"Cepat kamu ganti baju Zaki dengan baju yang biasanya!" titah ibu memintaku segera mengganti baju Zaki dengan pakaian yang sudah Kumal dan bisa di bilang layaknya kain serbet.
"Iya, Bu, bentaran. Ini Rudi masih nyari gantinya. Yang kemaren kan belum sempat di cuci." Aku berada di depan keranjang pakain tempatku menyimpan baju ganti untuk Zaki. Hampir diri ini belum pernah membelikannya pakaian yang layak. Selama ini, pakaian yang di kenakan oleh Zaki adalah pemberian dari mbak Lestari, dan pakaian itu merupakan baju bekas dari anaknya. Dari pada tidak di pakai kan lebih baik di gunakan boleh Zaki. Jadi bisa mengirit uang jatah hanya sekedar untuk membeli baju untuknya. Toh Rani juga tidak akan tahu."Halah, kamu itu kelamaan. Mending juga kamu ganti dengan pakaian yang kemarin saja. Emang siapa juga yang mau nyuci." Ibu segera mengambil baju yang tergantung di balik daun pintu kamar ini, yang kemarin di pakai oleh Zaki. Benar juga ucapan ibu, aku juga tidak punya waktu untuk mencuci bajunya itu. Mau sekalian di loundri-kan bersama baju kami, malu juga rasanya. Karena baju dari anakku itu sudah tak berbentuk dan tak berwarna selayaknya. Ibu dan kedua saudariku yang lain memang sengaja melarang ku untuk membelikan baju baru untuk Zaki. Karena masih ada baju yang bisa di pakai untuk apa beli lagi, buang-buang duit saja, kata orang-orang yang perhatian kepada ku."Ya sudah, terserah ibu saja." ucapku pasrah. Aku juga hampir saja melupakan, kalau hari ini aku sudah ada janji dengan Lasmi. Aku juga harus segera bersiap. Untung saja penyewa Zaki sudah datang. Jadi aku tak perlu lagi menungguinya di rumah."Ini, cepat bawa anak kamu keluar. Nanti keburu kesiangan juga. Ntar dapetnya dikit lagi." Ibu segera menyerahkan Zaki yang masih tertidur pulas ke tanganku agar segera membawanya keluar dan menyerahkannya pada orang yang akan menyewanya.Akhirnya aku bisa bernapas legah dan bisa bebas hari ini. Selama ini tetangga kanan kiri tidak ada atau lebih tepatnya belum mengetahui perihal Zaki yang sering kami sewakan pada para peminta-minta. Awalnya ide itu muncul dari ibu yang seringkali melihat peminta di pasar bahkan ada yang mendatangi rumah-rumah warga untuk meminta belas-kasihan dengan membawa anak kecil untuk lebih menarik perhatian dan simpati dari orang. Awalnya aku ragu. Namun ibu di dukung oleh kedua saudariku untuk terus menyakinkan dan membujukku, akhirnya aku luluh dan mengikuti saran dari mereka. Toh lumayan juga hasilnya. Tanpa kita bekerja dan keluar keringat uang sudah datang sendiri. Masalah makanan. Semenjak Rani pergi untuk menjadi TKW keluargaku sudah tidak mengenal yang namanya makan dengan tahu, tempe, atau ikan asin. Minimal selalu ada olahan daging, ayam, juga ikan yang tersaji di atas meja makan. Sayang-nya Zaki masih belum bisa ikut merasakan kenikmatan ini semua karena terhalang usianya, itu yang di katakan oleh ibu dan juga Mbak Lestari.Sebagai nenek yang baik dan perhatian kepada cucunya. Ibu selalu menyisihkan dan memasakkan sendiri makanan untuk anakku. Bubur nasi di tambah sayur bayam yang tumbuh liar di pekarangan rumah kami. Kasihan kalau anak masih kecil di beri makan pake nasi. Makanya nasi sisa kemarin yang masih ada, akan di olah ibu menjadi bubur untuk makanan Zaki.Aku bisa merasa tenang. Karena pada akhirnya, ibu yang sempat melarang dan tidak merestui pernikahanku dengan Rani. Kini beliau telah membuka hatinya untuk istri dan juga anakku.Karena ibu juga ingin melihat ku hidup lebih bahagia lagi. Ibu menyetujui hubunganku dengan Lasmi. Karena kata ibuku laki-laki boleh menikah beberapa kali, dan tidak perlu pula untuk meminta ijin pada istri, yaitu Rani. Karena sudah dapat dipastikan Rani akan menyetujui dan mengikuti apa kataku dan juga ibuku. Karena itu juga menjadi