Share

KAU SESALI USAI KU PERGI
KAU SESALI USAI KU PERGI
Penulis: Rizka Fhaqot

Malam Kelabu

Penulis: Rizka Fhaqot
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-31 09:38:33

"Bangun kau, Bajingan!"

Bentakan suara bariton membuat wanita itu menggeliat, perlahan ia membuka matanya. Betapa terkejutnya Harumi ketika mendapati pemandangan sang suami, Akbar, tengah memukuli pria asing. Lebih mengejutkan lagi, pria asing tersebut berada dalam kondisi setengah telanjang, sementara tubuh Harumi sendiri tak jauh berbeda.

"Ada apa ini?" Harumi memekik ketika mendapati tubuh polosnya di bawah selimut. Ia mengeratkan pelukannya pada selimut dengan degup jantung berlompatan.

"Katakan apa yang sudah kalian lakukan di sini?!"

Suara bentakan Akbar membuat Harumi menggigil ketakutan. Kepalanya sibuk menerka apa yang sudah terjadi.

Laki-laki asing bertelanjang dada serta mengenakan bawahan di atas lutut itu hanya tersenyum menyeringai.

Buk! Buk! Buk!

Hantaman demi hantaman dari kepalan tangan Akbar mengenai tubuh laki-laki itu, membuat tubuh kurus berambut ikal itu tersurut. Beberapa saat ia meringis menahan nyeri, namun ia seolah tak memiliki niat untuk membalas pukulan Akbar.

Harumi menggelengkan kepala berulang kali, melihat Akbar meluahkan amarahnya membuat ia ketakutan. Air matanya seketika berjejalan ke luar saat kalimat dari bibir laki-laki asing itu menembus gendang telinganya.

"Kami saling mencintai," ucapnya sambil mengelap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah segar dengan ujung-ujung jari.

Entah dari mana kekuatan pada diri Harumi muncul, kini ia bangkit dan dengan cepat mengenakan pakaiannya yang sedari tadi terkapar di lantai. Air matanya tak henti mengucur karena rasa takut bercampur getir membuncah di dalam dada.

"Bohong! Aku sama sekali tidak mengenalmu!" teriak Rumi, membuat Akbar serta laki-laki asing itu menoleh seketika. Sedari tadi keduanya tak menyadari jika Rumi sudah sadar dari tidurnya

Akbar tersenyum sinis. Ia memindai tubuh istrinya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kau tak perlu memainkan drama di sini, karena sekarang aku tau siapa kamu," ujar Akbar membuat hati Rumi seketika hancur. Kalimat yang diucapkan dengan nada merendahkan itu berhasil merobek dinding hatinya.

Rumi menghambur lalu bersimpuh di kaki Akbar, namun dengan cepat Akbar menjauh agar tangan Rumi tak bisa menyentuhnya.

"Aku tak sudi disentuh tangan perempuan pengkhianat! Aku bekerja keras demi membahagiakanmu, tapi apa yang kau lakukan? Kau membawa laki-laki lain ke rumah ini saat aku dan Mama tidak ada di rumah!"

Untuk keduakalinya hati Rumi berkeping oleh kalimat laki-laki tercintanya. Bahkan kali ini terasa lebih hancur.

Beberapa detik Rumi terdiam. Air matanya kian bersesakkan ke luar, membuat dadanya kian sesak.

"Kumohon percayalah padaku, Bang. A—aku sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ta—tadi Dara mengirim makanan, setelah makan makanan itu aku merasa ngantuk dan akhirnya tidur. Aku nggak tau apa yang terjadi detelahnya, dan tiba-tiba terbangun karena suara Abang marah-marah."

Rumi berusaha menjelaskan dengan napas tersengal.

Akbar berjongkok, kini antara wajahnya dan wajah Rumi tampak sejajar, hanya terpisah ruang kosong kurang dari setengah meter.

"Maksudmu kamu mau memfitnah Dara adikku, hah?!" desis Akbar sinis.

Rumi menggeleng cepat dengan wajah bersimbah air mata.

