"Kami mohon maaf sebelumnya, Pak. Anak bapak sudah tidak dapat terselamatkan. Sepertinya Anak ini sudah beberapa waktu yang lalu meninggalnya. Apa anda atau ibunya tidak ada yang mengetahuinya kalau anak anda ini telah tiada?" ucapan dari seorang petugas medis dengan menatap selidik pada ku juga ibuku. Tentu saja aku sangat kaget dengan berita yang baru saja di sampaikan petugas perempuan tersebut. Bagaimana mungkin sakit panas yang semalam bisa sampai membuat nyawa dari anak semata wayangku ini melayang. Sedari pagi sebelum ia ikut penyewanya dia baik-baik saja. Dan waktu aku beri minum obat seperti biasanya juga dia menurut saja. Tidak mungkin juga karena telat makan. Karena aku kesiangan dan ibuku juga lupa untuk membuatkan makanan untuknya. Hanya air gula sebagai pengganjal sebelum Zaki aku beri minum obat agar dia tidak rewel pada waktu ikut penyewanya.
"Ba--bagaimana mungkin anak saya bisa meninggal, Sus? Anak saya ini hanya sakit panas saja kemarin." Aku mencoba menjelaskan bagaimana awalnya Zaki bisa sampai tidak bangun-bangun dari tidur lelapnya hingga kami membawanya ke puskesmas ini dan ternyata petugas medis yang menanganinya menyatakan putra kecilku ini telah tak bernyawa."Maaf, Pak. Tapi sepertinya memang anak bapak ini sudah meninggal. Bapak bisa lihat sendiri jenazahnya. Putra bapak sudah sangat pucat, bahkan bibirnya sudah mulai kebiruan dan juga suhu badannya sudah berada di bawah dan sudah terasa dingin badannya itu."Aku, sudah pasti kondisiku sangat bingung untuk saat ini. Bagaimana jika Rani menayangkan putranya tersebut. Apa yang harus aku jelaskan alasan kematian dari putra kami ini. Ini adalah cobaan dalam rumah tangga kami. Ini juga bukan salahku yang menjaganya. Ini semua sudah takdir dan kehendak yang di-Atas."Rud, bagaimana ini. Bagaimana kalau Rani menanyakan anaknya?" Ibu sama gelisanya dengan diri ini."Sudahlah, Bu. Kita hadapi dan kita jelaskan saja apa yang terjadi. Toh ini memang takdir. Ini juga bukan kesalahan kita. Ibu tidak perlu khawatir. Nanti juga ibu akan dapat cucu lagi dari aku dan Lasmi." ujarku untuk menghibur kegalauan dan ketakutan ibuku itu.Akhirnya aku dan juga ibu membawa Zaki pulang kembali. Kami segera mempersiapkan acara untuk pemakaman putra kecilku ini. Semua tetangga juga sudah mulai berdatangan kerumah kami, rumah ibuku lebih tepatnya. Semua mengucapkan belasungkawa kepada kami atas kepergian Zaki. Syukurlah, aku bisa tenang dan juga lega. Ternyata keramaian kecil yang tadi sempat terjadi, ternyata tidak sepenuhnya para tetanggaku ini menaruh curiga. Buktinya mereka tidak ada yang bertanya perihal penyebab kematian dari Zaki. Jika ada yang melontarkan pertanyaan, aku jawab saja jika Zaki mengalami demam tinggi dan sempat mengalami kejang sebelum akhirnya dia meninggal. Sudah dipastikan mereka akan menerima penjelasan dariku ini. Karena biasanya anak seusia Zaki pasti sedang aktif-aktifnya.Tepat siang hari. Acara pemakaman Zaki telah selesai. Aku tidak ada niatan untuk mengabari Rani juga orangtuanya yang berada di kampung. Biar mereka tahu sendiri seiring berjalannya waktu. Aku juga sempat menghubungi Lasmi, namun karena terkendala sesuatu ia tidak dapat menemaniku yang saat ini sedang dirundung duka.