Karena ada meeting mendadak Tian akhirnya membawa Ressa ke kantor, demi tidak meninggalkannya sendirian di rumah. Ia juga takut Ressa kabur darinya lagi. Sambil berjalan menuju ruangannya lelaki itu sibuk menjawab telepon, dengan tangan kiri masih menggandeng sang istri.“Coba lihat, padahal Pak Bos sudah punya istri sah, gak malu ya ikut ke kantor, dasar perempuan murahan!!” Terdengar suara-suara berisik saat mereka melewati antrian lift. Ressa bersikap seolah tidak mendengar apapun, sudah biasa mendapat cibiran seperti itu sejak menjadi sekretaris Tian. Tentu saja dia mengenal para karyawan Tian yang dulu menjadi bosnya.Tian mematikan sambungan telepon, lalu berbalik mendatangi beberapa orang yang sedang mengantri di depan lift.“Denis, ke depan lift sekarang!!” panggilnya melalui telepon. Ressa meringis, pasti akan terjadi sesuatu setelah ini. Tapi dia masih belum bergerak dari tempatnya berdiri, enggan mendekati Tian.“Kalian terlalu berani menghina istriku!!” seru Tian datar t
“Karena cuma kamu yang berarti buat aku, mereka mau bicara apa aku gak peduli. Asal bukan kamu yang mengatakannya.”Tian semakin mengeratkan pelukan mendengar ucapan istrinya. Dia yang paling diharapkan untuk membuat Ressa bahagia, malah yang sangat sering menyakiti hati kesayangannya ini."Sekarang kamu ngerti kan kenapa aku gak pernah mau ambil pusing dengan perkataan pedas orang lain. Termasuk ibuku sendiri. Karena yang mengatakan itu bukan kamu, yang kuinginkan sekarang itu cuma kamu, Sayang.""Maafkan aku yang belum bisa menjadi suami yang sempurna buat kamu, Honey. Aku terlalu sering menyakitimu, membuat luka di hatimu ini.""Apa aku bisa mendapatkan suami yang sempurna di dunia ini?" Ressa menggeleng pelan, "tidak kan, karena aku juga tidak sempurna buat kamu."Tian mengecup kening Ressa dengan penuh cinta. Ia akan memberikan seluruh hidupnya ini untuk menjaga Ressa. "Terima kasih untuk seluruh cintamu ini, Sayang. Terima kasih sudah mau bertahan dengan aku yang selalu membuat
"Kenapa gelisah Sayang, kamu kepanasan? tapi AC-nya dingin kok." Tian kebingungan melihat istrinya yang bolak-balik di tempat tidur. Mereka menginap di rumah ibu setelah acara pengajian empat puluh hari kepergian ayah mertuanya dan semua berkumpul disini."Aku lapar," jawab Ressa dengan cengiran. Tian meraup napas dengan kasar. Ia saja yang terlalu berlebihan mengkhawatirkannya. Istrinya ini malah memasang wajah polos seperti itu."Ayo kita cari yang bisa dimakan," Tian memasangkan jilbab kaos terusan pada Ressa. Ia tidak ingin apa yang dimiliki tubuh istrinya ini terlihat oleh lelaki lain.Tentu saja Ressa sangat senang, di ruang tengah masih ramai suara obrolan keluarganya."Kalian mau kemana?" Tanya Aruna saat pasangan itu lewat. Tadi katanya Ressa mengantuk, tapi sekarang keluar lagi."Lapar, hehe." Jawab Ressa sambil mengelus perutnya pertanda cacing di sana sedang berdemo ria.Sang ibu yang mendengar jawaban Ressa menatap heran. Tadi putrinya itu juga ikut makan bersama, malaha
