Aku mulai menyusun rencana. Tentu saja untuk menjalankan rencanaku ini, aku membutuhkan bantuan seseorang. Untung saja dengan tangan terbuka mbak Yani menawarkan serta dengan sepenuh hati akan membantuku untuk menuntut keadilan bagiku juga Zaki.Sebenarnya setelah mendapatkan pesan pertama dari Mbak Yani. Aku sudah memutuskan untuk segera kembali ke tanah air. Namun majikan-ku menyayangkan akan keputusan yang aku ambil. Katanya lebih baik aku sedikit bersabar dan satu bulan lagi masa kontrakku sudah habis karena saat ini hanya melanjutkan kontrak yang sebelumnya.Namun setelah mendapatkan pesan yang berikutnya, lebih tepatnya beberapa hari yang lalu mengenai keadaan Zaki. Aku tidak pikir panjang lagi. Aku segera menemui majikan-ku dan menceritakan semua yang tengah terjadi di tanah air. Karena dasarnya mereka tipe orang yang berhati baik dan menghargai orang lain. Mereka pun mengijinkan bahkan jika terjadi sesuatu aku mereka tidak akan segan-segan untuk menolongku. Esok harinya kedua
Aku yakin saat ini mas Rudi dan keluarganya bakal gelabakan tanpa uang kiriman dariku. Selama ini mereka hidup dan bersenang diatas penderitaanku. Aku yang banting tulang, tapi mereka yang memanen hasilnya. Bodohnya aku. Sejak mendapatkan pesan dari Mbak Yani waktu itu. Saat itu pula aku mulai tidak menanggapi pesan-pesan yang mereka kirimkan ke nomerku. Aku juga menghentikan mengirimi mereka uang hasil jerih payah-ku. Sengaja memang. Daripada mereka yang menikmati hasil jerih payah-ku mendingan aku simpan sendiri untuk masa depanku. Aku ingin menjadikannya modal usaha dan juga mbeli sebidang tanah untuk aku bangun rumah sebagai tempat tinggalku nanti.Mendengar penuturan dan cerita dari Mbak Yani mengenai masalah yang sedang terjadi di dalam rumah ibu mertuaku. Aku jadi kepikiran dan menyusun rencana bersama dengan saudari ipar dari suamiku itu. Masalah keuangan yang tentu saja sedang mereka alami saat ini. Sering kali mbak Yani mendengar yang mereka keluhkan adalah uang dan uang se
"Bu, Eni mau ngomong penting." ucap Eni yang baru saja keluar dari kamarnya dan mendekat pada ibunya yang sedang duduk dan menikmati acara kesukaannya di televisi. Setelah ia mendapatkan balasan dari Yani atas story WA yang di updatenya pagi tadi."Mau bicara apa kamu? Bicara saja." balas Bu Ningsih dengan pandangan masih tidak lepas dari layar kaca yang ada di depannya."Ini masalah serius, Bu. Demi masa depanku juga keluarga ini." sambil beranjak dan mendekatkan dirinya pada sang ibu."Iya, buruan mau ngomong apa.""Ibu, matiin dulu deh TV nya." tukas Eni sambil mengambil paksa remot kontrol yang ada di tangan ibunya."Kamu apa-apaan sih, En." sungut ibunya. "Habisnya ibu sih, aku ngomong serius tapi ibu fokusnya ke TV.""Bu, Eni mau bilang. Kalau Eni sudah nemuin jalan keluar untuk masalah kita." ujarnya di sertai senyum sumringah."Maksud kamu jalan keluar apa?" Bu Ningsih menatap serius pada putrinya." Gimana kalau kita gadaikan surat tanah dan rumah ini untuk menyanggupi permi
"Ah, si*l!" rutukku. Baru juga bisa terhubung kembali dengan Rani. Kini nomer tersebut sudah tidak bisa aku hubungi lagi. Atau mungkin di sengaja olehnya."Bang, kamu ini apa-apaan, sih. Teriak-teriak gak jelas. Lho, ibu kemana? Bukannya tadi mau ngomong penting sama kamu, Bang?""Pentingnya buat kamu." jawabku kesal sambil menatap tajam pada Eni."Ini penting untuk kita semua. Kalau gak gara-gara mbak Rani kita pasti tidak akan kelimpungan seperti ini, Bang." sungutnya."Gak usah bawa-bawa Rani, kamu. Kalau kamu gak ngelakuin hal bo**h pasti kita gak akan buang-buang duit banyak cuma buat bayar orang yang mau nikah sama kamu. Mending buat aku modal nikah sendiri sama si Lasmi." tukasku."Kamu itu saudara laki-lakiku satu-satunya yang aku punya. Jadi sudah kewajiban kamu itu, Bang.""Gimana, kamu setuju kan, Bang buat jaminin surat rumah ini untuk mengambil pinjaman. Lumayan lho kata temenku kita bisa dapat pinjaman 200 juta dari surat tanah dan rumah ini. Itu bisa kita bagi dua. Dan
