"Mama curiga perempuan itu hamil," ucap Saraswati membuat Firdaus menelan ludah gusar. Melintas prasangka buruk di benaknya, namun sedetik kemudian hati kecilnya menepisnya, karena ia tak menemukan gelagat tak baik sejak pertama bertemu Rumi. "Mama tau dari mana?" tanyanya dengan tatapan lekat pada sang ibu. "Mbok Sumi sudah beberapa kali melihat dia muntah-muntah." Beberapa saat Firdaus berpikir keras. Mencari penyelesaian terhadap semua kemungkinan, mengingat di rumah ini dirinyalah yang menjadi kepala keluarga meski statusnya adalah anak. "Apa kau tak takut jika dia berpura-pura baik? Dan pada akhirnya menusukmu dari belakang?" Saraswati melanjutkan kalimatnya. Firdaus menggeleng, lalu menghela napas panjang. Kedua tangannya bertaut di sela kedua paha dengan tatapan lurus pada keramik hitam bermotif abu-abu di bawah kakinya. "Aku tak melihat dia seperti itu, Ma." Saraswati membuang muka. Sikap keras kepala Firdaus sejujurnya menurun darinya, hanya saja Firdaus tak seh
Hati Rumi seketika diliputi kecemasan. Detik ini ia rasakan bimbang, tak tahu harus menjawab apa, dan tak tahu harus berterus terang ataukah tetap diam tentang kisah perihnya. "Di rumahmu?" Melihat Rumi hanya diam, Firdaus kembali melayangkan tanya, mengingat rasa penasaran yang tak kunjung beranjak pergi. Ya, Firdaus penasaran dengan semua tentang Rumi. Dari mana ia berasal dan bagaimana statusnya sebagai perempuan. Dalam satu tarikan nafas Rumi melangitkan do'a dalam hati, memasrahkan semua langkahnya pada Sang Pemilik Kebijakan. Berharap hatinya tegar menerima semua ketetapan. "Malam itu aku pergi dari rumah mantan suamiku dan semua identitas diri bahkan ponselku tertinggal di sana," ucapnya dengan suara bergetar serta kepala tertunduk. Tampak jelas luka itu masih terasa perih. Firdaus mengusap wajah pelan. Sejak awal ia meyakini jika sesuatu telah terjadi pada Rumi. Namun, untuk menanyakan lebih dalam ia merasa tak memiliki hak. Ada iba di relung sana, hanya saja ia tak
"Maaf," ucap Rumi dengan nada canggung, membuat Firdaus seketika membuang muka. Lalu mengusap wajahnya. "Maaf, silahkan duduk," ucapnya ketika sadar apa yang telah diperbuat barusan. Rumi benar-benar membuat ingatannya tentang Syifa kembali mengawang di kepala. Rumi menurut. Ia duduk di kursi berseberangan dengan Firdaus dengan wajah serius. Berhadapan dengan laki-laki yang ia tahu adalah CEO di perusahaan ini, membuatnya seketika gugup. Firdaus kini sibuk membuka lembaran-lembaran map yang bertumpuk di atas mejanya. Lalu mengambil sebuah map hijau dan membukanya. "Tolong kerjakan laporan ini. Nanti akan kusuruh sekretarisku mengantarmu ke ruangan bagian keuangan yang lama. Aku tidak berjanji untuk langsung menerimamu di sini, kecuali jika kamu memang bisa bekerja sesuai harapan," ucap Firdaus. Tangannya mengulur map hijau itu pada Rumi. Firdaus lalu menekan interkom, tak lama berdengung seseorang di seberang sana mengangangkatnya. "Tolong panggilkan Audy ke ruangan saya se
