Ruang kamar berukuran empat kali lima meter yang dihuni Saraswati itu tampak begitu rapi. Sirkulasi udara pun tampak baik. Kamar yang berbatasan langsung dengan teras samping rumah itu terasa begitu nyaman untuk digunakan sebagai tempat istirahat.
Di atas kursi rodanya Saraswati duduk dengan ekspresi wajah dingin, sedang di sisi tempat tidurnya Firdaus duduk sejak beberapa menit yang lalu dengan bibir terkunci. Laki-laki berambut ikal itu memilih diam sembari menunggu kalimat yang akan ditujukan sang ibu untuknya. Dua ibu dan anak itu memiliki karakter yang begitu mirip. Sama-sama acuh, lebih lagi terhadap orang yang baru dikenal. "Siapa perempuan itu?" tanya Saraswati setelah bermenit-menit hanya diam sambil menatap kosong dinding pembatas bercat biru muda di hadapannya. Beberapa detik tak ada jawaban. Firdaus berusaha mencari kalimat yang tepat sebagai jawaban, karena paham seperti apa karakter perempuan yang telah melahirkannya itu. Dingin dan pastinya tak gampang menerima kehadiran orang asing. Bahkan terhadap Mbok Sumi dulupun tak jauh berbeda, syukurnya Mbok Sumi cukup sabar hingga akhirnya ia diterima dengan baik di sini bahkan sudah hampir sepuluh tahun. "Dia hampir dicelakai preman semalam, aku hanya ingin menolongnya," jawab Firdaus dengan nada pelan. "Menolongnya bukan berarti kau harus membawanya ke rumah ini," jawab Saraswati dengan nada yang sama. "Dia pingsan semalam karena kelelahan setelah berjalan jauh. Aku bertemunya saat membeli obat untuk Mama. Maaf kalau aku tidak menceritakannya pada Mama semalam, itu karena tak ingin mengganggu istirahat Mama."Perempuan paruh baya itu kembali diam. Ia tak menyalahkan langkah putra sulungnya itu. Tak ada yang salah dengan menolong perempuan lemah, hanya saja ia khawatir sang anak akan dimanfaatkan, persis kejadian dua bulan lalu. Ya, dua bulan lalu Firdaus pernah menolong perempuan paruh baya yang mengaku di-KDRT oleh suaminya, yang ternyata malah menipu Firdaus. Perempuan itu meminta tolong agar dipinjami modal usaha setelah sebelumnya Firdaus membantunya bangkit dari keterpurukan, nyatanya uangnya dibawa kabur, bahkan Firdaus harus menderita karena dihajar oleh suaminya yang ternyata seorang preman. "Mama tak pernah melarangmu untuk menolong orang, tapi setidaknya kau harus berpikir untuk keselamatanmu. Tak semua orang yang tampak menderita benar-benar menderita, ada sebagian yang hanya memasang wajah memelas demi sebuah tujuan yang akan merugikanmu." Saraswati berbicara panjang lebar tanpa menatap ke arah sang anak. "Insya Allah aku bisa jaga diri, Ma," jawab Firdaus sambil melirik sekilas ke arah sang ibu. Saraswati hanya menghela napas dalam. "Lalu apa yang akan kau lakukan pada perempuan itu?" tanya Saraswati kemudian. Beberapa saat Firdaus kembali diam. Ia sendiri belum menemukan jalan untuk itu. Namun, saat bersamaan sebuah ide melintas di kepala, ide yang ia harap bisa menjadi jalan tengah. "Rencananya aku akan mempekerjakannya dia di kantorku sesuai kemampuannya, tapi tidak untuk waktu dekat. Sementara biarkan dia berada di sini untuk Asya," jawab Firdaus dengan nada suara berubah sendu. Beberapa detik saja melihat kedekatan Asya dan Rumi membuat ia rindu Syifa, perempuan berhati lembut yang telah pergi dari sisinya untuk selamanya. "Mama khawatir semakin lama Asya akan semakin sulit dipisahkan darinya," keluh Saraswati dengan wajah muram. Ia pun menyadari betapa bahagia Asya setelah kedatangan Rumi. Bahkan belum genap dua