"Sita." Bu Rita berkata lemah. "Sabar, Bu. Sita akan baik-baik saja." Mama Desi menguatkan besannya. Fokus wanita itu terbagi, dia ingin menemani Bu Rita menunggu operasi Sita. Namun di sisi lain, dia juga ingin menemani Dimas di ruang rawat inap.Mama Desi mengangkat kepala saat mendengar langkah kaki mendekat."Dimas sudah sadar, Nin?" Mama Desi langsung bertanya.Hanin menggeleng. Tadi dia langsung bergegas ke rumah sakit saat mendengar ayah Dipta mengalami kecelakaan. Bagaimanapun, Dimas adalah ayah yang baik untuk Dipta. Tidak pernah sekalipun dia melalaikan kewajibannya. Sehingga saat mendengar kondisinya sedikit parah, sudut hati Hanin berkedut. Entah kenapa, tiba-tiba dia merasa sangat takut tadi adalah pertemuan terakhirnya dengan Dimas."Dipta mana?" Mama Desi kembali bertanya."Menunggui ayahnya di ruangan, ada Saldi yang menemani." Hanin ikut duduk di samping Bu Rita."Nin, terima kasih." Bu Rita memegang tangan Hanin."Sama-sama, Bu. Sudah sewajarnya kalau kita saling m
Tepuk tangan langsung membahana dari para tamu saat pita peresmian restaurant terpotong dua.Hanin malu-malu tersenyum, meletakkan kembali gunting dengan pita warna merah muda ke nampan yang dibawa salah satu pelayan resto. Wanita itu menggunakan setelan gamis dan jilbab senada, warna merah muda lembut. Dia mengangguk sopan pada tamu-tamu yang memberikan ucapan selamat."Selamat, Nin. Semoga kerjasama kita berjalan lancar ke depannya, dan resto ini ramai dikunjungi pembeli." Hadyan tersenyum pada Hanin yang berdiri di sampingnya."Aamiin. Terima kasih untuk kesempatannya, Mas. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya saya bisa mendapat kesempatan seperti ini." Suara Hanin terdengar serak menahan haru. Setetes air matanya mengalir tanpa bisa ditahan.Hadyan mengangguk. Hidungnya terasa sedikit kedat. Dia memang memberikan kesempatan pada Hanin untuk memotong pita peresmian tadi. Awalnya Hanin menolak, merasa tidak pantas. Tetapi Hadyan berhasil meyakinkannya, bahwa saat ini Hanin adalah p
Hanin mendesah. Wajah Sita terpahat sempurna di wajah Rindu. Dalam hati dia melantunkan doa yang tulus, semoga kelak mantan anak sambungnya itu tumbuh menjadi pribadi yang baik."Loh? Mama sama Papa datang juga?" Wajah Hanin langsung sumringah melihat kehadiran Papa Roy dan Mama Desi. Hanin bahkan langsung berpelukan erat dengan Mama Desi."Datang dong, Sayang." Mama Desi tersenyum."Kenapa Mas Dimas memaksakan hadir? Kan sudah ada Papa Roy dan Mama Desi yang datang." Hanin sedikit keberatan melihat kondisi Dimas yang masih menggunakan kursi roda."Tidak apa-apa, Nin. Kakiku sudah jauh membaik. Mungkin tiga kali terapi lagi aku sudah bisa berjalan seperti sedia kala. Retak tulang kemarin memang agak parah, sehingga membutuhkan waktu hampir lima bulan untuk pemulihan." Hadyan menjelaskan. Hanin mengangguk mendengar perkataan Dimas."Kamu hebat sekali, Nin. Sekarang sudah punya resto sendiri. Bagus pula tempatnya," ucap Mama Desi sambil menatap kagum sekitar."Bukan punya Hanin, Ma. In
"Kesalahan terbesarmu adalah hadir dalam kehidupan Dimas." Sita berkata dingin. "Apa aku bisa melawan takdir?"Sita menatap Hanin bingung."Pertemuanku dengan Mas Dimas sudah ditulis dalam Lauhul Mahfudz. Semua yang terjadi sudah atas ketetapan Ilahi, Ta."Sita mendengus."Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, tentu aku akan menolak sedari awal saat Mas Dimas mengajukan pinangan. Apa kau pikir sebuah kebanggaan bagiku ditinggalkan dalam keadaan hamil besar?" Mata Hanin mengembun. Setiap mengingat hal itu, rasa sakit di hatinya masih tetap sama."Sudahlah, Ta. Mari kita berdamai. Aku sudah berusaha menghadirkan ikhlas di hatiku atas semua luka yang kalian hujamkan. Bertahun-tahun aku berusaha mengobati luka sendiri. Sampai akhirnya kesadaran itu datang menghampiri. Tidak ada untungnya hidup dalam dendam. Aku hanya ingin kita semua pada akhirnya bisa hidup tentram." Hanin menghapus ujung matanya yang basah.Hening.Hanya terdengar suara bunyi mesin pendingin ruangan dan sesekali isak p
