Rumi kembali melangkah. Air matanya seolah tak ingin surut hingga detik ini. Hatinya terlalu berat untuk pergi karena cinta yang masih tertinggal di sini.
'Entah siapa dalang dari semua ini.' Batih Rumi menebak-nebak siapa yang membencinya di rumah ini, namun ia tak menemukan alasan. Di rumah ini hanya ada mereka bertiga. Akbar, dirinya, dan Astuti—ibu mertuanya. Apakah ini ulah Astuti? Rumi menggeleng cepat. Perempuan paruh baya itu begitu menyayanginya. Tak pernah ia dapati perempuan itu berlaku tak pantas terhadapnya. 'Mungkinkah ini ulah Laras?' batinnya kembali berbisik. Nama yang timbul di kepalanya saat ini membuatnya tak mampu untuk menepisnya. Laras adalah mantan istri suaminya, dan satu-satunya orang yang begitu membenci Rumi yang Rumi tahu. Namun, bagaimana Laras bisa melakukannya, sedangkan kunci rumah hanya ada pada Akbar, mertuanya, serta dirinya sendiri. 'Rasanya Mama tak mungkin bersekongkol dengan Laras?' Rumi menepis dugaannya. Ia sangat paham jika Astuti tidak begitu menyukai Laras bahkan sejak Laras masih sah berstatus istri Akbar. Yang Rumi tau, Laras istri yang kurang menghargai suami, lebih lagi ia pernah ketahuan berselingkuh saat masih bersama Akbar. Sebaliknya, mertuanya itu begitu menyayangi Rumi. Astuti dan Rumi tak ubah ibu dan anak. Jika orang tidak mengenali mereka, pasti akan mengira Astuti dan Rumi adalah anak dan ibu kandung. Meski wajah mereka tidak mirip, tapi keduanya tampak sangat akrab. Bergegas Rumi mengusir bayangan Laras, khawatir jatuhnya fitnah seandainya Laras sama sekali tak melakukan apa yang ia pikirkan. 'Kalau bukan Laras siapa lagi?' Lagi dan lagi, Rumi kesulitan mengenyahkan bayangan perempuan berambut sebahu itu.. Sejak awal ia menikah dengan Akbar, Laras sudah menampakkan rasa benci pada Rumi karena Laras masih sangat mencintai Akbar. Mendung bergelayut manja. Rintik hujan perlahan mulai turun, menciptakan malam yang kian terasa suram. Rumi kini melangkah pergi, meninggalkan sejuta kenangan indah yang enam bulan terakhir ia rasakan. * Malam kian beranjak ke tengah. Rintik gerimis mulai turun ke bumi. Desau angin malam berbisik lirih di telinga Rumi, menyapu kerudung lebar pembungkus kepalanya. Wajah Rumi masih sembab, meski air mata mulai bisa ia hentikan. Kakinya terus melangkah menjauh dari kenangan manis yang kini membuat sesak dadanya. Entah ke mana ia akan pergi. Rumi tak tahu pasti. Terbersit ingin kembali ke rumah di mana ia dibesarkan dulu. Namun, ia sadar jika telah melupakan sesuatu. Rumi terdiam ketika melewati deretan ruko penjual makanan yang masih terbuka. Memorinya berputar mengingat ponsel miliknya yang tengah mengisi daya di atas meja TV, lalu beralih pada dompet yang ia letakkan di lemari pakaian bagian atas. Ia menyadari jika dua benda penting itu kini tak satupun ia bawa. Tanpa benda itu ia merasakan langkahnya semakin tak terarah. Terniat ingin kembali, sekedar mengambil benda penting itu. Namun, ia kembali mengurungkan niatnya. Kembali bertemu Akbar hanya akan membuat hatinya akan semakin luka. Hilangnya kepercayaan di hati laki-laki itu terhadapnya, membuat Rumi tak ingin terlihat seperti pengemis yang mengharapkan belas kasih mantan suaminya itu. Jika saja Akbar tak mengusirnya malam ini, Rumi akan memilih tetap tinggal sampai Akbar sedikit lebih sabar dan bisa memutuskan semuanya dengan kepala dingin. Namun, semua berbeda ketika Akbar mengusirnya dengan tanpa