Rumi menatap lekat wajah bocah perempuan itu. Hatinya terenyuh melihat wajah mungil itu menatapnya dengan raut wajah sendu berubah jadi tangis.
Rumi bangkit dari ranjangnya. Berjalan perlahan mendekati bocah itu. Senyum menguar lembut dari wajah teduh itu. "Ummi?" tanya Rumi dengan dahi berkerut. Ia tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, berusaha membuat bocah mungil itu untuk tak kecewa. Tanpa kata gadis mungil itu menghambur memeluk erat tubuh Rumi. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Rumi, lalu terisak dalam dekapan perempuan berhati lembut itu. "Ummi kenapa perginya lama? Kenapa perginya nggak ngajak Asya? Kenapa nggak pernah telepon Asya?"Deretan tanya dengan nada suara parau itu membuat Rumi membatu di tempat. Suasana hatinya yang memang sedang tidak baik-baik saja membuat mata perempuan itu seketika mengabur. Sesaat setelahnya bulir bening mengalir perlahan. Tangan Rumi mengusap lembut rambut lurus hitam pekat itu. Menikmati dekapan hangat tubuh mungil menguar aroma wangi buah di kepalanya itu. Sekarang Rumi mulai paham siapa yang dipanggil ummi oleh Asya. Ya, dirinyalah yang dipanggil ummi, namun ia sendiri belum tahu apa alasannya. "Maafkan Ummi, ya, Sayang, kalau Ummi perginya terlalu lama. Ummi nggak ajak Asya karena nggak mau Papa kesepian. Ponsel Ummi juga ketinggalan, makanya nggak bisa telepon Asya."Suara Rumi tercekat di tenggorokan. Suasana haru membuat keduanya tergugu dalam keadaan saling berpelukan. "Asya kangen Ummi. Jangan pernah pergi lagi tinggalin Asya," ucap gadis kecil itu di sela isak tangis. Kedua tanyannya kian erat merengkuh leher Rumi. Tak ada kalimat yang keluar dari bibir Rumi, lidahnya kelu untuk berucap seiring suasana hati yang mengharu biru. Rumi tak tahu apa yang terjadi, yang terpenting sekarang hanyalah, membuat Asya senyaman mungkin dalam dekapannya. Rumi belum pernah merasakan bagaimana memiliki seorang anak, meski sekarang ia tengah mengandung. Namun, sekarang ia mulai merasakan akan seperti apa kehidupannya setelah kelahiran anaknya kelak. Beberapa menit setelahnya keduanya masih saling berpelukan. Asya seolah enggan melepaskan pelukannya seiring rindu yang membuncah di dada. Rumi menikmati luahan rasa dari tubuh mungil itu bermenit-menit, hingga akhirnya ia merenggangkan pelukannya."Sekarang Ummi harus janji, kalau Ummi nggak akan pernah ninggalin Asya lagi," ucapnya dengan suara terisak. Rumi mengusap lembut pipi bulat yang kini basah oleh air mata. Mencium lembut kening bocah mungil itu. Setelahnya mengangkat jari kelingking kanannya, menautkan pada kelingking Asya. Tak butuh waktu lama bagi Rumi untuk menghadirkan rasa untuk Asya, karena hanya dalam waktu beberapa menit saja kebersamaan mereka, rasa sayang itu telah hadir dan perlahan berkecambah. "Udah nangisnya? Mau peluk Ummi lagi?" tanya Rumi sambil mengusap air matanya sendiri. Asya tak menjawab, lalu kembali mendekap tubuh Rumi. Berusaha meluahkan rindu yang selama setahun ini tertahan. Rindu belaian hangat dari tangan lembut seorang ibu sebagai pengantar tidur malamnya. Rindu kecupan lembut di pucuk kepalanya setiap bangun dari tidur, bahkan di setiap momen