🌺🌺🌺Satu Minggu setelah kepergian Zaki. Tenyata kepergian Zaki yang terlalu cepat sangat berdampak buruk pada keluargaku. Tak ada lagi pemasukan dari yang biasanya dihasilkan oleh anakku itu setiap harinya. Pun dengan Rani yang tak kunjung mengirimkan uangnya kepadaku. Biasanya kami yang setiap hari bisa makan enak. Sekarang harus bisa berdamai dengan keadaan. Hanya tahu tempe lauk yang menemani dan tersaji di meja makan kami. Aku tidak mungkin bisa bekerja sembarangan dan juga sudah hampir tiga tahunan ini aku memang lebih sering menghabiskan waktuku di pemancingan dan juga di tempat tongkronganku tanpa capek ikut memikirkan kebutuhan rumah dan lainnya karena ada Rani yang selalu memenuhi kebutuhan kami di tambah lagi dengan Zaki yang juga bisa menghasilkan dari jasa sewa bayi yang kami tawarkan pada para peminta-minta yang membutuhkan jasanya.Baru juga beberapa hari tanpa dia, hidupku sudah kacau seperti ini. Ibu juga sudah tidak lagi menyajikan kopi dan pisang goreng seperti biasanya. Raut wajahnya selalu masam jika berada di depanku. Alasannya gula dan bahan dapur yang lain telah habis. Uang juga habis. Bagaimana tidak habis. Saat uang berlimpah, tak pernah terlintas di pikiran kami untuk sekedar menyisihkan atau menabung. Yang kami pikir hanya karena masih ada Rani dan juga Zaki yang akan menjamin semua kebutuhan dan keperluan kami.Semakin hari semakin kacau perekonomian keluargaku. Mulai dari Lasmi yang marah-marah karena setiap menagih apa yang pernah aku janjikan padanya, selalu aku berusaha untuk mencari alasan. Hingga pada suatu pagi Eni menyarankan agar kami mau untuk menggadaikan surat-surat motor kami. Tidak hanya motorku saja, melainkan juga motor Eni yamg yang alasannya karena terdesak untuk membayar biaya kuliahnya. Benar saja, karena sudah hampir masuk bulan kedua Rani tidak pernah lagi menunaikan kewajibannya untuk mengirimi kami uang lagi. Setiap kali ingin mengumpat padanya, setiap kali pula hati ini was-was apa yang kemungkinan terjadi padanya. Karena banyak kasus di luaran sana. Banyak TKW yang meninggal di tangan majikannya bahkan ada yang sampai berurusan dengan kepolisian. Semoga saja hal itu tidak sampai menimpah Rani, Istriku.Aku tidak kepikiran untuk menggadaikan surat-surat berharga seperti yang di sarankan oleh Eni. Setelah aku pikir-pikir akhirnya aku dan juga ibu menyetujui usulan Eni tersebut. Semoga saja Rani segera di sadarkan untuk kembali mengirimi suaminya ini uang. Sehingga kami bisa kembali menebus surat-surat yang akan kami gadai ini, karena rencanaku esok hari baru segera ku bawa surat-surat motor ketempat seperti yang di tunjukkan oleh Eni.Akhirnya keuangan kami sudah lebih membaik dari sebelumnya. Ternyata sangat mudah untuk bisa mendapatkan sejumlah uang dari menjaminkan surat motor. Aku kira uang sebesar sepuluh juta dari dua surat motor yang ku gadai paling tidak cukup untuk satu mingguan ke depan. Aku harus segera menemui Lasmi. Aku sudah rindu dengan dirinya. Aku tahu dia pasti masih marah karena aku sempat memenuhi permintaannya. Aku akan memberikannya kejutan. Karena hari pernikahan kami pula sudah semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari. Kami akan segera mempersiapkan pernikahan kami."Huek..., huek..., huek...," saat kaki ini hendak melangkah keluar kamar tiba-tiba terdengar suara seperti orang mabuk. Aku segera keluar kamar untuk mengecek sumber suara tersebut. Dan benar saja Eni yang ku dapati sedang bersama dengan ibuku, yang mana ibu sedang memijat pundak adik bungsuku."Eni kenapa, Bu?" tanyaku sambil menyelidik ke arah perempuan yang berstatus adik bagiku."Ibu juga gak tahu. Palingan juga masuk an
