Setelah sekian lama akhirnya tangis si Zaki rendah juga. Namun dengan seiring redahnya tangisan tersebut, badan Zaki yang semula panas berangsur turun tapi bibir mungilnya semakin biru dan warna kulitnya terlihat memucat. Tak ingin pikir panjang lagi. Segera bayi ini aku turunkan ke atas kasur dari yang semula berada pada gendonganku. Badanku juga terasa sangat lelah, ingin secepatnya merebahkan diri ini di sebelah putra kecilku. Semoga saja dia baik-baik saja. Dan bisa beraktivitas seperti biasanya agar dia bisa kembali menghasilkan uang lagi untuk kami. Walau bagaimanapun dia adalah tulang punggung bagi kami setelah ibunya. Dari hasilnya yang setiap hari ia dapat itu uang membantu menutupi kebutuhan dapur rumah ibuku.
Brak... Brak...Brak...!Mata ini masih sangat mengantuk, tetapi telinga ini sangat terganggu dengan suara pukulan pintu yang aku yakin itu suara dari pintu kamar yang aku tempati ini."Rud, Rudi. Cepat bangun. Itu di depan sudah di tungguin penyewa Zaki!" tak salah lagi. Itu benar suara teriakan dari ibu dan yang tadi mengendor pintu ini juga pasti ibu. Iya setiap hari dan setiap pagi sengaja aku menyiapkan putra semata wayangku ini untuk mengais rezeki. Setiap hari orang yang menyewa jasanya untuk di jadikannya bayi pengemis akan datang ke sini untuk menjemputnya dan mengembalikan pada kami saat menjelang petang. Biasanya aku yang memandikannya setiap hari dan memberikannya sarapan sebelum di berangkat mengais rezeki. Aku juga sengaja hanya memandikannya dengan mengguyurnya mengunakan air saja dan tanpa membalurkan sabun pada tubuh kecilnya. Sengaja agar penampilannya semakin pari purna saat ikut orang yang menyewanya untuk meminta-minta. Aslinya anak tersebut memiliki fisik yang rupawan juga kulit yang bersih bak artis iklan sampo bayi yang ada di TV-TV. Namun seiring dengan berjalannya waktu bayi kecilku itu harus totalitas dalam perannya. Sehingga kami dengan sengaja membuatnya sedemikian agar semakin banyak orang yang bersimpati padanya."Iya, Bu, sebentar. Ini Rudi juga baru bangun." Rasa capek yang mendera badan ini belum sepenuhnya luruh. Tetapi rasanya aku sudah tertidur begitu lama. Disaat mata ini menoleh ke samping telat di mana bayi kecilku tertidur pulas. Wajah kecilnya menampilkan garis lengkung tepat di bibirnya. Seperti damai sekali tidur si Zaki seperti tanpa beban saja. Berbeda denganku. Aku terasa memikul beban yang sangat berat saja. Padahal tugas pencarian nafkah telah digantikan oleh istri dan anakku. Tidurpun terasa gelisah belum pernah aku mendapatkan ketenangan hidup. Ada yang aneh dengan Zaki-ku. Kenapa semakin lama aku memandanginya semakin tidak karuan rasa di dalam sini. Segera ku pegang pipi lusuhnya yang dulu sempat tembem itu. Dingin, dingin seperti es yang telah mencair. Segera ku raih badan kecil yang ada di hadapanku ini. Zaki, Zaki-ku tidak sedikitpun merespon bahkan untuk mengeliat seperti yang biasa di lakukannya. Ada apa dengan Zaki-ku?"Ibu, Bu. Cepat masuk, Bu!" teriakku sekeras mungkin karena rasa khawatir yang teramat besar mendera dada ini. Degup jantungku aku tidak bisa mengontrolnya. Tanganku yang memegangi tubuh kecil ini bergetar entah kenapa.Cklek...Kriet....Suara handel pintu kamar dan di susul terbukanya daun pintu itu."Kenapa si Rud, kamu ini teriak-teriak seperti orang kesetanan saja!" sungut ibuku yang baru saja menyembul dari balik pintu."Bu, cepat sini. Ini coba lihat Zaki! Zaki tidak mau bangun dan juga tidak merespon Rudi. Sedari tadi Rudi sudah coba bangunin Zaki. Namun anak ini juga masih tetap memejamkan matanya." Aku menunjuk pada arah Zaki yang masih terlelap dengan senyum yang menghiasi wajah pucatnya."Sini