"S*alan!" Sita melemparkan surat panggilan dari manajemen ke sembarang arah.Ini hari pertamanya masuk kantor setelah lima bulan pemulihan. Kondisinya belum terlalu bagus, dia masih belum bisa berjalan lama. Hanya maksimal dua puluh langkah, setelah itu dia harus istirahat agar tungkainya tidak terasa lemas.Sebenarnya Sita tidak sepenuhnya lepas dari kewajiban pekerjaan kantor, wanita itu secara profesional tetap mengerjakan tanggung jawab yang bisa dia lakukan dari rumah. Sementara untuk pertemuan dengan rekan bisnis dan rapat mingguan, ada karyawan lain yang menjadi pengganti. "Argh!" Sita menghembuskan napas kasar sambil berteriak. Wanita itu sedang sangat kesal. Hari pertama dia bekerja kembali, bukan disambut dengan ucapan selamat datang tetapi disambut dengan surat panggilan.Sebenarnya apa mau manajemen? Bukankah dia tetap menjalankan kewajiban walau tidak masuk kantor? Semua pekerjaan bawahan juga bisa dia kontrol dengan baik."Masuk!" Sita segera merapikan penampilannya sa
"Tindakan seperti apa, Pak? Benar saya yang ada di video itu, jika hal tersebut yang ingin bapak tanyakan." Sita menanggapi ucapan Pak Wildan, setelah lama menunggu namun tidak ada satupun lagi perkataan yang keluar dr mulut atasannya itu. "Yang kedua, apa benar kau bertindak semena-mena pada karyawan yang tidak kau suka? Dalam artian, kau bertindak sesukamu dalam memberikan pekerjaan hanya karena ada masalah pribadi." Pak Hadi ikut memberi pertanyaan. Sita menduga ketiga petinggi itu memang sudah menyiapkan apa-apa saja yang harus disampaikan."Apa Bapak pernah mendengar ada kekacauan dalam setiap laporan kinerja? Bukankah setiap target yang diberikan, selalu mampu saya selesaikan bahkan sebelum tenggat waktu berakhir?" Sita tersenyum menanggapi perkataan Pak Hadi."Bawahan saya berada pada kuasa dan kontrol saya. Tentu saya mengetahui dengan jelas, kemampuan setiap karyawan yang ada di bawah saya. Buktinya, setiap pekerjaan yang kami lakukan, hasilnya selalu baik bukan?"Ketiga pet
"Loh? Mas?" Hanin yang baru saja akan pulang dari resto terkejut melihat kehadiran Dimas.Setiap pagi, dari jam delapan Hanin sudah sampai di resto. Memantau persiapan bahan dan bumbu masakan hari itu. Walaupun sudah ada koki khusus, Hanin selalu membuat dan meracikkan bumbu-bumbu, sehingga koki hanya tinggal memasukkannya sesuai takaran."Mau pulang?" Dimas mengerutkan kening melihat Hanin keluar dari resto membawa tas. Lelaki itu bergegas melirik jam tangannya. "Iya. Aku harus menjaga warung, Mas. Di resto hanya sampai jam sepuluh, membantu persiapan bahan masakan saja. Nanti sebentar lagi Mas Hadyan datang menggantikan aku memastikan resto berjalan sesuai operasionalnya." Hanin tersenyum."Mas tidak kerja?""Cuti, Nin."Hanin mengangguk. Sedikit bingung harus pamit atau bertanya ada perlu apa pada Dimas. Dia takut dikira ke GR an, siapa tahu mantan suaminya itu ternyata mau makan di sana, bukan mau menemuinya. "Emm, naik apa tadi ke sini, Nin?" Dimas kembali bersuara setelah ada
Hanin menyimak omongan Dimas dalam diam. Matanya bergerak-gerak mengikuti langkah anak kecil penjual minuman dingin yang berpindah dari satu mobil ke mobil lainnya. Anak lelaki itu berbaju biru, warnanya sudah lusuh. Wajahnya terlihat sumringah setiap ada pengendara yang membeli dagangannya."Aku. Aku mungkin akan rujuk lagi dengan Sita, Nin."Hanin menggigit bibir mendengar ucapan Dimas. Ingin sekali dia berteriak dan memaki lelaki di sampingnya. Semudah itu dia mengucapkan talak dan rujuk sesukanya?"Dia sangat terpukul dengan keadaannya saat ini, Nin. Gerakannya terbatas, kemampuannya berjalan tidak seperti dulu lagi. Sita juga merasa tertekan, karena setiap keluar dari rumah orang-orang yang mengenalinya dari video yang viral itu memberikan tatapan mengerikan. Bahkan pernah ada yang memakinya secara terang-terangan saat sedang jalan-jalan santai pagi hari."Hanin mendengarkan cerita Dimas dalam diam. Sejujurnya, dia merasa kasihan dengan keadaan Sita saat ini. Ada keinginannya unt