"Nasinya emang gak ikut lomba lari. Tapi cacing yang ada di sini sudah menari-nari," Ressa menyengir lebar dengan wajah dimanja-manjakan pada sang suami.Tian menggeleng pelan, ada saja jawaban istrinya ini. Ia melanjutkan makan Ressa dengan menyuapi tanpa menanggapi celotehannya."Cacing itu kalau menari gimana gerakannya Kak?" Tanya Reka serius, memajukan wajahnya mendekati Ressa yang sedang disuapi Tian."Ya Salam anak siapa ini?" Rina menoyor jidat si bungsu yang halal untuk dijitak."Aduuh-aduuh Bu, otakku nanti keluar semua." Rengek Reka mengelus-elus jidatnya yang terasa sakit. Ibunya itu menjitak dengan tenaga super mom."Emang otakmu itu sudah keluar semua!" Sarkas Rina kesal, anak dan menantunya sudah pada tertawa.***"Honey, mau diantar Dad Denis atau Dad Tian hari ini ke sekolah?" Tanya Denis pada Dea yang duduk diantaranya dan Tian saat sedang sarapan."Dad Tian dan Buba aja, Dad Denis pasti masih capekkan habis bikin dedek," jawab Deandra sambil berbisik di telinga pria
Tian mengantar Ressa pulang ke rumah setelah dari sekolah Dea. Putrinya itu minta diantar daddy dan buba, jadi mereka berdua yang akhirnya berangkat.“Aku ke kantor dulu Sayang, kamu di sini aja temani ibu dan Aru, gak usah pulang ke rumah. Mungkin aku pulang agak malam,” pamit Tian pada istrinya.“Iya, biar nanti siang aku aja yang jemput Dea.” Ujar Ressa yang disetujui sang suami.“Bareng apa naik mobil sendiri?” tanya Tian pada Denis yang masih belum berangkat ke kantor.“Hemat BBM,” sahut Denis kemudian berpamitan pada istrinya. Tian melempar kunci mobil pada Denis yang berjalan mendekatinya. Suami Aruna itu berdecak tapi tangannya tetap menangkap kunci dengan lincah, “gue bukan supir,” desisnya. Si empunya mengedikkan bahu, mencuri satu kecupan di pipi Ressa sebelum benar-benar pergi. “Keamanan Extnet ada yang berusaha membobol lagi, padahal sejak Extnet didirikan di Indonesia itu tidak pernah terjadi. Tapi tahun ini sudah hampir dua kali kebobolan,” decak Erfan yang sedang pu
“Kenapa kalian belum ada yang bergerak mencari Dea?” Jeri datang ke ruangan Erfan disambut tiga orang pria dengan wajah tegang. Mereka fokus pada laptop masing-masing.“Keamanan Extnet diretas, kami tidak bisa meninggal perusahaan yang sedang kacau seperti ini.” Jawab Tian yang hati dan pikirannya sudah berlarian ke mana-mana.“Bodoh,” gumam Jeri. “Kalian bisa memanggil pakarnya, sekarang Dea yang sedang dalam bahaya. Pasti semua ini sudah mereka rencanakan agar kalian lengah,” pria itu berdecak. Kenapa hanya dia yang bisa berpikir jernih di saat seperti ini.“Matt, panggil pakar IT ke sini secepatnya.” Titah Jeri pada sang asisten, yang selalu ikut dengannya. Pria yang diperintahkan itu langsung mengangguk melakukan tugasnya.Jeri menyarankan Erfan untuk tetap tinggal, cukup mereka bertiga yang mencari Dea. Sebenarnya mereka tidak tinggal diam, Denis sudah memerintahkan pengawalnya untuk mencari jejak Dea.Tian membuka laptopnya kembali saat mengingat sesuatu."Mau apa lagi Tian?" Uj
"Om siapa? Lepasin Dea!!" Teriak gadis remaja itu saat matanya ditutup. Ia dibawa ke sebuah ruangan, setelah sampai baru penutup matanya dibuka. Tempat itu sama sekali tidak menyeramkan, malah seperti kamar mewah."Diam Sayang!!" Peringat Azmi, awalnya ingin membawa anak ini ke paviliun belakang, tapi karena kasihan jadilah dia bawa ke kamar."Om lepasin Dea," rengek gadis itu."Diamlah, Om tidak akan menyakitimu." Azmi tersenyum membelai rambut Deandra, "jadi nama kamu Dea?" Tanyanya."Deandra," ucap gadis remaja itu menyebutkan nama lengkapnya."Tangannya Om lepas, tapi janji jangan lari. Kalau kamu lari Om bisa langsung menembakmu." Azmi mengeluarkan pistol dari balik punggung, hanya untuk mengancam gadis kecil itu.Dea mengangguk takut dengan wajah pucat. Netra Azmi melihat liontin Deandra yang mengkilap."Kalungnya cantik, Om lihat sebentar boleh. Mau beli juga buat seseorang," ujar Azmi melepaskan liontin Dea lalu membawanya agak menjauh."Chip, pasti mereka sudah mengetahui keb