rasa iba. Cukup lama ia mematung di sisi jalan. Memikirkan ke mana kakinya akan melangkah. Rumi ingin pergi sejauh mungkin dari kehidupan Akbar, hingga seumur hidup ia tak pernah lagi bertemu mantan suaminya itu. "Mau ke mana, Dek?" tanya seorang laki-laki bertampang sangar yang kini duduk di atas motor, di parkiran sebuah ruko yang sudah tutup. Rumi bergidik ngeri, sedetik setelahnya segera berlalu. Ia melangkah tak tentu arah sambil menenteng tas berisi pakaian seadanya, yang terpenting sekarang adalah terbebas dari tatapan menyeringai laki-laki itu. Rintik hujan kini berubah menjadi tetesan-tetesan berukuran besar, hingga menciptakan suara yang memekakkan telinga. Rumi menghambur ke teras salah satu ruko yang sudah tertutup di sisi jalan, berlindung agar tak basah. Di sampingnya terdapat sebuah apotik yang masih terbuka. Bermenit-menit menunggu, hujan tak kunjung reda. Namun, malam kian berjalan ke tengah, membuat Rumi tak bisa berdiam diri di tempat ini. Baru saja ia akan melangkah, ketika suara yang sama kembali terdengar dari arah belakang. "Mau ke mana, Cantik?" Laki-laki yang tadi ternyata masih mengikutinya hingga sekarang dengan menggunakan motor. Rumi menoleh dengan tubuh menggigil, dingin malam di bawah guyuran hujan kini menyatu dengan rasa takut yang luar biasa. Rumi berusaha menghindar dengan berjalan setengah berlari untuk menjauh, tatapannya fokus ke depan dengan napas memburu. Suara langkah kaki terus mengejarnya, menambah rasa takut yang sedari tadi menyiksanya. Baru beberapa meter melangkah, dengan cepat tubuh Rumi ditarik ke belakang. Sedang sebelah tangan kekar membekap mulutnya dengan kuat. Tenaga yang kian terkuras karena lelah dan takut, membuat Rumi tak mampu memberikan perlawanan berarti. Berjam-jam menghabiskan tenaga dengan berjalan kaki membuat tubuhnya kian lemah. Susah payah Rumi melakukan perlawanan ketika tubuhnya diseret memasuki sebuah lorong kecil. Namun, hasilnya ia semakin kehabisan tenaga. Buk! Buk! Entah dari mana suara itu berasal, yang pasti Rumi tak merasakan tubuhnya membentur sesuatu. Yang ia rasakan bekapan di mulutnya terlepas, serta cekalan tangan kekar itu melonggar. Pukulan tangan di bagian tengkuk, membuat laki-laki itu terjengkang. Pegangan tangannya pada lengan Rumi ikut terlepas. Dalam hitungan detik kemudian pingsan. Rumi terjerembab ke tanah. Rumi berusaha bangkit untuk duduk dengan sisa tenaga yang ia punya. Melihat ke arah sosok laki-laki yang kini berdiri di bawah sinar temaram lampu jalanan. "Pergi dari sini!" seru laki-laki bertubuh jangkung itu pada Rumi. Susah payah Rumi bangkit. Tubuhnya kian gemetar karena dingin dan takut yang menguasai dalam waktu bersamaan. Ia beringsut meraih tasnya. Dalam keremangan sinar temaram, serta rinai hujan yang terus turun, Rumi berusaha mencari tahu seperti apa wajah laki-laki itu. Terlalu gelap hingga hanya bentuk hidung lancip dengan tubuh tinggi saja yang dapat ia tangkap. "Terima kasih," lirihnya dengan suara bergetar. Air matanya kembali tumpah. Ia tak tahu seperti apa bentuk wajah laki-laki itu. Yang ia tahu, ia tak ubah bak seorang malaikat penolong. Tanpa kehadirannya, Rumi tak tahu akan seperti apa sekarang, mungkin saat ini sedang menjadi pemuas nafsu laki-laki bajingan itu dan setelahnya ia akan dibuang, atau mungkin akan dilenyapkan. "Jangan keluyuran di malam buta seperti ini, banyak mata laki-laki bajingan yang tengah