Beranda / Pernikahan / KEMBALINYA ISTRIKU / 4. Zaki yang tak berdaya

Share

4. Zaki yang tak berdaya

Setelah sekian lama akhirnya tangis si Zaki rendah juga. Namun dengan seiring redahnya tangisan tersebut, badan Zaki yang semula panas berangsur turun tapi bibir mungilnya semakin biru dan warna kulitnya terlihat memucat. Tak ingin pikir panjang lagi. Segera bayi ini aku turunkan ke atas kasur dari yang semula berada pada gendonganku. Badanku juga terasa sangat lelah, ingin secepatnya merebahkan diri ini di sebelah putra kecilku. Semoga saja dia baik-baik saja. Dan bisa beraktivitas seperti biasanya agar dia bisa kembali menghasilkan uang lagi untuk kami. Walau bagaimanapun dia adalah tulang punggung bagi kami setelah ibunya. Dari hasilnya yang setiap hari ia dapat itu uang membantu menutupi kebutuhan dapur rumah ibuku.

Brak... Brak...Brak...!

Mata ini masih sangat mengantuk, tetapi telinga ini sangat terganggu dengan suara pukulan pintu yang aku yakin itu suara dari pintu kamar yang aku tempati ini.

"Rud, Rudi. Cepat bangun. Itu di depan sudah di tungguin penyewa Zaki!" tak salah lagi. Itu benar suara teriakan dari ibu dan yang tadi mengendor pintu ini juga pasti ibu. Iya setiap hari dan setiap pagi sengaja aku menyiapkan putra semata wayangku ini untuk mengais rezeki. Setiap hari orang yang menyewa jasanya untuk di jadikannya bayi pengemis akan datang ke sini untuk menjemputnya dan mengembalikan pada kami saat menjelang petang. Biasanya aku yang memandikannya setiap hari dan memberikannya sarapan sebelum di berangkat mengais rezeki. Aku juga sengaja hanya memandikannya dengan mengguyurnya mengunakan air saja dan tanpa membalurkan sabun pada tubuh kecilnya. Sengaja agar penampilannya semakin pari purna saat ikut orang yang menyewanya untuk meminta-minta. Aslinya anak tersebut memiliki fisik yang rupawan juga kulit yang bersih bak artis iklan sampo bayi yang ada di TV-TV. Namun seiring dengan berjalannya waktu bayi kecilku itu harus totalitas dalam perannya. Sehingga kami dengan sengaja membuatnya sedemikian agar semakin banyak orang yang bersimpati padanya.

"Iya, Bu, sebentar. Ini Rudi juga baru bangun." Rasa capek yang mendera badan ini belum sepenuhnya luruh. Tetapi rasanya aku sudah tertidur begitu lama. Disaat mata ini menoleh ke samping telat di mana bayi kecilku tertidur pulas. Wajah kecilnya menampilkan garis lengkung tepat di bibirnya. Seperti damai sekali tidur si Zaki seperti tanpa beban saja. Berbeda denganku. Aku terasa memikul beban yang sangat berat saja. Padahal tugas pencarian nafkah telah digantikan oleh istri dan anakku. Tidurpun terasa gelisah belum pernah aku mendapatkan ketenangan hidup. Ada yang aneh dengan Zaki-ku. Kenapa semakin lama aku memandanginya semakin tidak karuan rasa di dalam sini. Segera ku pegang pipi lusuhnya yang dulu sempat tembem itu. Dingin, dingin seperti es yang telah mencair. Segera ku raih badan kecil yang ada di hadapanku ini. Zaki, Zaki-ku tidak sedikitpun merespon bahkan untuk mengeliat seperti yang biasa di lakukannya. Ada apa dengan Zaki-ku?

"Ibu, Bu. Cepat masuk, Bu!" teriakku sekeras mungkin karena rasa khawatir yang teramat besar mendera dada ini. Degup jantungku aku tidak bisa mengontrolnya. Tanganku yang memegangi tubuh kecil ini bergetar entah kenapa.

Cklek...

Kriet....

Suara handel pintu kamar dan di susul terbukanya daun pintu itu.

"Kenapa si Rud, kamu ini teriak-teriak seperti orang kesetanan saja!" sungut ibuku yang baru saja menyembul dari balik pintu.