kewajibannya sebagai seorang istri.Belum juga kaki ini masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba saja datang lagi orang yang tadi pergi dengan membawa Zaki. Seseibu dengan dandanan yang sengaja baju dan tampilannya di buat kumal itu datang dengan wajah paniknya."Eh, kalian sengaja mau ngerjain saya!" makinya tiba-tiba dengan segera melepas gendongannya yang berisi Zaki-ku."Maksud kamu apa?" Ibu yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu."Ini, lihat sendiri!" perintahnya dengan menyodorkan kembali Zaki yang masih terlelap itu, untuk aku mengambilnya kembali. "Kalian sengaja mau mengkambing hitamkan saya. Kalian kira saya orang bo**h, apa? Ini, anak ini sudah tidak bernapas. Apa kalian yang sudah tua masih belum mengerti, kalau anak ini sudah tidak ada nyawanya." lanjutnya lagi. Tapi sepertinya aku tidak mendengar apa yang barusan wanita itu katakan. Mana mungkin Zaki yang masih tertidur lelap itu di anggapnya sudah tidak bernyawa alias mati. "Eh, Bu. Kalau ngomong jangan asal njeplak saja. Jangan ngawur dan jangan seenaknya bilang anak saya ini sudah mati." sungutku. Kalau sudah tidak mampu bayar biaya sewa Zaki. Gak usah berkilah bilang anakku ini mati. Masih banyak kok yang mau menyewa anakku ini."Dasar kalian orangtua yang gi*a. Kalian enak-enakan di rumah. Tapi bayi sekecil ini kalian tawarkan untuk kami sewa sebagai teman mengemis. Periksa saja sendiri kalau tidak percaya!" sungutnya sambil segera beranjak dari rumah ini. Dan benar saja keributan yang baru saja di buatnya mengundang banyak mata. Semoga saja mereka tidak benar-benar mendengar apa yang baru saja kami ributkan."Aduh, ada apa sih rame-rame, masih juga pagi." celetuk Eni sambil mengucek matanya yang sepertinya dia baru bangun dari tidurnya."Pagi kamu bilang. Tuh, lihat matahari sudah di atas ubun-ubun." sungutku kesal sekali melihat dia yang enak-enakan sedangkan aku sedang khawatir saat ini."Gitu saja emosi!""Sudah, kalian jangan ribut sendiri. Ayo, Rud, kita coba bawa anakmu ini periksa ke puskesmas." entah apa yang membuat ibuku ini tiba-tiba memintaku untuk membawa periksa putra semata wayangku ini. Biasanya saja kalau aku yang mengajaknya, justru omelan yang pasti aku dapat. Katanya hanya buang waktu dan duit saja."Bentar, Bu. Rudi ganti baju dulu." pintaku. Namun belum juga aku melangkah ibu sudah mencegahku. "Kelamaan, ayo cepat sekarang juga." ucapnya sambil sedikit ada rasa khawatir yang dapat aku tangkap dari raut wajahnya. Entah kenapa aku juga merasa sedikit ada rasa khawatir di dalam sini."Iya, Bu. Rudi keluarkan dulu motornya."🌺🌺🌺"Dengan keluarga anak Zaki." panggil seorang perawat atau bidan puskesmas tempat kami membawa bayi Zaki, yang ku tahu dia yang tadi bersama seorang yang lebih tua usianya sepertinya seniornya yang menangani Zaki, putraku. Aku dan ibu sengaja menunggu di luar ruangan sementara anakku sedang di periksa oleh beberapa petugas di dalam salah satu ruangan dari gedung pukesmas ini. Lebih tepatnya ruangan KIA."Iya, saya ayahnya." tunjukku sambil beranjak dari salah satu kursi panjang yang berada tepat di depan ruangan Zaki dengan periksa. Entah kenapa aku merasa takut ketika raut wajah perawat tersebut menampakkan raut kesedihan."Silahkan masuk dulu, Pak." Aku mengikuti apa yang perawat itu perintahkan."Kami mohon maaf sebelumnya, Pak...""Kami mohon maaf sebelumnya, Pak. Anak bapak sudah tidak dapat terselamatkan. Sepertinya Anak ini sudah beberapa waktu yang lalu meninggalnya. Apa anda atau ibunya tidak ada yang mengetahuinya kalau anak anda ini telah tiada?" ucapan dari seorang petugas medis dengan menatap selidik pada ku juga ibuku. Tentu saja aku sangat kaget dengan berita yang baru saja di sampaikan petugas perempuan tersebut. Bagaimana mungkin sakit panas yang semalam bisa sampai membuat nyawa dari anak semata wayangku ini melayang. Sedari pagi sebelum ia ikut penyewanya dia baik-baik saja. Dan waktu aku beri minum obat seperti biasanya juga dia menurut saja. Tidak mungkin juga karena telat makan. Karena aku kesiangan dan ibuku juga lupa untuk membuatkan makanan untuknya. Hanya air gula sebagai pengganjal sebelum Zaki aku beri minum obat agar dia tidak rewel pada waktu ikut penyewanya."Ba--bagaimana mungkin anak saya bisa meninggal, Sus? Anak saya ini hanya sakit panas saja kemarin." Aku mencoba menjelaskan ba