mengintai," ucap laki-laki itu sambil berbalik dan melangkah pergi. Bersambung ....Rumi bangkit dengan susah payah, dengan terseok-seok ia berusaha menyusul langkah laki-laki itu. Tas pakaian berukuran tidak terlalu besar di tangannya kini terasa begitu berat. "Bisakah kau menolongku?" tanya Rumi dengan suara bergetar. Kaki lemahnya terus melangkah meski sesekali ia hampir saja terjatuh. Rumi mengabaikan rasa malu yang biasa melekat pada dirinya. Untuk kali ini ia terlalu berani untuk melakukannya, karena merasa hanya laki-laki itu yang bisa ia harapkan. Laki-laki itu berbalik. Keduanya kini sudah berada di muka gang sempit, di samping mereka ruko-ruko berjejeran dan sudah tutup, satu-satunya yang tersisa hanya apotik yang buka 24 jam. "Bukankah tadi saya sudah menolongmu?" tanyanya dengan kedua tangan dimasukan ke saku celana. Rumi menunduk dalam ketika menemukan penolakan dari kalimat yang baru saja menembus gendang telinga. Namun, sesaat kemudian ia kembali mengangkat wajah, mengumpulkan keberanian untuk mengabaikan rasa malu dan tak nyaman di hatinya.
Rumi menatap lekat wajah bocah perempuan itu. Hatinya terenyuh melihat wajah mungil itu menatapnya dengan raut wajah sendu berubah jadi tangis.Rumi bangkit dari ranjangnya. Berjalan perlahan mendekati bocah itu. Senyum menguar lembut dari wajah teduh itu. "Ummi?" tanya Rumi dengan dahi berkerut. Ia tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, berusaha membuat bocah mungil itu untuk tak kecewa. Tanpa kata gadis mungil itu menghambur memeluk erat tubuh Rumi. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Rumi, lalu terisak dalam dekapan perempuan berhati lembut itu. "Ummi kenapa perginya lama? Kenapa perginya nggak ngajak Asya? Kenapa nggak pernah telepon Asya?"Deretan tanya dengan nada suara parau itu membuat Rumi membatu di tempat. Suasana hatinya yang memang sedang tidak baik-baik saja membuat mata perempuan itu seketika mengabur. Sesaat setelahnya bulir bening mengalir perlahan. Tangan Rumi mengusap lembut rambut lurus hitam pekat itu. Menikmati dekapan hangat tubuh mungil menguar ar
"Mbok Sumi kenapa nangis, Mbok?" tanya Asya dengan muka muram. Perempuan paruh baya itu berjongkok, memeluk erat tubuh Asya, sedang tangan Asya menggenggam erat tangan Rumi."Syukurlah, Non, Ummi akhirnya kembali. Jadi anak baik, ya, biar Ummi makin sayang," bisik Mbok Sumi dengan air mata kian deras. Rumi semakin tak paham. Namun, ia berusaha menerka apa yang sebenarnya terjadi. Mbok Sumi melerai pelukannya, bibirnya tersenyum lembut pada Asya, lalu melirik ke arah Rumi dengan wajah penuh harap. "Kenapa Ummi baliknya lama? Asya pasti kangen banget sama Ummi. Iya, kan, Sya?" tanya Mbok Sumi seraya menatap Rumi lekat. Asya mengangguk cepat sambil mengusap sisa air matanya yang terasa menggelitik wajah dengan sebelah tangannya. "Baiklah, sekarang mau ajak Ummi ke mana?" tanya Mbok Sumi sambil melempar senyum ke arah Asya. "Mau ajak Ummi buat ambil buku cerita di kamar Asya," jawabnya dengan binar bahagia. "Ya, sudah. Mbok mau beresin peralatan makan Ummi dulu, Nak. Asya baik-ba
