"Maaf, karena aku sering menyakitimu."Hampir saja air mata Hanin terjatuh kembali. Tetapi wanita itu cepat mengalihkan pandangan. Bergegas dia keluar dari mobil.Sementara Dimas menatap kepergian Hanin dengan mata berembun. Dia sangat menyadari, terlalu dalam luka itu menusuk sanubari Hanin.Setelah berhasil menata hati, lelaki itu keluar dari mobil. Bagaimanapun, dia ingin menatap dan menyentuh wajah Dipta sebelum dia pergi."Assalamualaikum, loh? Ramai ternyata?" Dimas terkejut saat melihat Papa Roy dan Mama Desi sedang bermain dengan Dipta. "Waalaikumussalam, Dim. Bareng Hanin?" Papa Roy bertanya heran.Dimas mengangguk."Dipta. Sini, Nak." Dimas memanggil Dipta.Anak laki-laki itu tertawa senang. Segera berlari menyambut pelukan ayahnya. Dimas memeluk dan mengangkat Dipta tinggi-tinggi, membuat anak itu tertawa riang. Dia merasa seperti sedang terbang. "Jadi, kapan berangkatnya Bu?" Mbok Ti bertanya pada Mama Desi."Penerbangan besok pagi, Bu." Mama Desi mengusap tangan Mbok Ti
Saldi menunduk. Bagaimanapun Dimas adalah kakak ipar yang baik baginya, sebelum lelaki itu terjerumus pada cinta buta sehingga membuat hubungan mereka menjadi renggang dan sedikit tegang."Aku masih ingat, bagaimana dulu dengan yakinnya dirimu mengangguk, saat diminta menjadi wali nikah. Sampai saat ini aku masih bisa merasakan jabat tangan yang sangat bertenaga darimu, saat ikrar ijab kabul diucapkan."Saldi tersenyum tipis mengingat kejadian itu. Saat usianya masih tiga belas tahun."Aku juga masih mengingat dengan jelas tatapan matamu yang sangat berani karena ingin melindungi kakakmu. Di pengadilan, tegas kau mengucapkan kata agar aku dan Sita tidak semena-mena."Saldi mengangguk. Dulu yang ada di pikirannya hanya satu. Dia tidak mau melihat kakaknya semakin terluka karena orang yang sama."Mas. Pergilah dengan tenang. Semoga semuanya sesuai dengan yang diharapkan." Hanin akhirnya bersuara setelah ruangan itu hanya diisi isak tangis selama hampir lima menit."Aku sudah memaafkanmu
"Nin. Mama sama Papa akan ikut Dimas. Bukan bermaksud meninggalkan tanggung jawab mengasuh Dipta padamu. Tetapi Mama dan Papa tidak punya pilihan. Dia anak kami satu-satunya. Begitupun dengan Bu Rita, Sita adalah anak satu-satunya. Jadi, kami memutuskan akan ikut kemanapun mereka akan pergi." Mama Desi memeluk Hanin.Wanita berjilbab warna peach itu mengangguk. Dia tidak merasa keberatan sama sekali mengurus Dipta sendiri. Dia tahu dia mampu membesarkan anaknya dengan baik. Hanin hanya merasa sedih karena memikirkan Dipta akan kehilangan kehadiran sosok seorang ayah.Bagaimanalah dia akan menjelaskan pada anak laki-lakinya itu bahwa ayahnya tidak akan bisa datang lagi dalam waktu dekat ini?Sungguh. Hanin sangat tahu bagaimana rasanya patah hati. Dia paham seperti apa sakitnya ditinggalkan oleh orang yang sangat disayangi. Dulu dia terluka oleh Dimas, tak dinyana lelaki itu akan kembali menorehkan rasa yang sama pada anak semata wayang mereka."Nin." Mama Desi menggoyangkan bahu Hanin
"Ya kalau ada jodohnya kenapa tidak, Bu. Selama ini Hanin ragu untuk memulai karena khawatir Dipta bingung dengan kehadiran ayah kandung dan ayah sambungnya nanti.""Aamiin. Kau akan mendapatkan jodoh yang baik, Nin. Obat dari rasa sakit atas kehilangan adalah membiarkan yang baru mengisi ruang kosong itu." Mbok Ti tersenyum lembut.Hanin mengangguk. Dia sangat paham maksud dari ucapan ibunya.Sementara di bagian bumi yang lain. Dimas baru saja sampai di rumah Bu Rita. Wanita yang sudah menjelang usia senja itu langsung berlari melihat mobil Dimas memasuki pekarangan rumahnya. Dia memang menunggu kedatangan Dimas."Ibu tidak bisa menemukannya dimana-mana. Ibu bahkan sudah keliling komplek perumahan dua kali." Bu Rita langsung menjelaskan begitu Dimas keluar dari mobil."Ibu takut Sita kabur, Dim. Tas tangan yang biasa dia gunakan ke kantor hilang satu. Jangan-jangan dia pergi menggunakan taksi."Dimas menggigit bibir. Kepalanya terasa pening. Lelaki itu terlihat berpikir.Secara tiba-
