Untuk beberapa saat Rumi hanya bisa diam, berusaha mencari kalimat yang tepat sebagai jawaban. "Sayang, Asya, kan, kalo siang sekolah, sedangkan Abi di kantor, jadi Ummi nggak ada temen di rumah. Kalau Ummi kerja, kan, nanti pulang bisa main lagi sama Asya." Rumi berusaha membujuk. Ia melirik Mbok Sumi yang masih mematung di belakang Asya, memberi isyarat pada perempuan paruh baya itu lewat kedipan mata. Mbok Sumi seketika berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan Asya. "Iya, Non, kasian Ummi kalo terus-terusan di rumah. Lagian Ummi, kan, kerjanya cuma siang. Malemnya Non Asya bisa main lagi sama Ummi." Mbok Sumi ikut membujuk. Asya menggelengkan kepala. "Kan, ada Mbok sama Oma di rumah waktu Asya sekolah," timpalnya tak ingin kalah. "Mbok Sumi, kan, harus kerja, kalau Oma harus banyak istirahat," balas Rumi lembut. "Asya nggak mau," rengeknya dengan bibir mengerucut. Rumi menghela napas panjang, bibirnya tersenyum kecut. Berusaha berpikir keras dengan alasan apa agar Asya ber
"Iya, kan, Ummi? Asya mau dapet adek, kan?" Asya menggoyang bahu Rumi, membuat mukena berenda miliknya ikut bergoyang. Tatapan matanya berbinar menunggu jawaban dari bibir perempuan di hadapannya itu. "I—iya, Sayang," jawab Rumi dengan terbata setelab beberapa detik lidahnya terasa kelu. "Yeeeeey, Asya mau dapet adek," pekik Asya dengan girang sambil memeluk Rumi. Mukena masih menempel di tubuhnya. Mbok Sumi tampak serba salah. Pun dengan Rumi, mengatakan yang sebenarnya rasanya tak mungkin, terlebih setelah melihat wajah sumringah Asya. "Ya udah, sekarang Asya mandi dulu, ya, jangan lupa sikat gigi," ucap Rumi sambil mengecup pipi bulat gadis kecil itu. "Nanti dulu, Asya mau ngasih tau Abi dulu," ucapnya sambil berlari tanpa sempat Rumi maupun Mbok Sumi mencegahnya. Rumi menatap getir punggung Asya yang kian menjauh, hingga memutuskan untuk mengikuti kemana gadis itu pergi. Asya terus berlari menuju kamar sang ayah, sedang Rumi dan Mbok Sumi menyusulnya dengan langkah lebar. K
"I—ini maksudnya apa Pak?" Rumi memberanikan diri untuk bertanya. "Ambilah, tidak mungkin kau bisa bekerja maksimal jika tanpa alat yang bisa mendukung pekerjaanmu."Rumi terdiam sejenak. Ada rasa lega karena Firdaus sama sekali tidak membahas tentang keterlambatannya ke kantor hari ini. Namun, ada yang mengganjal pikirannya, apalagi kalau bukan tentang ponsel di hadapannya. "Berapa aku harus membayarnya? Bukankah ini ponsel mahal?" Rumi tampak kebingungan. Ia cukup paham berapa harga ponsel itu meski hanya melihat gambar dari luar kotaknya saja. "Bawa saja. Di dalamnya sudah dilengkapi kartu, juga sudah tersimpan nomor kantor dan nomor rumah. Anggap saja sebagai tanda terima kasih saya karena telah memperlakukan Asya dengan baik."Rumi menggeleng pelan. Haru seketika menyeruak. Kalimat itu terdengar begitu peduli. Namun, Rumi tak ingin menukar sebuah rasa yang hadir antara dirinya dan Asya dengan materi. "Tidak sedikitpun terlintas di dalam hati untuk mendapatkan imbalan saya b
"Ehm, gimana kalau Abi pesan makanan saja di luar, biar kita bisa makan sama-sama di sini," saran Firdaus sejujurnya ia tengah berusaha menghindar penilaian orang-orang terhadapnya, terutama para karyawan di kantornya. Asya menggeleng cepat. Bibirnya mengerucut sambil menatap lekat wajah sang ayah. "Nggak mau, kita juga, kan, udah biasa makan bersama di rumah. Asya maunya kita makan di luar. Kan, belum pernah, pernahnya dulu waktu Asya masih kecil dan sebelum Ummi pergi lama," protes Asya sambil menatap lekat wajah dua orang dewasa di hadapannya. Kali ini Firdaus melirik ke arah Rumi sambil memberi isyarat dengan menaikan alis. Rumi hanya mengedikkan, bahu. Ia lebih tak bisa memutuskan karena sangat sadar kedudukannya di sini. " gimana kalau lain kali aja, Sekarang abi nggak punya waktu banyak.""Tadi ngajak Asya makan di luar, sekarang malah nggak bisa?" keluhnya dengan bibir mengkerut. Kali ini wajahnya tampak muram karena kecewa. Firdaus mengusap lembut pipi bulat sang anak l
