Jerit dan teriak yang tersumpal kain terdengar tidak jelas saling bersahutan, ada emosi yang terasa dan ada pula tangis yang terdengar di antara suara tertahan. Bunyi kursi yang terbentur berulang kali menjadi bagian antara suara jerit tersumpal, "berisik!" bentak seorang pria menghasilkan gema yang terdengar beberapa kali.Bentakan yang sontak menghentikan suara maupun bunyi dari kursi, mengheningkan keadaan sekitar seolah tidak pernah ada jerit pilu yang tersumpal. Pria berbadan sedikit bongkok dengan perut buncit menghiasi badannya berjalan santai, matanya terus menatap ke orang-orang yang terikat di kursi dengan mata tertutup dan mulut tersumpal.Senyum simpul dengan tawa kecil memecahkan keheningan yang terjadi, tawa yang juga membuat orang-orang terikat itu kembali merasa gelisah. Kepalanya bergeleng-geleng pelan, hampir bersamaan terdengar lagi jeritan bernada protes, "hhhmmm!"Satu ... dua ... tiga dan seterusnya. Berawal dari hanya satu orang yang kembali menjerit, beberapa o
Jalan bersama namun tidak beriringan, saling berdiam diri dan terfokus pada dua plastik besar yang dibawa di kedua tangan. Terhembus napas Vina saat tiba di depan rumah, segera ia duduk di teras bangunan kayu itu kemudian menyandarkan diri di tiang penyangga rumah.Belum lama Vina memejamkan mata, kakinya yang terselonjor bebas mendapat beberapa tepukan pelan, memaksanya untuk kembali membuka mata dan mengulum senyum meski seberkas kekesalan ada dalam benaknya. Hanya ingin istirahat sekejap, hanya ingin mengatur napas sebentar, dan hanya ingin menenangkan mata yang terasa panas."Kuncinya mana?" tanya seorang wanita desa dengan rambut terikat asal dan selalu terlihat kusut.Mengernyit mahasiswi itu lalu menoleh ke arah pintu, menyipit matanya sebelum kembali terpejam lagi dengan helaan napas, "kenapa?" kata wanita desa bernama Erina Handayani itu, terlihat berekspresi bingung atas reaksi Vina."Kuncinya ada di Afrian," jawab Vina tersenyum kecut seraya membuka kedua matanya lagi, "mat
Cahaya sejauh mata memandang terlihat hampir tidak tergapai, genangan air telah membasahi seluruh tubuh seorang wanita yang masih saja terbaring lemah di atasnya. Mengerjap ia meski tahu bahwa yang ditemukan tetap hanya kegelapan dengan seberkas cahaya yang jauh, terhela napasnya perlahan sembari beranjak untuk duduk.Mata sendunya menatap ke cahaya yang jauh, menduga kejauhan yang tepat hanya dari penglihatan, dan menghitungnya untuk segera dicapai dengan tubuh yang terasa sangat lemas juga lelah. Ditelannya liur yang terasa sulit dan menyakiti kerongkongan, menghasilkan desis dengan dahi yang spontan mengernyit."Vina ... Vina!" panggil sebuah suara yang terdengar menggema, suara yang tidak diketahui sumbernya.Wanita bernama lengkap Arshavina Citrani itu terus menoleh ke segala arah, menyebar pandangannya secara acak dalam harapan cemas untuk menemukan sosok yang memanggilnya. Suara itu cukup familiar di telinga, suara perempuan yang memiliki ketegasan dalam suaranya, ia tahu pemili
(20 menit sebelumnya)"Loh, sepi banget. Erina sama Vina, kemana?" tanya seorang pria berambut kribo yang baru saja tiba.Area belakang rumah yang terbuka, dengan tungku kompor kayu bakar yang terlihat masih menyala apinya. Melongok pria itu sambil membuka tutup panci yang terbuat dari tanah liat, mengernyit ia lalu menoleh pada dua wanita yang terdiam di anak tangga dekat pintu menuju dalam rumah, "sayur apa ini? Kok ikan direbus?""Apa salahnya ikan direbus?" sahut wanita berambut ikal dengan ketusnya, "makanan mulu," lanjutnya menggerutu setelah melihat pria itu justru terkekeh ringan atas reaksi ketusnya."Jangan galak-galak dong, cantik," goda pria berambut kribo sambil memainkan alis dan senyum mengejek."Terusin saja, keluar dari desa ini gue buat laporan, kalau Erwin Widianto anak sastra melakukan pelecehan saat KKN," kata wanita berambut ikal itu menyambut godaan temannya, walau ia tahu hanya canda semata, namun ia juga tahu bahwa di sebelahnya kini ada korban pelecehan.Tida