puluh empat jam bersama keduanya tampak persis seperti ibu dan anak yang saling menyayangi. Firdaus mengusap wajah pelan, lalu mengembalikan kedua siku ke lutut dengan kedua jemari saling bertaut di antara paha yang terbuka. "Akan kupikirkan lagi jalan selanjutnya, Ma. Aku hanya ingin membantunya, berharap apa yang kulakukan sekarang berimbas baik untuk kehidupan kita semua.""Baiklah jika memang kamu yakin dia perempuan baik-baik, bukan seperti perempuan waktu itu. Mama hanya nggak mau kejadian waktu itu terjadi lagi.""Insya Allah nggak akan, Ma, lagi pula Tuhan melihat niat kita dan niat Firdaus waktu itu hanya ingin menolongnya.""Mama hanya tak ingin kamu dimanfaatkan.""Aku hanya butuh do'a dari Mama," ucap Firdaus, membuat perempuan paruh baya itu tak lagi berniat menyangkalnya. "Baiklah, Mama hanya ingin kamu dan Asya bahagia," ucapnya pasrah. Sejak dulu memang hanya itu do'a yang kerap ia panjatkan. Baginya kebahagiaan Firdaus dan Asya adalah terpenting karena kebaikan anak sulungnya itu tak perlu ia ragukan lagi. Firdaus tersenyum tipis, lalu melangkah keluar sambil mendorong kursi roda sang ibu bersamanya ketika adzan magrib mulai berkumandang. "Papa lama banget, Asya pengen sholat berjamaah sama Papa, Oma, Mbok, juga Ummi," celoteh Asya dengan wajah riang. Kini ia sudah bersiap dengan mukena berwarna pink bergambar kartun gadis kecil tepat di depan dada. Sedang di belakangnya ada Mbok Sumi juga Rumi yang sudah siap dengan mukena yang dipinjamkan Mbok Sumi untuknya. "Maaf, Sayang, tadi Oma mau ngobrol sama Papa," jawab Firdaus sambil menyerahkan kursi roda Saraswati pada Mbok Sumi. Mbok Sumi langsung membawa Sarawati untuk berwudhu. Rumi membuang pandangan ke sembarang arah, demi menghindari tatapan wajah dingin di hadapannya. Sedang tangan kanannya bertaut dengan tangan mungil Asya. "Ya udah, ayo kita sholat sekarang, Pa," pinta Asya sambil menarik tangan sang ayah. "Asya ke mushola dulu, ya, Papa mau siap-siap, mau wudhu dulu," ucap Firdaus dengan senyum lembut, tangannya mengusap pipi bulat sang putri. Sekilas Firdaus melirik pada Rumi yang kini terpaku menatap pucuk kepala Asya. Sejak melihat wajah polos Rumi dengan mata tertutup semalam, mengingatkannya pada Syifa. Bahkan sempat terpikir olehnya jika Rumi sengaja Allah kirimkan untuk menggantikan peran Syifa. Terbukti dalam hitungan jam Rumi berada di rumah ini suasana terasa jauh berbeda. Namun, segera ia tepis. Firdaus tak ingin berharap terlalu dalam pada perempuan asing yang baru saja ia kenal. *Tiga hari sudah Rumi berada di sini. Ia merasa begitu bersyukur telah ditolong laki-laki baik yang ia gambarkan seperti malaikat penolong. Namun, ia pun tak ingin memanfaatkan kebaikan laki-laki itu. Malam ini keduanya tengah berada di saung kecil di samping rumah, tempat di mana Firdaus kerap menghabiskan malam sendirian dengan ditemani segelas kopi juga laptop di atas meja kecil. Di bawah saung terdapat kolam ikan mas berbagai warna dan ukuran. Ditemani suara gemericik air yang berasa dari air terjun sebelah kanan kolam. Rumi baru saja mengantar kopi untuk Firdaus. Ia sengaja meminta izin pada Mbok Sumi untuk mengantarkannya, karena ingin bicara pada laki-laki itu. "Terima kasih telah menolong saya waktu itu. Maaf jika selama saya di sini sudah merepotkan keluarga ini," ucap Rumi pelan. Sejujurnya sudah sejak tadi siang ia berusaha memantapkan hatinya untuk berbicara pada Firdaus. Firdaus tak langsung menjawab, matanya terus saja fokus