kebersamaan mereka. Rumi mengangkat tubuh mungil itu, membawanya ke atas ranjang. Hingga akhirnya Asya kembali merenggangkan pelukannya. Mata bulatnya menatap lekat wajah Rumi. Ada rindu juga sepi di sana. Tangan Rumi membingkai wajah basah berkulit lembut terawat itu. Menelisik setiap inci wajah yang telah membuatnya jatuh hati hanya dalam waktu sekejap saja. Perlakuan Asya terhadapnya, mampu membuat Rumi merasa hatinya begitu dekat dengan anak perempuan itu. "Asya sudah sarapan?" tanya Rumi kemudian. Sejujurnya bukan pertanyaan itu yang ingin ia lontarkan, melainkan: ke mana ummi Aysa pergi? Sejak kapan ummi Asya pergi? Namun, Rumi sama sekali tak sampai hati menanyakan hal itu pada Asya. Asya mengangguk pelan. Bibirnya tertutup rapat. Banyak tanya yang memenuhi tempurung kepalanya. Namun, bocah itu lebih memilih memuaskan netranya menatap wajah teduh di hadapannya. "Sekarang mau main sama Ummi?" tanya Rumi dengan senyum lembut. Asya mengangguk cepat. Namun, sinar matanya masih sendu. "Asya masih sedih?" tanya Rumi ketika melihat Asya masih membeku menatapnya. Kembali gadis mungil itu mengangguk dengan bibir bergetar, berusaha menahan bulir bening yang kembali mengalir dari pelupuk matanya. Rumi kembali mengusap lembut pipi Asya yang nampak memerah. "Kalau sedih terus, kapan mau mainnya?" tanya Rumi dengan senyum lembut. Hatinya terenyuh menatap wajah Asya, meski sejujurnya ia masih tak paham entah sebab apa perempuan yang Asya panggil ummi itu pergi. Apakah karena tak mendapatkan restu? Atau karena diusir sang suami seperti keadaan dirinya saat ini? Mengingatnya membuat hati Rumi kembali berdenyut nyeri. "Asya mau main sama Ummi di sini saja," ucap Asya dengan raut wajah memohon. Kalimat Asya membuat Rumi tersadar. Kembali ia sibukkan dirinya dengan Asya, berharap akan menjadi penawar dari luka sisa semalam. "Oke, Anak Baik. Sekarang mau main apa?" tanya Rumi dengan senyum termanisnya, berharap kesedihan Asya segera pergi, pun kesedihannya. "Asya mau Ummi baca cerita sambil peluk Asya," pintanya penuh harap. Rumi menautkan alis. Ia sama sekali belum pernah melakukan hal demikian. Namun, demi Asya ia akan melakukannya. "Baiklah. Asya punya buku ceritanya?" tanya Rumi kemudian. Asya mengangguk cepat. "Boleh, dong, Ummi minta tolong Asya buat ngambilin bukunya. Ummi tunggu di sini."Asya tak beranjak, ia terdiam dengan kepala setengah tertunduk. Rumi merasakan ada sesuatu yang salah dalam kalimatnya. "Kenapa? Apa ucapan Ummi ada yang salah?" tanya Rumi. Tangannya kembali membingkai wajah cantik berpipi bulat itu. Asya menggeleng. "Asya takut," jawabnya dengan wajah sendu. "Takut kenapa?" tanya Rumi dengan dahi berkerut. "Takut Ummi kembali ninggalin Asya lagi," jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Rumi nampak menghela napas panjang. Dadanya tiba-tiba sesak kala mendengar kalimat Asya barusan. 