Suasana berubah canggung, terlebih setelah Rumi menyadari jika ada orang lain selain mereka bertiga di ruangan ini. "Asya Sayang," ujar Rumi sambil mengusap lembut kepala Asya. Asya mendongak dengan bersimbah air mata. Ketakutannya akan kehilangan sosok ibu kembali menghantuinya setelah menyadari Rumi tak di sampingnya saat ia terbangun dari tidur. "Jangan tinggalin Asya lagi, Ummi," jawabnya sambil tersedu. Rumi melirik pada wajah renta itu, lalu tersenyum santun. Di belakang perempuan itu kini Mbok Sumi berdiri sambil memegangi handle kursi roda. "Asya dengar Ummi dulu," ujar Rumi lembut. "Asya boleh nangis, tapi jangan lama-lama, ya."Mendengar kalimat Rumi, Asya mengangguk cepat. Perlahan tangisnyapun mereda. "Boleh Ummi salaman saman Nenek?" tanya Rumi dengan suara berbisik, sambil melirik pada perempuan di kursi roda itu. "Itu Oma," ucap Asya disela isak tangisnya. "Oh, iya, ya, kenapa Ummi bisa lupa." Rumi menepuk jidatnya sendiri sambil terkekeh pelan. Asya terkekeh s
Ruang kamar berukuran empat kali lima meter yang dihuni Saraswati itu tampak begitu rapi. Sirkulasi udara pun tampak baik. Kamar yang berbatasan langsung dengan teras samping rumah itu terasa begitu nyaman untuk digunakan sebagai tempat istirahat. Di atas kursi rodanya Saraswati duduk dengan ekspresi wajah dingin, sedang di sisi tempat tidurnya Firdaus duduk sejak beberapa menit yang lalu dengan bibir terkunci. Laki-laki berambut ikal itu memilih diam sembari menunggu kalimat yang akan ditujukan sang ibu untuknya. Dua ibu dan anak itu memiliki karakter yang begitu mirip. Sama-sama acuh, lebih lagi terhadap orang yang baru dikenal. "Siapa perempuan itu?" tanya Saraswati setelah bermenit-menit hanya diam sambil menatap kosong dinding pembatas bercat biru muda di hadapannya. Beberapa detik tak ada jawaban. Firdaus berusaha mencari kalimat yang tepat sebagai jawaban, karena paham seperti apa karakter perempuan yang telah melahirkannya itu. Dingin dan pastinya tak gampang menerima keha
Firdaus menelan ludah getir. Membayangkan Rumi dari rumahnya sudah pasti akan membuat Asya bersedih, atau mungkin jauh lebih dari itu. "Kamu yakin?" tanya Firdaus dengan nada getir. Helaan nafas berat terdengar dari bibir Rumi. Tatapan mata sendunya luruh pada ujung kaki telajangnya. Sejujurnya ia pun merasa berat untuk pergi dari rumah ini, mengingat seberapa dekat Asya dengan dirinya. Namun, untuk tetap tinggal di sini pun rasanya tak mungkin, mengingat dirinya bukanlah siapa-siapa di rumah ini. Untuk meminta tetap tinggal di sini rasanya terlalu tak tahu diri, lebih lagi tiga hari keberadaannya di sini sikap dingin Firdaus membuatnya sedikit tak nyaman.Bukan, bukan ia berharap diperlakukan hangat, tapi setidaknya Firdaus bisa bersikap wajar padanya. "Aku sudah memikirkannya sejak beberapa hari lalu.""Apa yang kau temukan?" sambung Firdaus. Ada rasa ingin tahu yang kuat yang mendorongnya untuk bertanya demikian. "Entahlah, yang pasti aku tidak memiliki hak untuk tinggal lebi
Rumi merenggangkan pelukan ketika Asya sedikit lebih tenang. Kedua tangannya menyentuh lembut kedua bahu mungil dalam balutan lengan piyama berbahan satin itu. "Ummi di sini, Nak," bisiknya lembut dengan senyum manis. Firdaus membuang muka. Mata yang biasa tampak dingin kini terlihat mengembun. "Titip Asya, aku akan bersiap ke kantor lebih awal hari ini," ucapnya, lalu beranjak pergi tanpa menunggu persetujuan Rumi. Menyaksikan lebih lama cara Asya memperlakukan Rumi membuat hatinya kian gamang. Rumi hanya mampu menatap punggung lelaki jangkung itu yang kian mengecil. Sejujurnya ingin ia tanyakan tentang pekerjaan yang dijanjikan Firdaus semalam, mengingat hatinya tak nyaman jika lebih lama lagi tinggal di sini tanpa menghasilkan rupiah. Memang keseharian Rumi di sini ia habiskan untuk merawat Asya juga membantu Mbok Sumi beres-beres rumah. Hanya saja menurut Rumi selagi ia tidak bekerja di luar, maka tetap saja ia tak nyaman. Rasa mual yang tiba-tiba datang memaksa Rumi buru-bu
