"G-gue enggak bisa lebih lama lagi, di sini isinya orang enggak waras," sentak seorang wanita yang masih mengenakan pakaian tidur, kantung mata menghitam dengan garis halus melekuk di sepanjang garis senyum dekat bibirnya.Wanita cantik berkulit tan kesayangan ribuan orang, wanita cantik yang terbiasa hidup dengan segala kemewahan dan kebutuhan yang senantiasa terkabul, dan wanita cantik yang terlahir menjadi anak tunggal bersifat ramah dari keluarga kaya raya dengan bisnis yang banyak disukai masyarakat luas. Sungguh keberuntungan yang akan selalu mengikuti hidupnya, tapi keberuntungan itu seolah berhenti mengikuti saat kakinya melangkah masuk melewati gerbang utama Desa Metanoia.Sejak awal kedatangan, dirinya sudah mengalami berbagai pelecehan dan keanehan. Dari ditatap sedemikian rupa, di-intip saat mandi, menemani teman kelompoknya untuk menyaksikan perzinahan, difitnah, diculik, dan sekarang disekap yang belum diketahui tujuannya.Apa ini derita orang cantik? Tentu bukan! Ini de
Hari yang cerah tidak selamanya dinanti dan diharap, begitu pula dengan hari yang mendung tidak selalu ditolak dan dibenci. Berjalan tanpa suara tiga wanita menuju pendopo kebun terdekat, menghampiri seorang wanita lainnya yang masih duduk bersandar dengan tatapan kosong ke area perkebunan."Des," panggil wanita berambut cokelat yang tergerai bebas, "lo baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan harapan cemas dan menjaga intonasinya agar tetap terjaga dan tidak menyinggung."Hm," deham wanita yang biasa disebut Desry, mengangguk pelan ia tanpa sedikitpun melirik lawan bicaranya, seolah area perkebunan begitu menarik untuk terus diperhatikan."Ah," desah wanita lainnya bernama Vina, sebagai mahasiswi akhir dari jurusan psikologi kepribadian dan sosial, dirinya sudah tahu hal yang dirasa dan dipikirkan Desry sebagai korban upaya pelecehan, "ya sudah kak, kita harus tetap lanjut kerjakan tugas. Tolong titip Desry, ya kak," lanjutnya pada seorang wanita desa yang cukup dekat dengan mahasiswa s
Berdiri mematung dua insan berbadan semampai, mata mereka tertuju pada tiga pria dari kelompoknya yang berada di dalam lubang galian untuk tempat pembuangan, "minggir dulu minggir!" seru seorang pria bersuara cukup tinggi, mengejutkan dua insan yang tadi terdiam.Spontan keduanya bergeser dan memilih untuk berdiri di bawah pohon kelapa, bukan karena hawa sejuk dari semilir angin pantai, namun karena bawah pohon sudah pasti tidak dilewati para pekerja. Walau sudah sekian masalah dialami dan terjadi, walau hampir tidak ada kata maaf dan perasaan legawa, dan walau para pria desa secara nyata saling kontra dalam berprinsip hidup dengan mahasiswa, tapi mereka memiliki kerja sama yang baik untuk mengerjakan saluran pembuangan.Menggali aliran untuk pipa ke lubang pembuangan, memasang pipa, membawakan pipa, memotong pipa, sampai memeriksa kokohnya dinding bata pada setiap sisi dari lubang galian. Sungguh hubungan yang berbeda antara wanita desa dengan mahasiswi yang masih tetap bersitegang,
"Lo enggak suka kalau lagi diskusi ditinggal Afrian, tapi kita lagi diskusi malah lo pergi gitu saja," oceh Liona setelah mengejar Vina dan kini berjalan di sebelahnya."Ya lo kelamaan jawabnya," kata Vina begitu santai menanggapi ocehan temannya."Enggak selama itu juga ya sampai bisa jadi alasan lo pergi," sahut Liona membuat Vina terkekeh pelan."Ya sudah iya, gue yang benar," tukas Vina sontak membuat Liona membuka matanya lebar dan menghentikan langkah sejenak.Bisa-bisanya Vina menggunakan intonasi seolah sedang mengakui kesalahan, tapi kata-kata yang digunakan sama sekali tidak mencerminkan bahwa ia mengakui kesalahannya, justru mengaku bahwa dirinya benar, "ergh!" erang Liona kembali melangkah lagi dan menghampiri Vina yang sudah duduk berhadapan dengan dua laki-laki, di bangku panjang nan lebar dari anyaman bambu."Jadi gimana, Af?" tanya Vina terdengar seperti langsung pada inti pembicaraan, "dosen mau dikasih tahu atau enggak?" katanya lagi menegaskan arah pertanyaan."Kasih