Untuk beberapa saat Rumi hanya bisa diam, berusaha mencari kalimat yang tepat sebagai jawaban. "Sayang, Asya, kan, kalo siang sekolah, sedangkan Abi di kantor, jadi Ummi nggak ada temen di rumah. Kalau Ummi kerja, kan, nanti pulang bisa main lagi sama Asya." Rumi berusaha membujuk. Ia melirik Mbok Sumi yang masih mematung di belakang Asya, memberi isyarat pada perempuan paruh baya itu lewat kedipan mata. Mbok Sumi seketika berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan Asya. "Iya, Non, kasian Ummi kalo terus-terusan di rumah. Lagian Ummi, kan, kerjanya cuma siang. Malemnya Non Asya bisa main lagi sama Ummi." Mbok Sumi ikut membujuk. Asya menggelengkan kepala. "Kan, ada Mbok sama Oma di rumah waktu Asya sekolah," timpalnya tak ingin kalah. "Mbok Sumi, kan, harus kerja, kalau Oma harus banyak istirahat," balas Rumi lembut. "Asya nggak mau," rengeknya dengan bibir mengerucut. Rumi menghela napas panjang, bibirnya tersenyum kecut. Berusaha berpikir keras dengan alasan apa agar Asya ber
"Iya, kan, Ummi? Asya mau dapet adek, kan?" Asya menggoyang bahu Rumi, membuat mukena berenda miliknya ikut bergoyang. Tatapan matanya berbinar menunggu jawaban dari bibir perempuan di hadapannya itu. "I—iya, Sayang," jawab Rumi dengan terbata setelab beberapa detik lidahnya terasa kelu. "Yeeeeey, Asya mau dapet adek," pekik Asya dengan girang sambil memeluk Rumi. Mukena masih menempel di tubuhnya. Mbok Sumi tampak serba salah. Pun dengan Rumi, mengatakan yang sebenarnya rasanya tak mungkin, terlebih setelah melihat wajah sumringah Asya. "Ya udah, sekarang Asya mandi dulu, ya, jangan lupa sikat gigi," ucap Rumi sambil mengecup pipi bulat gadis kecil itu. "Nanti dulu, Asya mau ngasih tau Abi dulu," ucapnya sambil berlari tanpa sempat Rumi maupun Mbok Sumi mencegahnya. Rumi menatap getir punggung Asya yang kian menjauh, hingga memutuskan untuk mengikuti kemana gadis itu pergi. Asya terus berlari menuju kamar sang ayah, sedang Rumi dan Mbok Sumi menyusulnya dengan langkah lebar. K
"I—ini maksudnya apa Pak?" Rumi memberanikan diri untuk bertanya. "Ambilah, tidak mungkin kau bisa bekerja maksimal jika tanpa alat yang bisa mendukung pekerjaanmu."Rumi terdiam sejenak. Ada rasa lega karena Firdaus sama sekali tidak membahas tentang keterlambatannya ke kantor hari ini. Namun, ada yang mengganjal pikirannya, apalagi kalau bukan tentang ponsel di hadapannya. "Berapa aku harus membayarnya? Bukankah ini ponsel mahal?" Rumi tampak kebingungan. Ia cukup paham berapa harga ponsel itu meski hanya melihat gambar dari luar kotaknya saja. "Bawa saja. Di dalamnya sudah dilengkapi kartu, juga sudah tersimpan nomor kantor dan nomor rumah. Anggap saja sebagai tanda terima kasih saya karena telah memperlakukan Asya dengan baik."Rumi menggeleng pelan. Haru seketika menyeruak. Kalimat itu terdengar begitu peduli. Namun, Rumi tak ingin menukar sebuah rasa yang hadir antara dirinya dan Asya dengan materi. "Tidak sedikitpun terlintas di dalam hati untuk mendapatkan imbalan saya b
"Ehm, gimana kalau Abi pesan makanan saja di luar, biar kita bisa makan sama-sama di sini," saran Firdaus sejujurnya ia tengah berusaha menghindar penilaian orang-orang terhadapnya, terutama para karyawan di kantornya. Asya menggeleng cepat. Bibirnya mengerucut sambil menatap lekat wajah sang ayah. "Nggak mau, kita juga, kan, udah biasa makan bersama di rumah. Asya maunya kita makan di luar. Kan, belum pernah, pernahnya dulu waktu Asya masih kecil dan sebelum Ummi pergi lama," protes Asya sambil menatap lekat wajah dua orang dewasa di hadapannya. Kali ini Firdaus melirik ke arah Rumi sambil memberi isyarat dengan menaikan alis. Rumi hanya mengedikkan, bahu. Ia lebih tak bisa memutuskan karena sangat sadar kedudukannya di sini. " gimana kalau lain kali aja, Sekarang abi nggak punya waktu banyak.""Tadi ngajak Asya makan di luar, sekarang malah nggak bisa?" keluhnya dengan bibir mengkerut. Kali ini wajahnya tampak muram karena kecewa. Firdaus mengusap lembut pipi bulat sang anak l