'Sedalam itukah rasa di hatinya untuk sang ibu?' Rumi membatin.Ada rindu yang sama tiba-tiba menyelinap di hati Rumi, rindu pada perempuan terbaik dalam hidupnya. Perempuan yang ia panggil 'Ibu'. Perempuan yang tak akan pernah lagi ia temukan di tempat manapun di dunia ini. Ya, Rumi rindu sang ibu yang telah meninggal sepuluh tahun lalu karena penyakit gagal ginjal. "Jangan takut lagi, insya Allah Ummi akan tetap bersama Asya di sini," ucap Rumi dengan dada berdenyut nyeri. Asya kembali menggeleng. "Dulu juga Ummi bilang insya Allah nggak akan ninggalin Asya," jawabnya dengan wajah sedih. Rumi menengadah menatap langit-langit kamar, berharap bulir dari matanya yang kembali memuai tak sampai menetes. Entah untuk keberapakalinya Rumi menghela napas panjang. Sesak dadanya setelah peristiwa semalam kini bertambah. "Baiklah, Ummi temani Asya buat ngambilin buku cerita Asya, ya. Sekarang Ummi udah di sini. Nggak ada alasan Asya buat sedih lagi," bujuk Rumu sambil kembali memeluk anak perempuan itu. Asya mengangguk dengan wajah sendu. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi pagi datang ke kamar di mana Rumu berada, kembali muncul di balik pintu. Perempuan itu menghentikan langkahnya ketika melihat Asya dalam pelukan Rumi. Wajahnya berubah sendu. Telunjuk perempuan paruh baya itu ia letakkan di bibir kala tatapannya beradu dengan Rumi, sebagai isyarat untuk diam. Suasana hening, hanya isak Asya yang sesekali terdengar. Anak perempuan itu hanyut dalam rindu yang baru mencair. Sedang perempuan bertubuh berisi itu tetap mematung dengan ekspresi yang membuat Rumi kian bingung. Beberapa menit setelahnya pelukan keduanya terlerai. "Yuk, Ummi, temenin Asya ke kamar," ucap Asya seraya memegang pergelangan tangan Rumi. Rumi dilanda kebingungan. Ia tak paham harus bagaimana. Namun, ia segera mengikuti langkah Asya ketika perempuan paruh baya itu mengangguk memberi isyarat. Asya sedikit tersentak ketika melihat perempuan yang setiap hari menemaninya, kini tengah berdiri di ambang pintu. "Eh, M—Mbok Sumi. Liat Mbok, Ummi kembali. A—Asya udah bilang 'kan, kalau Um—Ummi pasti kembali," ucap gadis kecil itu dengan sisa-sisa isak yang membuat suaranya terputus-putus. Tiba-tiba wajah perempuan yang Asya panggil Mbok Sumi berubah muram, beberapa detik kemudian berurai air mata. Rumi semakin tak paham."Mbok Sumi kenapa nangis, Mbok?" tanya Asya dengan muka muram. Perempuan paruh baya itu berjongkok, memeluk erat tubuh Asya, sedang tangan Asya menggenggam erat tangan Rumi."Syukurlah, Non, Ummi akhirnya kembali. Jadi anak baik, ya, biar Ummi makin sayang," bisik Mbok Sumi dengan air mata kian deras. Rumi semakin tak paham. Namun, ia berusaha menerka apa yang sebenarnya terjadi. Mbok Sumi melerai pelukannya, bibirnya tersenyum lembut pada Asya, lalu melirik ke arah Rumi dengan wajah penuh harap. "Kenapa Ummi baliknya lama? Asya pasti kangen banget sama Ummi. Iya, kan, Sya?" tanya Mbok Sumi seraya menatap Rumi lekat. Asya mengangguk cepat sambil mengusap sisa air matanya yang terasa menggelitik wajah dengan sebelah tangannya. "Baiklah, sekarang mau ajak Ummi ke mana?" tanya Mbok Sumi sambil melempar senyum ke arah Asya. "Mau ajak Ummi buat ambil buku cerita di kamar Asya," jawabnya dengan binar bahagia. "Ya, sudah. Mbok mau beresin peralatan makan Ummi dulu, Nak. Asya baik-ba