"Memang, tapi kan kalian juga yang bilang kalau cewek-cowok itu sama. Ya sudah biar Pak Danang uruslah itu, biar cewek bisa melaut juga, diajar mereka," ujar salah satu pria desa melanjutkan kegiatannya memasang pipa menggunakan lem pipa, tentu dibantu oleh sesama pria desa.Sedangkan Afrian dan Erwin yang berada di dekat lubang penggalian pun bertukar tatap, mengernyit keduanya dan merasa heran sekaligus aneh dengan jawaban warga desa, "seharusnya enggak semudah itu mereka mengubah cara berpikir, kan?" gumam Afrian bertanya pada Erwin yang hanya mengangguk.Anggukan yang membuat Afrian terdiam dalam rasa bingungnya, walau Erwin terlihat acuh tak acuh, namun Afrian dapat menduga bahwa pria rambut kribo itu memikirkan hal serupa dengannya. Begitu pula dengan Vina dan Liona yang terdiam satu sama lain, memandang kosong ke hamparan laut luas, "kayak ada yang aneh," kata Liona pelan yang disambut dehaman pelan oleh Vina, deham yang bermakna setuju dengan perkataan itu.Sedangkan Angga, ke
Jerit dan teriak yang tersumpal kain terdengar tidak jelas saling bersahutan, ada emosi yang terasa dan ada pula tangis yang terdengar di antara suara tertahan. Bunyi kursi yang terbentur berulang kali menjadi bagian antara suara jerit tersumpal, "berisik!" bentak seorang pria menghasilkan gema yang terdengar beberapa kali.Bentakan yang sontak menghentikan suara maupun bunyi dari kursi, mengheningkan keadaan sekitar seolah tidak pernah ada jerit pilu yang tersumpal. Pria berbadan sedikit bongkok dengan perut buncit menghiasi badannya berjalan santai, matanya terus menatap ke orang-orang yang terikat di kursi dengan mata tertutup dan mulut tersumpal.Senyum simpul dengan tawa kecil memecahkan keheningan yang terjadi, tawa yang juga membuat orang-orang terikat itu kembali merasa gelisah. Kepalanya bergeleng-geleng pelan, hampir bersamaan terdengar lagi jeritan bernada protes, "hhhmmm!"Satu ... dua ... tiga dan seterusnya. Berawal dari hanya satu orang yang kembali menjerit, beberapa o
Jalan bersama namun tidak beriringan, saling berdiam diri dan terfokus pada dua plastik besar yang dibawa di kedua tangan. Terhembus napas Vina saat tiba di depan rumah, segera ia duduk di teras bangunan kayu itu kemudian menyandarkan diri di tiang penyangga rumah.Belum lama Vina memejamkan mata, kakinya yang terselonjor bebas mendapat beberapa tepukan pelan, memaksanya untuk kembali membuka mata dan mengulum senyum meski seberkas kekesalan ada dalam benaknya. Hanya ingin istirahat sekejap, hanya ingin mengatur napas sebentar, dan hanya ingin menenangkan mata yang terasa panas."Kuncinya mana?" tanya seorang wanita desa dengan rambut terikat asal dan selalu terlihat kusut.Mengernyit mahasiswi itu lalu menoleh ke arah pintu, menyipit matanya sebelum kembali terpejam lagi dengan helaan napas, "kenapa?" kata wanita desa bernama Erina Handayani itu, terlihat berekspresi bingung atas reaksi Vina."Kuncinya ada di Afrian," jawab Vina tersenyum kecut seraya membuka kedua matanya lagi, "mat
