"Mas, mama ketangkep polisi."Samudra lekas pergi ke kantor polisi yang disebutkan oleh Nami di telepon. Samudra tidak menemukan Nami. Ia malah berpapasan dengan gerombolan jurnalis. Samudra yakin mereka bukan kuli tinta khusus meliput berita selebriti. Mereka adalah wartawan yang memang khusus meliput kasus kriminal. Tetap saja Samudra harus waspada. Ia menelusup dari pintu lain. Sempat ditegur polisi yang kebetulan melihat."Saya ingin menemui anak dari tersangka penipuan yang baru ditangkap hari ini."Polisi tampaknya enggan meloloskan izin. Akan tetapi, Samudra terpaksa menggunakan privillagenya sebagai seorang public figure. Ia membuka maskernya sebentar dan polisi tersebut mengangguk paham."Tapi ... pacarmu sedang berhadapan dengan jurnalis." "Mengapa begitu?!""Polisi baru saja mengadakan konferensi pers."Ya. Samudra menontonnya secara live streaming di ponsel saat di perjalanan. Terlihat jelas, mama dan papa tiri Nami telah menggunakan seragam orange dan keduanya diperlih
("Nami, untuk sementara, break dulu dengan Samudra. Maaf, bukan maksud ibu menyakiti kamu. Tapi kamu pasti paham alasan ibu melakukan ini.")Siapa yang pernah gagal hidupnya di segala aspek?Keluarga hancur, asmara terhalang restu, dan dunia sedang mengarahkan pedang ke arah Nami. Usai Nami membaca berita yang menceritakan tentang dirinya yang adalah korban pelecehan seksual. Nami mendapat pesan dari ibunya Samudra. Yang Nami lakukan pertama kali setelah menerima semua itu, bukanlah menangis. Dirinya sudah terlampau lelah untuk membuang air mata. Dengan sisa tenaga, mengumpulkan puing-puing hati yang berserakan. Nami juga mengumpulkan semua barang-barang berharganya. Nami memang tak diusir. Akan tetapi, sangat tidak tahu diri jika Nami masih tinggal di rumah milik Samudra. ("Sayang, jangan diambil hati jika pesan yang kamu terima dari ibu, berisi hal yang sensitif. Aku akan meyakinkan ibu dan ayah untuk hubungan ini. Aku tidak melepaskanku, Nona. Tunggu aku.")Nami tidak berbunga-
Memang jika bisa, para sahabat selalu bisa berada di sekeliling kita disaat kita butuh peluk, tawa hangat, dan canda lucu mereka. Namun Nami sadar apabila seiring berjalannya usia, para sahabat tidak akan selalu ada untuk kita. Bukan karena mereka tidak ingin membersamai. Kedewasaan seseorang akan dituntut oleh tanggung jawab yang semakin memicu prioritas dari usia yang menua. Berkumpul bersama sahabat, tidak bisa menjadi rutinitas harian. Maka dari itu, pertemuan kala itu sangat dirasa spesial bagi Nami. Telah lama dirinya tak merasakan kehangatan dan tertawa lepas sampai rahang kebas dan sakit perut seperti kala itu. Hingga dini hari, tidak ada yang beranjak tidur. Kamar hotel yang mereka sewa, bahkan itu gratis, karena difasilitasi oleh suaminya Arsyi, masih terdengar gelak tawa yang riuh. Mereka cuma berempat, tapi berisiknya seakan-akan lebih dari sepuluh orang. Untung kamar hotelnya kedap suara. Jadi mau mereka terbahak sampai Nami berulang kali pipis pun, tak jadi masalah.
