Tepuk tangan langsung membahana dari para tamu saat pita peresmian restaurant terpotong dua.Hanin malu-malu tersenyum, meletakkan kembali gunting dengan pita warna merah muda ke nampan yang dibawa salah satu pelayan resto. Wanita itu menggunakan setelan gamis dan jilbab senada, warna merah muda lembut. Dia mengangguk sopan pada tamu-tamu yang memberikan ucapan selamat."Selamat, Nin. Semoga kerjasama kita berjalan lancar ke depannya, dan resto ini ramai dikunjungi pembeli." Hadyan tersenyum pada Hanin yang berdiri di sampingnya."Aamiin. Terima kasih untuk kesempatannya, Mas. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya saya bisa mendapat kesempatan seperti ini." Suara Hanin terdengar serak menahan haru. Setetes air matanya mengalir tanpa bisa ditahan.Hadyan mengangguk. Hidungnya terasa sedikit kedat. Dia memang memberikan kesempatan pada Hanin untuk memotong pita peresmian tadi. Awalnya Hanin menolak, merasa tidak pantas. Tetapi Hadyan berhasil meyakinkannya, bahwa saat ini Hanin adalah p
Hanin mendesah. Wajah Sita terpahat sempurna di wajah Rindu. Dalam hati dia melantunkan doa yang tulus, semoga kelak mantan anak sambungnya itu tumbuh menjadi pribadi yang baik."Loh? Mama sama Papa datang juga?" Wajah Hanin langsung sumringah melihat kehadiran Papa Roy dan Mama Desi. Hanin bahkan langsung berpelukan erat dengan Mama Desi."Datang dong, Sayang." Mama Desi tersenyum."Kenapa Mas Dimas memaksakan hadir? Kan sudah ada Papa Roy dan Mama Desi yang datang." Hanin sedikit keberatan melihat kondisi Dimas yang masih menggunakan kursi roda."Tidak apa-apa, Nin. Kakiku sudah jauh membaik. Mungkin tiga kali terapi lagi aku sudah bisa berjalan seperti sedia kala. Retak tulang kemarin memang agak parah, sehingga membutuhkan waktu hampir lima bulan untuk pemulihan." Hadyan menjelaskan. Hanin mengangguk mendengar perkataan Dimas."Kamu hebat sekali, Nin. Sekarang sudah punya resto sendiri. Bagus pula tempatnya," ucap Mama Desi sambil menatap kagum sekitar."Bukan punya Hanin, Ma. In
"Kesalahan terbesarmu adalah hadir dalam kehidupan Dimas." Sita berkata dingin. "Apa aku bisa melawan takdir?"Sita menatap Hanin bingung."Pertemuanku dengan Mas Dimas sudah ditulis dalam Lauhul Mahfudz. Semua yang terjadi sudah atas ketetapan Ilahi, Ta."Sita mendengus."Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, tentu aku akan menolak sedari awal saat Mas Dimas mengajukan pinangan. Apa kau pikir sebuah kebanggaan bagiku ditinggalkan dalam keadaan hamil besar?" Mata Hanin mengembun. Setiap mengingat hal itu, rasa sakit di hatinya masih tetap sama."Sudahlah, Ta. Mari kita berdamai. Aku sudah berusaha menghadirkan ikhlas di hatiku atas semua luka yang kalian hujamkan. Bertahun-tahun aku berusaha mengobati luka sendiri. Sampai akhirnya kesadaran itu datang menghampiri. Tidak ada untungnya hidup dalam dendam. Aku hanya ingin kita semua pada akhirnya bisa hidup tentram." Hanin menghapus ujung matanya yang basah.Hening.Hanya terdengar suara bunyi mesin pendingin ruangan dan sesekali isak p
Entah kenapa dia tidak rela, saat melihat wanita yang pernah dia sia-siakan cintanya, kini justru mendapat tatapan mendamba dari lelaki selain dirinya."Ayo, sekalian sama Mbok Ti, Saldi dan Dipta." Hadyan tertawa saat anak laki-laki itu tersenyum lebar menampakkan gigi padanya. Mereka kemudian saling tos."Boleh saya ajak Dipta sebentar, Mas Dimas?" Hadyan meminta izin pada Dimas yang sedang berpura-pura sibuk memperhatikan sekitar."Eh? Oh? Boleh." Dimas menjawab kikuk.Hadyan berjalan di depan sambil menggandeng Dipta. Sementara Hanin, Mbok Ti dan Saldi mengiringi dari belakang.Dimas menatap kepergian mereka dengan perasaan yang entahlah. Lelaki itu hanya termangu memperhatikan punggung Hanin yang semakin mengecil. Dia tidak mempedulikan percakapan antara orangtua dan mantan mertuanya."Dim." Tepukan halus di bahu sebelah kanan Dimas membuat lelaki itu mengalihkan pandangan dari Hanin yang sudah menghilang di tengah keramaian pengunjung. "Eh, Ran?" Dimas tersenyum ramah pada saha
