Tian mendesah berat, mereka benar-benar kesiangan sholat subuh. Hampir jam enam baru keluar kamar mandi. Padahal sudah bertekad ingin sholat tepat waktu, gara-gara istri nakalnya ini dia jadi tergoda juga.Ressa tersenyum kecil melihat wajah masam suaminya sejak usai sholat tadi. Mereka langsung sarapan, terlalu lama berendam membuat perut keroncongan. Untung Tian sudah memasak untuk sarapan pagi ini."Kamu nakal, Sayang!" decak Tian yang masih kesal di meja makan."Tapi kamu suka kan, gak bisa nolak lagi." Sebut Ressa nakal dengan mata mengerling jahil."Iya, tapikan gak pas mau sholat juga. Aku sudah bilang mau berubah," ucap Tian cemberut."Yang cari gara-gara siapa, hm?" "Aku kan bangunin kamu. Abisnya dibangunin malah bikin aku merinding jadi aku masukin bathtub aja," jelas Tian."Hm, merinding gimana, emang aku nyeremin?" Ressa menempelkan kedua telapak tangannya di pipi, dengan wajah yang di imut-imutkan."Bukan, kamu bikin dia merinding. Nih bangun lagi gara-gara kamu manja-m
Karena ada meeting mendadak Tian akhirnya membawa Ressa ke kantor, demi tidak meninggalkannya sendirian di rumah. Ia juga takut Ressa kabur darinya lagi. Sambil berjalan menuju ruangannya lelaki itu sibuk menjawab telepon, dengan tangan kiri masih menggandeng sang istri.“Coba lihat, padahal Pak Bos sudah punya istri sah, gak malu ya ikut ke kantor, dasar perempuan murahan!!” Terdengar suara-suara berisik saat mereka melewati antrian lift. Ressa bersikap seolah tidak mendengar apapun, sudah biasa mendapat cibiran seperti itu sejak menjadi sekretaris Tian. Tentu saja dia mengenal para karyawan Tian yang dulu menjadi bosnya.Tian mematikan sambungan telepon, lalu berbalik mendatangi beberapa orang yang sedang mengantri di depan lift.“Denis, ke depan lift sekarang!!” panggilnya melalui telepon. Ressa meringis, pasti akan terjadi sesuatu setelah ini. Tapi dia masih belum bergerak dari tempatnya berdiri, enggan mendekati Tian.“Kalian terlalu berani menghina istriku!!” seru Tian datar t
“Karena cuma kamu yang berarti buat aku, mereka mau bicara apa aku gak peduli. Asal bukan kamu yang mengatakannya.”Tian semakin mengeratkan pelukan mendengar ucapan istrinya. Dia yang paling diharapkan untuk membuat Ressa bahagia, malah yang sangat sering menyakiti hati kesayangannya ini."Sekarang kamu ngerti kan kenapa aku gak pernah mau ambil pusing dengan perkataan pedas orang lain. Termasuk ibuku sendiri. Karena yang mengatakan itu bukan kamu, yang kuinginkan sekarang itu cuma kamu, Sayang.""Maafkan aku yang belum bisa menjadi suami yang sempurna buat kamu, Honey. Aku terlalu sering menyakitimu, membuat luka di hatimu ini.""Apa aku bisa mendapatkan suami yang sempurna di dunia ini?" Ressa menggeleng pelan, "tidak kan, karena aku juga tidak sempurna buat kamu."Tian mengecup kening Ressa dengan penuh cinta. Ia akan memberikan seluruh hidupnya ini untuk menjaga Ressa. "Terima kasih untuk seluruh cintamu ini, Sayang. Terima kasih sudah mau bertahan dengan aku yang selalu membuat
"Kenapa gelisah Sayang, kamu kepanasan? tapi AC-nya dingin kok." Tian kebingungan melihat istrinya yang bolak-balik di tempat tidur. Mereka menginap di rumah ibu setelah acara pengajian empat puluh hari kepergian ayah mertuanya dan semua berkumpul disini."Aku lapar," jawab Ressa dengan cengiran. Tian meraup napas dengan kasar. Ia saja yang terlalu berlebihan mengkhawatirkannya. Istrinya ini malah memasang wajah polos seperti itu."Ayo kita cari yang bisa dimakan," Tian memasangkan jilbab kaos terusan pada Ressa. Ia tidak ingin apa yang dimiliki tubuh istrinya ini terlihat oleh lelaki lain.Tentu saja Ressa sangat senang, di ruang tengah masih ramai suara obrolan keluarganya."Kalian mau kemana?" Tanya Aruna saat pasangan itu lewat. Tadi katanya Ressa mengantuk, tapi sekarang keluar lagi."Lapar, hehe." Jawab Ressa sambil mengelus perutnya pertanda cacing di sana sedang berdemo ria.Sang ibu yang mendengar jawaban Ressa menatap heran. Tadi putrinya itu juga ikut makan bersama, malaha
