Jovan mulai cemas. Kemarin dokter bilang tidak ada luka serius di bagian otak. Namun, reaksi Ayana membuat Jovan bingung."Ay, katakan sesuatu!" Jovan gusar. Dia berbalik hendak memanggil dokter karena dia tidak puas hanya dengan tombol nurse call."Jo!" kata Ayana lirih, tapi masih dengan wajah tanpa ekspresi.Jovan kembali menatap Ayana, senyumnya melebar. Dia langsung menghujani Ayana dengan kecupan."Jo, kenapa kamu menciumiku? Malu kalau dilihat orang. Mana yang lain?" Jovan terperangah, dia mengangkat wajahnya dan menatap Ayana lekat."Ay, aku siapa?""Jovan, masa aku lupa?"Jovan mendesah lega. "Terus siapa aku?""Jelas, kamu yang menyelamatkanku saat di villa itu. Kamu membawaku ke basecamp dan tinggal dengan yang lain. Vincent, Leo, Robin, Brox. Di mana mereka?"Jovan kini memilih menekan tombol nurse, ada yang tidak beres pada Ayana.Sambil menunggu dokter datang, Jovan bertanya kembali."Aku suamimu, Ay. Apa kamu tidak ingat?""Kapan kita menikah, Jo. Aku memang suka padam
"Auw." Ayana mengaduh."Sakit, maaf. Aku akan lebih pelan.Di kamar rawat dengan Jovan kunci pintunya. Kini Jovan sedang mengolesi salep untuk luka di punggung dan lainnya. Bekas sabetan cambuk di punggung Ayana sangat mengilukan. Air mata Jovan merembes begitu saja."Auw!" Ayana masih mengaduh berkali-kali."Maafkan aku, Ay. Kamu jadi seperti ini karena aku ceroboh.""Tidak, jangan salahkan dirimu, Jo."Jovan meniup luka di punggung Ayana."Jo, aku mau pulang hari ini. Aku tidak mau lagi tidur di rumah sakit. Sangat sempit, kita tidak bisa berpelukan."Jovan terkekeh kecil dengan mata berkaca. "Ya, kita harus pulang hari ini. Kamu akan sembuh jika sering aku peluk."-Alex terpaksa pulang saat mendengar ibunya batuk dengan suara serak. Dia sudah tidak memakai mobil pick up lagi. Alex pulang memakai motor."Ma!" Alex masuk begitu saja.Sasmita keluar dari kamarnya. "Akhirnya kamu kembali juga, Lex.""Kita ke dokter, Ma. Maafkan Alex yang pergi terlalu lama." Alex meraih tangan ibunya.
"Papa janji jangan buat Vincent takut. Dia yang dipercaya Jovan buat jagain aku. Dia juga yang selalu ada pas aku celaka." Arabella menemui ayahnya dulu sebelum Vincent masuk."Panggil dia!""Pa, kenapa wajah papa begitu. Jangan galak-galak, nanti dia tidak mau jadi pengawalku lagi.""Ada apa dengan wajah papa?""Pa, ingat kemarin saat aku hampir dibawa musuh. Dia yang datang menyelamatkan anak papa yang cantik ini. Jangan pakai wajah galak dong, Pa!" Arabella sangat kesal. Wajah Kanigara sangat datar dan kaku."Panggil dia cepat!" Nada Kanigara agak meninggi.Arabella keluar kesal. Dia menghampiri Vincent di lantai bawah."Vinc, nanti kalau kamu ketemu papa, jangan lihat wajahnya. Kamu nunduk saja dan dengarkan dia bicara apa." Arabella membuat pesan awal."Kenapa?""Papa kadang bercanda pakai wajahnya. Sok galak, tapi aslinya dia sangat baik kok. Penyayang, dan tidak makan orang."Vincent menahan tawa. "Antarkan aku ke sana!""Janji dulu, jangan takut dan sakit hati. Mau papaku berk
Beberapa anak buah telah menahan warga lain agar tidak mendekat. Rey dan beberapa yang lain membuka paksa pintu kontrakan Alex.Sasmita kaget, matanya membelalak dan gemetar. Sedang Alex menggeram dengan mata merah nyalang."Waktumu sudah habis pecundang!" seru Rey.Alex tertawa. "Akhirnya kalian datang juga.""Siapa kalian, kenapa bertamu tidak sopan?" tanya Sasmita."Maaf, Tante, kami akan membawa anak Anda," jawab Rey."Ma, masuk. Apapun yang terjadi, jangan keluar!" Alex mendorong ibunya masuk kamar."Mama mau tahu siapa mereka, Lex.""Semua uang Alex ada di tas ransel. Mama pakai sampai habis.""Lex!" Sasmita sudah berlinang air mata." Dia mundur tapi tidak masuk kamar."Bisa kita selesaikan di luar?" tanya Alex.Rey menggeleng. "Kita sudahi kebodohanmu sekarang!" Rey mengayunkan tangan agar anak buahnya maju.Terjadi perlawanan pada Alex, tapi aksi mengelak itu tidak buruh waktu lama.Sasmita terus menjerit saat anaknya diserang dan ditangkap."Apa salah anakku, kenapa kalian me