"Bukan—bukan begitu, a—aku hanya menjelaskan—"

"Menjelaskan jika kau sudah mengotori kamar ini dengan keringat laki-laki lain?"

Rumi merasakan dadanya kian sesak, lidahnyapun ikut kelu. Ia seolah kehabisan kalimat untuk membuktikan semuanya setelah deretan fitnah yang dilayangkan Akbar untuknya. Sedang laki-laki asing itu kini sibuk mengenakan pakaiannya.

Rumi sangat paham jika Dara tak mungkin berbuat buruk padanya setelah apa yang mereka lalui selama ini. Ya, Dara selalu bersikap baik padanya, pun dengan Astuti—ibu mertuanya. Dua orang terdekat Akbar itu tak pernah menampakkan sikap tak sukanya pada Rumi.

"Aku sungguh tak tahu kenapa semua bisa jadi begini. Demi Allah, aku tak pernah mengajak laki-laki itu untuk datang, bahkan aku sama sekali tidak mengenalinya," ucap Rumi di sela isak tangis pilu.

Akbar kembali berdiri, ia berjalan lalu duduk di sisi tempat tidur. Menghadap sisi kanan tubuh Rumi.

"Itu adalah alasan klasik ketika seseorang ketahuan berselingkuh." Kali ini kalimat Akbar terdengar santai, namun penuh penekanan.

Rumi menggeleng pelan. Matanya terpejam dengan tangan kanan mencengkeram kuat dadanya.

"Demi Allah, aku tak melakukannya," rintihnya dengan putus asa.

"Jangan pernah membawa sumpah untuk menutupi keburukanmu. Dan kau bajingan! Pergi detik ini juga jika kau tak ingin nyawamu berakhir di tempat ini!"

Rumi lagi-lagi menggigil ketakutan ketika bentakan keluar dari bibir Akbar. Mata laki-laki itu memerah, menatap nanar ke arah laki-laki asing itu.

Tanpa menunggu lebih lama laki-laki itu melangkah pergi dengan langkah ringan. Tak tampak sesal ataupun takut pada raut wajah yang menampakkan lebam di beberapa sisi.

Kini yang tersisa hanyalah Akbar dan Rumi bersama rasa yang bercampur aduk. Marah, benci, jijik, juga canggung.

Beberapa menit berlalu setelah kepergian laki-laki itu keduanya hanya diam. Hanya isak-isakan kecil yang masih terdengar dari bibir Rumi. Ia ingin menyesali semuanya, tapi ia sendiri tak tahu apa yang harus ia sesali, mengingat ia sendiri tak pernah melakukannya.

"Pergilah! Rumah ini tak bisa lagi menampungmu. Mulai detik ini kamu bukan lagi istriku!" ucap laki-laki itu dengan suara tercekat di tenggorokan. Istri yang selama ini ia puja, kini tak lebih seperti seorang pelacur di matanya.

Hati Rumi kembali tercabik. Ia sangat paham makna kalimat yang baru saja meluncur dari bibir Akbar. Kalimat yang mampu mengubah status halal menjadi haram, kalimat yang sukses membangun benteng antara mereka berdua.

Rumi mendongakkan kepala. Mengusap kasar air mata yang masih terus memaksa untuk ke luar. Ia sadar jika kini air matanya tak lagi berfungsi untuk meluluhkan hati Akbar.

"Kumohon, biarkan aku untuk tetap di sini hingga amarah Abang mereda dan kita bisa memperbaiki semuanya," ucap Rumi dengan nada memohon.

"Pergilah, kehadiranmu di sini hanya akan membuatku tambah membencimu!" ujar Akbar dengan dada kembang-kempis.

Rumi menggeleng cepat. Tangannya mengusap kasar wajah basahnya.

"Aku bersumpah atas nama Allah, tak pernah ada nama laki-laki mana pun di hati ini selama kita menikah. Dan aku bersumpah, peristiwa malam ini tak ada sedikitpun andilku!"