Audi yang semula hendak beranjak dari ruangan Rumi kini berbalik. Menatap tajam ke arah perempuan berkerudung itu."Aku menyukai Pak Firdaus, dan aku lebih dulu mengenalnya ketimbang kamu. Jadi aku harap, kamu menyadari siapa kamu. Jangan sampai rasa benciku berdampak buruk terhadap kehidupanmu!" ucap Audy dengan rahang mengeras. Emosinya meluap mendengar jawaban Rumi barusan. Rumi tersenyum tipis. Tak ada rasa getir meski ia sangat paham maksud kalimat perempuan itu, karena ia merasa tak ada rasa yang hadir di hatinya untuk laki-laki itu. Ya, di hatinya masih terlukis indah nama Akbar, meski rasa kecewa kerap kali memaksanya untuk mengikis nama mantan suaminya itu. Jangan khawatir, aku tidak suka bersaing. Yang aku yakini jodoh takkan pernah tertukar. Siapapun yang menjadi jodohku, akan tetap membersamaiku dengan cara apapun Allah akan mempertemukan kami suatu hari nanti."Rumi berucap tenang dengan senyum manis. Audi tak lagi menjawab. Perempuan itu menyibak rambutnya dengan se
Bergegas Rumi meneguk minumannya. Jujur saja, kalimat Firdaus barusan mampu membuatnya tersentak. Hati Rumi tergelitik untuk bertanya, apa yang diketahui laki-laki itu tentangnya lewat Mbok Sumi, hanya saja ia terlalu sungkan, hingga akhirnya Firdaus kembali bersuara. "Jangan banyak pikiran, supaya bayimu sehat. Jangan khawatirkan tentang tempat tinggal dan kehidupanmu selanjutnya. Jika kau bersedia, tetaplah tinggal di rumah itu dan menganggap Asya seperti anak kandungmu sendiri, meski kelak setelah kamu memiliki anak dari rahimmu sendiri." Suara Firdaus terdengar sedikit serak. Hatinya berdesir hebat setiap berada di dekat Rumi, meski sebenarnya jarak pemisah antara mereka berneter-meter. "Kurasa tidak terlalu baik jika kamu memilih untuk tinggal sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Lebih lagi aku tak tega melihat Asya kembali p atah hati untuk kesekian kalinya." Rumi hanya membeku. Tatapannya jatuh pada jemari yang melingkar di pinggang botol plastik di tangannya. Fird
"Apa maksudmu?" Firdaus bertanya dengan kepala setengah tertunduk. Rumi tak langsung menjawab, memilih diam beberapa saat. "Beristirahatlah di rumah, Pak. Bapak sudah sangat lelah setelah seharian bekerja, lebih lagi dalam keadaan berpuasa." Rumi berucap sepelan mungkin, berharap kalimatnya tak menyinggung perasaan Firdaus. Firdaus terdengar mendesah pelan. "Tolong jangan memintaku untuk pulang malam ini. Keadaanmu masih belum pulih, dan di sini tak ada siapapun yang menemanimu." Firdaus berucap dengan tatapan luruh di atas lantai berkeramik senada dengan warna dinding ruangan. "Maaf sebelumnya jika perkataanku membuat Bapak tak nyaman, tapi inilah adanya, kita adalah dua orang asing yang tak seharusnya berada dalam ruangan yang sama sepanjang malam, ucap Rumi dengan kepala kian tertunduk. Jujur lidahnya begitu berat untuk mengucapkan kalimat barusan, hanya saja hatinya mengatakan jika ia harus berani. "Jika memang kamu keberatan aku berada di sini, aku akan tidur di mushola
