Share

Permainan Memanggil Arwah

“Selama delapan belas tahun aku hidup, nggak ada yang bisa membuatku kaget ataupun takut.” -Sora Karasawa-

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Sora dan Ryou kini sudah menduduki kursi kelas 3 SMA. Image Sora yang tomboy dan pemberani berlawanan dengan image Ryou yang lugu dan kalem di depan teman-temannya, bahkan selama ini mereka selalu menganggap Ryou adalah anak yang sangat lemah.

Saat itu, Sora dan teman-temannya sedang berjalan menuju kelas, sesampainya mereka di dalam kelas, mereka melihat Ryou yang sedang dikerumuni oleh anak-anak berbadan besar dari kelas lain.

“Eh! Itu anak-anak dari kelas 3-D kan? Kenapa mereka mengerumuni Ryou?”

“Dia lemah, sih. Makanya sering ditindas, dari kelas satu dia itu kutu buku yang lemah. Entah kenapa dia tidak berubah sedikit pun, padahal kalau dia menjadi lebih berani sedikit saja aku pasti menyukainya.” 

“Kau benar, kasihan sekali dia. Padahal wajahnya lumayan kalau dia tidak memakai kacamata. Tapi sudahlah, jangan sampai terlibat deh. Ya, kan, Sora?”

Mendengar obrolan teman-temannya tentang Ryou membuat Sora memperhatikan kerumunan itu, “Entahlah, tapi sepertinya tidak bisa dibiarkan.” Sora meninggalkan kursinya perlahan dan menghampiri kerumunan itu perlahan.

“Oke, ya! Kerjakan seperti yang kusuruh, Kamiyama,” ucap salah seorang laki-laki di kerumunan itu. Dan Ryou hanya menjawab, “Iya ….” sambil tersenyum.

Ketika orang-orang di kerumunan itu bergegas ingin pergi tiba-tiba saja Sora menendang meja Ryou dengan kakinya sampai terdengar suara yang cukup mengagetkan mereka.

“Dasar anak-anak nggak guna. Kalian ini bisanya menyiksa yang lemah saja, ya?” ucap Sora dengan tenang sambil menurunkan kakinya. Anak-anak di kelas yang melihat aksi sora itu langsung bergerumul di mejanya masing-masing sambil melihat ke arah Sora.

Salah satu laki-laki dari kerumunan yang tidak terima dengan perbuatan Sora itu menjadi kesal dan marah sehingga dia mengepalkan tangannya dan berusaha untuk memukul Sora. “Kau … jangan pikir aku nggak akan memukulmu karena kau cewek, ya!” 

Mendengar ucapan itu, Sora masih tetap tenang dengan wajah datarnya. Menurutnya pemikiran bahwa perempuan harus meminta perlindungan dari laki-laki itu sudah sangat kuno. Dan ketika laki-laki itu mulai menyerang Sora semua anak-anak di kelas mulai berteriak, tetapi tidak ada yang terjadi, laki-laki itu menggantungkan kepalan tangannya di hadapan Sora dan membeku.

“kenapa? Ada apa? Kenapa dia mematung seperti itu?” gumam anak-anak yang lainnya.

“Pertahananmu kosong, tuh,” bisik Sora kepada laki-laki itu, tanpa yang lain ketahui ternyata Sora menendang selangkangan laki-laki itu dengan dengkulnya dan itulah yang menyebabkan laki-laki itu berhenti.

“Aduhh!”

Laki-laki itu berteriak kesakitan sambil memegangi selangkangannya dan jatuh terduduk, teman-teman berandalannya yang melihat hal itu bergegas menggotong laki-laki itu dan membawanya keluar dari kelas Sora sambil berteriak mengancam Sora.

“Awas kau, akan kubalas!”

“Cepat, cepat, cepat!”

“Tunggu kau nanti!”

Mendengar ucapan dari laki-laki berandal itu, Sora hanya meledeknya dengan menjulurkan lidahnya. “Kyaaa!! Sora keren!” sorak sorai memenuhi ruangan kelas dari teman-temannya kecuali Ryou. Ryou bangkit dari duduknya dan menasihati Sora. 

“Sora, kamu nggak boleh begitu! Kamu, kan cewek. Jangan berantem sama anak cowok! Aku seram melihatnya, bagaimana kalau kamu terluka dan luka itu membekas? Tolong jaga dirimu baik-baik .…” Ryou mencecar Sora dengan berbagai kata-kata nasihat sehingga membuat Sora menjadi kesal.

“Stop!” ucap Sora sambil memukul meja dan membuat Ryou berhenti bicara. “Kamu ini sudah kutolong! Bukannya berterima kasih, malah menasihatiku! Kamu ini laki-laki berusia delapan belas tahun, harusnya lebih berani dong!” lanjutnya. 

Ryou yang melihat wajah kesal Sora seketika berpikir kembali lalu menampilkan senyum polosnya. “Ooh, yang tadi itu, ya? kamu salah paham.” ucap Ryou canggung. Sambil menunjukan sebuah buku kepada Sora, dia melanjutkan perkataanya, “Aku hanya dimintai tolong. Nih, aku di suruh menyalin PR Matematika ini dan aku dibayar lohh, hehehe ….” 

Dengan wajah polosnya Ryou menunjukan uang 100 Yen kepada Sora sambil tersenyum cerah. “Jadi kamu terima bayaran?! Ryou Kamiyama!!” Sora yang mendengar hal itu seketika berubah menjadi kesal terhadap Ryou dan berusaha untuk memukul Ryou, tetapi semua usaha Sora ditahan oleh teman-temannya.