Rumi menjeda kalimatnya. Ia tengah berusaha mengurai sesak yang tak kunjung mereda, meski hasilnya kian sesak.

"Aku meyakini jika ada dalang di balik semua ini. Aku meyakini jika semuanya akan terbongkar dengan bantuan tangan Tuhan."

Akbar bergeming, hingga akhirnya Rumi memilih berjalan ke arah lemari di mana tempat ia menyimpan barang-barang miliknya, lalu mulai membereskan pakaiannya, memasukkannya ke dalam tas lusuh yang enam bulan lalu dibawanya datang ke rumah ini.

"Ridhoi semua salahku, baik disengaja ataupun tidak selama ini. Aku pergi. Jaga diri Abang baik-baik. Aku hanya berharap agar rasa di hati ini segera runtuh bersama langkah kakiku keluar dari rumah ini."

Rumi terdiam setelah kalimat terakhirnya, beberapa detik kemudian melangkah ke luar. Tak ingin lebih lama lagi menikmati luka yang kian berdenyut nyeri.

Tak ada lagi salam perpisahan meski hanya berupa kecupan singkat di keningnya. Rumi sadar, jika saat ini Akbar bukan lagi miliknya.

Akbar mematung dengan kepala kian tertunduk. Kalimat Rumi barusan mampu menciptakan kaca-kaca di mata laki-laki itu, namun segera ditepis oleh amarah yang masih tersisa.

Kini langkah itu terhenti di pagar rumah bertingkat itu. Rumi berbalik, menatap lekat bangunan penuh kenangan manis di hadapannya. Terbayang saat-saat Akbar dengan senang hati membantunya merawat tanaman hias di taman samping.

Hatinya kembali berdenyut nyeri ketika menyadari ada sesuatu yang kini tumbuh dalam rahimnya. Sesuatu yang selalu ditunggu oleh pasangan suami istri seperti mereka. Sesuatu yang baru kemarin siang ia ketahui kehadirannya. Ya, Rumi tengah mengandung darah daging Akbar.

Bayangan sambutan dengan penuh suka cita akan kejutan Rumi kini musnah tak bersisa. Hanya ada kebencian dalam tatapan muak sang suami.

"Tetaplah tumbuh dengan baik, Nak. Percayalah, kau akan baik-baik saja. Mama berjanji akan menjagamu semampu Mama. Yakinlah kita bisa menghadapi apapun yang akan terjadi di depan sana." Air mata Rumi kembali tumpah, seiring tangan yang kini mengusap perutnya yang masih rata.

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
suami mana yg tetap percaya omongan istrinya yg ditemukan tidur berdua dg laki2 lain yan pakaian? kamu terlalu naif dan lugu arumi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Bertemu Malaikat Penolong

    Rumi kembali melangkah. Air matanya seolah tak ingin surut hingga detik ini. Hatinya terlalu berat untuk pergi karena cinta yang masih tertinggal di sini. 'Entah siapa dalang dari semua ini.' Batih Rumi menebak-nebak siapa yang membencinya di rumah ini, namun ia tak menemukan alasan. Di rumah ini hanya ada mereka bertiga. Akbar, dirinya, dan Astuti—ibu mertuanya. Apakah ini ulah Astuti? Rumi menggeleng cepat. Perempuan paruh baya itu begitu menyayanginya. Tak pernah ia dapati perempuan itu berlaku tak pantas terhadapnya. 'Mungkinkah ini ulah Laras?' batinnya kembali berbisik. Nama yang timbul di kepalanya saat ini membuatnya tak mampu untuk menepisnya. Laras adalah mantan istri suaminya, dan satu-satunya orang yang begitu membenci Rumi yang Rumi tahu. Namun, bagaimana Laras bisa melakukannya, sedangkan kunci rumah hanya ada pada Akbar, mertuanya, serta dirinya sendiri. 'Rasanya Mama tak mungkin bersekongkol dengan Laras?' Rumi menepis dugaannya. Ia sangat paham jika Astuti