Entah kenapa dia tidak rela, saat melihat wanita yang pernah dia sia-siakan cintanya, kini justru mendapat tatapan mendamba dari lelaki selain dirinya."Ayo, sekalian sama Mbok Ti, Saldi dan Dipta." Hadyan tertawa saat anak laki-laki itu tersenyum lebar menampakkan gigi padanya. Mereka kemudian saling tos."Boleh saya ajak Dipta sebentar, Mas Dimas?" Hadyan meminta izin pada Dimas yang sedang berpura-pura sibuk memperhatikan sekitar."Eh? Oh? Boleh." Dimas menjawab kikuk.Hadyan berjalan di depan sambil menggandeng Dipta. Sementara Hanin, Mbok Ti dan Saldi mengiringi dari belakang.Dimas menatap kepergian mereka dengan perasaan yang entahlah. Lelaki itu hanya termangu memperhatikan punggung Hanin yang semakin mengecil. Dia tidak mempedulikan percakapan antara orangtua dan mantan mertuanya."Dim." Tepukan halus di bahu sebelah kanan Dimas membuat lelaki itu mengalihkan pandangan dari Hanin yang sudah menghilang di tengah keramaian pengunjung. "Eh, Ran?" Dimas tersenyum ramah pada saha
Arni, levy dan Reni mengangguk menimpali omongan Bella.Mereka tidak menyadari, dua pasang telinga dari tadi ikut mendengarkan percakapan. Dimas dan Rani saling berpandangan. Kedua orang itu menarik napas berbarengan.Mereka pun menyadari, memang seburuk itulah Sita dalam pandangan banyak orang saat ini. Bahkan tidak sedikit tetangga dan kenalan yang terang-terangan mengatakan apa yang menimpa Sita adalah karma, dan sudah sepantasnya wanita itu mendapat balasan seperti itu.Mereka bisa apa? Baik Dimas maupun Rani sudah berusaha membuat Sita berubah. Namun, semua sia-sia. Wanita itu terlalu keras kepala. Bahkan setelah ditalak Dimas dan mendapat musibah besar, Sita tetap saja menyalahkan Hanin atas semua yang terjadi padanya.Sementara di sudut lain resto, suasana berlangsung hangat. Mama Rinda, orangtua Hadyan menyambut baik kehadiran Hanin dan keluarga. Wanita itu bahkan bisa langsung cocok berbicara banyak hal dengan Mbok Ti, walau mereka terpisah status sosial yang lumayan jauh."M
"S*alan!" Sita melemparkan surat panggilan dari manajemen ke sembarang arah.Ini hari pertamanya masuk kantor setelah lima bulan pemulihan. Kondisinya belum terlalu bagus, dia masih belum bisa berjalan lama. Hanya maksimal dua puluh langkah, setelah itu dia harus istirahat agar tungkainya tidak terasa lemas.Sebenarnya Sita tidak sepenuhnya lepas dari kewajiban pekerjaan kantor, wanita itu secara profesional tetap mengerjakan tanggung jawab yang bisa dia lakukan dari rumah. Sementara untuk pertemuan dengan rekan bisnis dan rapat mingguan, ada karyawan lain yang menjadi pengganti. "Argh!" Sita menghembuskan napas kasar sambil berteriak. Wanita itu sedang sangat kesal. Hari pertama dia bekerja kembali, bukan disambut dengan ucapan selamat datang tetapi disambut dengan surat panggilan.Sebenarnya apa mau manajemen? Bukankah dia tetap menjalankan kewajiban walau tidak masuk kantor? Semua pekerjaan bawahan juga bisa dia kontrol dengan baik."Masuk!" Sita segera merapikan penampilannya sa
"Tindakan seperti apa, Pak? Benar saya yang ada di video itu, jika hal tersebut yang ingin bapak tanyakan." Sita menanggapi ucapan Pak Wildan, setelah lama menunggu namun tidak ada satupun lagi perkataan yang keluar dr mulut atasannya itu. "Yang kedua, apa benar kau bertindak semena-mena pada karyawan yang tidak kau suka? Dalam artian, kau bertindak sesukamu dalam memberikan pekerjaan hanya karena ada masalah pribadi." Pak Hadi ikut memberi pertanyaan. Sita menduga ketiga petinggi itu memang sudah menyiapkan apa-apa saja yang harus disampaikan."Apa Bapak pernah mendengar ada kekacauan dalam setiap laporan kinerja? Bukankah setiap target yang diberikan, selalu mampu saya selesaikan bahkan sebelum tenggat waktu berakhir?" Sita tersenyum menanggapi perkataan Pak Hadi."Bawahan saya berada pada kuasa dan kontrol saya. Tentu saya mengetahui dengan jelas, kemampuan setiap karyawan yang ada di bawah saya. Buktinya, setiap pekerjaan yang kami lakukan, hasilnya selalu baik bukan?"Ketiga pet