Akhirnya keuangan kami sudah lebih membaik dari sebelumnya. Ternyata sangat mudah untuk bisa mendapatkan sejumlah uang dari menjaminkan surat motor. Aku kira uang sebesar sepuluh juta dari dua surat motor yang ku gadai paling tidak cukup untuk satu mingguan ke depan.
Aku harus segera menemui Lasmi. Aku sudah rindu dengan dirinya. Aku tahu dia pasti masih marah karena aku sempat memenuhi permintaannya. Aku akan memberikannya kejutan. Karena hari pernikahan kami pula sudah semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari. Kami akan segera mempersiapkan pernikahan kami."Huek..., huek..., huek...," saat kaki ini hendak melangkah keluar kamar tiba-tiba terdengar suara seperti orang mabuk. Aku segera keluar kamar untuk mengecek sumber suara tersebut. Dan benar saja Eni yang ku dapati sedang bersama dengan ibuku, yang mana ibu sedang memijat pundak adik bungsuku."Eni kenapa, Bu?" tanyaku sambil menyelidik ke arah perempuan yang berstatus adik bagiku."Ibu juga gak tahu. Palingan juga masuk angin." ucap ibuku datar."Huek..., huek..., huek...," lagi Eni kembali ingin memuntahkan sesuai dari perutnya. Dia berlari ke arah kamar mandi yang ada berdampingan dengan dapur. Aku dan ibu pun mengekor di belakang."Rud, coba kamu antar adikmu untuk periksa." titah ibu setelah Eni hilang di balik pintu kamar mandi."Rudi sudah ada janji sama Lasmi, Bu. Kenapa gak sama ibu saja atau minta tolong sama Mbak Lestari." Aku mencoba menghindar."Kamu itu. Sudah tahu adikmu itu sakit. Kamu masih memikirkan kesenanganmu sendiri." ujar ibu sambil berlalu dari hadapanku. Biarlah, Eni menjadi urusan ibu karena aku juga memiliki urusan sendiri. Lagi pula adikku itu sudah besar dan bukan anak kecil lagi.Aku segera berlalu meninggalkan rumah ibuku untuk menuju rumah kekasihku. Entah kenapa tiba-tiba saja motor yang aku kendarai ini mesinnya mendadak mati padahal aku sudah mengisi bensinnya sampai full dan kenapa juga harus tepat di depan area pemakaman umum di ujung desa. Meski jarak rumah kami hanya berbeda desa. Aku sengaja mengambil jalan tikus agar lebih cepat untuk sampai di rumah Lasmi. Jalanan menuju ke rumahnya melewati persawahan milik warga dan sebelum melintasi jalan persawahan tersebut terdapat jembatan yang merupakan batas antar desa yang mana sebelum melintasi jembatan tersebut adalah merupakan tanah pemakaman umum yang mana mendiang Zaki putraku juga di kuburkan di tempat tersebut. Tiba-tiba pikiran aneh melintas di benakku. Pasalnya biasa banyak warga yang beraktivitas di sawah tapi tidak dengan saat ini. Sangat sepi bahkan tidak ada seorangpun yang melintas selain aku seorang.'Si*l!' umpatku dalam hati. Tak ku sangka niat untuk menjemput kebahagiaan justru berbuah ke s**lan. Matahari sudah berada tepat di atas kepala belum juga ada seorang yang melintasi jalanan ini. Sudah beberapa kali aku berusaha untuk mencoba mendorong motorku ini, namun nihil tak sejengkal pun motor ini bergerak dari tempatnya. Apakah ini akibat karena aku tidak memenuhi permintaan ibuku untuk mengantarkan Eni pergi periksa ke puskesmas? Jika iya, aku benar-benar menyesali keputusanku tadi. Atau juga..., ah tidak mungkin. Aku segera menepis pikiran aneh di otakku ini. Zaki sudah pasti saat ini tenang di sana.'Kenapa jadi seperti ini!' teriakku dalam hati. Aku menendang ban motor yang tidak punya salah kepadaku untuk melampiaskan emosiku. Sudah sedari tadi aku di sini dan berharap ada seseorang yang dapat menolongku. Sekali lagi ku coba menstarter mesin motorku ini berharap ada keajaiban