Suasana berubah canggung, terlebih setelah Rumi menyadari jika ada orang lain selain mereka bertiga di ruangan ini. "Asya Sayang," ujar Rumi sambil mengusap lembut kepala Asya. Asya mendongak dengan bersimbah air mata. Ketakutannya akan kehilangan sosok ibu kembali menghantuinya setelah menyadari Rumi tak di sampingnya saat ia terbangun dari tidur. "Jangan tinggalin Asya lagi, Ummi," jawabnya sambil tersedu. Rumi melirik pada wajah renta itu, lalu tersenyum santun. Di belakang perempuan itu kini Mbok Sumi berdiri sambil memegangi handle kursi roda. "Asya dengar Ummi dulu," ujar Rumi lembut. "Asya boleh nangis, tapi jangan lama-lama, ya."Mendengar kalimat Rumi, Asya mengangguk cepat. Perlahan tangisnyapun mereda. "Boleh Ummi salaman saman Nenek?" tanya Rumi dengan suara berbisik, sambil melirik pada perempuan di kursi roda itu. "Itu Oma," ucap Asya disela isak tangisnya. "Oh, iya, ya, kenapa Ummi bisa lupa." Rumi menepuk jidatnya sendiri sambil terkekeh pelan. Asya terkekeh s
Ruang kamar berukuran empat kali lima meter yang dihuni Saraswati itu tampak begitu rapi. Sirkulasi udara pun tampak baik. Kamar yang berbatasan langsung dengan teras samping rumah itu terasa begitu nyaman untuk digunakan sebagai tempat istirahat. Di atas kursi rodanya Saraswati duduk dengan ekspresi wajah dingin, sedang di sisi tempat tidurnya Firdaus duduk sejak beberapa menit yang lalu dengan bibir terkunci. Laki-laki berambut ikal itu memilih diam sembari menunggu kalimat yang akan ditujukan sang ibu untuknya. Dua ibu dan anak itu memiliki karakter yang begitu mirip. Sama-sama acuh, lebih lagi terhadap orang yang baru dikenal. "Siapa perempuan itu?" tanya Saraswati setelah bermenit-menit hanya diam sambil menatap kosong dinding pembatas bercat biru muda di hadapannya. Beberapa detik tak ada jawaban. Firdaus berusaha mencari kalimat yang tepat sebagai jawaban, karena paham seperti apa karakter perempuan yang telah melahirkannya itu. Dingin dan pastinya tak gampang menerima keha
Firdaus menelan ludah getir. Membayangkan Rumi dari rumahnya sudah pasti akan membuat Asya bersedih, atau mungkin jauh lebih dari itu. "Kamu yakin?" tanya Firdaus dengan nada getir. Helaan nafas berat terdengar dari bibir Rumi. Tatapan mata sendunya luruh pada ujung kaki telajangnya. Sejujurnya ia pun merasa berat untuk pergi dari rumah ini, mengingat seberapa dekat Asya dengan dirinya. Namun, untuk tetap tinggal di sini pun rasanya tak mungkin, mengingat dirinya bukanlah siapa-siapa di rumah ini. Untuk meminta tetap tinggal di sini rasanya terlalu tak tahu diri, lebih lagi tiga hari keberadaannya di sini sikap dingin Firdaus membuatnya sedikit tak nyaman.Bukan, bukan ia berharap diperlakukan hangat, tapi setidaknya Firdaus bisa bersikap wajar padanya. "Aku sudah memikirkannya sejak beberapa hari lalu.""Apa yang kau temukan?" sambung Firdaus. Ada rasa ingin tahu yang kuat yang mendorongnya untuk bertanya demikian. "Entahlah, yang pasti aku tidak memiliki hak untuk tinggal lebi
