"Pergi! Pergi! Pergi!" kompak suara ibu-ibu terdengar. Dimas yang baru saja memarkirkan mobil terpana. Ada keributan apa di rumah Hanin? Kenapa malam-malam warga ramai berkumpul? mendadak hatinya merasa tidak enak. Pikiran buruk mulai membayangi otaknya.Lelaki itu bergegas berlari, berusaha menembus kerumunan ibu-ibu. Gagal. Tubuhnya terpental."Ibu-ibu! Sabar! Jangan main hakim sendiri!" Pak RT berusaha melindungi Sita.Wanita cantik itu terlihat kacau. Sita bersembunyi di belakang Hadyan, berusaha melindungi tubuhnya dari jangkauan ibu-ibu. Tadi salah satu sendal berhasil mengenai kepalanya. Membuat rambutnya menjadi berantakan. "YANG HARUS KALIAN HAKIMI ITU HANIN, BUKAN AKU!" Sita berteriak kencang. Berusaha mengalahkan suara ibu-ibu yang terus meneriakkan pergi padanya."Pergi! Pergi! Pergi!""HANIN BERZINA!!" Lengkingan suara Sita membuat suara yang tadinya ramai menjadi hening seketika.Semua mata saling berpandangan. Hanin berzina?"Fitnah!" Bu Rati berteriak. "Seret wanita
"Saya tidak tahu apa masalahnya. Tiba-tiba Sita datang dan langsung menyerang saya. Wa ….""Pendusta, cih!" Sita meludah ke lantai ruang tamu Hanin. Membuat yang lain langsung menggelengkan kepala."Astaghfirullah, Mbak Sita, biarkan Mbak Hanin menyelesaikan penjelasannya dulu." Pak RT mengingatkan. "Kelakuan GM di salah satu perusahaan besar kok ya koyok ngono. Tidak punya adab. Bahkan anak kecil pun tahu dimana tempat membuang ludah." Bu Rati mencebik. Dia benci sekali dengan Sita. Entah kenapa jika berhubungan dengan pelakor, tidak ada ampun baginya, semua langsung dianggap musuh."Mbak Sita tenang dulu! Ayo Mbak Hanin silahkan dilanjut." Pak RT menatap Sita tajam saat dilihatnya wanita itu akan kembali bersuara."Tidak ada yang bisa saya jelaskan lebih jauh, Pak. Sita datang kemudian langsung menyerang saya." Hanin menghela napas panjang."Satu hal yang harus segera saya luruskan. Saya tidak berzina! Mas Hadyan kemari karena ada keperluan. Ada pekerjaan yang harus kami selesaikan
"Jadi bagaimana, Mbak Hanin? Kasus penyerangan malam ini akan ditindak bagaimana?""Saya memilih berdamai saja, Pak. Biarlah sekali ini kami selesaikan secara Kekeluargaan. Ada banyak hal yang harus saya kerjakan, dibanding dengan mengurusi masalah tidak penting seperti ini.""Alaaaah, bilang saja kamu takut kalah telak kalau membawa masalah ini ke pengadilan!" Sita langsung berdiri, melangkah keluar tanpa berpamitan. "Oalaaaaaah, ada ya ternyata di dunia ini wanita modelan seperti itu." Bu Rati menggelengkan kepala.Dimas langsung mengejar Sita saat wanita itu pergi tanpa permisi. Bagaimanapun, wanita itu adalah Ibu dari anaknya. Dia tidak mau sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "S*alan! Hanin!" Sita memaki sambil menendang ban mobilnya.Dimas langsung menahan tubuh Sita saat wanita itu hendak berbalik masuk kembali ke rumah Hanin."Cukup, Ta!""Wanita bod*h itu sengaja membuat ban mobilku kempes!" Sita berteriak di depan wajah Dimas."Kapan dia melakukannya? Bukankah dar
Bunyi roda brankar beradu dengan lantai terdengar nyaring. Suara derap langkah setengah berlari dan deru napas memburu memenuhi lorong rumah sakit."Kabari dokter jaga segera, ada dua pasien darurat menunggu di IGD." Satu suara terdengar di sela napasnya yang memburu."Dokter sedang dalam perjalanan ke ruang IGD." Suara lain menjawab, napasnya juga terdengar sangat kencang karena berlarian mendorong brankar sepanjang lorong. Ruang IGD yang tadinya hening langsung sibuk saat dua brankar beriringan memasuki ruangan."Pendarahan! Pasang infus, berikan obat tran****i* acid yang **l**x untuk menghentikan pendarahan. Pasang oksigen!"Para perawat cekatan melakukan instruksi dokter. Dua orang perawat terlihat ada yang membersihkan darah yang membeku di beberapa bagian tubuh korban kecelakaan."Sudah ada yang menghubungi keluarga korban?""Sudah, Dok. Sedang dalam perjalanan. Pasien ini suami istri.""Suami istri?" Dokter memastikan sambil mengangguk. "Jadi yang sedang dalam perjalanan kema