'Ini baru awal. Akan ada hal yang tidak akan pernah kalian duga sebelumnya. Aku pastikan kalian akan membayarnya tuntas dan jauh lebih mahal dari setiap tetes keringat dan air mataku juga putraku!' gumam Rani dalam hati setelah membaca pesan yang beberapa waktu lalu yang masuk di aplikasi hijau miliknya. "Aku akan memulai permainan ini, semoga kalian bisa menikmati setiap permainan yang kita perankan masing-masing." Rani berucap sambil tersenyum miring.[Iya, Mbak. Terimakasih atas informasinya. Nanti akan aku kabari lagi.] balasan pesan dari Rani untuk seseorang.Benar-benar sudah mati hati nurani suami dan keluarganya. Ternyata selain mereka menipu dan memanfaatkanku. Mereka juga telah ingkar untuk menjaga dan merawat darah dagingku. Mereka tega berbuat ke*i pada bayi sekecil itu. Dan sangat aku herankan kenapa sebagai seorang ayah, mas Rudi justru membiarkan bahkan lebih ke arah mendukung dan ikut mendukung Menikmati.[Assalamualaikum.][Maaf, apa benar pemilik akun ini adalah Mah
Aku mulai menyusun rencana. Tentu saja untuk menjalankan rencanaku ini, aku membutuhkan bantuan seseorang. Untung saja dengan tangan terbuka mbak Yani menawarkan serta dengan sepenuh hati akan membantuku untuk menuntut keadilan bagiku juga Zaki.Sebenarnya setelah mendapatkan pesan pertama dari Mbak Yani. Aku sudah memutuskan untuk segera kembali ke tanah air. Namun majikan-ku menyayangkan akan keputusan yang aku ambil. Katanya lebih baik aku sedikit bersabar dan satu bulan lagi masa kontrakku sudah habis karena saat ini hanya melanjutkan kontrak yang sebelumnya.Namun setelah mendapatkan pesan yang berikutnya, lebih tepatnya beberapa hari yang lalu mengenai keadaan Zaki. Aku tidak pikir panjang lagi. Aku segera menemui majikan-ku dan menceritakan semua yang tengah terjadi di tanah air. Karena dasarnya mereka tipe orang yang berhati baik dan menghargai orang lain. Mereka pun mengijinkan bahkan jika terjadi sesuatu aku mereka tidak akan segan-segan untuk menolongku. Esok harinya kedua
Aku yakin saat ini mas Rudi dan keluarganya bakal gelabakan tanpa uang kiriman dariku. Selama ini mereka hidup dan bersenang diatas penderitaanku. Aku yang banting tulang, tapi mereka yang memanen hasilnya. Bodohnya aku. Sejak mendapatkan pesan dari Mbak Yani waktu itu. Saat itu pula aku mulai tidak menanggapi pesan-pesan yang mereka kirimkan ke nomerku. Aku juga menghentikan mengirimi mereka uang hasil jerih payah-ku. Sengaja memang. Daripada mereka yang menikmati hasil jerih payah-ku mendingan aku simpan sendiri untuk masa depanku. Aku ingin menjadikannya modal usaha dan juga mbeli sebidang tanah untuk aku bangun rumah sebagai tempat tinggalku nanti.Mendengar penuturan dan cerita dari Mbak Yani mengenai masalah yang sedang terjadi di dalam rumah ibu mertuaku. Aku jadi kepikiran dan menyusun rencana bersama dengan saudari ipar dari suamiku itu. Masalah keuangan yang tentu saja sedang mereka alami saat ini. Sering kali mbak Yani mendengar yang mereka keluhkan adalah uang dan uang se
"Bu, Eni mau ngomong penting." ucap Eni yang baru saja keluar dari kamarnya dan mendekat pada ibunya yang sedang duduk dan menikmati acara kesukaannya di televisi. Setelah ia mendapatkan balasan dari Yani atas story WA yang di updatenya pagi tadi."Mau bicara apa kamu? Bicara saja." balas Bu Ningsih dengan pandangan masih tidak lepas dari layar kaca yang ada di depannya."Ini masalah serius, Bu. Demi masa depanku juga keluarga ini." sambil beranjak dan mendekatkan dirinya pada sang ibu."Iya, buruan mau ngomong apa.""Ibu, matiin dulu deh TV nya." tukas Eni sambil mengambil paksa remot kontrol yang ada di tangan ibunya."Kamu apa-apaan sih, En." sungut ibunya. "Habisnya ibu sih, aku ngomong serius tapi ibu fokusnya ke TV.""Bu, Eni mau bilang. Kalau Eni sudah nemuin jalan keluar untuk masalah kita." ujarnya di sertai senyum sumringah."Maksud kamu jalan keluar apa?" Bu Ningsih menatap serius pada putrinya." Gimana kalau kita gadaikan surat tanah dan rumah ini untuk menyanggupi permi