"Bu," panggil Mbok Sumi ketika Rumi tak kunjung beranjak. "Oh, i—iya, beliau di mana, Mbok?" tanya Rumi sedikit tergagap. "Di ruang TV, Bu.""Ya sudah, aku ke sana ya, Mbok."Rumi melangkah menuju ruang TV. Sepanjang langkah terayun ia menebak-nebak apa yang akan dibicarakan nyonya rumah ini padanya.Ruangan yang biasa dipakai untuk kumpul keluarga itu berukuran cukup luas karena menyatu dengan ruang makan serta taman kecil di sebelahnya. Tampak di sana Saraswati tengah menyaksikan berita di channel TV lokal. Perempuan itu segera mematikan TV setelah menyadari Rumi datang. "Ibu memanggil saya?" tanyanya santun. Perempuan beralis tebal serta bola mata hitam pekat itu tersenyum lembut. "Duduklah," ucap Saraswati ketika melihat Rumi hanya berdiri mematung di depannya. Wajah Saraswati tampak kaku. Entah karena efek sakit yang diderita, atau memang karakter, atau mungkin ada masalah. Rumi tak tahu. Rumi duduk di kursi sebelah kiri di ujung berbentuk L dengan Saraswati. Memilih duduk
Bergegas Rumi meneguk minumannya. Jujur saja, kalimat Firdaus barusan mampu membuatnya tersentak. Hati Rumi tergelitik untuk bertanya, apa yang diketahui laki-laki itu tentangnya lewat Mbok Sumi, hanya saja ia terlalu sungkan, hingga akhirnya Firdaus kembali bersuara. "Jangan banyak pikiran, supaya bayimu sehat. Jangan khawatirkan tentang tempat tinggal dan kehidupanmu selanjutnya. Jika kau bersedia, tetaplah tinggal di rumah itu dan menganggap Asya seperti anak kandungmu sendiri, meski kelak setelah kamu memiliki anak dari rahimmu sendiri." Suara Firdaus terdengar sedikit serak. Hatinya berdesir hebat setiap berada di dekat Rumi, meski sebenarnya jarak pemisah antara mereka berneter-meter. "Kurasa tidak terlalu baik jika kamu memilih untuk tinggal sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Lebih lagi aku tak tega melihat Asya kembali p atah hati untuk kesekian kalinya." Rumi hanya membeku. Tatapannya jatuh pada jemari yang melingkar di pinggang botol plastik di tangannya. Fird
"Apa maksudmu?" Firdaus bertanya dengan kepala setengah tertunduk. Rumi tak langsung menjawab, memilih diam beberapa saat. "Beristirahatlah di rumah, Pak. Bapak sudah sangat lelah setelah seharian bekerja, lebih lagi dalam keadaan berpuasa." Rumi berucap sepelan mungkin, berharap kalimatnya tak menyinggung perasaan Firdaus. Firdaus terdengar mendesah pelan. "Tolong jangan memintaku untuk pulang malam ini. Keadaanmu masih belum pulih, dan di sini tak ada siapapun yang menemanimu." Firdaus berucap dengan tatapan luruh di atas lantai berkeramik senada dengan warna dinding ruangan. "Maaf sebelumnya jika perkataanku membuat Bapak tak nyaman, tapi inilah adanya, kita adalah dua orang asing yang tak seharusnya berada dalam ruangan yang sama sepanjang malam, ucap Rumi dengan kepala kian tertunduk. Jujur lidahnya begitu berat untuk mengucapkan kalimat barusan, hanya saja hatinya mengatakan jika ia harus berani. "Jika memang kamu keberatan aku berada di sini, aku akan tidur di mushola