biar ibu yang bangunin." segera ibuku mengulurkan tangannya untuk meraih tubuh kecil Zaki. Jika bayi yang pada umumnya berbobot 12kg sampai 13kg. Maka berbeda jauh dengan Azka. Bayi tersebut hanya memiliki bobot kurang dari 10kg. Sejauh ini, hanya beberapa kali saja Zaki mengikuti posyandu. Itupun sewaktu ibunya masih belum berangkat menjadi TKW. Selepas kepergian ibunya, aku dan juga keluargaku lainnya sengaja abai, melalaikan apa yang seharusnya menjadi amanah untuk kami. Hanya uang dari ibu Zaki yang kami nikmati. Namun bayi kecil yang harusnya mendapatkan banjiran kasih sayang dari kedua orangtuanya terutama seorang ibu karena usianya yang masih harus ASI, tidak sempat ia rasakan seperti anak-anak lain yang seusianya. Justru oleh keluargaku, bayi Zaki di jadikan sebagai tulang punggung pula seperti ibunya. Sengaja kami menjadikan Zaki bayi sewaan untuk para peminta-minta yang membutuhkan jasanya untuk mendapatkan simpati dan belas-kasihan dari banyak orang. "Ya ampun, Rud. Apa yang sudah kamu lakukan dengan anak in? Apa dari semalam kamu belum kasih dia obat penurun panas?" selidik ibuku dengan raut yang tak kalah khawatirnya dengan diri ini."Maksud ibu apa?" Aku semakin khawatir atas ucapan ibuku."Anak ini belum kamu kasih obat dari semalam?" Ibu mengulang kembali pertanyaannya."Sudah, Bu. Rudi sudah kasih obat yang biasa kita minumkan untuk dia.""Terus kenapa anak ini masih belum juga bangun dan dia juga tidak mau bergerak sama sekali?""Rudi juga gak tahu, Bu. Kemaren karena terus rewel, di tambah ibu dan Eni yang terus mengomel. Makanya Rudi kasih anak ini minum obat lebih dari biasanya. Biar cepat anteng dan gak rewel lagi. Rudi juga capek gak ada yang gantiin gendong." ucapku sedikit kesal karena sedari kemarin ibuku ini sangat abai padaku juga bayiku."Kok malah kamu nyalain ibu, sih!" Ibuku tidak terima dengan ucapanku yang menyalahkan atas sikapnya."Iya, tapi itu benar adanya kan?" sungutku. "Terus kalau Zaki masih seperti ini, apa ibu tega memaksanya untuk tetap ikut turun ke jalan?""Ya, mau bagaimana lagi. Kita juga kan butuh makan. Sementara yang berpenghasilan kan cuma anakmu ini. Lagian salah ibunya juga. Kenapa juga gak kirim-kirim uang lagi sama kita. Kamu jangan mau di bodohi sama istrimu itu. Biarkan saja Zaki tetap ikut. Lagian kasihan, orang yang biasanya sudah nungguin lama di depan. Lumayan juga dia ngasihnya. Bisa beli ayam sama telur nanti di warung." Lagi-lagi ibu masih menyalahkan ibunya Zaki mengenai kondisi ekonomi kami saat ini. Tapi ada benarnya juga ucapan ibuku ini. Semua salah Rani karena telat kirim uangnya. Sedangkan kami yang di sini juga butuh hidup dan makan juga.Akhirnya setelah sempat berunding dengan ibu. Kami memutuskan agar zaki tetap ikut turun ke jalan seperti biasanya. Lagian dia juga nampak anteng saja. Aku yakin nanti juga ia akan pulih seperti biasanya lagi. Dan aku tidak perlu dibuatnya repot lagi karena harus mengendong untuk menenangkan rewel dari tangisnya."Cepat kamu ganti baju Zaki dengan baju yang biasanya!" titah ibu memintaku segera mengganti baju Zaki dengan pakaian yang sudah Kumal dan bisa di bilang layaknya kain serbet."Iya, Bu, bentaran. Ini Rudi masih nyari gantinya. Yang kemaren kan belum sempat di cuci." Aku berada di depan keranjang pakain tempatku menyimpan baju ganti untuk Zaki. Hampir diri ini belum pernah membelikannya pakaian yang layak. Selama ini, pakaian yang di kenakan oleh Zaki adalah pemberian dari mbak Lestari, dan pakaian itu merupakan baju bekas dari anaknya. Dari pada tidak di pakai kan lebih baik di gunakan boleh Zaki. Jadi bisa mengirit uang jatah hanya sekedar untuk membeli baju untuknya. Toh Rani juga tidak akan tahu. "Halah, kamu itu kelamaan. Mending juga kamu ganti dengan pakaian yang kemarin saja. Emang siapa juga yang mau nyuci." Ibu segera mengambil baju yang tergantung di balik daun pintu kamar ini, yang kemarin di pakai oleh Zaki. Benar juga ucapan ibu, aku juga tidak punya waktu untuk mencuci