"Azmi jarang pulang ke rumah. Coba kita langsung cek ke kamarnya di atas," ajak Wijaya.Empat orang pria itu mengikuti Wijaya naik ke kamar atas. Tidak ada orang di sana, Tian menemukan chip milik Dea di lantai. “Dia sudah tau kalau Dea bisa dilacak, apa rumah ini tidak memiliki cctv?”“Tidak ada cctv yang bisa di menjangkau kamar ini.” Ujar Erfan, netranya mengamati sekeliling kamar dan berhenti di pintu lemari yang agak terbuka. Ia langsung mendekatinya dan mendorong pintu itu, ”bukan lemari. Tapi pintu rahasia ke lorong,” gumamnya. Erfan mengikuti lorong yang panjangnya hanya sepuluh meter. Lorong itu langsung terhubung ke halaman belakang. Ada satu mobil yang terparkir di sana, ia juga baru tau kalau Azmi memiliki lorong rahasia."Azmi sudah tidak ada di sini," ujar Erfan setelah kembali ke kamar.“Kemana Azmi membawa Dea pergi?” gumam Denis, bagaimana ia menjelaskan pada Aruna kalau Dea hilang.“Papi gak tau selama ini Azmi tinggal di mana?” tanya Erfan. “Enggak, coba kita car
"Haid," jawabnya pelan."Oh, ayo Mommy temani ganti di kamarmu."Deandra mengangguk kecil. Aruna paham, putrinya itu baru kedatangan tamu pertama kali tidak memiliki persiapan apapun."Mas, aku temani Dea ke kamar dulu." Ijin Aruna, setelah mengambil stok pembalut di lemarinya.Denis mengangguk, setelah ibu dan anak itu pergi ia menghela napas panjang. Mereka harus memperhatikan Deandra lebih ekstra lagi. Ia takut Azmi tiba-tiba datang menemui Dea lagi dan melakukan hal yang di luar batas."Mommy, perutku sakit." Rengek Dea setelah keluar dari kamar mandi. Ia langsung berbaring di tempat tidur."Mommy ambilkan obat pereda nyeri ya Sayang." Baginya mungkin hal seperti itu sudah biasa setiap tamu bulanan datang. Tapi tidak untuk gadis yang baru menginjak remaja itu."Dea kenapa Ru?" Tanya Tian yang melihat Aruna terburu-buru keluar dari kamar putrinya."Sakit perut Mas karena baru pertama haid," jawab Aruna cepat."Haid?" Tian melongo, putri kecilnya sudah haid. Itu artinya Dea bukan ana
"Mulutnya, gak dikasih saringan!!" Seru Denis geram pada perempuan yang baru brojol itu. Salah-salah itu akan menjadi pemicu perdebatan diantara dengan Tian."Aku bukan kelapa yang harus disaring dulu untuk mendapatkan santannya Denis.""Terserah kau saja, asal kau bahagia." Gumam Denis jengkel."Kenapa jadi sewot sih, cukup ibu hamil yang sensitif. Bapaknya jangan!" Oceh Ressa semakin menjadi-jadi, seperti tidak baru selesai melahirkan."Urus istrimu itu Tian, bikin kesal aja!" Gerutu Denis keluar dari kamar."Hei, aku adik iparmu jangan semena-mena!" Teriak Ressa.Denis mengendikkan bahu tetap pergi dari kamar Tian."Sayang, mulutnya baru dijahit loh, masih bisa nyinyir aja." Tegur Tian dengan kekehan."Maass, kamu gak jelas!""Kalian semua yang gak jelas. Dea jadi pusing!!" Gumam Deandra melerai perdebatan unfaedah itu. Sebenarnya apa yang mereka permasalahkan. Hanya candaan Daddy yang tertukarkan. Kenapa Daddy-nya yang satu itu jadi sewot.***"Kenapa jadi sewot sih, Ressa cuma be