"Mas Dirga mabuk?"Yang dilihat Nami pertama kali saat membiarkan pintu studio ditutup di belakangnya adalah adanya aroma alkohol yang pekat. "Aku nggak mimpi, kan?"Samudra dengan kalimat tidak formalnya, muncul begitu saja. Nami semakin yakin jika Samudra memang berada di bawah pengaruh minuman."Tunggu sebentar." Samudra membuka pintu lagi dan pergi meninggalkan Nami sendirian. Samudra kembali ketika Nami sedikit membereskan studio Samudra, dimana sebelumnya letak selimut dan bantal berantakan. Juga ada bungkus makanan dan minuman di lantai. Satu-satunya tempat yang tidak disinggung Nami, hanyalah meja kerja tempat Samudra bermain musik.Samudra kembali dengan tampilan sedikit segar. Sepertinya pria itu mencuci muka dan menyikat gigi."Aku punya sedikit sisa roti." "Aku memesan sarapan." Nami memotong dan duduk di sofa lebar yang tadinya digunakan Samudra untuk tidur."Kayaknya kamu nggak bisa diajak ngobrol.""Nggak usah ngobrol. Kamu diam aja, biar aku pandangin seharian."Na
Meja makan saat itu dipenuhi oleh berbagai makanan rumahan yang menggugah selera. Obrolan ringan disela menikmati hidangan, diiringi tawa kecil yang bersahutan.Mata Samudra berkilau cemerlang setiap kali ia memandang anggota keluarganya saat bicara, menunjukkan seberapa besar kasih sayang dan kedekatan pemuda itu pada keluarganya."Nami, apa kabar? Sudah menjenguk mamanya?" Nami sedikit tersentak saat namanya disebut oleh ayah Samudra, sebab sejak menyantap hingga nasi di piringnya tersisa sedikit, ia sudah terbiasa tidak dilibatkan dalam percakapan yang mereka buat. Butuh beberapa detik sebelum dia menjawab."Sejauh ini baik." Nami berusaha tersenyum sopan,"saya belum sempat menjenguk mama.""Nggak apa-apa. Kamu pasti butuh waktu untuk berhadapan sama mama kamu lagi."Nami hanya tersenyum, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.Kemudian suasana ruang makan menjadi hening. Hanya diisi oleh suara denting sendok dan garpu yang menggesek piring. Sampai kepala rumah tangga itu membuk
"Maaf Nami, mungkin sambutan kami tadi kurang ramah waktu kamu datang. Kami bertiga sebenarnya bingung mau ngadepin kalian berdua kayak gimana. Ibu juga dari tadi nahan nangis lihat kamu. Katanya kasihan tiap ingat kisah Nami soal masalah hidup kamu yang sangat berat itu."Ah, Nami mengerti sekarang. Nami juga seperti itu biasanya bila harus berhadapan dengan seseorang yang masalah hidupnya berat. Pasti ia akan membayangkan perjuangan dan penderitaan yang diambil oleh orang tersebut. Bukannya menghibur, malah dirinya sibuk berusaha agar tidak ikut menangis.Samudra total tidak menduga akan situasi ini. Ia menjadi melankolis dan matanya berkaca-kaca. Samudra bahkan hanya mengangguk-ngangguk saat kedua orang tuanya menasehatinya panjang lebar. "Omongan saya barusan jangan terlalu dipikirkan." Ibu Samudra berujar, sembari menggenggam tangan Nami tiba-tiba. "Saya sudah sangat senang, punya anak yang bisa memilih orang seperti kamu untuk dijadikan pasangan. Terlihat sekali betapa matang
"Kalian memikirkan pernikahan saat saya menderita di sini?"Oke. Nami dan Samudra cukup kaget dengan sikap wanita paruh baya yang telah mengenakan seragam tahanan khusus wanita, yang mereka kunjungi siang itu. Namun Nami dan Samudra akan lebih kaget lagi, apabila mamanya Nami langsung memberi restu begitu saja. Seseorang seperti mamanya Nami nyaris nihil langsung sadar akan perbuatannya selama ini."Nami, harusnya kamu lebih memikirkan cara untuk mengeluarkan mama dari sini. Bukannya malah memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Kamu tega sama mama? Apa kamu bisa menikah dengan tenang, ketika mama kamu sendiri mendekam di penjara? Ckckck."Lagi. Mamanya Nami bermain seakan-akan dirinya lah korban diantara segala permasalahan yang terjadi.Samudra hendak bicara, tapi ia tahan-tahan, karena ia masih tak ingin ikut campur. "Oh, mama tahu. Kamu memang sengaja nggak mau mengundang mama di hari bahagia kamu, kan? Kamu sebenarnya datang ke sini, juga bukan murni karena ingin restu mama. Tapi
"Jadi gimana? Raline masih nggak mau nyerah soal rebutan hak asuh Tama, Megumi, dan Zelo?"Samudra mencebik dan mengangguk lucu. Nami hanya tertawa saja, geleng-geleng menghadapi Samudra yang mengaku lelah berebut anak asuh dengan mantan kekasih. "Maaf, Mas. Bukannya aku nggak dukung kamu untuk mengadopsi mereka bertiga. Tapi dari segi persyaratan, Raline dan Rauf jelas akan lebih dulu dan gampang mengurusnya. Kita aja sekarang belum menikah. Sementara Raline dan Rauf sudah punya anak pertama."Nami mengusap-ngusap punggung Samudra yang lunglai tak bersemangat. "Nggak papa, Mas. Raline sama Rauf pasti bakalan ngizinin kamu buat ketemu dan sesekali main sama kamu." Nami mencondongkan wajahnya untuk berbisik,"Nanti aku kasih anak-anak yang lucu buat kamu. Tenang aja."Samudra yang mencebik dan lemas, sontak menoleh tajam ke arah Nami. Pundak dan dada bidangnya membusung seketika."Ayo!" pekiknya semangat empat lima."Apanya ayo?" sahut Nami bingung."Ayo, kita buat anaknya sekarang!"