Rumi merenggangkan pelukan ketika Asya sedikit lebih tenang. Kedua tangannya menyentuh lembut kedua bahu mungil dalam balutan lengan piyama berbahan satin itu. "Ummi di sini, Nak," bisiknya lembut dengan senyum manis. Firdaus membuang muka. Mata yang biasa tampak dingin kini terlihat mengembun. "Titip Asya, aku akan bersiap ke kantor lebih awal hari ini," ucapnya, lalu beranjak pergi tanpa menunggu persetujuan Rumi. Menyaksikan lebih lama cara Asya memperlakukan Rumi membuat hatinya kian gamang. Rumi hanya mampu menatap punggung lelaki jangkung itu yang kian mengecil. Sejujurnya ingin ia tanyakan tentang pekerjaan yang dijanjikan Firdaus semalam, mengingat hatinya tak nyaman jika lebih lama lagi tinggal di sini tanpa menghasilkan rupiah. Memang keseharian Rumi di sini ia habiskan untuk merawat Asya juga membantu Mbok Sumi beres-beres rumah. Hanya saja menurut Rumi selagi ia tidak bekerja di luar, maka tetap saja ia tak nyaman. Rasa mual yang tiba-tiba datang memaksa Rumi buru-bu
"Bu," panggil Mbok Sumi ketika Rumi tak kunjung beranjak. "Oh, i—iya, beliau di mana, Mbok?" tanya Rumi sedikit tergagap. "Di ruang TV, Bu.""Ya sudah, aku ke sana ya, Mbok."Rumi melangkah menuju ruang TV. Sepanjang langkah terayun ia menebak-nebak apa yang akan dibicarakan nyonya rumah ini padanya.Ruangan yang biasa dipakai untuk kumpul keluarga itu berukuran cukup luas karena menyatu dengan ruang makan serta taman kecil di sebelahnya. Tampak di sana Saraswati tengah menyaksikan berita di channel TV lokal. Perempuan itu segera mematikan TV setelah menyadari Rumi datang. "Ibu memanggil saya?" tanyanya santun. Perempuan beralis tebal serta bola mata hitam pekat itu tersenyum lembut. "Duduklah," ucap Saraswati ketika melihat Rumi hanya berdiri mematung di depannya. Wajah Saraswati tampak kaku. Entah karena efek sakit yang diderita, atau memang karakter, atau mungkin ada masalah. Rumi tak tahu. Rumi duduk di kursi sebelah kiri di ujung berbentuk L dengan Saraswati. Memilih duduk
"Mama curiga perempuan itu hamil," ucap Saraswati membuat Firdaus menelan ludah gusar. Melintas prasangka buruk di benaknya, namun sedetik kemudian hati kecilnya menepisnya, karena ia tak menemukan gelagat tak baik sejak pertama bertemu Rumi. "Mama tau dari mana?" tanyanya dengan tatapan lekat pada sang ibu. "Mbok Sumi sudah beberapa kali melihat dia muntah-muntah." Beberapa saat Firdaus berpikir keras. Mencari penyelesaian terhadap semua kemungkinan, mengingat di rumah ini dirinyalah yang menjadi kepala keluarga meski statusnya adalah anak. "Apa kau tak takut jika dia berpura-pura baik? Dan pada akhirnya menusukmu dari belakang?" Saraswati melanjutkan kalimatnya. Firdaus menggeleng, lalu menghela napas panjang. Kedua tangannya bertaut di sela kedua paha dengan tatapan lurus pada keramik hitam bermotif abu-abu di bawah kakinya. "Aku tak melihat dia seperti itu, Ma." Saraswati membuang muka. Sikap keras kepala Firdaus sejujurnya menurun darinya, hanya saja Firdaus tak seh
Hati Rumi seketika diliputi kecemasan. Detik ini ia rasakan bimbang, tak tahu harus menjawab apa, dan tak tahu harus berterus terang ataukah tetap diam tentang kisah perihnya. "Di rumahmu?" Melihat Rumi hanya diam, Firdaus kembali melayangkan tanya, mengingat rasa penasaran yang tak kunjung beranjak pergi. Ya, Firdaus penasaran dengan semua tentang Rumi. Dari mana ia berasal dan bagaimana statusnya sebagai perempuan. Dalam satu tarikan nafas Rumi melangitkan do'a dalam