"Bu, cepat sini. Ini coba lihat Zaki! Zaki tidak mau bangun dan juga tidak merespon Rudi. Sedari tadi Rudi sudah coba bangunin Zaki. Namun anak ini juga masih tetap memejamkan matanya." Aku menunjuk pada arah Zaki yang masih terlelap dengan senyum yang menghiasi wajah pucatnya.

"Sini biar ibu yang bangunin." segera ibuku mengulurkan tangannya untuk meraih tubuh kecil Zaki. Jika bayi yang pada umumnya berbobot 12kg sampai 13kg. Maka berbeda jauh dengan Azka. Bayi tersebut hanya memiliki bobot kurang dari 10kg. Sejauh ini, hanya beberapa kali saja Zaki mengikuti posyandu. Itupun sewaktu ibunya masih belum berangkat menjadi TKW. Selepas kepergian ibunya, aku dan juga keluargaku lainnya sengaja abai, melalaikan apa yang seharusnya menjadi amanah untuk kami. Hanya uang dari ibu Zaki yang kami nikmati. Namun bayi kecil yang harusnya mendapatkan banjiran kasih sayang dari kedua orangtuanya terutama seorang ibu karena usianya yang masih harus ASI, tidak sempat ia rasakan seperti anak-anak lain yang seusianya. Justru oleh keluargaku, bayi Zaki di jadikan sebagai tulang punggung pula seperti ibunya. Sengaja kami menjadikan Zaki bayi sewaan untuk para peminta-minta yang membutuhkan jasanya untuk mendapatkan simpati dan belas-kasihan dari banyak orang. "Ya ampun, Rud. Apa yang sudah kamu lakukan dengan anak in? Apa dari semalam kamu belum kasih dia obat penurun panas?" selidik ibuku dengan raut yang tak kalah khawatirnya dengan diri ini.

"Maksud ibu apa?" Aku semakin khawatir atas ucapan ibuku.

"Anak ini belum kamu kasih obat dari semalam?" Ibu mengulang kembali pertanyaannya.

"Sudah, Bu. Rudi sudah kasih obat yang biasa kita minumkan untuk dia."

"Terus kenapa anak ini masih belum juga bangun dan dia juga tidak mau bergerak sama sekali?"

"Rudi juga gak tahu, Bu. Kemaren karena terus rewel, di tambah ibu dan Eni yang terus mengomel. Makanya Rudi kasih anak ini minum obat lebih dari biasanya. Biar cepat anteng dan gak rewel lagi. Rudi juga capek gak ada yang gantiin gendong." ucapku sedikit kesal karena sedari kemarin ibuku ini sangat abai padaku juga bayiku.

"Kok malah kamu nyalain ibu, sih!" Ibuku tidak terima dengan ucapanku yang menyalahkan atas sikapnya.

"Iya, tapi itu benar adanya kan?" sungutku. "Terus kalau Zaki masih seperti ini, apa ibu tega memaksanya untuk tetap ikut turun ke jalan?"

"Ya, mau bagaimana lagi. Kita juga kan butuh makan. Sementara yang berpenghasilan kan cuma anakmu ini. Lagian salah ibunya juga. Kenapa juga gak kirim-kirim uang lagi sama kita. Kamu jangan mau di bodohi sama istrimu itu. Biarkan saja Zaki tetap ikut. Lagian kasihan, orang yang biasanya sudah nungguin lama di depan. Lumayan juga dia ngasihnya. Bisa beli ayam sama telur nanti di warung." Lagi-lagi ibu masih menyalahkan ibunya Zaki mengenai kondisi ekonomi kami saat ini. Tapi ada benarnya juga ucapan ibuku ini. Semua salah Rani karena telat kirim uangnya. Sedangkan kami yang di sini juga butuh hidup dan makan juga.

Akhirnya setelah sempat berunding dengan ibu. Kami memutuskan agar zaki tetap ikut turun ke jalan seperti biasanya. Lagian dia juga nampak anteng saja. Aku yakin nanti juga ia akan pulih seperti biasanya lagi. Dan aku tidak perlu dibuatnya repot lagi karena harus mengendong untuk menenangkan rewel dari tangisnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
for you
keluarga laknat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status