"Aku tahu, aku tidak pantas mengatakan ini. Tetapi karena mungkin ini pertemuan kita yang terakhir kali di dunia. Maukah kau mengabulkannya?""Mas Dim ….""Umur tidak ada yang tahu, Nin. Aku benar-benar akan pergi jauh. Bahkan Ibu Rita, Mama dan Papa juga akan ikut dengan kami. Aku telah mengambil keputusan kami akan meninggalkan semua, Nin."Hanin urung membuka pintu mobil. Matanya hanya mengawasi warungnya yang semakin ramai. Tidak apa. Ada Salma dan Lina yang bisa menjaga dan melayani pembeli."Semua ini terjadi karena salahku. Andai. Ya, andai saja aku bisa tegas bersikap, mungkin semua tidak akan sesakit ini. Aku tidak boleh lari lagi. Aku harus bertanggungjawab dengan semua hal yang telah kulakukan." Dimas mengusap tengkuk. Lelaki itu menggigit bibir kencang hingga terasa sedikit asin karena tergores oleh giginya."Mas minta apa?" Hanin bertanya sambil menunduk."Boleh aku berkata kurang ajar padamu, Nin?"Hanin mengerutkan kening. Apa maksud lelaki di sampingnya?"Ini tentang D
"Maaf, karena aku sering menyakitimu."Hampir saja air mata Hanin terjatuh kembali. Tetapi wanita itu cepat mengalihkan pandangan. Bergegas dia keluar dari mobil.Sementara Dimas menatap kepergian Hanin dengan mata berembun. Dia sangat menyadari, terlalu dalam luka itu menusuk sanubari Hanin.Setelah berhasil menata hati, lelaki itu keluar dari mobil. Bagaimanapun, dia ingin menatap dan menyentuh wajah Dipta sebelum dia pergi."Assalamualaikum, loh? Ramai ternyata?" Dimas terkejut saat melihat Papa Roy dan Mama Desi sedang bermain dengan Dipta. "Waalaikumussalam, Dim. Bareng Hanin?" Papa Roy bertanya heran.Dimas mengangguk."Dipta. Sini, Nak." Dimas memanggil Dipta.Anak laki-laki itu tertawa senang. Segera berlari menyambut pelukan ayahnya. Dimas memeluk dan mengangkat Dipta tinggi-tinggi, membuat anak itu tertawa riang. Dia merasa seperti sedang terbang. "Jadi, kapan berangkatnya Bu?" Mbok Ti bertanya pada Mama Desi."Penerbangan besok pagi, Bu." Mama Desi mengusap tangan Mbok Ti
Saldi menunduk. Bagaimanapun Dimas adalah kakak ipar yang baik baginya, sebelum lelaki itu terjerumus pada cinta buta sehingga membuat hubungan mereka menjadi renggang dan sedikit tegang."Aku masih ingat, bagaimana dulu dengan yakinnya dirimu mengangguk, saat diminta menjadi wali nikah. Sampai saat ini aku masih bisa merasakan jabat tangan yang sangat bertenaga darimu, saat ikrar ijab kabul diucapkan."Saldi tersenyum tipis mengingat kejadian itu. Saat usianya masih tiga belas tahun."Aku juga masih mengingat dengan jelas tatapan matamu yang sangat berani karena ingin melindungi kakakmu. Di pengadilan, tegas kau mengucapkan kata agar aku dan Sita tidak semena-mena."Saldi mengangguk. Dulu yang ada di pikirannya hanya satu. Dia tidak mau melihat kakaknya semakin terluka karena orang yang sama."Mas. Pergilah dengan tenang. Semoga semuanya sesuai dengan yang diharapkan." Hanin akhirnya bersuara setelah ruangan itu hanya diisi isak tangis selama hampir lima menit."Aku sudah memaafkanmu
"Nin. Mama sama Papa akan ikut Dimas. Bukan bermaksud meninggalkan tanggung jawab mengasuh Dipta padamu. Tetapi Mama dan Papa tidak punya pilihan. Dia anak kami satu-satunya. Begitupun dengan Bu Rita, Sita adalah anak satu-satunya. Jadi, kami memutuskan akan ikut kemanapun mereka akan pergi." Mama Desi memeluk Hanin.Wanita berjilbab warna peach itu mengangguk. Dia tidak merasa keberatan sama sekali mengurus Dipta sendiri. Dia tahu dia mampu membesarkan anaknya dengan baik. Hanin hanya merasa sedih karena memikirkan Dipta akan kehilangan kehadiran sosok seorang ayah.Bagaimanalah dia akan menjelaskan pada anak laki-lakinya itu bahwa ayahnya tidak akan bisa datang lagi dalam waktu dekat ini?Sungguh. Hanin sangat tahu bagaimana rasanya patah hati. Dia paham seperti apa sakitnya ditinggalkan oleh orang yang sangat disayangi. Dulu dia terluka oleh Dimas, tak dinyana lelaki itu akan kembali menorehkan rasa yang sama pada anak semata wayang mereka."Nin." Mama Desi menggoyangkan bahu Hanin