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Memohon

    Rumi bangkit dengan susah payah, dengan terseok-seok ia berusaha menyusul langkah laki-laki itu. Tas pakaian berukuran tidak terlalu besar di tangannya kini terasa begitu berat. "Bisakah kau menolongku?" tanya Rumi dengan suara bergetar. Kaki lemahnya terus melangkah meski sesekali ia hampir saja terjatuh. Rumi mengabaikan rasa malu yang biasa melekat pada dirinya. Untuk kali ini ia terlalu berani untuk melakukannya, karena merasa hanya laki-laki itu yang bisa ia harapkan. Laki-laki itu berbalik. Keduanya kini sudah berada di muka gang sempit, di samping mereka ruko-ruko berjejeran dan sudah tutup, satu-satunya yang tersisa hanya apotik yang buka 24 jam. "Bukankah tadi saya sudah menolongmu?" tanyanya dengan kedua tangan dimasukan ke saku celana. Rumi menunduk dalam ketika menemukan penolakan dari kalimat yang baru saja menembus gendang telinga. Namun, sesaat kemudian ia kembali mengangkat wajah, mengumpulkan keberanian untuk mengabaikan rasa malu dan tak nyaman di hatinya.

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Bertemu Asya

    Rumi menatap lekat wajah bocah perempuan itu. Hatinya terenyuh melihat wajah mungil itu menatapnya dengan raut wajah sendu berubah jadi tangis.Rumi bangkit dari ranjangnya. Berjalan perlahan mendekati bocah itu. Senyum menguar lembut dari wajah teduh itu. "Ummi?" tanya Rumi dengan dahi berkerut. Ia tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, berusaha membuat bocah mungil itu untuk tak kecewa. Tanpa kata gadis mungil itu menghambur memeluk erat tubuh Rumi. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Rumi, lalu terisak dalam dekapan perempuan berhati lembut itu. "Ummi kenapa perginya lama? Kenapa perginya nggak ngajak Asya? Kenapa nggak pernah telepon Asya?"Deretan tanya dengan nada suara parau itu membuat Rumi membatu di tempat. Suasana hatinya yang memang sedang tidak baik-baik saja membuat mata perempuan itu seketika mengabur. Sesaat setelahnya bulir bening mengalir perlahan. Tangan Rumi mengusap lembut rambut lurus hitam pekat itu. Menikmati dekapan hangat tubuh mungil menguar ar

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Takut Kehilangan

    "Mbok Sumi kenapa nangis, Mbok?" tanya Asya dengan muka muram. Perempuan paruh baya itu berjongkok, memeluk erat tubuh Asya, sedang tangan Asya menggenggam erat tangan Rumi."Syukurlah, Non, Ummi akhirnya kembali. Jadi anak baik, ya, biar Ummi makin sayang," bisik Mbok Sumi dengan air mata kian deras. Rumi semakin tak paham. Namun, ia berusaha menerka apa yang sebenarnya terjadi. Mbok Sumi melerai pelukannya, bibirnya tersenyum lembut pada Asya, lalu melirik ke arah Rumi dengan wajah penuh harap. "Kenapa Ummi baliknya lama? Asya pasti kangen banget sama Ummi. Iya, kan, Sya?" tanya Mbok Sumi seraya menatap Rumi lekat. Asya mengangguk cepat sambil mengusap sisa air matanya yang terasa menggelitik wajah dengan sebelah tangannya. "Baiklah, sekarang mau ajak Ummi ke mana?" tanya Mbok Sumi sambil melempar senyum ke arah Asya. "Mau ajak Ummi buat ambil buku cerita di kamar Asya," jawabnya dengan binar bahagia. "Ya, sudah. Mbok mau beresin peralatan makan Ummi dulu, Nak. Asya baik-ba