Arni, levy dan Reni mengangguk menimpali omongan Bella.Mereka tidak menyadari, dua pasang telinga dari tadi ikut mendengarkan percakapan. Dimas dan Rani saling berpandangan. Kedua orang itu menarik napas berbarengan.Mereka pun menyadari, memang seburuk itulah Sita dalam pandangan banyak orang saat ini. Bahkan tidak sedikit tetangga dan kenalan yang terang-terangan mengatakan apa yang menimpa Sita adalah karma, dan sudah sepantasnya wanita itu mendapat balasan seperti itu.Mereka bisa apa? Baik Dimas maupun Rani sudah berusaha membuat Sita berubah. Namun, semua sia-sia. Wanita itu terlalu keras kepala. Bahkan setelah ditalak Dimas dan mendapat musibah besar, Sita tetap saja menyalahkan Hanin atas semua yang terjadi padanya.Sementara di sudut lain resto, suasana berlangsung hangat. Mama Rinda, orangtua Hadyan menyambut baik kehadiran Hanin dan keluarga. Wanita itu bahkan bisa langsung cocok berbicara banyak hal dengan Mbok Ti, walau mereka terpisah status sosial yang lumayan jauh."M
"S*alan!" Sita melemparkan surat panggilan dari manajemen ke sembarang arah.Ini hari pertamanya masuk kantor setelah lima bulan pemulihan. Kondisinya belum terlalu bagus, dia masih belum bisa berjalan lama. Hanya maksimal dua puluh langkah, setelah itu dia harus istirahat agar tungkainya tidak terasa lemas.Sebenarnya Sita tidak sepenuhnya lepas dari kewajiban pekerjaan kantor, wanita itu secara profesional tetap mengerjakan tanggung jawab yang bisa dia lakukan dari rumah. Sementara untuk pertemuan dengan rekan bisnis dan rapat mingguan, ada karyawan lain yang menjadi pengganti. "Argh!" Sita menghembuskan napas kasar sambil berteriak. Wanita itu sedang sangat kesal. Hari pertama dia bekerja kembali, bukan disambut dengan ucapan selamat datang tetapi disambut dengan surat panggilan.Sebenarnya apa mau manajemen? Bukankah dia tetap menjalankan kewajiban walau tidak masuk kantor? Semua pekerjaan bawahan juga bisa dia kontrol dengan baik."Masuk!" Sita segera merapikan penampilannya sa
"Tindakan seperti apa, Pak? Benar saya yang ada di video itu, jika hal tersebut yang ingin bapak tanyakan." Sita menanggapi ucapan Pak Wildan, setelah lama menunggu namun tidak ada satupun lagi perkataan yang keluar dr mulut atasannya itu. "Yang kedua, apa benar kau bertindak semena-mena pada karyawan yang tidak kau suka? Dalam artian, kau bertindak sesukamu dalam memberikan pekerjaan hanya karena ada masalah pribadi." Pak Hadi ikut memberi pertanyaan. Sita menduga ketiga petinggi itu memang sudah menyiapkan apa-apa saja yang harus disampaikan."Apa Bapak pernah mendengar ada kekacauan dalam setiap laporan kinerja? Bukankah setiap target yang diberikan, selalu mampu saya selesaikan bahkan sebelum tenggat waktu berakhir?" Sita tersenyum menanggapi perkataan Pak Hadi."Bawahan saya berada pada kuasa dan kontrol saya. Tentu saya mengetahui dengan jelas, kemampuan setiap karyawan yang ada di bawah saya. Buktinya, setiap pekerjaan yang kami lakukan, hasilnya selalu baik bukan?"Ketiga pet
"Loh? Mas?" Hanin yang baru saja akan pulang dari resto terkejut melihat kehadiran Dimas.Setiap pagi, dari jam delapan Hanin sudah sampai di resto. Memantau persiapan bahan dan bumbu masakan hari itu. Walaupun sudah ada koki khusus, Hanin selalu membuat dan meracikkan bumbu-bumbu, sehingga koki hanya tinggal memasukkannya sesuai takaran."Mau pulang?" Dimas mengerutkan kening melihat Hanin keluar dari resto membawa tas. Lelaki itu bergegas melirik jam tangannya. "Iya. Aku harus menjaga warung, Mas. Di resto hanya sampai jam sepuluh, membantu persiapan bahan masakan saja. Nanti sebentar lagi Mas Hadyan datang menggantikan aku memastikan resto berjalan sesuai operasionalnya." Hanin tersenyum."Mas tidak kerja?""Cuti, Nin."Hanin mengangguk. Sedikit bingung harus pamit atau bertanya ada perlu apa pada Dimas. Dia takut dikira ke GR an, siapa tahu mantan suaminya itu ternyata mau makan di sana, bukan mau menemuinya. "Emm, naik apa tadi ke sini, Nin?" Dimas kembali bersuara setelah ada
"Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Dimas. Payung-payung hitam bertebaran memenuhi area pemakaman. Tepat sebelum papan penutup kuburan diletakkan, rekaman suara Dimas telah terkirim ke nomor telepon Hanin di Jepang.Saldi dan Mbok Ti ikut mengantar Dimas ke peristirahatan terakhirnya. Saldi akhirnya bersedia mengirimkan rekaman suara yang berisi permintaan maaf Dimas kepada kakaknya.Isak tangis terus terdengar dari Mama Desi. Wanita itu beberapa kali pingsan saat proses pemakaman Dimas. Pun dengan Rindu. Mata gadis remaja itu terlihat sembab. Dia berusaha keras agar terlihat tabah. Semua demi ibunya, Sita.Perlahan Rindu mulai mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Meski begitu, dia tidak membenci Sita. Walau bagaimana pun, dia pernah merasakan Sita sangat menyayanginya. Rasa sayang pada ibunya tidak berkurang sedikit pun, walau dia tahu kadang Sita tak bisa mengenalinya."Mas Dimas." Sita berbisik lirih.Rindu memeluk ibunya. Ini pertama kali Sita bersuara sejak mengetahui Dimas tela
"Pakai hatimu, Sal. Apakah masih pantas disaat seperti ini kau membahas kesalahan Dimas? Dimas sekarat! Dimana hati kalian hingga tega menghukum orang yang sudah tidak berdaya?" Papa Roy akhirnya bersuara. Telinganya panas mendengar anaknya terus menjadi bulan-bulanan Saldi sejak tadi."Jangan bicara masalah hati, Pak Roy. Perlu saya ambil kaca agar kalian tahu siapa yang lebih tega? Dimana hati kalian saat melihat anakku dicampakkan dalam keadaan hamil besar? Susah payah dia hadir di persidangan, berharap hati Dimas terketuk melihat perutnya yang membuncit!" Mbok Ti mengusap air matanya yang mengalir."Itu masa lalu! Dimas dan Hanin bahkan sudah berdamai. Tidak perlu diungkit lagi! Apa susahnya hanya berbicara melalui telepon?" Papa Roy mengepalkan tangan."Ini bukan perkara susah atau mudah, Om." Saldi menggeleng tidak percaya."Saya kira anda bisa berpikir lebih dewasa. Ternyata sikap kekanakan Mas Dimas menurun dari anda." Saldi tertawa kecil."Ini masalah perasaan. Apakah kalian
"Kecelakaan tunggal yang terjadi pada hari Selasa, sekitar jam setengah sembilan malam di Daan Mogot, menyebabkan pengemudinya koma dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini.""Nasib tragis menimpa rumah tangga D Dan S. D yang saat ini koma, dulunya seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala divisi IT sebelum mengalami kecelakaan tunggal selasa lalu. Sementara istrinya, S, pernah menjabat sebagai General Manager di salah satu perusahaan sebelum kini mengalami gangguan jiwa.Pasangan yang seharusnya sangat ideal andai semua musibah tidak terjadi. Apakah ini karma karena mereka membangun rumah tangga di atas tangis seorang istri yang tengah membawa titipan di rahimnya?"Kecelakaan yang dialami Dimas menjadi pemberitaan nasional baik di televisi maupun media cetak. Bagaimana tidak, setelah video viral Sita melabrak Hanin beberapa tahun yang lalu mendapat reaksi yang sangat meledak di masyarakat.Kini, berita tentang kecelakaan yang dialami Dimas serta Sita yan
"Siapa kamu, datang dan pergi sesukamu? Kakak dan keponakanku bukan mainan. Kau tinggalkan saat bosan, kemudian kau datangi lagi saat kau ingin memainkannya." Suara Saldi terdengar berat. Membuat Dimas mengerutkan keningnya. "Kau tahu? Dipta sakit berhari-hari karena kehilangan sosok yang sangat ingin diakui sebagai ayah. Apa kau benar-benar tidak ada waktu walau hanya sekedar melakukan panggilan video barang sejenak? Anak lelaki itu merindukan kehangatan pelukan dan senda gurau seorang ayah. Tetapi, kau dimana? Kau abai dengan hal itu. Entah lupa atau sengaja melupakan. Hanya Allah yang maha mengetahui rahasia hati.""Aku minta maaf untuk semua itu, Sal. Aku datang kemari berusaha untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan pada kakakmu dan Dipta.""Apa yang ingin kau perbaiki? Semua sudah terlanjur rusak saat kau torehkan luka berkali-kali pada hati kakakku. Kau adalah gambaran seorang suami dan seorang ayah yang gagal. Tidak cukup kau sakiti ibunya saat hamil, kau tamb