ke layar laptop dengan logo buah apel di belakangnya. "Aku hanya ingin pamit," lanjut Rumi setelah beberapa menit tak kunjung mendapat jawaban dari laki-laki itu. Firdaus seketika merasakan rasa tak nyaman bergelenyar di sudut hatinya, juga rasa tak rela yang membuat ia akhirnya mengalihkan pandangan dari layar datar yang tengah memamerkan rentetan huruf dan angka di hadapannya.Firdaus menelan ludah getir. Membayangkan Rumi dari rumahnya sudah pasti akan membuat Asya bersedih, atau mungkin jauh lebih dari itu. "Kamu yakin?" tanya Firdaus dengan nada getir. Helaan nafas berat terdengar dari bibir Rumi. Tatapan mata sendunya luruh pada ujung kaki telajangnya. Sejujurnya ia pun merasa berat untuk pergi dari rumah ini, mengingat seberapa dekat Asya dengan dirinya. Namun, untuk tetap tinggal di sini pun rasanya tak mungkin, mengingat dirinya bukanlah siapa-siapa di rumah ini. Untuk meminta tetap tinggal di sini rasanya terlalu tak tahu diri, lebih lagi tiga hari keberadaannya di sini sikap dingin Firdaus membuatnya sedikit tak nyaman.Bukan, bukan ia berharap diperlakukan hangat, tapi setidaknya Firdaus bisa bersikap wajar padanya. "Aku sudah memikirkannya sejak beberapa hari lalu.""Apa yang kau temukan?" sambung Firdaus. Ada rasa ingin tahu yang kuat yang mendorongnya untuk bertanya demikian. "Entahlah, yang pasti aku tidak memiliki hak untuk tinggal lebi
Rumi merenggangkan pelukan ketika Asya sedikit lebih tenang. Kedua tangannya menyentuh lembut kedua bahu mungil dalam balutan lengan piyama berbahan satin itu. "Ummi di sini, Nak," bisiknya lembut dengan senyum manis. Firdaus membuang muka. Mata yang biasa tampak dingin kini terlihat mengembun. "Titip Asya, aku akan bersiap ke kantor lebih awal hari ini," ucapnya, lalu beranjak pergi tanpa menunggu persetujuan Rumi. Menyaksikan lebih lama cara Asya memperlakukan Rumi membuat hatinya kian gamang. Rumi hanya mampu menatap punggung lelaki jangkung itu yang kian mengecil. Sejujurnya ingin ia tanyakan tentang pekerjaan yang dijanjikan Firdaus semalam, mengingat hatinya tak nyaman jika lebih lama lagi tinggal di sini tanpa menghasilkan rupiah. Memang keseharian Rumi di sini ia habiskan untuk merawat Asya juga membantu Mbok Sumi beres-beres rumah. Hanya saja menurut Rumi selagi ia tidak bekerja di luar, maka tetap saja ia tak nyaman. Rasa mual yang tiba-tiba datang memaksa Rumi buru-bu
"Bu," panggil Mbok Sumi ketika Rumi tak kunjung beranjak. "Oh, i—iya, beliau di mana, Mbok?" tanya Rumi sedikit tergagap. "Di ruang TV, Bu.""Ya sudah, aku ke sana ya, Mbok."Rumi melangkah menuju ruang TV. Sepanjang langkah terayun ia menebak-nebak apa yang akan dibicarakan nyonya rumah ini padanya.Ruangan yang biasa dipakai untuk kumpul keluarga itu berukuran cukup luas karena menyatu dengan ruang makan serta taman kecil di sebelahnya. Tampak di sana Saraswati tengah menyaksikan berita di channel TV lokal. Perempuan itu segera mematikan TV setelah menyadari Rumi datang. "Ibu memanggil saya?" tanyanya santun. Perempuan beralis tebal serta bola mata hitam pekat itu tersenyum lembut. "Duduklah," ucap Saraswati ketika melihat Rumi hanya berdiri mematung di depannya. Wajah Saraswati tampak kaku. Entah karena efek sakit yang diderita, atau memang karakter, atau mungkin ada masalah. Rumi tak tahu. Rumi duduk di kursi sebelah kiri di ujung berbentuk L dengan Saraswati. Memilih duduk