"Mas Yan." Satu sapaan mengagetkan Hadyan yang sedang sibuk dengan laptopnya.Lelaki itu mengangkat kepala untuk melihat siapa yang datang."Rissa." Hadyan tersenyum. Adik iparnya itu memang dekat dengannya. Jadi dia sudah tidak heran lagi, kalau Rissa tiba-tiba datang dan masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu."Mas Yan lagi sibuk?" Rissa duduk di sofa tamu. Melepaskan sepatu berhak tinggi yang dia kenakan, kemudian menaikkan kaki ke sofa. Selonjoran. Sambil punggungnya menyender ke sandaran sofa. Santai. Wanita itu terlihat sangat nyaman dengan posisinya. "Lumayan. Besok awal bulan, jadi aku sedang merekap pemasukan dan pengeluaran bulan ini." Hadyan menatap Rissa sekilas, kemudian kembali sibuk dengan laptopnya."Masuk." Hadyan mempersilakan saat mendengar ketukan di pintu. Pramusaji masuk sambil membawa makanan dan minuman dalam sebuah nampan. Hadyan mengerutkan kening. Dia tidak merasa meminta apapun."Silahkan, Mbak." Pramusaji meletakkan di meja dekat Rissa. Wanita itu sedi
"Hanin. Perempuan itu istimewa." Hadyan kembali bersuara setelah terdiam cukup lama."Istimewa?" Rissa bertanya.Hadyan mengangguk yakin."Apa istimewanya?""Penampilannya biasa-biasa saja, tetapi sikapnya luar biasa. Dibalik kelemah lembutan sikapnya, dia wanita yang sangat kuat. Ditinggalkan saat kehamilannya tinggal menunggu waktu persalinan, pasti sangat menyakitkan. Tetapi dia dengan berbesar hati tetap menerima mantan suaminya dengan baik. Dengan sikap dewasa, dia mengizinkan lelaki yang telah mencampakkannya itu tetap menemui anaknya." Hadyan menarik napas dalam."Dibutuhkan tameng perasaan sekuat baja, untuk bisa melakukan hal seperti itu. Aku sangat yakin, banyak wanita diluar sana jika mengalami seperti Hanin, pasti akan menjauhkan anak tersebut dari ayahnya. Tetapi Hanin tidak, dia menerima dengan rela demi kebaikan Dipta. Itulah yang membuat wanita itu berbeda." Senyum Hadyan kembali mengembang."Fisiknya memang kalah jauh dibandingkan dengan Sita, namun hatinya jauh lebih
"Ndu," sapaan Dimas membuat gadis kecil berambut panjang itu menoleh."Lihat apa, Sayang?" Dimas tersenyum sambil mengelus rambut putrinya yang dikepang dua.Rindu tersenyum manis. Sedari tadi dia menatap rinai air hujan yang jatuh dari atap rumah mereka dari balik jendela. Pukul 01.30 waktu Amsterdam.Tadi Rindu terbangun dari tidur. Suara angin terdengar jelas. Saat melihat ke jendela kamar, ternyata hujan sedang turun.Gadis itu akhirnya ke dapur. Mengambil minum. Sebelum tidur tadi dia lupa mengisi botol yang biasa dia letakkan di meja samping kasur.Langkah gadis itu terhenti saat akan menuju kamar. Matanya menatap air hujan yang jatuh dari balik jendela di ruang tengah. Dia memutuskan berhenti sebentar. Menikmati rinai air hujan."Ayah mau ambil minum juga?" Rindu mengangkat botol minumnya.Dimas tertawa. Dia memang merasa haus. Saat melewati ruang tengah tadi, lelaki itu melihat Rindu yang sedang melamun di bingkai jendela. Mata gadis kecil itu menyimpan kesedihan saat menatap
"Rindu juga kangen sama masakan Tante Hanin. Masakan Oma Desi dan Eyang Rita tidak seenak masakan Tante Hanin." Rindu menghembuskan napas kencang."Kapan kita pulang, Yah?"Dimas tergugu. Tangis lelaki itu akhirnya pecah. Dia sangat lelah. Jiwa dan raganya terasa sangat penat.Hampir satu tahun mereka di sini. Sita hanya mengalami sedikit sekali kemajuan. Wanita itu sudah bisa mengingat Rindu. Tetapi ingatannya hanya sebatas tentang keluarga kecil mereka.Sita benar-benar menghapus semua hal yang membuatnya trauma. Namun semua kenangan itu masih tersimpan rapi dalam alam bawah sadarnya. Sehingga hampir setiap pagi saat bangun tidur, Sita selalu histeris meneriakkan nama Hanin.Bahkan dalam keadaan keadaan tidak sadar pun, rasa benci itu masih tersimpan rapi dalam sanubari.Dimas tidak tahu kapan Sita akan pulih. Psikolog yang menangani Sita mengatakan selalu ada harapan. Tetapi kapan?Lelaki itu benar-benar sudah merasa sangat kelelahan. Dia hanya berusaha terlihat tetap tegar di hada