Akhirnya keuangan kami sudah lebih membaik dari sebelumnya. Ternyata sangat mudah untuk bisa mendapatkan sejumlah uang dari menjaminkan surat motor. Aku kira uang sebesar sepuluh juta dari dua surat motor yang ku gadai paling tidak cukup untuk satu mingguan ke depan. Aku harus segera menemui Lasmi. Aku sudah rindu dengan dirinya. Aku tahu dia pasti masih marah karena aku sempat memenuhi permintaannya. Aku akan memberikannya kejutan. Karena hari pernikahan kami pula sudah semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari. Kami akan segera mempersiapkan pernikahan kami."Huek..., huek..., huek...," saat kaki ini hendak melangkah keluar kamar tiba-tiba terdengar suara seperti orang mabuk. Aku segera keluar kamar untuk mengecek sumber suara tersebut. Dan benar saja Eni yang ku dapati sedang bersama dengan ibuku, yang mana ibu sedang memijat pundak adik bungsuku."Eni kenapa, Bu?" tanyaku sambil menyelidik ke arah perempuan yang berstatus adik bagiku."Ibu juga gak tahu. Palingan juga masuk an
'Ini baru awal. Akan ada hal yang tidak akan pernah kalian duga sebelumnya. Aku pastikan kalian akan membayarnya tuntas dan jauh lebih mahal dari setiap tetes keringat dan air mataku juga putraku!' gumam Rani dalam hati setelah membaca pesan yang beberapa waktu lalu yang masuk di aplikasi hijau miliknya. "Aku akan memulai permainan ini, semoga kalian bisa menikmati setiap permainan yang kita perankan masing-masing." Rani berucap sambil tersenyum miring.[Iya, Mbak. Terimakasih atas informasinya. Nanti akan aku kabari lagi.] balasan pesan dari Rani untuk seseorang.Benar-benar sudah mati hati nurani suami dan keluarganya. Ternyata selain mereka menipu dan memanfaatkanku. Mereka juga telah ingkar untuk menjaga dan merawat darah dagingku. Mereka tega berbuat ke*i pada bayi sekecil itu. Dan sangat aku herankan kenapa sebagai seorang ayah, mas Rudi justru membiarkan bahkan lebih ke arah mendukung dan ikut mendukung Menikmati.[Assalamualaikum.][Maaf, apa benar pemilik akun ini adalah Mah
Aku mulai menyusun rencana. Tentu saja untuk menjalankan rencanaku ini, aku membutuhkan bantuan seseorang. Untung saja dengan tangan terbuka mbak Yani menawarkan serta dengan sepenuh hati akan membantuku untuk menuntut keadilan bagiku juga Zaki.Sebenarnya setelah mendapatkan pesan pertama dari Mbak Yani. Aku sudah memutuskan untuk segera kembali ke tanah air. Namun majikan-ku menyayangkan akan keputusan yang aku ambil. Katanya lebih baik aku sedikit bersabar dan satu bulan lagi masa kontrakku sudah habis karena saat ini hanya melanjutkan kontrak yang sebelumnya.Namun setelah mendapatkan pesan yang berikutnya, lebih tepatnya beberapa hari yang lalu mengenai keadaan Zaki. Aku tidak pikir panjang lagi. Aku segera menemui majikan-ku dan menceritakan semua yang tengah terjadi di tanah air. Karena dasarnya mereka tipe orang yang berhati baik dan menghargai orang lain. Mereka pun mengijinkan bahkan jika terjadi sesuatu aku mereka tidak akan segan-segan untuk menolongku. Esok harinya kedua