"Ah, si*l!" rutukku. Baru juga bisa terhubung kembali dengan Rani. Kini nomer tersebut sudah tidak bisa aku hubungi lagi. Atau mungkin di sengaja olehnya."Bang, kamu ini apa-apaan, sih. Teriak-teriak gak jelas. Lho, ibu kemana? Bukannya tadi mau ngomong penting sama kamu, Bang?""Pentingnya buat kamu." jawabku kesal sambil menatap tajam pada Eni."Ini penting untuk kita semua. Kalau gak gara-gara mbak Rani kita pasti tidak akan kelimpungan seperti ini, Bang." sungutnya."Gak usah bawa-bawa Rani, kamu. Kalau kamu gak ngelakuin hal bo**h pasti kita gak akan buang-buang duit banyak cuma buat bayar orang yang mau nikah sama kamu. Mending buat aku modal nikah sendiri sama si Lasmi." tukasku."Kamu itu saudara laki-lakiku satu-satunya yang aku punya. Jadi sudah kewajiban kamu itu, Bang.""Gimana, kamu setuju kan, Bang buat jaminin surat rumah ini untuk mengambil pinjaman. Lumayan lho kata temenku kita bisa dapat pinjaman 200 juta dari surat tanah dan rumah ini. Itu bisa kita bagi dua. Dan
"Gimana, sudah kalian bawa itu uangnya?" tanya Bu Ningsih yang buru-buru menghampiri kedua anaknya di depan pintu yang baru saja pulang."Ini," jawab Eni semringah sambil menunjukkan tas ransel warna maroon yang ia bawa dari rumah sebelumnya."Sini, cepet ibu juga mau lihat." Bu Ningsih berjalan cepat sambil menarik lengan putrinya. "Mana, coba ibu lihat ibu juga mau hitung lagi benar apa tidak. Takutnya kurang, rugi kita nanti.""Gak mungkinlah, Bu. Wong tadi sudah di hitung lagi di depan kita, ya kan, En?" sahut Rudi yang berjalan dari arah depan dan kemudian ikut bergabung dengan ibu dan juga adiknya."Iya, kan kita mau jaga-jaga juga. Terus ini kapan mau kamu kasih sama Toni? Lebih baik pernikahan kamu segera dipercepat kalau bisa sekalian saja sama kakak mu.""Iya, nanti Eni mau mencoban menghubungi Toni lagi.""Kalau bisa suruh dia dan keluarganya segera datang ke sini untuk membicarakan masalah pernikahan kalian." titah Bu Ningsih pada Eni."Iya, betul itu kata ibu. Lebih baik
"Sayang, kamu ngapain ngelihat dia sampai seperti itu." Terdengar suara perempuan yang bersanding dengan suamiku itu mendengus ke arahnya."Gak, lah sayang. Aku cuma heran saja. Aku juga gak kenal kok sama dia." Mas Rudi berbisik pada perempuan di sampingnya nun masih terdengar oleh telinga ini."Kini giliranku dan mbak Yani menyalami mempelai yang berada di atas pelaminan ini." Aku segera beranjak dari hadapan suamiku dan juga istri barunya sebelum dia menyadari keberadaanku saat ini serta mengenali penampilanku yang sudah berubah drastis seperti saat ini."Ran, kamu tahu gak. Aku jadi pengen ketawa lihat suamimu dan istri barunya itu. Si wanitanya itu cemburu melihat Rudi yang tidak berkedip mandangin kamu yang catik bengini. Jelas nyesel dia. Kamu jauh lebih cantik dari perempuan yang bersanding dengannya itu. Tapi memang dianya saja yang belum nyadar." bisik mbak Yani ketika kami sudah berada jauh dari pelaminan."Iya, Mbak. Apalagi pas waktu kita naik ke atas pemainan tadi. Merek