"Sita." Bu Rita berkata lemah. "Sabar, Bu. Sita akan baik-baik saja." Mama Desi menguatkan besannya. Fokus wanita itu terbagi, dia ingin menemani Bu Rita menunggu operasi Sita. Namun di sisi lain, dia juga ingin menemani Dimas di ruang rawat inap.Mama Desi mengangkat kepala saat mendengar langkah kaki mendekat."Dimas sudah sadar, Nin?" Mama Desi langsung bertanya.Hanin menggeleng. Tadi dia langsung bergegas ke rumah sakit saat mendengar ayah Dipta mengalami kecelakaan. Bagaimanapun, Dimas adalah ayah yang baik untuk Dipta. Tidak pernah sekalipun dia melalaikan kewajibannya. Sehingga saat mendengar kondisinya sedikit parah, sudut hati Hanin berkedut. Entah kenapa, tiba-tiba dia merasa sangat takut tadi adalah pertemuan terakhirnya dengan Dimas."Dipta mana?" Mama Desi kembali bertanya."Menunggui ayahnya di ruangan, ada Saldi yang menemani." Hanin ikut duduk di samping Bu Rita."Nin, terima kasih." Bu Rita memegang tangan Hanin."Sama-sama, Bu. Sudah sewajarnya kalau kita saling m
Tepuk tangan langsung membahana dari para tamu saat pita peresmian restaurant terpotong dua.Hanin malu-malu tersenyum, meletakkan kembali gunting dengan pita warna merah muda ke nampan yang dibawa salah satu pelayan resto. Wanita itu menggunakan setelan gamis dan jilbab senada, warna merah muda lembut. Dia mengangguk sopan pada tamu-tamu yang memberikan ucapan selamat."Selamat, Nin. Semoga kerjasama kita berjalan lancar ke depannya, dan resto ini ramai dikunjungi pembeli." Hadyan tersenyum pada Hanin yang berdiri di sampingnya."Aamiin. Terima kasih untuk kesempatannya, Mas. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya saya bisa mendapat kesempatan seperti ini." Suara Hanin terdengar serak menahan haru. Setetes air matanya mengalir tanpa bisa ditahan.Hadyan mengangguk. Hidungnya terasa sedikit kedat. Dia memang memberikan kesempatan pada Hanin untuk memotong pita peresmian tadi. Awalnya Hanin menolak, merasa tidak pantas. Tetapi Hadyan berhasil meyakinkannya, bahwa saat ini Hanin adalah p
Hanin mendesah. Wajah Sita terpahat sempurna di wajah Rindu. Dalam hati dia melantunkan doa yang tulus, semoga kelak mantan anak sambungnya itu tumbuh menjadi pribadi yang baik."Loh? Mama sama Papa datang juga?" Wajah Hanin langsung sumringah melihat kehadiran Papa Roy dan Mama Desi. Hanin bahkan langsung berpelukan erat dengan Mama Desi."Datang dong, Sayang." Mama Desi tersenyum."Kenapa Mas Dimas memaksakan hadir? Kan sudah ada Papa Roy dan Mama Desi yang datang." Hanin sedikit keberatan melihat kondisi Dimas yang masih menggunakan kursi roda."Tidak apa-apa, Nin. Kakiku sudah jauh membaik. Mungkin tiga kali terapi lagi aku sudah bisa berjalan seperti sedia kala. Retak tulang kemarin memang agak parah, sehingga membutuhkan waktu hampir lima bulan untuk pemulihan." Hadyan menjelaskan. Hanin mengangguk mendengar perkataan Dimas."Kamu hebat sekali, Nin. Sekarang sudah punya resto sendiri. Bagus pula tempatnya," ucap Mama Desi sambil menatap kagum sekitar."Bukan punya Hanin, Ma. In
"Kesalahan terbesarmu adalah hadir dalam kehidupan Dimas." Sita berkata dingin. "Apa aku bisa melawan takdir?"Sita menatap Hanin bingung."Pertemuanku dengan Mas Dimas sudah ditulis dalam Lauhul Mahfudz. Semua yang terjadi sudah atas ketetapan Ilahi, Ta."Sita mendengus."Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, tentu aku akan menolak sedari awal saat Mas Dimas mengajukan pinangan. Apa kau pikir sebuah kebanggaan bagiku ditinggalkan dalam keadaan hamil besar?" Mata Hanin mengembun. Setiap mengingat hal itu, rasa sakit di hatinya masih tetap sama."Sudahlah, Ta. Mari kita berdamai. Aku sudah berusaha menghadirkan ikhlas di hatiku atas semua luka yang kalian hujamkan. Bertahun-tahun aku berusaha mengobati luka sendiri. Sampai akhirnya kesadaran itu datang menghampiri. Tidak ada untungnya hidup dalam dendam. Aku hanya ingin kita semua pada akhirnya bisa hidup tentram." Hanin menghapus ujung matanya yang basah.Hening.Hanya terdengar suara bunyi mesin pendingin ruangan dan sesekali isak p