"Mama curiga perempuan itu hamil," ucap Saraswati membuat Firdaus menelan ludah gusar. Melintas prasangka buruk di benaknya, namun sedetik kemudian hati kecilnya menepisnya, karena ia tak menemukan gelagat tak baik sejak pertama bertemu Rumi. "Mama tau dari mana?" tanyanya dengan tatapan lekat pada sang ibu. "Mbok Sumi sudah beberapa kali melihat dia muntah-muntah." Beberapa saat Firdaus berpikir keras. Mencari penyelesaian terhadap semua kemungkinan, mengingat di rumah ini dirinyalah yang menjadi kepala keluarga meski statusnya adalah anak. "Apa kau tak takut jika dia berpura-pura baik? Dan pada akhirnya menusukmu dari belakang?" Saraswati melanjutkan kalimatnya. Firdaus menggeleng, lalu menghela napas panjang. Kedua tangannya bertaut di sela kedua paha dengan tatapan lurus pada keramik hitam bermotif abu-abu di bawah kakinya. "Aku tak melihat dia seperti itu, Ma." Saraswati membuang muka. Sikap keras kepala Firdaus sejujurnya menurun darinya, hanya saja Firdaus tak seh
Hati Rumi seketika diliputi kecemasan. Detik ini ia rasakan bimbang, tak tahu harus menjawab apa, dan tak tahu harus berterus terang ataukah tetap diam tentang kisah perihnya. "Di rumahmu?" Melihat Rumi hanya diam, Firdaus kembali melayangkan tanya, mengingat rasa penasaran yang tak kunjung beranjak pergi. Ya, Firdaus penasaran dengan semua tentang Rumi. Dari mana ia berasal dan bagaimana statusnya sebagai perempuan. Dalam satu tarikan nafas Rumi melangitkan do'a dalam hati, memasrahkan semua langkahnya pada Sang Pemilik Kebijakan. Berharap hatinya tegar menerima semua ketetapan. "Malam itu aku pergi dari rumah mantan suamiku dan semua identitas diri bahkan ponselku tertinggal di sana," ucapnya dengan suara bergetar serta kepala tertunduk. Tampak jelas luka itu masih terasa perih. Firdaus mengusap wajah pelan. Sejak awal ia meyakini jika sesuatu telah terjadi pada Rumi. Namun, untuk menanyakan lebih dalam ia merasa tak memiliki hak. Ada iba di relung sana, hanya saja ia tak
"Maaf," ucap Rumi dengan nada canggung, membuat Firdaus seketika membuang muka. Lalu mengusap wajahnya. "Maaf, silahkan duduk," ucapnya ketika sadar apa yang telah diperbuat barusan. Rumi benar-benar membuat ingatannya tentang Syifa kembali mengawang di kepala. Rumi menurut. Ia duduk di kursi berseberangan dengan Firdaus dengan wajah serius. Berhadapan dengan laki-laki yang ia tahu adalah CEO di perusahaan ini, membuatnya seketika gugup. Firdaus kini sibuk membuka lembaran-lembaran map yang bertumpuk di atas mejanya. Lalu mengambil sebuah map hijau dan membukanya. "Tolong kerjakan laporan ini. Nanti akan kusuruh sekretarisku mengantarmu ke ruangan bagian keuangan yang lama. Aku tidak berjanji untuk langsung menerimamu di sini, kecuali jika kamu memang bisa bekerja sesuai harapan," ucap Firdaus. Tangannya mengulur map hijau itu pada Rumi. Firdaus lalu menekan interkom, tak lama berdengung seseorang di seberang sana mengangangkatnya. "Tolong panggilkan Audy ke ruangan saya se
Untuk beberapa saat Rumi hanya bisa diam, berusaha mencari kalimat yang tepat sebagai jawaban. "Sayang, Asya, kan, kalo siang sekolah, sedangkan Abi di kantor, jadi Ummi nggak ada temen di rumah. Kalau Ummi kerja, kan, nanti pulang bisa main lagi sama Asya." Rumi berusaha membujuk. Ia melirik Mbok Sumi yang masih mematung di belakang Asya, memberi isyarat pada perempuan paruh baya itu lewat kedipan mata. Mbok Sumi seketika berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan Asya. "Iya, Non, kasian Ummi kalo terus-terusan di rumah. Lagian Ummi, kan, kerjanya cuma siang. Malemnya Non Asya bisa main lagi sama Ummi." Mbok Sumi ikut membujuk. Asya menggelengkan kepala. "Kan, ada Mbok sama Oma di rumah waktu Asya sekolah," timpalnya tak ingin kalah. "Mbok Sumi, kan, harus kerja, kalau Oma harus banyak istirahat," balas Rumi lembut. "Asya nggak mau," rengeknya dengan bibir mengerucut. Rumi menghela napas panjang, bibirnya tersenyum kecut. Berusaha berpikir keras dengan alasan apa agar Asya ber