dan segera menyala lagi. Namun lagi dan lagi tidak ada tanda-tanda untuk mesinnya hidup kembali. Ku coba untuk mengecek gawai yang aku bawa dan si*lnya lagi gawai yang sedari tadi pagi sudah aku isi entah kenapa tiba-tiba juga ikut mati pula dan juga tidak dapat aku hidupkan. Sudah jalan yang sepi tidak seperti biasanya dan tiba-tiba saja awan mendung menyelimuti langit biru yang awalnya cerah. Belum sempat diri ini mencari tempat untuk berteduh tiba-tiba angin kencang di sertai gelegar kilat saling bersautan bersamaan dengan derasnya air hujan yang turun.Tanpa berpikir panjang aku berlari ke arah pondok kecil yang terletak di depan pintu masuk atau makam. Jangan di tanya bagaimana. Karena terpaksa juga sehingga rasa takut yang semula singgah tiba-tiba menguap begitu saja.🌺🌺🌺Tepat waktu magrib aku tiba di rumah dengan kondisi basah kuyup karena hujan angin yang meskipun aku sudah berteduh tetap saja baju yang aku kenakan basah karena terpaan air hujan. Untung saja aku tadi di pertemukan dengan sebuah mobil pickup pengangkut padi. Kalau tidak, entah bagaimana dengan nasibku ini.Aku sudah berganti baju. Meski begitu badan ini masih saja menggigil karena hawa dingin yang lumayan tadi."Ini, cepat kamu minum wedang jahenya." Ibu menyodorkan cangkir yang di dalamnya berisi seduhan jahe."Iya, Bu, terimakasih." Aku segera meraih cangkir tersebut dan segera menyesapnya dengan sesekali meniup-niup isi yang ada di cangkir tersebut."Kamu kok sampe bisa basah kuyup seperti tadi?" tanya ibuku dengan menatap aneh ke arahku. "Namanya juga kehujanan." ujarku lalu meneruskan kembali menyesap jahe panas yang ada di cangkir yang ku bawa."Kok aneh kamu itu. Lha wong sedari tadi pagi sampe menjelang sore di situ panasnya terik." ujar ibu yang sepertinya tidak mempercayai ucapanku."lha nyatanya juga begitu. Terus tadi ibu jadibke puskesmasnya?""Gak jadi, Eninya sudah ibu paksa-paksa juga gak mau. Dia tadi cuma minta di kerokin sama minta di beliin rujak buah." Entah kenapa aku merasa aneh dengan yang baru saja yang di omongkan oleh ibuku tentang sakitnya Eni. Kok dipikir-pikir gejalanya mirip dengan waktu Rani awal-awal hamil Zaki dulu. Atau jangan-jangan."Terus, tadi ibu dapat rujaknya?""Iya dapat. Tadi Lestari, kakak kamu yang nyariin. Entah dapat di mana anak itu.""Terus sekarang gimana kondisi Eni, Bu?""Habis makan rujak tadi siang. Adikmu itu tertidur pulas. Tadi sempat bangun minta di beliin bakso yang pedes." Aneh, padahal Eni kan gak suka sama makanan yang pedas-pedas.Ah, anak itu bikin penasaran saja sakitnya. Semoga saja dia cepat pulih seperti sedia kala.'Ini baru awal. Akan ada hal yang tidak akan pernah kalian duga sebelumnya. Aku pastikan kalian akan membayarnya tuntas dan jauh lebih mahal dari setiap tetes keringat dan air mataku juga putraku!' gumam Rani dalam hati setelah membaca pesan yang beberapa waktu lalu yang masuk di aplikasi hijau miliknya. "Aku akan memulai permainan ini, semoga kalian bisa menikmati setiap permainan yang kita perankan masing-masing." Rani berucap sambil tersenyum miring.[Iya, Mbak. Terimakasih atas informasinya. Nanti akan aku kabari lagi.] balasan pesan dari Rani untuk seseorang.Benar-benar sudah mati hati nurani suami dan keluarganya. Ternyata selain mereka menipu dan memanfaatkanku. Mereka juga telah ingkar untuk menjaga dan merawat darah dagingku. Mereka tega berbuat ke*i pada bayi sekecil itu. Dan sangat aku herankan kenapa sebagai seorang ayah, mas Rudi justru membiarkan bahkan lebih ke arah mendukung dan ikut mendukung Menikmati.[Assalamualaikum.][Maaf, apa benar pemilik akun ini adalah Mah