Suasana canggung di ruang rawat Rumi terus saja terasa semenjak pertemuan Asya dan Firdaus sejak satu jam lalu. Bahkan hingga kini, saat Firdaus mengajak Asya untuk kembali ke rumah, gadis kecil itu kembali melayangkan protesnya terhadap sang ayah. "Abi kenapa pulang? Terus siapa yang nungguin Ummi di sini kalau Abi pulang sekarang?" Asya menatap ke arah Firdaus dengan mata menyipit, merasa tak terima dengan ajakan sang ayah. Firdaus berjongkok di depan sang anak, dua tangannya menyentuh bahu Asya pelan. "Sayang, Abi butuh istirahat karena besok harus kerja. Ummi di sini sama Mbok Sumi. Asya juga besok harus sekolah, jadi sekarang kita pulang dulu, ya. Kan, besok sepulang sekolah masih bisa jenguk Ummi ke sini." Firdaus berusaha membujuk sang anak, meski hasilnya masih sama. "Nggak mau, Asya mau nemenin Ummi di sini. Asya nggak mau nanti Ummi pergi lagi." Asya mengerucutkan bibirnya, kali ini matanya tampak berkaca-kaca dengan kedua tangan saling meremas satu sama lain. Fird
Penunjuk waktu di dinding kamar bercat putih itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Rumi perlahan membuka matanya. Ia baru saja sadar dari pingsannya. Spontan tangan Rumi mengusap lembut perutnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan. Ruangan yang tampak tak biasa menurutnya. Kini tatapan mata Rumi terhenti pada laki-laki yang tengah duduk di samping nakas, laki-laki yang kini fokus ke layar ponsel di tangannya. Rumi merasakan lidahnya kelu untuk sekedar menyapa, hingga akhirnya ia lebih memilih berusaha bangkit meski dengan selang infus di tangan serta tubuh lemasnya. "Kamu sudah bangun?" Firdaus segera mematikan ponselnya ketika sadar Rumi tengah susah payah untuk duduk, meski ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Rumi hanya menjawab dengan senyum kecut. Jujur, ia tak nyaman karena terus merasa merepotkan Firdaus. "Istirahat aja dulu. Sebentar lagi Asya akan datang," lanjut Firdaus sambil mendekatkan kursinya ke ranja
Rumi masih berkutat dengan pekerjaannya ketika ponsel berdering. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. "Assalamualaikum," ucapnya santun, terlebih setelah tahu siapa sang penelepon. "Maaf, siang ini saya banyak kerjaan, jika tidak keberatan nanti sore sepulang kantor saya tunggu di ruang kerja saya," ucap laki-laki dari seberang sana dengan suara pelan. Siapa lagi kalau bukan Firdaus, laki-laki yang akhir-akhir ini menunjukkan perhatiannya pada Rumi. "Baik, Pak," jawab rumit singkat. Ritme jantungnya berubah cepat setelah menerima telepon dari laki-laki itu. Bukan cinta, melainkan rasa kagum sekaligus hormat. Rumi cukup paham pembicaraan seperti apa yang dimaksud Firdaus. Apalagi kalau bukan tentang dirinya yang tengah berbadan dua, dan tentunya Asya juga. Ketakutan selalu hadir di hatinya ketika berbicara tentang masa depannya. Ia khawatir antara Asya dan calon buah hatinya salah satunya akan ada yang terabaikan. Dan Rumi tak ingin itu terjadi. * Sepanjang siang hingg
Rumi hanya mematung di tempatnya berdiri. Tak bisa menjawab apa-apa selain diam dengan suasana hati mengharu biru. Tak tahu lagi kalimat seperti apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Akbar maupun keluarganya. Perlakuan mereka persis bak malaikat penolong bagi Rumi. Melihat Rumi hanya diam, Akbar akhirnya kembali ke mobil dan mengambil plastik pembungkus barang belanjaan yang dibeli di minimarket bersama Asya tadi. "Ini. Jangan lupa diminum," ucap Akbar dengan nada pelan. Sejujurnya ia ingin berbicara dengan bahasa lebih akrab lagi, hanya saja sikap Rumi yang selalu menjaga jarak membuatnya sadar tentang kedudukannya di hati perempuan itu. "Terima kasih," ucap Rumi akhirnya. Ia meraih pemberian Akbar lalu membawanya masuk rumah tanpa berkata-kata. * Dua bulan berlalu kepergian Rumi dari rumah Akbar. Namun, ingatannya tentang Akbar masih begitu lekat di kepala. Kerap kali ia berusaha mengenyahkan kenangan tentang mantan suaminya itu, sayangnya, hati kecilnya tak