(5 menit sebelum Vina sadar, narasi dari sudut pandang teman-teman Vina)"Gimana, Af?" tanya Erwin sambil melangkah masuk ke ruang utama rumah, ruang yang dapat terlihat langsung dari halaman dan teras rumah, dan ruang yang tidak cukup luas jika dibanding dengan ruang tidur.Afrian menggeleng seraya kepalanya tetap tertunduk, "dia sama sekali enggak merespon, padahal sudah gue kasih minyak aromaterapi di sekitar hidungnya.""Sabar dulu, Af," kata Liona menepuk pundak ketua kelompoknya, tepukan pelan dan singkat yang menandakan bahwa dirinya juga merasakan hal sama terkait Vina, yaitu khawatir."Kak Erina," panggil Liona secara tiba-tiba membuat semua mata teralihkan padanya, "aku mau tanya, tapi aku harap kakak enggak tersinggung, ya."Raut wajah serius Liona menciptakan suasana tidak nyaman, hening berhasil dikuatkan hanya dari sorot matanya yang tajam dan terfokus pada Erina. Satu tarikan napas yang terasa berat, perlahan dihembuskan sesaat sebelum Liona bertanya, "Kak Erina nikah r
"Dia jual orang."Hening teramat hening, memekakan telinga akan segala suara yang mungkin saja siap menyakiti. Terdiam membisu tujuh insan muda di ruang utama rumah, ada yang tidak mampu berkata-kata, takut bertanya, bingung untuk berpendapat, dan tidak memahami konteks yang terjadi.Sampai seorang wanita desa kembali berkata, "Aku siapkan sarapan dan makan siang saja dulu ya, ini sudah terlambat banget. Tumben juga mereka enggak marah, bingung deh."Wanita bernama Erina itu bergegas meninggalkan area rumah sementara untuk mahasiswa, meninggalkan enam insan yang masih terdiam tanpa kata dan tanpa bahasa, tidak tahu hal yang dicerna dan yang berusaha dipahami oleh mahasiswa. Dalam pikir Erina, apa yang salah dari menjual orang, sampai anak-anak kota mendadak diam?Senyum tipis terulum setelah Erina berada di jalan setapak, senyum yang terbentuk samar sepanjang ia melangkah menjauhi rumah, dan senyum itu pula yang kian membuat mahasiswa menjadi canggung sekaligus bingung. Dalam pikir Af
"Eh mahasiswa.""Kemana saja tadi? Kok tiba-tiba enggak ada?""Berdua saja ini? Yang lain kemana?""Makan yang banyak, biar tambah gede badan kalian.""Mau dibawa ke rumah, ya? Padahal kalian sudah lama enggak makan bareng kita.""Entar habis makan, langsung balik kerja ya."Dan berbagai kalimat basa-basi lainnya yang dapat dijawab singkat atau hanya sekadar senyum canggung belaka, "nah ... ini sayurnya," kata Erina meletakkan satu mangkuk berukuran sedang ke atas nampan yang dipegang Afrian, sementara Liona sedang mengambil lauk."Terima kasih," ucap pria muda itu tersenyum tipis pada Erina."Sudah," kata Liona sambil meletakkan satu piring berisikan ikan goreng hasil pilihannya, ikan yang terlihat cukup besar ukurannya, dengan amat jelas menunjukkan harapan Liona pada ikan itu agar dapat memiliki banyak daging di dalamnya."Ya sudah, kita pamit ya, Pak ... Bu," pamit Afrian sedikit menundukkan badan dan kepalanya sebagai tanda hormat, begitu pula dengan Liona yang disertai senyum me