“Kyaaa! Sora, tenanglah!”

~~~~

Bel berbunyi pertanda mata pelajaran terakhir telah usai, semua siswa bergegas untuk pulang ke rumahnya masing-masing kecuali yang memiliki kegiatan klub atau yang memiliki jadwal piket kelas. Sore itu Sora kebagian untuk piket, tetapi karena kekesalannya terhadap Ryou dia sampai melupakan kewajibannya itu dan malah berjalan pulang.

Tetapi di tengah jalan Sora teringat akan tugasnya untuk piket kelas, dan akhirnya bergegas kembali ke sekolahnya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, sekolah sudah mulai sepi dan hanya tersisa anak-anak yang sedang melakukan kegiatan klub dan piket. 

“Ah! Ini semua karena anak itu! Jelas-jelas dia dimanfaatkan, bisa-bisanya dia masih cengar-cengir seperti itu! Ryou Kamiyama … dia tipe orang yang nggak pernah kumengerti,” gumam Sora. Dengan langkah gontai Sora berjalan ke kelasnya, dan saat membuka pintu, dia melihat di dalam sana ada kedua temannya yang terkejut akan kedatangannya.

“Duh, kaget. Ternyata Sora, ya. Aku pikir kamu lupa hari ini kita tugas bareng.” ucap salah satu temannya yang bernama Rey.

“Ah, itu sebenarnya aku memang sempat lupa, tapi sepertinya kelas sudah bersih. Kalian sedang apa?” Sora menghampiri kedua temannya yang sedang duduk berhadapan di tengah-tengah kelas dengan lampu kelas yang dimatikan dan hanya diterangi cahaya matahari sore.

“Ah, nggak. Kami hanya sedang memainkan permainan memanggil arwah dengan papan ini, mau ikut?” ucap temannya antusias.

“Permainan memanggil arwah?” tanya Sora

“Iya, kami penasaran, hehehe .…”

Setelah temannya berkata seperti itu, telinga Sora seperti berdenging dan tidak dapat mendengar apa pun untuk sesaat. “Ukh .…” Sora mengernyit sambil memegang telinganya.

“Eh? Sora kenapa?” tanya Rey.

“Hah? Kenapa? Tadi kau bilang apa?” tanya Sora. Kedua teman Sora langsung berseru ketakutan ketika dia menanyakan hal seperti itu, sedari tadi kedua temannya itu meminta Sora untuk ikut duduk tetapi Sora tidak mendengarnya karena suara dengingan itu. 

“Sora, jangan seperti itu dong, kami, kan jadi takut!” 

“Katanya kalau orangnya sensitif kemungkinan berhasilnya lebih tinggi,” sambil mencairkan suasana Sora mengambil kursi dan duduk di antara kedua temannya. Mendengar perkataan Sora kedua temannya itu mengangguk.

“Sebetulnya sampai umur lima tahun aku bisa melihat hantu, loh,” ucap Sora.

“Eee?! Bohong!! Sora, kamu Cuma bercanda kan!”

“Benar, kok.”

Sambil melihat tulisan-tulisan yang berada di atas meja, Sora bertanya kepada kedua temannya itu, “Memangnya kalian ingin bertanya apa? Mau kutanyakan langsung?” Sora meletakkan jarinya di atas koin yang berada di atas kertas.

“Sora mau ikutan? Sebenarnya kami hanya ingin bertanya siapa yang disukai Matsuda .…”

Ketiga orang itu meletakan jarinya di atas koin secara bersamaan dan mulai melafalkan mantra bersama-sama sambil memejamkan mata.

“Wahai arwah-arwah yang bersemayam di kelas ini, datanglah dan penuhi permintaan kami.”

Tidak lama setelah melafalkan mantra tersebut, bunyi suara retakan kaca membuat mereka membuka mata segera dan menoleh ke arah jendela secara bersamaan. Kaca jendela yang awalnya baik-baik saja kini menjadi retak seperti telah dilemparkan oleh sebuah batu. Semakin lama retakan itu semakin melebar dan akhirnya pecah berkeping-keping seolah seseorang sengaja mendorongnya dari luar karena pecahan itu mengarah ke dalam ruangan kelas.

Sora dan teman-temannya terkejut dan berteriak melihat kejadian itu lalu melindungi diri mereka agar tidak terkena pecahan kaca tersebut. Sora memejamkan mata dan menutupi wajahnya dengan lengannya, namun saat dia ingin memastikan kedua temannya baik-baik saja mereka tidak ada di tempat.

Saat Sora hendak bangun dari duduknya, kedua temannya itu sudah berdiri di sisi kanan dan Kirinya sambil mengeluarkan aura yang membuat tubuh Sora membeku. “Rey? Riko? Kalian kenapa? Ukhh .…” Saat hendak menghampiri Rey, leher Sora dicekik dari belakang oleh Riko.

“Riko … ukhh ….” 

Suara Sora tidak dapat keluar, cekikan Riko sangat kencang sehingga membuat Sora tidak bisa berteriak, bahkan tubuh Sora pun tidak bisa bergerak sama sekali karena aura yang dikeluarkan oleh kedua temannya seperti menekan tubuhnya. “Rey … to-long .…” Sora mencoba mengeluarkan suaranya untuk menyadarkan temannya yang kini berdiri di hadapannya, namun Rey malah tertawa dengan keras di hadapan Sora.

“Haahaahaa…!”

Suara tawa itu menggema di seluruh ruang kelas, semakin keras suara tawa Rey, cekikan di lehernya kini semakin mengencang, sesak, itulah yang dirasakan oleh Sora, dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Sora mencengkram kertas yang berada di atas meja, dan semakin lama kesadarannya mulai menghilang, dia sudah tidak dapat menahannya lagi, pandangannya semakin gelap dan hal terakhir yang dia ingat adalah suara koin yang terjatuh dari atas meja.

“Mimpi, ini pasti mimpi.”

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status