hati, memasrahkan semua langkahnya pada Sang Pemilik Kebijakan. Berharap hatinya tegar menerima semua ketetapan. "Malam itu aku pergi dari rumah mantan suamiku dan semua identitas diri bahkan ponselku tertinggal di sana," ucapnya dengan suara bergetar serta kepala tertunduk. Tampak jelas luka itu masih terasa perih. Firdaus mengusap wajah pelan. Sejak awal ia meyakini jika sesuatu telah terjadi pada Rumi. Namun, untuk menanyakan lebih dalam ia merasa tak memiliki hak. Ada iba di relung sana, hanya saja ia tak
Bergegas Rumi meneguk minumannya. Jujur saja, kalimat Firdaus barusan mampu membuatnya tersentak. Hati Rumi tergelitik untuk bertanya, apa yang diketahui laki-laki itu tentangnya lewat Mbok Sumi, hanya saja ia terlalu sungkan, hingga akhirnya Firdaus kembali bersuara. "Jangan banyak pikiran, supaya bayimu sehat. Jangan khawatirkan tentang tempat tinggal dan kehidupanmu selanjutnya. Jika kau bersedia, tetaplah tinggal di rumah itu dan menganggap Asya seperti anak kandungmu sendiri, meski kelak setelah kamu memiliki anak dari rahimmu sendiri." Suara Firdaus terdengar sedikit serak. Hatinya berdesir hebat setiap berada di dekat Rumi, meski sebenarnya jarak pemisah antara mereka berneter-meter. "Kurasa tidak terlalu baik jika kamu memilih untuk tinggal sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Lebih lagi aku tak tega melihat Asya kembali p atah hati untuk kesekian kalinya." Rumi hanya membeku. Tatapannya jatuh pada jemari yang melingkar di pinggang botol plastik di tangannya. Fird
"Apa maksudmu?" Firdaus bertanya dengan kepala setengah tertunduk. Rumi tak langsung menjawab, memilih diam beberapa saat. "Beristirahatlah di rumah, Pak. Bapak sudah sangat lelah setelah seharian bekerja, lebih lagi dalam keadaan berpuasa." Rumi berucap sepelan mungkin, berharap kalimatnya tak menyinggung perasaan Firdaus. Firdaus terdengar mendesah pelan. "Tolong jangan memintaku untuk pulang malam ini. Keadaanmu masih belum pulih, dan di sini tak ada siapapun yang menemanimu." Firdaus berucap dengan tatapan luruh di atas lantai berkeramik senada dengan warna dinding ruangan. "Maaf sebelumnya jika perkataanku membuat Bapak tak nyaman, tapi inilah adanya, kita adalah dua orang asing yang tak seharusnya berada dalam ruangan yang sama sepanjang malam, ucap Rumi dengan kepala kian tertunduk. Jujur lidahnya begitu berat untuk mengucapkan kalimat barusan, hanya saja hatinya mengatakan jika ia harus berani. "Jika memang kamu keberatan aku berada di sini, aku akan tidur di mushola
Suasana canggung di ruang rawat Rumi terus saja terasa semenjak pertemuan Asya dan Firdaus sejak satu jam lalu. Bahkan hingga kini, saat Firdaus mengajak Asya untuk kembali ke rumah, gadis kecil itu kembali melayangkan protesnya terhadap sang ayah. "Abi kenapa pulang? Terus siapa yang nungguin Ummi di sini kalau Abi pulang sekarang?" Asya menatap ke arah Firdaus dengan mata menyipit, merasa tak terima dengan ajakan sang ayah. Firdaus berjongkok di depan sang anak, dua tangannya menyentuh bahu Asya pelan. "Sayang, Abi butuh istirahat karena besok harus kerja. Ummi di sini sama Mbok Sumi. Asya juga besok harus sekolah, jadi sekarang kita pulang dulu, ya. Kan, besok sepulang sekolah masih bisa jenguk Ummi ke sini." Firdaus berusaha membujuk sang anak, meski hasilnya masih sama. "Nggak mau, Asya mau nemenin Ummi di sini. Asya nggak mau nanti Ummi pergi lagi." Asya mengerucutkan bibirnya, kali ini matanya tampak berkaca-kaca dengan kedua tangan saling meremas satu sama lain. Fird