"Kami mohon maaf sebelumnya, Pak. Anak bapak sudah tidak dapat terselamatkan. Sepertinya Anak ini sudah beberapa waktu yang lalu meninggalnya. Apa anda atau ibunya tidak ada yang mengetahuinya kalau anak anda ini telah tiada?" ucapan dari seorang petugas medis dengan menatap selidik pada ku juga ibuku. Tentu saja aku sangat kaget dengan berita yang baru saja di sampaikan petugas perempuan tersebut. Bagaimana mungkin sakit panas yang semalam bisa sampai membuat nyawa dari anak semata wayangku ini melayang. Sedari pagi sebelum ia ikut penyewanya dia baik-baik saja. Dan waktu aku beri minum obat seperti biasanya juga dia menurut saja. Tidak mungkin juga karena telat makan. Karena aku kesiangan dan ibuku juga lupa untuk membuatkan makanan untuknya. Hanya air gula sebagai pengganjal sebelum Zaki aku beri minum obat agar dia tidak rewel pada waktu ikut penyewanya."Ba--bagaimana mungkin anak saya bisa meninggal, Sus? Anak saya ini hanya sakit panas saja kemarin." Aku mencoba menjelaskan ba
Akhirnya keuangan kami sudah lebih membaik dari sebelumnya. Ternyata sangat mudah untuk bisa mendapatkan sejumlah uang dari menjaminkan surat motor. Aku kira uang sebesar sepuluh juta dari dua surat motor yang ku gadai paling tidak cukup untuk satu mingguan ke depan. Aku harus segera menemui Lasmi. Aku sudah rindu dengan dirinya. Aku tahu dia pasti masih marah karena aku sempat memenuhi permintaannya. Aku akan memberikannya kejutan. Karena hari pernikahan kami pula sudah semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari. Kami akan segera mempersiapkan pernikahan kami."Huek..., huek..., huek...," saat kaki ini hendak melangkah keluar kamar tiba-tiba terdengar suara seperti orang mabuk. Aku segera keluar kamar untuk mengecek sumber suara tersebut. Dan benar saja Eni yang ku dapati sedang bersama dengan ibuku, yang mana ibu sedang memijat pundak adik bungsuku."Eni kenapa, Bu?" tanyaku sambil menyelidik ke arah perempuan yang berstatus adik bagiku."Ibu juga gak tahu. Palingan juga masuk an
'Ini baru awal. Akan ada hal yang tidak akan pernah kalian duga sebelumnya. Aku pastikan kalian akan membayarnya tuntas dan jauh lebih mahal dari setiap tetes keringat dan air mataku juga putraku!' gumam Rani dalam hati setelah membaca pesan yang beberapa waktu lalu yang masuk di aplikasi hijau miliknya. "Aku akan memulai permainan ini, semoga kalian bisa menikmati setiap permainan yang kita perankan masing-masing." Rani berucap sambil tersenyum miring.[Iya, Mbak. Terimakasih atas informasinya. Nanti akan aku kabari lagi.] balasan pesan dari Rani untuk seseorang.Benar-benar sudah mati hati nurani suami dan keluarganya. Ternyata selain mereka menipu dan memanfaatkanku. Mereka juga telah ingkar untuk menjaga dan merawat darah dagingku. Mereka tega berbuat ke*i pada bayi sekecil itu. Dan sangat aku herankan kenapa sebagai seorang ayah, mas Rudi justru membiarkan bahkan lebih ke arah mendukung dan ikut mendukung Menikmati.[Assalamualaikum.][Maaf, apa benar pemilik akun ini adalah Mah