"Sayang, bisa nggak kita bahas yang itu lain waktu? Sekarang udah Magrib, mendingan kita langsung pulang aja, ya," ucap Firdaus akhirnya. Asya nampak murung karena pertanyaan yang sudah sejak tadi ia lontar tak kunjung menemukan jawaban. "Iya, Nak, kita pulang dulu, ya. Kasihan Oma di rumah sendirian," ucap Rumi membuat Asya akhirnya hanya mampu mengangguk pelan. Setelahnya tak ada lagi percakapan antara mereka. Asya memilih diam dengan hati kecewa, sedang Rumi dan Firdaus tak jauh berbeda, keduanya sama-sama merasa tak bisa berkata apa-apa. Hingga akhirnya Rumi berinisiatif mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Tadi di sekolah Asya belajar apa?" tanya Rumi sambil meraih jemari Asya untuk ia genggam. Asya tak langsung menjawab. Ia masih memilih diam karena merasa kecewa terhadap Rumi juga. "Kok, pertanyaan Ummi nggak dijawab? Asya udah nggak sayang Ummi?" Untuk kedua kalinya Rumi bertanya, kali ini ia merangkul bahu Asya lalu mengecup pipi bulat gadis kecil itu. "Sayang," re
Audi yang semula hendak beranjak dari ruangan Rumi kini berbalik. Menatap tajam ke arah perempuan berkerudung itu."Aku menyukai Pak Firdaus, dan aku lebih dulu mengenalnya ketimbang kamu. Jadi aku harap, kamu menyadari siapa kamu. Jangan sampai rasa benciku berdampak buruk terhadap kehidupanmu!" ucap Audy dengan rahang mengeras. Emosinya meluap mendengar jawaban Rumi barusan. Rumi tersenyum tipis. Tak ada rasa getir meski ia sangat paham maksud kalimat perempuan itu, karena ia merasa tak ada rasa yang hadir di hatinya untuk laki-laki itu. Ya, di hatinya masih terlukis indah nama Akbar, meski rasa kecewa kerap kali memaksanya untuk mengikis nama mantan suaminya itu. Jangan khawatir, aku tidak suka bersaing. Yang aku yakini jodoh takkan pernah tertukar. Siapapun yang menjadi jodohku, akan tetap membersamaiku dengan cara apapun Allah akan mempertemukan kami suatu hari nanti."Rumi berucap tenang dengan senyum manis. Audi tak lagi menjawab. Perempuan itu menyibak rambutnya dengan se
"Ehm, gimana kalau Abi pesan makanan saja di luar, biar kita bisa makan sama-sama di sini," saran Firdaus sejujurnya ia tengah berusaha menghindar penilaian orang-orang terhadapnya, terutama para karyawan di kantornya. Asya menggeleng cepat. Bibirnya mengerucut sambil menatap lekat wajah sang ayah. "Nggak mau, kita juga, kan, udah biasa makan bersama di rumah. Asya maunya kita makan di luar. Kan, belum pernah, pernahnya dulu waktu Asya masih kecil dan sebelum Ummi pergi lama," protes Asya sambil menatap lekat wajah dua orang dewasa di hadapannya. Kali ini Firdaus melirik ke arah Rumi sambil memberi isyarat dengan menaikan alis. Rumi hanya mengedikkan, bahu. Ia lebih tak bisa memutuskan karena sangat sadar kedudukannya di sini. " gimana kalau lain kali aja, Sekarang abi nggak punya waktu banyak.""Tadi ngajak Asya makan di luar, sekarang malah nggak bisa?" keluhnya dengan bibir mengkerut. Kali ini wajahnya tampak muram karena kecewa. Firdaus mengusap lembut pipi bulat sang anak l