"Lex, Alex!" Sasmita merintih sendu.Wanita paruh baya itu berbaring miring di atas brankar ruang VIP rumah sakit. Air matanya belum mau reda sedari dia sadar."Johan, kamu lihat anakmu sekarang menjadi seperti apa? Aku sudah sangat sakit karena keweca padamu, kenapa kamu turunkan pikiran sempitmu pada Alex." Sasmita bergumam, ingin berseru pada sang suami."Apa yang harus aku lakukan di sisa umurku ini? Aku tidak boleh tinggal diam."Sasmita duduk, dia menyeka air matanya. Menghela nafas panjang."Aku akan melakukan tugasku sebagai seorang ibu."Sasmita menekan tombol nurse call. Dia minta izin untuk pulang, tapi perawat berkata akan melaporkan dulu pada seseorang.-"Hari ini apalagi? Kamu sudah selesai kuliah, tapi kegiatan kamu hanya jalan-jalan dan membuat konten. Bisakah kamu lebih serius dalam hidupmu?" kesal Vincent."Papa bilang, kamu mendapat izin jadi pengawal pribadi dan sangat khusus. Jadi, hari ini kita pergi jalan sampai puas. Aku mau ajak kamu ke beberapa tempat." Arab
"Minum kopi dulu, Jo. Kamu bilang tidak lembur dan mau pulang awal. Tapi, di rumah kamu juga terus di ruang kerja." Ayana datang membawa kopi."Jangan banyak gerak, Ay." Jovan berdiri mengajak istrinya duduk di sofa.Ruang kerja itu bekas kepunyaan ayah Jovan. Dia sana masih tertata rapi buku koleksi ayahnya. Pigura juga masih berjajar di tempat yang sama.Jovan pelan telah berdamai dengan masa lalunya, pikirannya terbuka untuk masa depan.Ayana duduk di pangkuan Jovan, tangannya melingkar di leher suaminya."Kamu tidur dulu, masih banyak yang harus aku kerjakan malam ini.""Kamu sangat sibuk, apa karena kamu gagal dalam tender itu?" Ayana memainkan rambut Jovan.Jovan mengangguk. "Ini sudah jadi tugasku. Dan tugasmu adalah menjaga kesehatan, jangan banyak bergerak, apalagi membuat kopi seperti ini, aku bisa menyuruh pembantu." "Aku yang ingin membuat kopi untukmu. Jangan dilarang!""Baiklah untuk kali ini, aku sangat senang bisa menikmati kopi buatanmu lagi."Ayana mengecup kuncup r
Lemahnya rasa ibu, kala dia mendengar rengekan manja dari orang tercinta. Hancurnya jiwa seorang istri dan ibu, karena dia terlalu sayang pada keduanya."Awas, ibu!" Pembantu itu bisa menangkap tangan Sasmita.Sasmita membelalak tersadar. Separuh badan sudah mendoyong ke luar pagar. Nafasnya berat naik turun."Bu, jangan nekat. Saya tahu ibu sedang sangat tertekan, tapi jangan salah bertindak." Pembantu itu berhasil menarik Sasmita dan membawa duduk di kursi balkon.Sasmita masih terduduk lemas, dia belum sepenuhnya menguasai pikirannya.Pembantu itu ingin pergi mengambil air putih, tapi takut majikannya itu nekat lagi.Sasmita mengatup matanya dan mengatur nafas."Apa yang terjadi?" tanya Sasmita."Ibu mau melompat dari balkon. Untung saya datang. Lain kali, ibu bisa cerita sama saya, biar hati lebih plong. Jangan bertindak seperti itu."Sasmita mengusap air matanya yang jatuh. "Terima kasih." Hanya itu kata yang keluar."Ibu belum makan, apa perlu saya buatkan makanan berkuah hangat
"No!" Vincent mengepakkan tangan saat Arabella keluar dengan gaun merah dada terbuka rendah."No!" Vincent masih tidak suka, karena gaun itu punya belahan sampai paha."No!" Sebenarnya cocok, tapi warna tidak senada dengan jasnya."No!" "No!"Sampai Akhirnya Arabella keluar dengan gaun navy lengan pendek dan tertutup."Ok!""Ini? Ok? Ini buat ibu-ibu. Mana semua ketutup, nggak banget deh."Lebih elegen, jika kamu mau.""Ya!" Arabella mencebik kesal.-Leo masih di kantor, dia masih akan menyelesaikan beberapa hal penting. Jovan membawa sebagian pekerjaan ke rumah. Dia pulang sore hari dan langsung membawa Ayana ke klinik dokter kandungan.Ayana telah diperiksa dan melakukan USG untuk memeriksa kantung kehamilan. "Kehamilan Anda cukup baik. Morning sickness itu sangat wajar. Anda harus banyak makan sayur hijau dan protein. Kurangi gerak mengangkat benda berat. Saya akan memberi asam folat dan vitamin. Jika terjadi keluhan silahkan datang untuk pemeriksaan," jelas dokter.Dalam lajuan