Suasana canggung di ruang rawat Rumi terus saja terasa semenjak pertemuan Asya dan Firdaus sejak satu jam lalu. Bahkan hingga kini, saat Firdaus mengajak Asya untuk kembali ke rumah, gadis kecil itu kembali melayangkan protesnya terhadap sang ayah. "Abi kenapa pulang? Terus siapa yang nungguin Ummi di sini kalau Abi pulang sekarang?" Asya menatap ke arah Firdaus dengan mata menyipit, merasa tak terima dengan ajakan sang ayah. Firdaus berjongkok di depan sang anak, dua tangannya menyentuh bahu Asya pelan. "Sayang, Abi butuh istirahat karena besok harus kerja. Ummi di sini sama Mbok Sumi. Asya juga besok harus sekolah, jadi sekarang kita pulang dulu, ya. Kan, besok sepulang sekolah masih bisa jenguk Ummi ke sini." Firdaus berusaha membujuk sang anak, meski hasilnya masih sama. "Nggak mau, Asya mau nemenin Ummi di sini. Asya nggak mau nanti Ummi pergi lagi." Asya mengerucutkan bibirnya, kali ini matanya tampak berkaca-kaca dengan kedua tangan saling meremas satu sama lain. Fird
Penunjuk waktu di dinding kamar bercat putih itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Rumi perlahan membuka matanya. Ia baru saja sadar dari pingsannya. Spontan tangan Rumi mengusap lembut perutnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan. Ruangan yang tampak tak biasa menurutnya. Kini tatapan mata Rumi terhenti pada laki-laki yang tengah duduk di samping nakas, laki-laki yang kini fokus ke layar ponsel di tangannya. Rumi merasakan lidahnya kelu untuk sekedar menyapa, hingga akhirnya ia lebih memilih berusaha bangkit meski dengan selang infus di tangan serta tubuh lemasnya. "Kamu sudah bangun?" Firdaus segera mematikan ponselnya ketika sadar Rumi tengah susah payah untuk duduk, meski ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Rumi hanya menjawab dengan senyum kecut. Jujur, ia tak nyaman karena terus merasa merepotkan Firdaus. "Istirahat aja dulu. Sebentar lagi Asya akan datang," lanjut Firdaus sambil mendekatkan kursinya ke ranja
Rumi masih berkutat dengan pekerjaannya ketika ponsel berdering. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. "Assalamualaikum," ucapnya santun, terlebih setelah tahu siapa sang penelepon. "Maaf, siang ini saya banyak kerjaan, jika tidak keberatan nanti sore sepulang kantor saya tunggu di ruang kerja saya," ucap laki-laki dari seberang sana dengan suara pelan. Siapa lagi kalau bukan Firdaus, laki-laki yang akhir-akhir ini menunjukkan perhatiannya pada Rumi. "Baik, Pak," jawab rumit singkat. Ritme jantungnya berubah cepat setelah menerima telepon dari laki-laki itu. Bukan cinta, melainkan rasa kagum sekaligus hormat. Rumi cukup paham pembicaraan seperti apa yang dimaksud Firdaus. Apalagi kalau bukan tentang dirinya yang tengah berbadan dua, dan tentunya Asya juga. Ketakutan selalu hadir di hatinya ketika berbicara tentang masa depannya. Ia khawatir antara Asya dan calon buah hatinya salah satunya akan ada yang terabaikan. Dan Rumi tak ingin itu terjadi. * Sepanjang siang hingg
Rumi hanya mematung di tempatnya berdiri. Tak bisa menjawab apa-apa selain diam dengan suasana hati mengharu biru. Tak tahu lagi kalimat seperti apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Akbar maupun keluarganya. Perlakuan mereka persis bak malaikat penolong bagi Rumi. Melihat Rumi hanya diam, Akbar akhirnya kembali ke mobil dan mengambil plastik pembungkus barang belanjaan yang dibeli di minimarket bersama Asya tadi. "Ini. Jangan lupa diminum," ucap Akbar dengan nada pelan. Sejujurnya ia ingin berbicara dengan bahasa lebih akrab lagi, hanya saja sikap Rumi yang selalu menjaga jarak membuatnya sadar tentang kedudukannya di hati perempuan itu. "Terima kasih," ucap Rumi akhirnya. Ia meraih pemberian Akbar lalu membawanya masuk rumah tanpa berkata-kata. * Dua bulan berlalu kepergian Rumi dari rumah Akbar. Namun, ingatannya tentang Akbar masih begitu lekat di kepala. Kerap kali ia berusaha mengenyahkan kenangan tentang mantan suaminya itu, sayangnya, hati kecilnya tak