"Iya, kan, Ummi? Asya mau dapet adek, kan?" Asya menggoyang bahu Rumi, membuat mukena berenda miliknya ikut bergoyang. Tatapan matanya berbinar menunggu jawaban dari bibir perempuan di hadapannya itu. "I—iya, Sayang," jawab Rumi dengan terbata setelab beberapa detik lidahnya terasa kelu. "Yeeeeey, Asya mau dapet adek," pekik Asya dengan girang sambil memeluk Rumi. Mukena masih menempel di tubuhnya. Mbok Sumi tampak serba salah. Pun dengan Rumi, mengatakan yang sebenarnya rasanya tak mungkin, terlebih setelah melihat wajah sumringah Asya. "Ya udah, sekarang Asya mandi dulu, ya, jangan lupa sikat gigi," ucap Rumi sambil mengecup pipi bulat gadis kecil itu. "Nanti dulu, Asya mau ngasih tau Abi dulu," ucapnya sambil berlari tanpa sempat Rumi maupun Mbok Sumi mencegahnya. Rumi menatap getir punggung Asya yang kian menjauh, hingga memutuskan untuk mengikuti kemana gadis itu pergi. Asya terus berlari menuju kamar sang ayah, sedang Rumi dan Mbok Sumi menyusulnya dengan langkah lebar. K
Bergegas Rumi meneguk minumannya. Jujur saja, kalimat Firdaus barusan mampu membuatnya tersentak. Hati Rumi tergelitik untuk bertanya, apa yang diketahui laki-laki itu tentangnya lewat Mbok Sumi, hanya saja ia terlalu sungkan, hingga akhirnya Firdaus kembali bersuara. "Jangan banyak pikiran, supaya bayimu sehat. Jangan khawatirkan tentang tempat tinggal dan kehidupanmu selanjutnya. Jika kau bersedia, tetaplah tinggal di rumah itu dan menganggap Asya seperti anak kandungmu sendiri, meski kelak setelah kamu memiliki anak dari rahimmu sendiri." Suara Firdaus terdengar sedikit serak. Hatinya berdesir hebat setiap berada di dekat Rumi, meski sebenarnya jarak pemisah antara mereka berneter-meter. "Kurasa tidak terlalu baik jika kamu memilih untuk tinggal sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Lebih lagi aku tak tega melihat Asya kembali p atah hati untuk kesekian kalinya." Rumi hanya membeku. Tatapannya jatuh pada jemari yang melingkar di pinggang botol plastik di tangannya. Fird
"Apa maksudmu?" Firdaus bertanya dengan kepala setengah tertunduk. Rumi tak langsung menjawab, memilih diam beberapa saat. "Beristirahatlah di rumah, Pak. Bapak sudah sangat lelah setelah seharian bekerja, lebih lagi dalam keadaan berpuasa." Rumi berucap sepelan mungkin, berharap kalimatnya tak menyinggung perasaan Firdaus. Firdaus terdengar mendesah pelan. "Tolong jangan memintaku untuk pulang malam ini. Keadaanmu masih belum pulih, dan di sini tak ada siapapun yang menemanimu." Firdaus berucap dengan tatapan luruh di atas lantai berkeramik senada dengan warna dinding ruangan. "Maaf sebelumnya jika perkataanku membuat Bapak tak nyaman, tapi inilah adanya, kita adalah dua orang asing yang tak seharusnya berada dalam ruangan yang sama sepanjang malam, ucap Rumi dengan kepala kian tertunduk. Jujur lidahnya begitu berat untuk mengucapkan kalimat barusan, hanya saja hatinya mengatakan jika ia harus berani. "Jika memang kamu keberatan aku berada di sini, aku akan tidur di mushola