Cahaya sejauh mata memandang terlihat hampir tidak tergapai, genangan air telah membasahi seluruh tubuh seorang wanita yang masih saja terbaring lemah di atasnya. Mengerjap ia meski tahu bahwa yang ditemukan tetap hanya kegelapan dengan seberkas cahaya yang jauh, terhela napasnya perlahan sembari beranjak untuk duduk.Mata sendunya menatap ke cahaya yang jauh, menduga kejauhan yang tepat hanya dari penglihatan, dan menghitungnya untuk segera dicapai dengan tubuh yang terasa sangat lemas juga lelah. Ditelannya liur yang terasa sulit dan menyakiti kerongkongan, menghasilkan desis dengan dahi yang spontan mengernyit."Vina ... Vina!" panggil sebuah suara yang terdengar menggema, suara yang tidak diketahui sumbernya.Wanita bernama lengkap Arshavina Citrani itu terus menoleh ke segala arah, menyebar pandangannya secara acak dalam harapan cemas untuk menemukan sosok yang memanggilnya. Suara itu cukup familiar di telinga, suara perempuan yang memiliki ketegasan dalam suaranya, ia tahu pemili
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat
Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili
[Tepat hari pengantaran Erina ke rumah tahanan]"Vina sudah sembuh?" tanya wanita bersetelan serba biru dengan nomor di dada kiri dan punggungnya, setelan yang diberikan pihak berwenang sebagai identitas selama menjalani masa hukuman."Sudah," jawab wanita muda yang jadi bagian dari mahasiswa KKN di Metanoia, "kenapa memangnya? Kok aku enggak ditanya?""Dia kelihatan lebih kasihan pas lihat mayatnya Pak Ujang," ucap wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berusaha keras selama belasan tahun untuk keluar dari desa, tapi berakhir di balik jeruji besi, "kamu juga kelihatan baik kok, buat apa aku tanya?" lanjutnya terkekeh ringan.Meski kini dirinya sudah terima kenyataan, bahwa semua yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi. Tapi dalam benak seorang Erina tetap tersisa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan, lantas kenapa Danang mati begitu saja dengan segala kejahatannya? Haruskah Erina semakin membenci Agus yang juga sudah mati di tangannya, karena Agus membunuh Danang?Namun
Jauh di pelosok dari pinggir kota, sebuah mobil berjalan lambat di jalan yang dilihatnya sudah lebih lebar sejak terakhir dilewati untuk pembukaan tempat wisata. Semak belukar liar di pinggir jalan kini sudah bersih, jalan rusak berbatu pun kini sudah berganti jadi beton, dan sepanjang jalan yang tiap malam mengalami kegelapan kini sudah dilengkapi lampu jalan setiap tiga meter.Usai kejadian menggemparkan yang membuat semua pihak terlibat dan merasa gelisah, perkembangan untuk setiap lokasi dilakukan dengan berbagai cara dan mengorbankan banyak materi. Mengadakan lampu jalan, memperbaiki jalan rusak, memperbaiki lampu jalan yang rusak, memberi akses listrik dan internet pada semua lokasi secara terbuka hingga dapat diakses semua orang, dan mengadakan jadwal rutin untuk pemeriksaan lokasi juga warga."Eh ... itu mau jadi perumahan ya?" tunjuk wanita hamil yang duduk tepat di samping kemudi."Mana?" tanya pria di balik kemudi yang menepikan kendaraan, "kelihatannya begitu," lanjutnya m
Tok ... tok ... tok.Napas lega yang bersahut dengan seruan tidak terima terdengar jelas, bersatu tidak padu dalam sidang keputusan perkara pembunuhan berencana. Senyum simpul diulum tipis oleh pemilik banyak cabang pusat sarana olahraga, senyum yang ditujukan pada kuasa hukum muda dari firma ternama di negeri.Setelah hampir satu tahun berlalu sejak mahasiswa berhasil keluar dari desa, setelah lima bulan sejak sidang perdana dimulai, setelah empat bulan sejak mahasiswa dinyatakan stabil secara psikologi, dan setelah dua bulan sejak Erina mengetahui keluarga kandungnya. Putusan perkara telah ditetapkan tanpa melewati aju banding, penetapan hukuman dengan berbagai pertimbangan atas masa lalu dan segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di Metanoia, sepuluh tahun adalah angka untuk hukuman wanita cantik dari desa di pelosok pinggir kota."Pasti hakimnya dibayar sih ini, secara pelakunya kan anak orang kaya yang sudah lama hilang.""Hukum dibeli itu biasa, tapi ini soal nyawa. Tega ba