Audi yang semula hendak beranjak dari ruangan Rumi kini berbalik. Menatap tajam ke arah perempuan berkerudung itu."Aku menyukai Pak Firdaus, dan aku lebih dulu mengenalnya ketimbang kamu. Jadi aku harap, kamu menyadari siapa kamu. Jangan sampai rasa benciku berdampak buruk terhadap kehidupanmu!" ucap Audy dengan rahang mengeras. Emosinya meluap mendengar jawaban Rumi barusan. Rumi tersenyum tipis. Tak ada rasa getir meski ia sangat paham maksud kalimat perempuan itu, karena ia merasa tak ada rasa yang hadir di hatinya untuk laki-laki itu. Ya, di hatinya masih terlukis indah nama Akbar, meski rasa kecewa kerap kali memaksanya untuk mengikis nama mantan suaminya itu. Jangan khawatir, aku tidak suka bersaing. Yang aku yakini jodoh takkan pernah tertukar. Siapapun yang menjadi jodohku, akan tetap membersamaiku dengan cara apapun Allah akan mempertemukan kami suatu hari nanti."Rumi berucap tenang dengan senyum manis. Audi tak lagi menjawab. Perempuan itu menyibak rambutnya dengan se
"Sayang, bisa nggak kita bahas yang itu lain waktu? Sekarang udah Magrib, mendingan kita langsung pulang aja, ya," ucap Firdaus akhirnya. Asya nampak murung karena pertanyaan yang sudah sejak tadi ia lontar tak kunjung menemukan jawaban. "Iya, Nak, kita pulang dulu, ya. Kasihan Oma di rumah sendirian," ucap Rumi membuat Asya akhirnya hanya mampu mengangguk pelan. Setelahnya tak ada lagi percakapan antara mereka. Asya memilih diam dengan hati kecewa, sedang Rumi dan Firdaus tak jauh berbeda, keduanya sama-sama merasa tak bisa berkata apa-apa. Hingga akhirnya Rumi berinisiatif mengalihkan topik pembicaraan mereka."Tadi di sekolah Asya belajar apa?" tanya Rumi sambil meraih jemari Asya untuk ia genggam.Asya tak langsung menjawab. Ia masih memilih diam karena merasa kecewa terhadap Rumi juga."Kok, pertanyaan Ummi nggak dijawab? Asya udah nggak sayang Ummi?" Untuk kedua kalinya Rumi bertanya, kali ini ia merangkul bahu Asya lalu mengecup pipi bulat gadis kecil itu."Sayang," rengeng
Rumi hanya mematung di tempatnya berdiri. Tak bisa menjawab apa-apa selain diam dengan suasana hati mengharu biru.Tak tahu lagi kalimat seperti apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Akbar maupun keluarganya. Perlakuan mereka persis bak malaikat penolong bagi Rumi.Melihat Rumi hanya diam, Akbar akhirnya kembali ke mobil dan mengambil plastik pembungkus barang belanjaan yang dibeli di minimarket bersama Asya tadi."Ini. Jangan lupa diminum," ucap Akbar dengan nada pelan. Sejujurnya ia ingin berbicara dengan bahasa lebih akrab lagi, hanya saja sikap Rumi yang selalu menjaga jarak membuatnya sadar tentang kedudukannya di hati perempuan itu."Terima kasih," ucap Rumi akhirnya. Ia meraih pemberian Akbar lalu membawanya masuk rumah tanpa berkata-kata. *Dua bulan berlalu kepergian Rumi dari rumah Akbar. Namun, ingatannya tentang Akbar masih begitu lekat di kepala. Kerap kali ia berusaha mengenyahkan kenangan tentang mantan suaminya itu, sayangnya, hati kecilnya tak bisa b
Rumi masih berkutat dengan pekerjaannya ketika ponsel berdering. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. "Assalamualaikum," ucapnya santun, terlebih setelah tahu siapa sang penelepon. "Maaf, siang ini saya banyak kerjaan, jika tidak keberatan nanti sore sepulang kantor saya tunggu di ruang kerja saya," ucap laki-laki dari seberang sana dengan suara pelan. Siapa lagi kalau bukan Firdaus, laki-laki yang akhir-akhir ini menunjukkan perhatiannya pada Rumi. "Baik, Pak," jawab rumit singkat. Ritme jantungnya berubah cepat setelah menerima telepon dari laki-laki itu. Bukan cinta, melainkan rasa kagum sekaligus hormat. Rumi cukup paham pembicaraan seperti apa yang dimaksud Firdaus. Apalagi kalau bukan tentang dirinya yang tengah berbadan dua, dan tentunya Asya juga. Ketakutan selalu hadir di hatinya ketika berbicara tentang masa depannya. Ia khawatir antara Asya dan calon buah hatinya salah satunya akan ada yang terabaikan. Dan Rumi tak ingin itu terjadi.*Sepanjang siang hingga sore