"Sepakat ya buat kelihatan normal?" kata seorang pria muda bersetelan santai, hanya menggunakan celana panjang dan kaus oblong."Hm," deham lima insan muda lainnya sambil mengangguk, masih terlihat ragu karena rasa takut, namun keinginan segera keluar dari desa cukup menguatkan diri masing-masing."Oke, kita ke tempat biasa masing-masing saja buat bertugas. Semangat," ucap pria itu sambil menyimpan kunci di kantung celananya, lalu bergegas meninggalkan area rumah untuk menuju dermaga, diikuti oleh dua pria lain.Sedangkan tiga wanita yang juga bagian dari kelompok KKN, masih saling terdiam di teras rumah dan bergulat dengan pikiran masing-masing. Sampai wanita berkalung liontin sabit menghela napas, dan mengambil langkah lebih awal untuk menuju kebun.Tanpa kata atau seruan, dua wanita lain mengikutinya begitu saja. Dari langkah berderap tanpa pembicaraan menyertai, ketiganya terus melangkah sampai pada tempat tujuan. Area kebun dengan dua pendopo kecil dan satu area duduk terbuat dar
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat
Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili
[Tepat hari pengantaran Erina ke rumah tahanan]"Vina sudah sembuh?" tanya wanita bersetelan serba biru dengan nomor di dada kiri dan punggungnya, setelan yang diberikan pihak berwenang sebagai identitas selama menjalani masa hukuman."Sudah," jawab wanita muda yang jadi bagian dari mahasiswa KKN di Metanoia, "kenapa memangnya? Kok aku enggak ditanya?""Dia kelihatan lebih kasihan pas lihat mayatnya Pak Ujang," ucap wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berusaha keras selama belasan tahun untuk keluar dari desa, tapi berakhir di balik jeruji besi, "kamu juga kelihatan baik kok, buat apa aku tanya?" lanjutnya terkekeh ringan.Meski kini dirinya sudah terima kenyataan, bahwa semua yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi. Tapi dalam benak seorang Erina tetap tersisa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan, lantas kenapa Danang mati begitu saja dengan segala kejahatannya? Haruskah Erina semakin membenci Agus yang juga sudah mati di tangannya, karena Agus membunuh Danang?Namun
Jauh di pelosok dari pinggir kota, sebuah mobil berjalan lambat di jalan yang dilihatnya sudah lebih lebar sejak terakhir dilewati untuk pembukaan tempat wisata. Semak belukar liar di pinggir jalan kini sudah bersih, jalan rusak berbatu pun kini sudah berganti jadi beton, dan sepanjang jalan yang tiap malam mengalami kegelapan kini sudah dilengkapi lampu jalan setiap tiga meter.Usai kejadian menggemparkan yang membuat semua pihak terlibat dan merasa gelisah, perkembangan untuk setiap lokasi dilakukan dengan berbagai cara dan mengorbankan banyak materi. Mengadakan lampu jalan, memperbaiki jalan rusak, memperbaiki lampu jalan yang rusak, memberi akses listrik dan internet pada semua lokasi secara terbuka hingga dapat diakses semua orang, dan mengadakan jadwal rutin untuk pemeriksaan lokasi juga warga."Eh ... itu mau jadi perumahan ya?" tunjuk wanita hamil yang duduk tepat di samping kemudi."Mana?" tanya pria di balik kemudi yang menepikan kendaraan, "kelihatannya begitu," lanjutnya m
Tok ... tok ... tok.Napas lega yang bersahut dengan seruan tidak terima terdengar jelas, bersatu tidak padu dalam sidang keputusan perkara pembunuhan berencana. Senyum simpul diulum tipis oleh pemilik banyak cabang pusat sarana olahraga, senyum yang ditujukan pada kuasa hukum muda dari firma ternama di negeri.Setelah hampir satu tahun berlalu sejak mahasiswa berhasil keluar dari desa, setelah lima bulan sejak sidang perdana dimulai, setelah empat bulan sejak mahasiswa dinyatakan stabil secara psikologi, dan setelah dua bulan sejak Erina mengetahui keluarga kandungnya. Putusan perkara telah ditetapkan tanpa melewati aju banding, penetapan hukuman dengan berbagai pertimbangan atas masa lalu dan segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di Metanoia, sepuluh tahun adalah angka untuk hukuman wanita cantik dari desa di pelosok pinggir kota."Pasti hakimnya dibayar sih ini, secara pelakunya kan anak orang kaya yang sudah lama hilang.""Hukum dibeli itu biasa, tapi ini soal nyawa. Tega ba