Aku mulai menyusun rencana. Tentu saja untuk menjalankan rencanaku ini, aku membutuhkan bantuan seseorang. Untung saja dengan tangan terbuka mbak Yani menawarkan serta dengan sepenuh hati akan membantuku untuk menuntut keadilan bagiku juga Zaki.Sebenarnya setelah mendapatkan pesan pertama dari Mbak Yani. Aku sudah memutuskan untuk segera kembali ke tanah air. Namun majikan-ku menyayangkan akan keputusan yang aku ambil. Katanya lebih baik aku sedikit bersabar dan satu bulan lagi masa kontrakku sudah habis karena saat ini hanya melanjutkan kontrak yang sebelumnya.Namun setelah mendapatkan pesan yang berikutnya, lebih tepatnya beberapa hari yang lalu mengenai keadaan Zaki. Aku tidak pikir panjang lagi. Aku segera menemui majikan-ku dan menceritakan semua yang tengah terjadi di tanah air. Karena dasarnya mereka tipe orang yang berhati baik dan menghargai orang lain. Mereka pun mengijinkan bahkan jika terjadi sesuatu aku mereka tidak akan segan-segan untuk menolongku. Esok harinya kedua
Aku yakin saat ini mas Rudi dan keluarganya bakal gelabakan tanpa uang kiriman dariku. Selama ini mereka hidup dan bersenang diatas penderitaanku. Aku yang banting tulang, tapi mereka yang memanen hasilnya. Bodohnya aku. Sejak mendapatkan pesan dari Mbak Yani waktu itu. Saat itu pula aku mulai tidak menanggapi pesan-pesan yang mereka kirimkan ke nomerku. Aku juga menghentikan mengirimi mereka uang hasil jerih payah-ku. Sengaja memang. Daripada mereka yang menikmati hasil jerih payah-ku mendingan aku simpan sendiri untuk masa depanku. Aku ingin menjadikannya modal usaha dan juga mbeli sebidang tanah untuk aku bangun rumah sebagai tempat tinggalku nanti.Mendengar penuturan dan cerita dari Mbak Yani mengenai masalah yang sedang terjadi di dalam rumah ibu mertuaku. Aku jadi kepikiran dan menyusun rencana bersama dengan saudari ipar dari suamiku itu. Masalah keuangan yang tentu saja sedang mereka alami saat ini. Sering kali mbak Yani mendengar yang mereka keluhkan adalah uang dan uang se
"Bu, Eni mau ngomong penting." ucap Eni yang baru saja keluar dari kamarnya dan mendekat pada ibunya yang sedang duduk dan menikmati acara kesukaannya di televisi. Setelah ia mendapatkan balasan dari Yani atas story WA yang di updatenya pagi tadi."Mau bicara apa kamu? Bicara saja." balas Bu Ningsih dengan pandangan masih tidak lepas dari layar kaca yang ada di depannya."Ini masalah serius, Bu. Demi masa depanku juga keluarga ini." sambil beranjak dan mendekatkan dirinya pada sang ibu."Iya, buruan mau ngomong apa.""Ibu, matiin dulu deh TV nya." tukas Eni sambil mengambil paksa remot kontrol yang ada di tangan ibunya."Kamu apa-apaan sih, En." sungut ibunya. "Habisnya ibu sih, aku ngomong serius tapi ibu fokusnya ke TV.""Bu, Eni mau bilang. Kalau Eni sudah nemuin jalan keluar untuk masalah kita." ujarnya di sertai senyum sumringah."Maksud kamu jalan keluar apa?" Bu Ningsih menatap serius pada putrinya." Gimana kalau kita gadaikan surat tanah dan rumah ini untuk menyanggupi permi