"Kalian boleh tutup mulut serapat mungkin. Tetapi kupastikan aku akan mengusut tuntas kasus ini! Tidak akan hidup tenang orang yang sudah membuat hidup istriku hancur!" Dimas menatap sekitar.Rani langsung menarik Dimas keluar dari ruangan. Dia tidak mau suami sahabatnya itu semakin berbicara yang tidak-tidak."Dim, lebih baik fokus saja pada pengobatan Sita. Sudahi semua hal yang membuat keributan ini. Hal ini bisa memperburuk kondisi Sita."Dimas berdecak sebal saat mendengar omongan Rani."Beri aku gambaran orang seperti apa Hadyan, Ran.""Hah?! Hadyan?" Rani bingung kenapa tiba-tiba Dimas membahas Hadyan."Ada kemungkinan dia terlibat dalam menyabotase Sita dengan menyebarkan video itu. Kata Levy, Hadyan mengetahui perihal video itu sebelum tersebar. Sebagai seorang atasan, seharusnya dia memerintahkan pada bawahannya untuk menghapus video itu. Anehnya lagi, lelaki itu memilih tutup mulut saat Sita mengamuk dan menuduh Hanin yang menyebarkankannya."Rani menggeleng sambil menarik
"Bu Levy, ada tamu." Security memberitahu Levy yang sedang sibuk dengan setumpuk dokumen dan laptop di depannya."Tamu? Siapa, Pak?" Levy mengernyitkan kening sambil melirik jam di tangannya. Siapa yang bertamu sesore ini? Sepuluh menit lagi bahkan adzan maghrib akan berkumandang."Namanya Pak Dimas, katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Orangnya menunggu di ruang tunggu tamu." Security menjawab sambil pamit undur diri.Levy mengangguk pada security. Hatinya mendadak sedikit ciut. Ada apa gerangan Dimas kemari? Apa benar lelaki itu tahu dia yang pertama kali menyebarkan video Sita melabrak Hanin di warung?"Levy?"Levy terkejut saat mendengar ada yang menyebut namanya"Eh, Dim?" Sedikit tergagap dia mengangkat kepala, menatap Dimas yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya."Bisa bicara sebentar?" Dimas bertanya dengan tatapan tajam."Maaf. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Levy meletakkan tangan pada tumpukan dokumen di atas meja "Ini hal penting.""Maaf
"Lebih baik Bu Sita untuk sementara dibawa ke RSJ, Pak. Selain karena kondisinya yang sangat tidak stabil dapat membahayakan dirinya dan orang lain, juga agar saya lebih mudah memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi."Setelah berembuk beberapa saat, mereka mengambil keputusan untuk sementara Sita akan dirawat di rumah saja. Mereka akan meningkatkan penjagaan agar wanita itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan."Awas saja kalah kau sampai kembali pada Hanin, Mas! AKU AKAN MENCINCANG WANITA MISKIN ITU DENGAN KEDUA TANGANKU!"Sontak semua yang ada di kamar terkejut. Sita yang tadinya diam dan terlihat sangat terkendali saat ada psikiater yang datang mendadak kumat lagi.Entah mengapa, sepertinya rumah ini menyayat kembali lukanya yang mulai sembuh beberapa waktu yang lalu. Trauma itu sempurna kembali. Menelikung dan mempengaruhi alam bawah sadar Sita.Wanita itu mengamuk membabi buta. Menyerang siapa saja yang mencoba menahan gerakannya. Dia bahkan mencakar tangan R
"Ta." Bu Rita langsung maju dan memeluk Sita yang terlihat sangat kalap. Dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Bu Rita melemparkan bantal dan menghempas-hempaskan tubuhnya di ranjang.Dimas langsung menghubungi psikiater yang dulu merekomendasikan Sita agar menjalani pengobatan jauh dari tempat yang bisa membangkitkan traumanya. Sementara Mama Desi memeluk Rindu yang menangis sesenggukan melihat keadaan ibunya."Mohon maaf menyebabkan keributan ya, Pak, Bu." Mama Desi sekilas menangkap suara Papa Roy. Tadi memang terdengar ada yang mengucap salam. Mungkin tetangga yang merasa terganggu karena teriakan Sita."Pak Roy kapan pulang? Itu kenapa teriak-teriak?" Salah satu tetangga bertanya. Ada sekitar lima orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkerumun di depan rumah. Mereka heran karena rumah yang setahu mereka kosong selama beberapa bulan ini, mendadak menjadi ramai karena suara teriakan."Baru saja sampai, Pak." Papa Roy menjawab sambil tersenyum."Sita masih gila ya?"