Penunjuk waktu di dinding kamar bercat putih itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Rumi perlahan membuka matanya. Ia baru saja sadar dari pingsannya. Spontan tangan Rumi mengusap lembut perutnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan. Ruangan yang tampak tak biasa menurutnya. Kini tatapan mata Rumi terhenti pada laki-laki yang tengah duduk di samping nakas, laki-laki yang kini fokus ke layar ponsel di tangannya. Rumi merasakan lidahnya kelu untuk sekedar menyapa, hingga akhirnya ia lebih memilih berusaha bangkit meski dengan selang infus di tangan serta tubuh lemasnya. "Kamu sudah bangun?" Firdaus segera mematikan ponselnya ketika sadar Rumi tengah susah payah untuk duduk, meski ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Rumi hanya menjawab dengan senyum kecut. Jujur, ia tak nyaman karena terus merasa merepotkan Firdaus. "Istirahat aja dulu. Sebentar lagi Asya akan datang," lanjut Firdaus sambil mendekatkan kursinya ke ranja
Rumi masih berkutat dengan pekerjaannya ketika ponsel berdering. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. "Assalamualaikum," ucapnya santun, terlebih setelah tahu siapa sang penelepon. "Maaf, siang ini saya banyak kerjaan, jika tidak keberatan nanti sore sepulang kantor saya tunggu di ruang kerja saya," ucap laki-laki dari seberang sana dengan suara pelan. Siapa lagi kalau bukan Firdaus, laki-laki yang akhir-akhir ini menunjukkan perhatiannya pada Rumi. "Baik, Pak," jawab rumit singkat. Ritme jantungnya berubah cepat setelah menerima telepon dari laki-laki itu. Bukan cinta, melainkan rasa kagum sekaligus hormat. Rumi cukup paham pembicaraan seperti apa yang dimaksud Firdaus. Apalagi kalau bukan tentang dirinya yang tengah berbadan dua, dan tentunya Asya juga. Ketakutan selalu hadir di hatinya ketika berbicara tentang masa depannya. Ia khawatir antara Asya dan calon buah hatinya salah satunya akan ada yang terabaikan. Dan Rumi tak ingin itu terjadi. * Sepanjang siang hingg
Rumi hanya mematung di tempatnya berdiri. Tak bisa menjawab apa-apa selain diam dengan suasana hati mengharu biru. Tak tahu lagi kalimat seperti apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Akbar maupun keluarganya. Perlakuan mereka persis bak malaikat penolong bagi Rumi. Melihat Rumi hanya diam, Akbar akhirnya kembali ke mobil dan mengambil plastik pembungkus barang belanjaan yang dibeli di minimarket bersama Asya tadi. "Ini. Jangan lupa diminum," ucap Akbar dengan nada pelan. Sejujurnya ia ingin berbicara dengan bahasa lebih akrab lagi, hanya saja sikap Rumi yang selalu menjaga jarak membuatnya sadar tentang kedudukannya di hati perempuan itu. "Terima kasih," ucap Rumi akhirnya. Ia meraih pemberian Akbar lalu membawanya masuk rumah tanpa berkata-kata. * Dua bulan berlalu kepergian Rumi dari rumah Akbar. Namun, ingatannya tentang Akbar masih begitu lekat di kepala. Kerap kali ia berusaha mengenyahkan kenangan tentang mantan suaminya itu, sayangnya, hati kecilnya tak