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Bertemu Firdaus

    Suasana berubah canggung, terlebih setelah Rumi menyadari jika ada orang lain selain mereka bertiga di ruangan ini. "Asya Sayang," ujar Rumi sambil mengusap lembut kepala Asya. Asya mendongak dengan bersimbah air mata. Ketakutannya akan kehilangan sosok ibu kembali menghantuinya setelah menyadari Rumi tak di sampingnya saat ia terbangun dari tidur. "Jangan tinggalin Asya lagi, Ummi," jawabnya sambil tersedu. Rumi melirik pada wajah renta itu, lalu tersenyum santun. Di belakang perempuan itu kini Mbok Sumi berdiri sambil memegangi handle kursi roda. "Asya dengar Ummi dulu," ujar Rumi lembut. "Asya boleh nangis, tapi jangan lama-lama, ya."Mendengar kalimat Rumi, Asya mengangguk cepat. Perlahan tangisnyapun mereda. "Boleh Ummi salaman saman Nenek?" tanya Rumi dengan suara berbisik, sambil melirik pada perempuan di kursi roda itu. "Itu Oma," ucap Asya disela isak tangisnya. "Oh, iya, ya, kenapa Ummi bisa lupa." Rumi menepuk jidatnya sendiri sambil terkekeh pelan. Asya terkekeh s

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-24
  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Saya Pamit

    Ruang kamar berukuran empat kali lima meter yang dihuni Saraswati itu tampak begitu rapi. Sirkulasi udara pun tampak baik. Kamar yang berbatasan langsung dengan teras samping rumah itu terasa begitu nyaman untuk digunakan sebagai tempat istirahat. Di atas kursi rodanya Saraswati duduk dengan ekspresi wajah dingin, sedang di sisi tempat tidurnya Firdaus duduk sejak beberapa menit yang lalu dengan bibir terkunci. Laki-laki berambut ikal itu memilih diam sembari menunggu kalimat yang akan ditujukan sang ibu untuknya. Dua ibu dan anak itu memiliki karakter yang begitu mirip. Sama-sama acuh, lebih lagi terhadap orang yang baru dikenal. "Siapa perempuan itu?" tanya Saraswati setelah bermenit-menit hanya diam sambil menatap kosong dinding pembatas bercat biru muda di hadapannya. Beberapa detik tak ada jawaban. Firdaus berusaha mencari kalimat yang tepat sebagai jawaban, karena paham seperti apa karakter perempuan yang telah melahirkannya itu. Dingin dan pastinya tak gampang menerima keha

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-25
  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Dilema

    Firdaus menelan ludah getir. Membayangkan Rumi dari rumahnya sudah pasti akan membuat Asya bersedih, atau mungkin jauh lebih dari itu. "Kamu yakin?" tanya Firdaus dengan nada getir. Helaan nafas berat terdengar dari bibir Rumi. Tatapan mata sendunya luruh pada ujung kaki telajangnya. Sejujurnya ia pun merasa berat untuk pergi dari rumah ini, mengingat seberapa dekat Asya dengan dirinya. Namun, untuk tetap tinggal di sini pun rasanya tak mungkin, mengingat dirinya bukanlah siapa-siapa di rumah ini. Untuk meminta tetap tinggal di sini rasanya terlalu tak tahu diri, lebih lagi tiga hari keberadaannya di sini sikap dingin Firdaus membuatnya sedikit tak nyaman.Bukan, bukan ia berharap diperlakukan hangat, tapi setidaknya Firdaus bisa bersikap wajar padanya. "Aku sudah memikirkannya sejak beberapa hari lalu.""Apa yang kau temukan?" sambung Firdaus. Ada rasa ingin tahu yang kuat yang mendorongnya untuk bertanya demikian. "Entahlah, yang pasti aku tidak memiliki hak untuk tinggal lebi

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-27
  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Kekhawatiran Asya