Suasana canggung di ruang rawat Rumi terus saja terasa semenjak pertemuan Asya dan Firdaus sejak satu jam lalu. Bahkan hingga kini, saat Firdaus mengajak Asya untuk kembali ke rumah, gadis kecil itu kembali melayangkan protesnya terhadap sang ayah. "Abi kenapa pulang? Terus siapa yang nungguin Ummi di sini kalau Abi pulang sekarang?" Asya menatap ke arah Firdaus dengan mata menyipit, merasa tak terima dengan ajakan sang ayah. Firdaus berjongkok di depan sang anak, dua tangannya menyentuh bahu Asya pelan. "Sayang, Abi butuh istirahat karena besok harus kerja. Ummi di sini sama Mbok Sumi. Asya juga besok harus sekolah, jadi sekarang kita pulang dulu, ya. Kan, besok sepulang sekolah masih bisa jenguk Ummi ke sini." Firdaus berusaha membujuk sang anak, meski hasilnya masih sama. "Nggak mau, Asya mau nemenin Ummi di sini. Asya nggak mau nanti Ummi pergi lagi." Asya mengerucutkan bibirnya, kali ini matanya tampak berkaca-kaca dengan kedua tangan saling meremas satu sama lain. Fird
Penunjuk waktu di dinding kamar bercat putih itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Rumi perlahan membuka matanya. Ia baru saja sadar dari pingsannya. Spontan tangan Rumi mengusap lembut perutnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan. Ruangan yang tampak tak biasa menurutnya. Kini tatapan mata Rumi terhenti pada laki-laki yang tengah duduk di samping nakas, laki-laki yang kini fokus ke layar ponsel di tangannya. Rumi merasakan lidahnya kelu untuk sekedar menyapa, hingga akhirnya ia lebih memilih berusaha bangkit meski dengan selang infus di tangan serta tubuh lemasnya. "Kamu sudah bangun?" Firdaus segera mematikan ponselnya ketika sadar Rumi tengah susah payah untuk duduk, meski ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Rumi hanya menjawab dengan senyum kecut. Jujur, ia tak nyaman karena terus merasa merepotkan Firdaus. "Istirahat aja dulu. Sebentar lagi Asya akan datang," lanjut Firdaus sambil mendekatkan kursinya ke ranja
Rumi masih berkutat dengan pekerjaannya ketika ponsel berdering. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. "Assalamualaikum," ucapnya santun, terlebih setelah tahu siapa sang penelepon. "Maaf, siang ini saya banyak kerjaan, jika tidak keberatan nanti sore sepulang kantor saya tunggu di ruang kerja saya," ucap laki-laki dari seberang sana dengan suara pelan. Siapa lagi kalau bukan Firdaus, laki-laki yang akhir-akhir ini menunjukkan perhatiannya pada Rumi. "Baik, Pak," jawab rumit singkat. Ritme jantungnya berubah cepat setelah menerima telepon dari laki-laki itu. Bukan cinta, melainkan rasa kagum sekaligus hormat. Rumi cukup paham pembicaraan seperti apa yang dimaksud Firdaus. Apalagi kalau bukan tentang dirinya yang tengah berbadan dua, dan tentunya Asya juga. Ketakutan selalu hadir di hatinya ketika berbicara tentang masa depannya. Ia khawatir antara Asya dan calon buah hatinya salah satunya akan ada yang terabaikan. Dan Rumi tak ingin itu terjadi. * Sepanjang siang hingg
Rumi hanya mematung di tempatnya berdiri. Tak bisa menjawab apa-apa selain diam dengan suasana hati mengharu biru. Tak tahu lagi kalimat seperti apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Akbar maupun keluarganya. Perlakuan mereka persis bak malaikat penolong bagi Rumi. Melihat Rumi hanya diam, Akbar akhirnya kembali ke mobil dan mengambil plastik pembungkus barang belanjaan yang dibeli di minimarket bersama Asya tadi. "Ini. Jangan lupa diminum," ucap Akbar dengan nada pelan. Sejujurnya ia ingin berbicara dengan bahasa lebih akrab lagi, hanya saja sikap Rumi yang selalu menjaga jarak membuatnya sadar tentang kedudukannya di hati perempuan itu. "Terima kasih," ucap Rumi akhirnya. Ia meraih pemberian Akbar lalu membawanya masuk rumah tanpa berkata-kata. * Dua bulan berlalu kepergian Rumi dari rumah Akbar. Namun, ingatannya tentang Akbar masih begitu lekat di kepala. Kerap kali ia berusaha mengenyahkan kenangan tentang mantan suaminya itu, sayangnya, hati kecilnya tak