Aku mulai menyusun rencana. Tentu saja untuk menjalankan rencanaku ini, aku membutuhkan bantuan seseorang. Untung saja dengan tangan terbuka mbak Yani menawarkan serta dengan sepenuh hati akan membantuku untuk menuntut keadilan bagiku juga Zaki.Sebenarnya setelah mendapatkan pesan pertama dari Mbak Yani. Aku sudah memutuskan untuk segera kembali ke tanah air. Namun majikan-ku menyayangkan akan keputusan yang aku ambil. Katanya lebih baik aku sedikit bersabar dan satu bulan lagi masa kontrakku sudah habis karena saat ini hanya melanjutkan kontrak yang sebelumnya.Namun setelah mendapatkan pesan yang berikutnya, lebih tepatnya beberapa hari yang lalu mengenai keadaan Zaki. Aku tidak pikir panjang lagi. Aku segera menemui majikan-ku dan menceritakan semua yang tengah terjadi di tanah air. Karena dasarnya mereka tipe orang yang berhati baik dan menghargai orang lain. Mereka pun mengijinkan bahkan jika terjadi sesuatu aku mereka tidak akan segan-segan untuk menolongku. Esok harinya kedua
Aku yakin saat ini mas Rudi dan keluarganya bakal gelabakan tanpa uang kiriman dariku. Selama ini mereka hidup dan bersenang diatas penderitaanku. Aku yang banting tulang, tapi mereka yang memanen hasilnya. Bodohnya aku. Sejak mendapatkan pesan dari Mbak Yani waktu itu. Saat itu pula aku mulai tidak menanggapi pesan-pesan yang mereka kirimkan ke nomerku. Aku juga menghentikan mengirimi mereka uang hasil jerih payah-ku. Sengaja memang. Daripada mereka yang menikmati hasil jerih payah-ku mendingan aku simpan sendiri untuk masa depanku. Aku ingin menjadikannya modal usaha dan juga mbeli sebidang tanah untuk aku bangun rumah sebagai tempat tinggalku nanti.Mendengar penuturan dan cerita dari Mbak Yani mengenai masalah yang sedang terjadi di dalam rumah ibu mertuaku. Aku jadi kepikiran dan menyusun rencana bersama dengan saudari ipar dari suamiku itu. Masalah keuangan yang tentu saja sedang mereka alami saat ini. Sering kali mbak Yani mendengar yang mereka keluhkan adalah uang dan uang se
"Bu, Eni mau ngomong penting." ucap Eni yang baru saja keluar dari kamarnya dan mendekat pada ibunya yang sedang duduk dan menikmati acara kesukaannya di televisi. Setelah ia mendapatkan balasan dari Yani atas story WA yang di updatenya pagi tadi."Mau bicara apa kamu? Bicara saja." balas Bu Ningsih dengan pandangan masih tidak lepas dari layar kaca yang ada di depannya."Ini masalah serius, Bu. Demi masa depanku juga keluarga ini." sambil beranjak dan mendekatkan dirinya pada sang ibu."Iya, buruan mau ngomong apa.""Ibu, matiin dulu deh TV nya." tukas Eni sambil mengambil paksa remot kontrol yang ada di tangan ibunya."Kamu apa-apaan sih, En." sungut ibunya. "Habisnya ibu sih, aku ngomong serius tapi ibu fokusnya ke TV.""Bu, Eni mau bilang. Kalau Eni sudah nemuin jalan keluar untuk masalah kita." ujarnya di sertai senyum sumringah."Maksud kamu jalan keluar apa?" Bu Ningsih menatap serius pada putrinya." Gimana kalau kita gadaikan surat tanah dan rumah ini untuk menyanggupi permi
"Ah, si*l!" rutukku. Baru juga bisa terhubung kembali dengan Rani. Kini nomer tersebut sudah tidak bisa aku hubungi lagi. Atau mungkin di sengaja olehnya."Bang, kamu ini apa-apaan, sih. Teriak-teriak gak jelas. Lho, ibu kemana? Bukannya tadi mau ngomong penting sama kamu, Bang?""Pentingnya buat kamu." jawabku kesal sambil menatap tajam pada Eni."Ini penting untuk kita semua. Kalau gak gara-gara mbak Rani kita pasti tidak akan kelimpungan seperti ini, Bang." sungutnya."Gak usah bawa-bawa Rani, kamu. Kalau kamu gak ngelakuin hal bo**h pasti kita gak akan buang-buang duit banyak cuma buat bayar orang yang mau nikah sama kamu. Mending buat aku modal nikah sendiri sama si Lasmi." tukasku."Kamu itu saudara laki-lakiku satu-satunya yang aku punya. Jadi sudah kewajiban kamu itu, Bang.""Gimana, kamu setuju kan, Bang buat jaminin surat rumah ini untuk mengambil pinjaman. Lumayan lho kata temenku kita bisa dapat pinjaman 200 juta dari surat tanah dan rumah ini. Itu bisa kita bagi dua. Dan