    Rumi merenggangkan pelukan ketika Asya sedikit lebih tenang. Kedua tangannya menyentuh lembut kedua bahu mungil dalam balutan lengan piyama berbahan satin itu. "Ummi di sini, Nak," bisiknya lembut dengan senyum manis. Firdaus membuang muka. Mata yang biasa tampak dingin kini terlihat mengembun. "Titip Asya, aku akan bersiap ke kantor lebih awal hari ini," ucapnya, lalu beranjak pergi tanpa menunggu persetujuan Rumi. Menyaksikan lebih lama cara Asya memperlakukan Rumi membuat hatinya kian gamang. Rumi hanya mampu menatap punggung lelaki jangkung itu yang kian mengecil. Sejujurnya ingin ia tanyakan tentang pekerjaan yang dijanjikan Firdaus semalam, mengingat hatinya tak nyaman jika lebih lama lagi tinggal di sini tanpa menghasilkan rupiah. Memang keseharian Rumi di sini ia habiskan untuk merawat Asya juga membantu Mbok Sumi beres-beres rumah. Hanya saja menurut Rumi selagi ia tidak bekerja di luar, maka tetap saja ia tak nyaman. Rasa mual yang tiba-tiba datang memaksa Rumi buru-bu

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-28

Bab terbaru

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Maukah Kau Menikah Denganku?

    Bergegas Rumi meneguk minumannya. Jujur saja, kalimat Firdaus barusan mampu membuatnya tersentak. Hati Rumi tergelitik untuk bertanya, apa yang diketahui laki-laki itu tentangnya lewat Mbok Sumi, hanya saja ia terlalu sungkan, hingga akhirnya Firdaus kembali bersuara. "Jangan banyak pikiran, supaya bayimu sehat. Jangan khawatirkan tentang tempat tinggal dan kehidupanmu selanjutnya. Jika kau bersedia, tetaplah tinggal di rumah itu dan menganggap Asya seperti anak kandungmu sendiri, meski kelak setelah kamu memiliki anak dari rahimmu sendiri." Suara Firdaus terdengar sedikit serak. Hatinya berdesir hebat setiap berada di dekat Rumi, meski sebenarnya jarak pemisah antara mereka berneter-meter. "Kurasa tidak terlalu baik jika kamu memilih untuk tinggal sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Lebih lagi aku tak tega melihat Asya kembali p atah hati untuk kesekian kalinya." Rumi hanya membeku. Tatapannya jatuh pada jemari yang melingkar di pinggang botol plastik di tangannya. Fird

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Rasa yang Mulai Berkecambah

    "Apa maksudmu?" Firdaus bertanya dengan kepala setengah tertunduk. Rumi tak langsung menjawab, memilih diam beberapa saat. "Beristirahatlah di rumah, Pak. Bapak sudah sangat lelah setelah seharian bekerja, lebih lagi dalam keadaan berpuasa." Rumi berucap sepelan mungkin, berharap kalimatnya tak menyinggung perasaan Firdaus. Firdaus terdengar mendesah pelan. "Tolong jangan memintaku untuk pulang malam ini. Keadaanmu masih belum pulih, dan di sini tak ada siapapun yang menemanimu." Firdaus berucap dengan tatapan luruh di atas lantai berkeramik senada dengan warna dinding ruangan. "Maaf sebelumnya jika perkataanku membuat Bapak tak nyaman, tapi inilah adanya, kita adalah dua orang asing yang tak seharusnya berada dalam ruangan yang sama sepanjang malam, ucap Rumi dengan kepala kian tertunduk. Jujur lidahnya begitu berat untuk mengucapkan kalimat barusan, hanya saja hatinya mengatakan jika ia harus berani. "Jika memang kamu keberatan aku berada di sini, aku akan tidur di mushola