"Ah, si*l!" rutukku. Baru juga bisa terhubung kembali dengan Rani. Kini nomer tersebut sudah tidak bisa aku hubungi lagi. Atau mungkin di sengaja olehnya."Bang, kamu ini apa-apaan, sih. Teriak-teriak gak jelas. Lho, ibu kemana? Bukannya tadi mau ngomong penting sama kamu, Bang?""Pentingnya buat kamu." jawabku kesal sambil menatap tajam pada Eni."Ini penting untuk kita semua. Kalau gak gara-gara mbak Rani kita pasti tidak akan kelimpungan seperti ini, Bang." sungutnya."Gak usah bawa-bawa Rani, kamu. Kalau kamu gak ngelakuin hal bo**h pasti kita gak akan buang-buang duit banyak cuma buat bayar orang yang mau nikah sama kamu. Mending buat aku modal nikah sendiri sama si Lasmi." tukasku."Kamu itu saudara laki-lakiku satu-satunya yang aku punya. Jadi sudah kewajiban kamu itu, Bang.""Gimana, kamu setuju kan, Bang buat jaminin surat rumah ini untuk mengambil pinjaman. Lumayan lho kata temenku kita bisa dapat pinjaman 200 juta dari surat tanah dan rumah ini. Itu bisa kita bagi dua. Dan
"Gimana, sudah kalian bawa itu uangnya?" tanya Bu Ningsih yang buru-buru menghampiri kedua anaknya di depan pintu yang baru saja pulang."Ini," jawab Eni semringah sambil menunjukkan tas ransel warna maroon yang ia bawa dari rumah sebelumnya."Sini, cepet ibu juga mau lihat." Bu Ningsih berjalan cepat sambil menarik lengan putrinya. "Mana, coba ibu lihat ibu juga mau hitung lagi benar apa tidak. Takutnya kurang, rugi kita nanti.""Gak mungkinlah, Bu. Wong tadi sudah di hitung lagi di depan kita, ya kan, En?" sahut Rudi yang berjalan dari arah depan dan kemudian ikut bergabung dengan ibu dan juga adiknya."Iya, kan kita mau jaga-jaga juga. Terus ini kapan mau kamu kasih sama Toni? Lebih baik pernikahan kamu segera dipercepat kalau bisa sekalian saja sama kakak mu.""Iya, nanti Eni mau mencoban menghubungi Toni lagi.""Kalau bisa suruh dia dan keluarganya segera datang ke sini untuk membicarakan masalah pernikahan kalian." titah Bu Ningsih pada Eni."Iya, betul itu kata ibu. Lebih baik
"Sayang, kamu ngapain ngelihat dia sampai seperti itu." Terdengar suara perempuan yang bersanding dengan suamiku itu mendengus ke arahnya."Gak, lah sayang. Aku cuma heran saja. Aku juga gak kenal kok sama dia." Mas Rudi berbisik pada perempuan di sampingnya nun masih terdengar oleh telinga ini."Kini giliranku dan mbak Yani menyalami mempelai yang berada di atas pelaminan ini." Aku segera beranjak dari hadapan suamiku dan juga istri barunya sebelum dia menyadari keberadaanku saat ini serta mengenali penampilanku yang sudah berubah drastis seperti saat ini."Ran, kamu tahu gak. Aku jadi pengen ketawa lihat suamimu dan istri barunya itu. Si wanitanya itu cemburu melihat Rudi yang tidak berkedip mandangin kamu yang catik bengini. Jelas nyesel dia. Kamu jauh lebih cantik dari perempuan yang bersanding dengannya itu. Tapi memang dianya saja yang belum nyadar." bisik mbak Yani ketika kami sudah berada jauh dari pelaminan."Iya, Mbak. Apalagi pas waktu kita naik ke atas pemainan tadi. Merek
[Halo! Assalamualaikum. Mas, ini aku istrimu.]Pagi ini sengaja aku menghubungi nomer suamiku. Aku pasti saat ini dia sedang menikmati harinya bersama istri yang baru dia nikahi walaupun sudah lama mereka menjalin hubungan terlarang di belakangku.[Ri--rina. Tumben kamu pagi-pagi gini telpon aku. Ada perlu apa]Benar saja. Dia pasti merasa kaget akan panggilan telepon dariku itu.[Kok kamu sepertinya tidak suka ya, Mas, aku hubungi. Ini kan hari Minggu. Aku baru bisa telepon kamu kalo hari Minggu saja.]Aku pura-pura merajuk. Merasa dia tidak senang mendapati telepon dari istrinya ini. Yang memang aku tahu dia memang tidak suka dan pasti merasa bahwa aku telah menganggu waktunya.[Eh, enggak kok. Justru aku senang sekali kamu telepon. Aku juga sudah kangen sekali sama kamu, pastinya Zaki, putra kita yang merindukan ibunya.] Ternyata dia, suamiku masih mempunyai rasa takut dan khawatir akan diri ini yang merajuk padanya. Tentu saja bukan aku yang ia takuti. Melainkan karena takut bila