"Sayang, bisa nggak kita bahas yang itu lain waktu? Sekarang udah Magrib, mendingan kita langsung pulang aja, ya," ucap Firdaus akhirnya. Asya nampak murung karena pertanyaan yang sudah sejak tadi ia lontar tak kunjung menemukan jawaban. "Iya, Nak, kita pulang dulu, ya. Kasihan Oma di rumah sendirian," ucap Rumi membuat Asya akhirnya hanya mampu mengangguk pelan. Setelahnya tak ada lagi percakapan antara mereka. Asya memilih diam dengan hati kecewa, sedang Rumi dan Firdaus tak jauh berbeda, keduanya sama-sama merasa tak bisa berkata apa-apa. Hingga akhirnya Rumi berinisiatif mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Tadi di sekolah Asya belajar apa?" tanya Rumi sambil meraih jemari Asya untuk ia genggam. Asya tak langsung menjawab. Ia masih memilih diam karena merasa kecewa terhadap Rumi juga. "Kok, pertanyaan Ummi nggak dijawab? Asya udah nggak sayang Ummi?" Untuk kedua kalinya Rumi bertanya, kali ini ia merangkul bahu Asya lalu mengecup pipi bulat gadis kecil itu. "Sayang," re
Audi yang semula hendak beranjak dari ruangan Rumi kini berbalik. Menatap tajam ke arah perempuan berkerudung itu."Aku menyukai Pak Firdaus, dan aku lebih dulu mengenalnya ketimbang kamu. Jadi aku harap, kamu menyadari siapa kamu. Jangan sampai rasa benciku berdampak buruk terhadap kehidupanmu!" ucap Audy dengan rahang mengeras. Emosinya meluap mendengar jawaban Rumi barusan. Rumi tersenyum tipis. Tak ada rasa getir meski ia sangat paham maksud kalimat perempuan itu, karena ia merasa tak ada rasa yang hadir di hatinya untuk laki-laki itu. Ya, di hatinya masih terlukis indah nama Akbar, meski rasa kecewa kerap kali memaksanya untuk mengikis nama mantan suaminya itu. Jangan khawatir, aku tidak suka bersaing. Yang aku yakini jodoh takkan pernah tertukar. Siapapun yang menjadi jodohku, akan tetap membersamaiku dengan cara apapun Allah akan mempertemukan kami suatu hari nanti."Rumi berucap tenang dengan senyum manis. Audi tak lagi menjawab. Perempuan itu menyibak rambutnya dengan se
"Ehm, gimana kalau Abi pesan makanan saja di luar, biar kita bisa makan sama-sama di sini," saran Firdaus sejujurnya ia tengah berusaha menghindar penilaian orang-orang terhadapnya, terutama para karyawan di kantornya. Asya menggeleng cepat. Bibirnya mengerucut sambil menatap lekat wajah sang ayah. "Nggak mau, kita juga, kan, udah biasa makan bersama di rumah. Asya maunya kita makan di luar. Kan, belum pernah, pernahnya dulu waktu Asya masih kecil dan sebelum Ummi pergi lama," protes Asya sambil menatap lekat wajah dua orang dewasa di hadapannya. Kali ini Firdaus melirik ke arah Rumi sambil memberi isyarat dengan menaikan alis. Rumi hanya mengedikkan, bahu. Ia lebih tak bisa memutuskan karena sangat sadar kedudukannya di sini. " gimana kalau lain kali aja, Sekarang abi nggak punya waktu banyak.""Tadi ngajak Asya makan di luar, sekarang malah nggak bisa?" keluhnya dengan bibir mengkerut. Kali ini wajahnya tampak muram karena kecewa. Firdaus mengusap lembut pipi bulat sang anak l