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Asya Ingin Menemani Rumi

    Suasana canggung di ruang rawat Rumi terus saja terasa semenjak pertemuan Asya dan Firdaus sejak satu jam lalu. Bahkan hingga kini, saat Firdaus mengajak Asya untuk kembali ke rumah, gadis kecil itu kembali melayangkan protesnya terhadap sang ayah. "Abi kenapa pulang? Terus siapa yang nungguin Ummi di sini kalau Abi pulang sekarang?" Asya menatap ke arah Firdaus dengan mata menyipit, merasa tak terima dengan ajakan sang ayah. Firdaus berjongkok di depan sang anak, dua tangannya menyentuh bahu Asya pelan. "Sayang, Abi butuh istirahat karena besok harus kerja. Ummi di sini sama Mbok Sumi. Asya juga besok harus sekolah, jadi sekarang kita pulang dulu, ya. Kan, besok sepulang sekolah masih bisa jenguk Ummi ke sini." Firdaus berusaha membujuk sang anak, meski hasilnya masih sama. "Nggak mau, Asya mau nemenin Ummi di sini. Asya nggak mau nanti Ummi pergi lagi." Asya mengerucutkan bibirnya, kali ini matanya tampak berkaca-kaca dengan kedua tangan saling meremas satu sama lain. Fird

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Rumi Masuk Rumah Sakit

    Penunjuk waktu di dinding kamar bercat putih itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Rumi perlahan membuka matanya. Ia baru saja sadar dari pingsannya. Spontan tangan Rumi mengusap lembut perutnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan. Ruangan yang tampak tak biasa menurutnya. Kini tatapan mata Rumi terhenti pada laki-laki yang tengah duduk di samping nakas, laki-laki yang kini fokus ke layar ponsel di tangannya. Rumi merasakan lidahnya kelu untuk sekedar menyapa, hingga akhirnya ia lebih memilih berusaha bangkit meski dengan selang infus di tangan serta tubuh lemasnya. "Kamu sudah bangun?" Firdaus segera mematikan ponselnya ketika sadar Rumi tengah susah payah untuk duduk, meski ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Rumi hanya menjawab dengan senyum kecut. Jujur, ia tak nyaman karena terus merasa merepotkan Firdaus. "Istirahat aja dulu. Sebentar lagi Asya akan datang," lanjut Firdaus sambil mendekatkan kursinya ke ranja

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Rumi Pingsan

    Rumi masih berkutat dengan pekerjaannya ketika ponsel berdering. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. "Assalamualaikum," ucapnya santun, terlebih setelah tahu siapa sang penelepon. "Maaf, siang ini saya banyak kerjaan, jika tidak keberatan nanti sore sepulang kantor saya tunggu di ruang kerja saya," ucap laki-laki dari seberang sana dengan suara pelan. Siapa lagi kalau bukan Firdaus, laki-laki yang akhir-akhir ini menunjukkan perhatiannya pada Rumi. "Baik, Pak," jawab rumit singkat. Ritme jantungnya berubah cepat setelah menerima telepon dari laki-laki itu. Bukan cinta, melainkan rasa kagum sekaligus hormat. Rumi cukup paham pembicaraan seperti apa yang dimaksud Firdaus. Apalagi kalau bukan tentang dirinya yang tengah berbadan dua, dan tentunya Asya juga. Ketakutan selalu hadir di hatinya ketika berbicara tentang masa depannya. Ia khawatir antara Asya dan calon buah hatinya salah satunya akan ada yang terabaikan. Dan Rumi tak ingin itu terjadi. * Sepanjang siang hingg

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Menemani Asya

    Rumi hanya mematung di tempatnya berdiri. Tak bisa menjawab apa-apa selain diam dengan suasana hati mengharu biru. Tak tahu lagi kalimat seperti apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Akbar maupun keluarganya. Perlakuan mereka persis bak malaikat penolong bagi Rumi. Melihat Rumi hanya diam, Akbar akhirnya kembali ke mobil dan mengambil plastik pembungkus barang belanjaan yang dibeli di minimarket bersama Asya tadi. "Ini. Jangan lupa diminum," ucap Akbar dengan nada pelan. Sejujurnya ia ingin berbicara dengan bahasa lebih akrab lagi, hanya saja sikap Rumi yang selalu menjaga jarak membuatnya sadar tentang kedudukannya di hati perempuan itu. "Terima kasih," ucap Rumi akhirnya. Ia meraih pemberian Akbar lalu membawanya masuk rumah tanpa berkata-kata. * Dua bulan berlalu kepergian Rumi dari rumah Akbar. Namun, ingatannya tentang Akbar masih begitu lekat di kepala. Kerap kali ia berusaha mengenyahkan kenangan tentang mantan suaminya itu, sayangnya, hati kecilnya tak