"Nasinya emang gak ikut lomba lari. Tapi cacing yang ada di sini sudah menari-nari," Ressa menyengir lebar dengan wajah dimanja-manjakan pada sang suami.Tian menggeleng pelan, ada saja jawaban istrinya ini. Ia melanjutkan makan Ressa dengan menyuapi tanpa menanggapi celotehannya."Cacing itu kalau menari gimana gerakannya Kak?" Tanya Reka serius, memajukan wajahnya mendekati Ressa yang sedang disuapi Tian."Ya Salam anak siapa ini?" Rina menoyor jidat si bungsu yang halal untuk dijitak."Aduuh-aduuh Bu, otakku nanti keluar semua." Rengek Reka mengelus-elus jidatnya yang terasa sakit. Ibunya itu menjitak dengan tenaga super mom."Emang otakmu itu sudah keluar semua!" Sarkas Rina kesal, anak dan menantunya sudah pada tertawa.***"Honey, mau diantar Dad Denis atau Dad Tian hari ini ke sekolah?" Tanya Denis pada Dea yang duduk diantaranya dan Tian saat sedang sarapan."Dad Tian dan Buba aja, Dad Denis pasti masih capekkan habis bikin dedek," jawab Deandra sambil berbisik di telinga pria
Tian mengantar Ressa pulang ke rumah setelah dari sekolah Dea. Putrinya itu minta diantar daddy dan buba, jadi mereka berdua yang akhirnya berangkat.“Aku ke kantor dulu Sayang, kamu di sini aja temani ibu dan Aru, gak usah pulang ke rumah. Mungkin aku pulang agak malam,” pamit Tian pada istrinya.“Iya, biar nanti siang aku aja yang jemput Dea.” Ujar Ressa yang disetujui sang suami.“Bareng apa naik mobil sendiri?” tanya Tian pada Denis yang masih belum berangkat ke kantor.“Hemat BBM,” sahut Denis kemudian berpamitan pada istrinya. Tian melempar kunci mobil pada Denis yang berjalan mendekatinya. Suami Aruna itu berdecak tapi tangannya tetap menangkap kunci dengan lincah, “gue bukan supir,” desisnya. Si empunya mengedikkan bahu, mencuri satu kecupan di pipi Ressa sebelum benar-benar pergi. “Keamanan Extnet ada yang berusaha membobol lagi, padahal sejak Extnet didirikan di Indonesia itu tidak pernah terjadi. Tapi tahun ini sudah hampir dua kali kebobolan,” decak Erfan yang sedang pu
“Kenapa kalian belum ada yang bergerak mencari Dea?” Jeri datang ke ruangan Erfan disambut tiga orang pria dengan wajah tegang. Mereka fokus pada laptop masing-masing.“Keamanan Extnet diretas, kami tidak bisa meninggal perusahaan yang sedang kacau seperti ini.” Jawab Tian yang hati dan pikirannya sudah berlarian ke mana-mana.“Bodoh,” gumam Jeri. “Kalian bisa memanggil pakarnya, sekarang Dea yang sedang dalam bahaya. Pasti semua ini sudah mereka rencanakan agar kalian lengah,” pria itu berdecak. Kenapa hanya dia yang bisa berpikir jernih di saat seperti ini.“Matt, panggil pakar IT ke sini secepatnya.” Titah Jeri pada sang asisten, yang selalu ikut dengannya. Pria yang diperintahkan itu langsung mengangguk melakukan tugasnya.Jeri menyarankan Erfan untuk tetap tinggal, cukup mereka bertiga yang mencari Dea. Sebenarnya mereka tidak tinggal diam, Denis sudah memerintahkan pengawalnya untuk mencari jejak Dea.Tian membuka laptopnya kembali saat mengingat sesuatu."Mau apa lagi Tian?" Uj
"Om siapa? Lepasin Dea!!" Teriak gadis remaja itu saat matanya ditutup. Ia dibawa ke sebuah ruangan, setelah sampai baru penutup matanya dibuka. Tempat itu sama sekali tidak menyeramkan, malah seperti kamar mewah."Diam Sayang!!" Peringat Azmi, awalnya ingin membawa anak ini ke paviliun belakang, tapi karena kasihan jadilah dia bawa ke kamar."Om lepasin Dea," rengek gadis itu."Diamlah, Om tidak akan menyakitimu." Azmi tersenyum membelai rambut Deandra, "jadi nama kamu Dea?" Tanyanya."Deandra," ucap gadis remaja itu menyebutkan nama lengkapnya."Tangannya Om lepas, tapi janji jangan lari. Kalau kamu lari Om bisa langsung menembakmu." Azmi mengeluarkan pistol dari balik punggung, hanya untuk mengancam gadis kecil itu.Dea mengangguk takut dengan wajah pucat. Netra Azmi melihat liontin Deandra yang mengkilap."Kalungnya cantik, Om lihat sebentar boleh. Mau beli juga buat seseorang," ujar Azmi melepaskan liontin Dea lalu membawanya agak menjauh."Chip, pasti mereka sudah mengetahui keb