona pelan yang disambut dehaman pelan oleh Vina, deham yang bermakna setuju dengan perkataan itu.Sedangkan Angga, ke
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat
Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili
[Tepat hari pengantaran Erina ke rumah tahanan]"Vina sudah sembuh?" tanya wanita bersetelan serba biru dengan nomor di dada kiri dan punggungnya, setelan yang diberikan pihak berwenang sebagai identitas selama menjalani masa hukuman."Sudah," jawab wanita muda yang jadi bagian dari mahasiswa KKN di Metanoia, "kenapa memangnya? Kok aku enggak ditanya?""Dia kelihatan lebih kasihan pas lihat mayatnya Pak Ujang," ucap wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berusaha keras selama belasan tahun untuk keluar dari desa, tapi berakhir di balik jeruji besi, "kamu juga kelihatan baik kok, buat apa aku tanya?" lanjutnya terkekeh ringan.Meski kini dirinya sudah terima kenyataan, bahwa semua yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi. Tapi dalam benak seorang Erina tetap tersisa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan, lantas kenapa Danang mati begitu saja dengan segala kejahatannya? Haruskah Erina semakin membenci Agus yang juga sudah mati di tangannya, karena Agus membunuh Danang?Namun
Jauh di pelosok dari pinggir kota, sebuah mobil berjalan lambat di jalan yang dilihatnya sudah lebih lebar sejak terakhir dilewati untuk pembukaan tempat wisata. Semak belukar liar di pinggir jalan kini sudah bersih, jalan rusak berbatu pun kini sudah berganti jadi beton, dan sepanjang jalan yang tiap malam mengalami kegelapan kini sudah dilengkapi lampu jalan setiap tiga meter.Usai kejadian menggemparkan yang membuat semua pihak terlibat dan merasa gelisah, perkembangan untuk setiap lokasi dilakukan dengan berbagai cara dan mengorbankan banyak materi. Mengadakan lampu jalan, memperbaiki jalan rusak, memperbaiki lampu jalan yang rusak, memberi akses listrik dan internet pada semua lokasi secara terbuka hingga dapat diakses semua orang, dan mengadakan jadwal rutin untuk pemeriksaan lokasi juga warga."Eh ... itu mau jadi perumahan ya?" tunjuk wanita hamil yang duduk tepat di samping kemudi."Mana?" tanya pria di balik kemudi yang menepikan kendaraan, "kelihatannya begitu," lanjutnya m
Tok ... tok ... tok.Napas lega yang bersahut dengan seruan tidak terima terdengar jelas, bersatu tidak padu dalam sidang keputusan perkara pembunuhan berencana. Senyum simpul diulum tipis oleh pemilik banyak cabang pusat sarana olahraga, senyum yang ditujukan pada kuasa hukum muda dari firma ternama di negeri.Setelah hampir satu tahun berlalu sejak mahasiswa berhasil keluar dari desa, setelah lima bulan sejak sidang perdana dimulai, setelah empat bulan sejak mahasiswa dinyatakan stabil secara psikologi, dan setelah dua bulan sejak Erina mengetahui keluarga kandungnya. Putusan perkara telah ditetapkan tanpa melewati aju banding, penetapan hukuman dengan berbagai pertimbangan atas masa lalu dan segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di Metanoia, sepuluh tahun adalah angka untuk hukuman wanita cantik dari desa di pelosok pinggir kota."Pasti hakimnya dibayar sih ini, secara pelakunya kan anak orang kaya yang sudah lama hilang.""Hukum dibeli itu biasa, tapi ini soal nyawa. Tega ba