"Daddy, Mommy sakit apa?" Sambut Deandra.Denis baru pulang memeriksa Aruna sesuai saran sang ibu mertua. Pria itu membawa Dea duduk terlebih dahulu sebelum memberitahunya. Ia khawatir anak gadisnya ini merasa terabaikan."Mommy hamil Sayang, Dea gak papa." Ucap Denis pelan menggenggam tangan putrinya."Dea gak papa, malahan senang mau punya adik lagi." Jawab Dea dengan senyuman ceria. Aruna menghela napas lega. Tadi sangat khawatir saat dokter memberitahu kalau dia positif hamil. Ia tidak ingin putrinya itu merasa terasingkan dan dibeda-bedakan kasih sayang saat memiliki anak dari Denis. Mereka sangat menjaga perasaan Deandra."Makasih Sayang, Daddy tetap sayang sama Dea kok." Denis memeluk Dea seraya mengusap punggungnya hangat."I know Daddy," jawabnya dengan senyuman manis. Sekarang ia di kelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayanginya. Hal yang hanya di dapatkannya dari sang ibu selama dua belas tahun ini.Suara bel mengalihkan atensi tiga orang itu, Aruna bergegas membuka
"Kita berpelukannya nanti lagi ya Sayang, Mommy yang sedang butuh Dea sekarang." Tian mengusap puncak kepala anak gadisnya."Bye Daddy, jagain Buba dan adek." Ucap Dea sebelum pergi mengikuti sang nenek dan pengawal ayahnya."Of course, Honey." Tian mengacungkan jempolnya dengan senyuman menawan.***"Hei kenapa menangis?" Aruna menepuk pipi putrinya lembut. Setelah sampai rumah tadi ia langsung ketiduran. Bangun-bangun Dea sudah menangis di sampingnya."Mommy kenapa sakit?" Tanya Deandra pelan."Cuma kecapean Sayang, udah jangan nangis ah. Lihat, kamu diketawain Daddy." Tunjuk Aruna pada sang suami yang senyam senyum sendiri."Daddy emang nakal," Dea memanyunkan bibir cemberut seraya menyeka air mata. Nasib punya ayah dua-duanya usil ya begini."Daddy salah terus deh, kan Daddy gak nyubit kamu kenapa jadi dibilang nakal." Denis sangat gemas dengan putri sambungnya ini, mengunyel-unyel di pipi."Nih buktinya Daddy nakal!!""Daddy sayang sama kamu bukan nakal," Denis terkekeh geli. "M
Denis menggiring istrinya ke kamar mandi. Aruna langsung mengeluarkan isi perutnya di sana. Lelaki itu hanya bisa membantu memijat di tengkuk."Bu, aku bawa Aru pulang dulu ya." Ijin Denis sambil menahan tubuh Aruna yang lemas keluar dari kamar mandi."Iya, kalian hati-hati. Istirahat aja di rumah," sahut Rina menatap putrinya yang sudah pucat."Mommy kenapa?" Tanya Dea khawatir. "Mommy cuma gak tahan nyium baut rumah sakit Sayang, Dea temani Daddy jaga Buba ya." Jawab Aruna sangat pelan."Mommy jangan lupa minum obat," Dea mengingatkan."Iya Sayang," sahutnya dengan anggukan kecil. "Kenapa bau obatnya sampai mobil Mas?" Rengek Aruna di dalam mobil sambil memegangi perutnya yang bergejolak lagi."Gak ada bau obat di mobil ini Sayang," Denis memberikan kresek pada Aruna untuk memudahkan saat muntah lagi."Tapi bau banget, aku tambah pusing. Tolong matiin AC-nya." Denis menurut saja mematikan AC dan membuka kaca mobil sudah seperti diangkot sedia kresek dan AC alami."Tahan sebentar S
Sedang di dalam ruang bersalin Tian mengomel pada Ressa. Pasalnya sang istri itu berjalan bolak-balik di hadapannya. "Sayang, aku pusing lihat kamu mondar-mandir." "Ini biar dedek tau jalan keluar Mas," ujar Ressa. Pembukaannya belum lengkap, Jadi masih menunggu waktunya melahirkan."Sini aku aja yang nunjukin jalan keluarnya Sayang, aku lebih hapal." Sahut Tian, membuat perawat yang berjaga di ruangan itu tersenyum geli."Mas ngomong apaan sih, bikin malu aja." Ucap perempuan yang mau melahirkan itu ketus."Marah-marah terus, ayo tiduran aja nanti kakimu capek." Ressa tetap saja mondar-mandir. Karena tidak mempan dengan ucapan. Tian membuat istrinya itu berhenti mondar-mandir dengan memeluknya."Kamu ini bisa bikin dedek lama keluar loh, Mas.""Enggak, dedek pintar sama Daddy. Sayang cepat keluar ya, jangan bikin Mommy kesakitan." Bisik Tian di perut Ressa. Tidak berapa lama setelah itu Ressa mengeluh perutnya sangat sakit.Bayi yang ada dalam perut Ressa itu patuh pada Tian. Kelua