"Gimana, sudah kalian bawa itu uangnya?" tanya Bu Ningsih yang buru-buru menghampiri kedua anaknya di depan pintu yang baru saja pulang."Ini," jawab Eni semringah sambil menunjukkan tas ransel warna maroon yang ia bawa dari rumah sebelumnya."Sini, cepet ibu juga mau lihat." Bu Ningsih berjalan cepat sambil menarik lengan putrinya. "Mana, coba ibu lihat ibu juga mau hitung lagi benar apa tidak. Takutnya kurang, rugi kita nanti.""Gak mungkinlah, Bu. Wong tadi sudah di hitung lagi di depan kita, ya kan, En?" sahut Rudi yang berjalan dari arah depan dan kemudian ikut bergabung dengan ibu dan juga adiknya."Iya, kan kita mau jaga-jaga juga. Terus ini kapan mau kamu kasih sama Toni? Lebih baik pernikahan kamu segera dipercepat kalau bisa sekalian saja sama kakak mu.""Iya, nanti Eni mau mencoban menghubungi Toni lagi.""Kalau bisa suruh dia dan keluarganya segera datang ke sini untuk membicarakan masalah pernikahan kalian." titah Bu Ningsih pada Eni."Iya, betul itu kata ibu. Lebih baik
"Sayang, kamu ngapain ngelihat dia sampai seperti itu." Terdengar suara perempuan yang bersanding dengan suamiku itu mendengus ke arahnya."Gak, lah sayang. Aku cuma heran saja. Aku juga gak kenal kok sama dia." Mas Rudi berbisik pada perempuan di sampingnya nun masih terdengar oleh telinga ini."Kini giliranku dan mbak Yani menyalami mempelai yang berada di atas pelaminan ini." Aku segera beranjak dari hadapan suamiku dan juga istri barunya sebelum dia menyadari keberadaanku saat ini serta mengenali penampilanku yang sudah berubah drastis seperti saat ini."Ran, kamu tahu gak. Aku jadi pengen ketawa lihat suamimu dan istri barunya itu. Si wanitanya itu cemburu melihat Rudi yang tidak berkedip mandangin kamu yang catik bengini. Jelas nyesel dia. Kamu jauh lebih cantik dari perempuan yang bersanding dengannya itu. Tapi memang dianya saja yang belum nyadar." bisik mbak Yani ketika kami sudah berada jauh dari pelaminan."Iya, Mbak. Apalagi pas waktu kita naik ke atas pemainan tadi. Merek
[Halo! Assalamualaikum. Mas, ini aku istrimu.]Pagi ini sengaja aku menghubungi nomer suamiku. Aku pasti saat ini dia sedang menikmati harinya bersama istri yang baru dia nikahi walaupun sudah lama mereka menjalin hubungan terlarang di belakangku.[Ri--rina. Tumben kamu pagi-pagi gini telpon aku. Ada perlu apa]Benar saja. Dia pasti merasa kaget akan panggilan telepon dariku itu.[Kok kamu sepertinya tidak suka ya, Mas, aku hubungi. Ini kan hari Minggu. Aku baru bisa telepon kamu kalo hari Minggu saja.]Aku pura-pura merajuk. Merasa dia tidak senang mendapati telepon dari istrinya ini. Yang memang aku tahu dia memang tidak suka dan pasti merasa bahwa aku telah menganggu waktunya.[Eh, enggak kok. Justru aku senang sekali kamu telepon. Aku juga sudah kangen sekali sama kamu, pastinya Zaki, putra kita yang merindukan ibunya.] Ternyata dia, suamiku masih mempunyai rasa takut dan khawatir akan diri ini yang merajuk padanya. Tentu saja bukan aku yang ia takuti. Melainkan karena takut bila
Tok....tok....tok...!Ku ketuk daun pintu kamar ibuku."Bu, ibu. Ini Rudi, Bu. Ini sudah siang. Rudi ada perlu sama ibu." karena belum ada sahutan dari dalam aku mencoba memanggil ibuku. Dan lagi-lagi belum ada jawaban darinya. Tidak bisanya ibu seperti ini. Apa karena terlalu capek acara nikahan kemarin."Gimana, Bang. Ibumu belum bangun juga. Tidur apa ngebo si ibumu itu." celetuk Lasmi yang tiba-tiba saja muncul dari dalam kamar kami yang memang letaknya bersebelahan dengan kamar milik ibu."Hush! Kamu ngomong apa si, Yang. Masak ibuku tidur kamu bilang ngebo. Mungkin ibu kecapekan karena acara kemarin." tegurku pada Lasmi untuk membela ibuku sendiri."Kalau ngak ngebo apa namanya, coba? Kamu ketuk pintu dan teriak dari tadi juga gak ada sahutan dari dalam." sungut istriku itu. Aku tahu pasti karena rasa laparnya ia menjadi emosi seperti ini."Iya, sabar dulu. Ibu mungkin memang benar-benar capek, Yang. Kamu tahu sendiri tamu kemarin yang datang kan banyak. Lagian umur ibu juga kan