Aku yakin saat ini mas Rudi dan keluarganya bakal gelabakan tanpa uang kiriman dariku. Selama ini mereka hidup dan bersenang diatas penderitaanku. Aku yang banting tulang, tapi mereka yang memanen hasilnya. Bodohnya aku. Sejak mendapatkan pesan dari Mbak Yani waktu itu. Saat itu pula aku mulai tidak menanggapi pesan-pesan yang mereka kirimkan ke nomerku. Aku juga menghentikan mengirimi mereka uang hasil jerih payah-ku. Sengaja memang. Daripada mereka yang menikmati hasil jerih payah-ku mendingan aku simpan sendiri untuk masa depanku. Aku ingin menjadikannya modal usaha dan juga mbeli sebidang tanah untuk aku bangun rumah sebagai tempat tinggalku nanti.Mendengar penuturan dan cerita dari Mbak Yani mengenai masalah yang sedang terjadi di dalam rumah ibu mertuaku. Aku jadi kepikiran dan menyusun rencana bersama dengan saudari ipar dari suamiku itu. Masalah keuangan yang tentu saja sedang mereka alami saat ini. Sering kali mbak Yani mendengar yang mereka keluhkan adalah uang dan uang se
"Bu, Eni mau ngomong penting." ucap Eni yang baru saja keluar dari kamarnya dan mendekat pada ibunya yang sedang duduk dan menikmati acara kesukaannya di televisi. Setelah ia mendapatkan balasan dari Yani atas story WA yang di updatenya pagi tadi."Mau bicara apa kamu? Bicara saja." balas Bu Ningsih dengan pandangan masih tidak lepas dari layar kaca yang ada di depannya."Ini masalah serius, Bu. Demi masa depanku juga keluarga ini." sambil beranjak dan mendekatkan dirinya pada sang ibu."Iya, buruan mau ngomong apa.""Ibu, matiin dulu deh TV nya." tukas Eni sambil mengambil paksa remot kontrol yang ada di tangan ibunya."Kamu apa-apaan sih, En." sungut ibunya. "Habisnya ibu sih, aku ngomong serius tapi ibu fokusnya ke TV.""Bu, Eni mau bilang. Kalau Eni sudah nemuin jalan keluar untuk masalah kita." ujarnya di sertai senyum sumringah."Maksud kamu jalan keluar apa?" Bu Ningsih menatap serius pada putrinya." Gimana kalau kita gadaikan surat tanah dan rumah ini untuk menyanggupi permi
"Ah, si*l!" rutukku. Baru juga bisa terhubung kembali dengan Rani. Kini nomer tersebut sudah tidak bisa aku hubungi lagi. Atau mungkin di sengaja olehnya."Bang, kamu ini apa-apaan, sih. Teriak-teriak gak jelas. Lho, ibu kemana? Bukannya tadi mau ngomong penting sama kamu, Bang?""Pentingnya buat kamu." jawabku kesal sambil menatap tajam pada Eni."Ini penting untuk kita semua. Kalau gak gara-gara mbak Rani kita pasti tidak akan kelimpungan seperti ini, Bang." sungutnya."Gak usah bawa-bawa Rani, kamu. Kalau kamu gak ngelakuin hal bo**h pasti kita gak akan buang-buang duit banyak cuma buat bayar orang yang mau nikah sama kamu. Mending buat aku modal nikah sendiri sama si Lasmi." tukasku."Kamu itu saudara laki-lakiku satu-satunya yang aku punya. Jadi sudah kewajiban kamu itu, Bang.""Gimana, kamu setuju kan, Bang buat jaminin surat rumah ini untuk mengambil pinjaman. Lumayan lho kata temenku kita bisa dapat pinjaman 200 juta dari surat tanah dan rumah ini. Itu bisa kita bagi dua. Dan
"Gimana, sudah kalian bawa itu uangnya?" tanya Bu Ningsih yang buru-buru menghampiri kedua anaknya di depan pintu yang baru saja pulang."Ini," jawab Eni semringah sambil menunjukkan tas ransel warna maroon yang ia bawa dari rumah sebelumnya."Sini, cepet ibu juga mau lihat." Bu Ningsih berjalan cepat sambil menarik lengan putrinya. "Mana, coba ibu lihat ibu juga mau hitung lagi benar apa tidak. Takutnya kurang, rugi kita nanti.""Gak mungkinlah, Bu. Wong tadi sudah di hitung lagi di depan kita, ya kan, En?" sahut Rudi yang berjalan dari arah depan dan kemudian ikut bergabung dengan ibu dan juga adiknya."Iya, kan kita mau jaga-jaga juga. Terus ini kapan mau kamu kasih sama Toni? Lebih baik pernikahan kamu segera dipercepat kalau bisa sekalian saja sama kakak mu.""Iya, nanti Eni mau mencoban menghubungi Toni lagi.""Kalau bisa suruh dia dan keluarganya segera datang ke sini untuk membicarakan masalah pernikahan kalian." titah Bu Ningsih pada Eni."Iya, betul itu kata ibu. Lebih baik