"Sayang, bisa nggak kita bahas yang itu lain waktu? Sekarang udah Magrib, mendingan kita langsung pulang aja, ya," ucap Firdaus akhirnya. Asya nampak murung karena pertanyaan yang sudah sejak tadi ia lontar tak kunjung menemukan jawaban. "Iya, Nak, kita pulang dulu, ya. Kasihan Oma di rumah sendirian," ucap Rumi membuat Asya akhirnya hanya mampu mengangguk pelan. Setelahnya tak ada lagi percakapan antara mereka. Asya memilih diam dengan hati kecewa, sedang Rumi dan Firdaus tak jauh berbeda, keduanya sama-sama merasa tak bisa berkata apa-apa. Hingga akhirnya Rumi berinisiatif mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Tadi di sekolah Asya belajar apa?" tanya Rumi sambil meraih jemari Asya untuk ia genggam. Asya tak langsung menjawab. Ia masih memilih diam karena merasa kecewa terhadap Rumi juga. "Kok, pertanyaan Ummi nggak dijawab? Asya udah nggak sayang Ummi?" Untuk kedua kalinya Rumi bertanya, kali ini ia merangkul bahu Asya lalu mengecup pipi bulat gadis kecil itu. "Sayang," re
Audi yang semula hendak beranjak dari ruangan Rumi kini berbalik. Menatap tajam ke arah perempuan berkerudung itu."Aku menyukai Pak Firdaus, dan aku lebih dulu mengenalnya ketimbang kamu. Jadi aku harap, kamu menyadari siapa kamu. Jangan sampai rasa benciku berdampak buruk terhadap kehidupanmu!" ucap Audy dengan rahang mengeras. Emosinya meluap mendengar jawaban Rumi barusan. Rumi tersenyum tipis. Tak ada rasa getir meski ia sangat paham maksud kalimat perempuan itu, karena ia merasa tak ada rasa yang hadir di hatinya untuk laki-laki itu. Ya, di hatinya masih terlukis indah nama Akbar, meski rasa kecewa kerap kali memaksanya untuk mengikis nama mantan suaminya itu. Jangan khawatir, aku tidak suka bersaing. Yang aku yakini jodoh takkan pernah tertukar. Siapapun yang menjadi jodohku, akan tetap membersamaiku dengan cara apapun Allah akan mempertemukan kami suatu hari nanti."Rumi berucap tenang dengan senyum manis. Audi tak lagi menjawab. Perempuan itu menyibak rambutnya dengan se
"Ehm, gimana kalau Abi pesan makanan saja di luar, biar kita bisa makan sama-sama di sini," saran Firdaus sejujurnya ia tengah berusaha menghindar penilaian orang-orang terhadapnya, terutama para karyawan di kantornya. Asya menggeleng cepat. Bibirnya mengerucut sambil menatap lekat wajah sang ayah. "Nggak mau, kita juga, kan, udah biasa makan bersama di rumah. Asya maunya kita makan di luar. Kan, belum pernah, pernahnya dulu waktu Asya masih kecil dan sebelum Ummi pergi lama," protes Asya sambil menatap lekat wajah dua orang dewasa di hadapannya. Kali ini Firdaus melirik ke arah Rumi sambil memberi isyarat dengan menaikan alis. Rumi hanya mengedikkan, bahu. Ia lebih tak bisa memutuskan karena sangat sadar kedudukannya di sini. " gimana kalau lain kali aja, Sekarang abi nggak punya waktu banyak.""Tadi ngajak Asya makan di luar, sekarang malah nggak bisa?" keluhnya dengan bibir mengkerut. Kali ini wajahnya tampak muram karena kecewa. Firdaus mengusap lembut pipi bulat sang anak l