Mau melangkahkan kaki masuk rumah, semakin dimarahi lagi nanti. Rumah besar juga salah, dia jadi lelah bicara sambil berteriak-teriak."Oke, Daddy Denis yang panggil Daddy. Sekarang kamu langsung ganti baju Sayang, Mommy yang lihat Buba." Sahut Aruna berjalan mendekati putrinya.Istri Denis itu berjalan cepat ke kolam renang, Ressa duduk di kursi memegangi perutnya kesakitan."Ressa tahan sebentar, Denis masih manggil Tian." Aruna mengelus-elus perut Ressa. Dia bingung harus melakukan apa untuk mengurangi rasa sakit di perut Ressa."Mules banget," lirih Ressa sampai berkeringat dingin."Sayang, kita ke rumah sakit." Tanpa babibu Tian langsung menggendong Ressa, Aruna mengikuti di belakang. Dari kolam renang cukup jauh mendatangi halaman depan. Tian membawa beban berat itu sambil ngos-ngosan."Aku bisa jalan Mas, kalau kamu capek gendongnya." Ujar Ressa kasihan melihat Tian kelelahan menggendong tubuhnya yang menggelembung."Diam Sayang, kamu bisa brojol di sini karena kebanyakan bicar
"Daddy, ini Dea lagi sedih loh.""Oh ya, jadi putri Daddy ini lagi sedih. Sedih kenapa Sayang, ayo cerita dulu sama Daddy." Goda Tian sambil menciumi pipi Dea membawanya ke dapur. Karena tadi putrinya itu bilangnya kelaparan. Entah hanya pura-pura atau beneran."Makasih Daddy, ngerti banget kalau Dea lapar. Sekalian suapin ya," ujar gadis remaja itu usil setelah didudukkan Tian di kursi."Of course Honey, Daddy suapin pake centong biar cepat besar." "Boleh di coba," Deandra menarik kedua sudut bibirnya sambil menganga. Gelak tawa keluar dari mulut Tian melihat kelakuan putrinya itu. Tian memasukkan centong ke mulut Dea yang digigit gadis itu. "Astaga, nasi dibuat mainan!!" Tegur Aruna. Deandra cepat melepaskan centong dari mulutnya lalu ikut tertawa bersama sang Daddy."Mas, anaknya diajarin yang baik toh. Masa disuapin pake centong," omel Aruna."Putrimu yang mau disuapin pake centong Ru, sebagai Daddy yang baikkan aku nurut aja." Tian membela diri."Daddy kok Dea sendiri sih yan
"Bukan dedek yang nakal Sayang, tapi Buba-mu yang minta dimanja." Tian mengerling jahil pada sang istri."Buba nangis terus daddy tinggal, terus puasa makan sama bicara juga. Mulai sekarang Daddy gak boleh tinggalin Buba lagi.""Daddy juga gak mau ninggalin Buba, tapi gimana. Gak mungkin Daddy bawa Buba perjalanan jauh Sayang." Tian memberikan pengertian pada anak gadisnya."Apa yang membuat Daddy sangat cinta sama Buba?" Tanya Dea serius. Dia sering cemburu melihat daddy-nya sangat menyayangi ibu sambungnya itu."Cinta kadang tanpa alasan Sayang, kenapa Dea bertanya seperti itu." Tian melirik Ressa, jawaban umum yang dia berikan itu bisa menjebaknya."Kalau suatu saat nanti Dea mencintai seseorang tanpa alasan, apa Daddy akan merestuinya. Walau orang itu sangat Daddy benci."Tian sangat mengerti kemana arah pembicaraan itu. "Jangan pertanyakan itu sekarang Sayang, kan belum terjadi." Ucap Tian tersenyum, pura-pura tidak mengerti dengan ucapan putrinya."Of course Daddy, aku hanya is