"Sayang, bisa nggak kita bahas yang itu lain waktu? Sekarang udah Magrib, mendingan kita langsung pulang aja, ya," ucap Firdaus akhirnya. Asya nampak murung karena pertanyaan yang sudah sejak tadi ia lontar tak kunjung menemukan jawaban. "Iya, Nak, kita pulang dulu, ya. Kasihan Oma di rumah sendirian," ucap Rumi membuat Asya akhirnya hanya mampu mengangguk pelan. Setelahnya tak ada lagi percakapan antara mereka. Asya memilih diam dengan hati kecewa, sedang Rumi dan Firdaus tak jauh berbeda, keduanya sama-sama merasa tak bisa berkata apa-apa. Hingga akhirnya Rumi berinisiatif mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Tadi di sekolah Asya belajar apa?" tanya Rumi sambil meraih jemari Asya untuk ia genggam. Asya tak langsung menjawab. Ia masih memilih diam karena merasa kecewa terhadap Rumi juga. "Kok, pertanyaan Ummi nggak dijawab? Asya udah nggak sayang Ummi?" Untuk kedua kalinya Rumi bertanya, kali ini ia merangkul bahu Asya lalu mengecup pipi bulat gadis kecil itu. "Sayang," re
Audi yang semula hendak beranjak dari ruangan Rumi kini berbalik. Menatap tajam ke arah perempuan berkerudung itu."Aku menyukai Pak Firdaus, dan aku lebih dulu mengenalnya ketimbang kamu. Jadi aku harap, kamu menyadari siapa kamu. Jangan sampai rasa benciku berdampak buruk terhadap kehidupanmu!" ucap Audy dengan rahang mengeras. Emosinya meluap mendengar jawaban Rumi barusan. Rumi tersenyum tipis. Tak ada rasa getir meski ia sangat paham maksud kalimat perempuan itu, karena ia merasa tak ada rasa yang hadir di hatinya untuk laki-laki itu. Ya, di hatinya masih terlukis indah nama Akbar, meski rasa kecewa kerap kali memaksanya untuk mengikis nama mantan suaminya itu. Jangan khawatir, aku tidak suka bersaing. Yang aku yakini jodoh takkan pernah tertukar. Siapapun yang menjadi jodohku, akan tetap membersamaiku dengan cara apapun Allah akan mempertemukan kami suatu hari nanti."Rumi berucap tenang dengan senyum manis. Audi tak lagi menjawab. Perempuan itu menyibak rambutnya dengan se
"Ehm, gimana kalau Abi pesan makanan saja di luar, biar kita bisa makan sama-sama di sini," saran Firdaus sejujurnya ia tengah berusaha menghindar penilaian orang-orang terhadapnya, terutama para karyawan di kantornya. Asya menggeleng cepat. Bibirnya mengerucut sambil menatap lekat wajah sang ayah. "Nggak mau, kita juga, kan, udah biasa makan bersama di rumah. Asya maunya kita makan di luar. Kan, belum pernah, pernahnya dulu waktu Asya masih kecil dan sebelum Ummi pergi lama," protes Asya sambil menatap lekat wajah dua orang dewasa di hadapannya. Kali ini Firdaus melirik ke arah Rumi sambil memberi isyarat dengan menaikan alis. Rumi hanya mengedikkan, bahu. Ia lebih tak bisa memutuskan karena sangat sadar kedudukannya di sini. " gimana kalau lain kali aja, Sekarang abi nggak punya waktu banyak.""Tadi ngajak Asya makan di luar, sekarang malah nggak bisa?" keluhnya dengan bibir mengkerut. Kali ini wajahnya tampak muram karena kecewa. Firdaus mengusap lembut pipi bulat sang anak l