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Perhatian Kecil dari Firdaus

    "Sayang, bisa nggak kita bahas yang itu lain waktu? Sekarang udah Magrib, mendingan kita langsung pulang aja, ya," ucap Firdaus akhirnya. Asya nampak murung karena pertanyaan yang sudah sejak tadi ia lontar tak kunjung menemukan jawaban. "Iya, Nak, kita pulang dulu, ya. Kasihan Oma di rumah sendirian," ucap Rumi membuat Asya akhirnya hanya mampu mengangguk pelan. Setelahnya tak ada lagi percakapan antara mereka. Asya memilih diam dengan hati kecewa, sedang Rumi dan Firdaus tak jauh berbeda, keduanya sama-sama merasa tak bisa berkata apa-apa. Hingga akhirnya Rumi berinisiatif mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Tadi di sekolah Asya belajar apa?" tanya Rumi sambil meraih jemari Asya untuk ia genggam. Asya tak langsung menjawab. Ia masih memilih diam karena merasa kecewa terhadap Rumi juga. "Kok, pertanyaan Ummi nggak dijawab? Asya udah nggak sayang Ummi?" Untuk kedua kalinya Rumi bertanya, kali ini ia merangkul bahu Asya lalu mengecup pipi bulat gadis kecil itu. "Sayang," re

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Kekhawatiran Terjadi

    Audi yang semula hendak beranjak dari ruangan Rumi kini berbalik. Menatap tajam ke arah perempuan berkerudung itu."Aku menyukai Pak Firdaus, dan aku lebih dulu mengenalnya ketimbang kamu. Jadi aku harap, kamu menyadari siapa kamu. Jangan sampai rasa benciku berdampak buruk terhadap kehidupanmu!" ucap Audy dengan rahang mengeras. Emosinya meluap mendengar jawaban Rumi barusan. Rumi tersenyum tipis. Tak ada rasa getir meski ia sangat paham maksud kalimat perempuan itu, karena ia merasa tak ada rasa yang hadir di hatinya untuk laki-laki itu. Ya, di hatinya masih terlukis indah nama Akbar, meski rasa kecewa kerap kali memaksanya untuk mengikis nama mantan suaminya itu. Jangan khawatir, aku tidak suka bersaing. Yang aku yakini jodoh takkan pernah tertukar. Siapapun yang menjadi jodohku, akan tetap membersamaiku dengan cara apapun Allah akan mempertemukan kami suatu hari nanti."Rumi berucap tenang dengan senyum manis. Audi tak lagi menjawab. Perempuan itu menyibak rambutnya dengan se

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Peringatan dari Audy

    "Ehm, gimana kalau Abi pesan makanan saja di luar, biar kita bisa makan sama-sama di sini," saran Firdaus sejujurnya ia tengah berusaha menghindar penilaian orang-orang terhadapnya, terutama para karyawan di kantornya. Asya menggeleng cepat. Bibirnya mengerucut sambil menatap lekat wajah sang ayah. "Nggak mau, kita juga, kan, udah biasa makan bersama di rumah. Asya maunya kita makan di luar. Kan, belum pernah, pernahnya dulu waktu Asya masih kecil dan sebelum Ummi pergi lama," protes Asya sambil menatap lekat wajah dua orang dewasa di hadapannya. Kali ini Firdaus melirik ke arah Rumi sambil memberi isyarat dengan menaikan alis. Rumi hanya mengedikkan, bahu. Ia lebih tak bisa memutuskan karena sangat sadar kedudukannya di sini. " gimana kalau lain kali aja, Sekarang abi nggak punya waktu banyak.""Tadi ngajak Asya makan di luar, sekarang malah nggak bisa?" keluhnya dengan bibir mengkerut. Kali ini wajahnya tampak muram karena kecewa. Firdaus mengusap lembut pipi bulat sang anak l

DMCA.com Protection Status