"Ya kalau ada jodohnya kenapa tidak, Bu. Selama ini Hanin ragu untuk memulai karena khawatir Dipta bingung dengan kehadiran ayah kandung dan ayah sambungnya nanti.""Aamiin. Kau akan mendapatkan jodoh yang baik, Nin. Obat dari rasa sakit atas kehilangan adalah membiarkan yang baru mengisi ruang kosong itu." Mbok Ti tersenyum lembut.Hanin mengangguk. Dia sangat paham maksud dari ucapan ibunya.Sementara di bagian bumi yang lain. Dimas baru saja sampai di rumah Bu Rita. Wanita yang sudah menjelang usia senja itu langsung berlari melihat mobil Dimas memasuki pekarangan rumahnya. Dia memang menunggu kedatangan Dimas."Ibu tidak bisa menemukannya dimana-mana. Ibu bahkan sudah keliling komplek perumahan dua kali." Bu Rita langsung menjelaskan begitu Dimas keluar dari mobil."Ibu takut Sita kabur, Dim. Tas tangan yang biasa dia gunakan ke kantor hilang satu. Jangan-jangan dia pergi menggunakan taksi."Dimas menggigit bibir. Kepalanya terasa pening. Lelaki itu terlihat berpikir.Secara tiba-
"Mas Yan." Satu sapaan mengagetkan Hadyan yang sedang sibuk dengan laptopnya.Lelaki itu mengangkat kepala untuk melihat siapa yang datang."Rissa." Hadyan tersenyum. Adik iparnya itu memang dekat dengannya. Jadi dia sudah tidak heran lagi, kalau Rissa tiba-tiba datang dan masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu."Mas Yan lagi sibuk?" Rissa duduk di sofa tamu. Melepaskan sepatu berhak tinggi yang dia kenakan, kemudian menaikkan kaki ke sofa. Selonjoran. Sambil punggungnya menyender ke sandaran sofa. Santai. Wanita itu terlihat sangat nyaman dengan posisinya. "Lumayan. Besok awal bulan, jadi aku sedang merekap pemasukan dan pengeluaran bulan ini." Hadyan menatap Rissa sekilas, kemudian kembali sibuk dengan laptopnya."Masuk." Hadyan mempersilakan saat mendengar ketukan di pintu. Pramusaji masuk sambil membawa makanan dan minuman dalam sebuah nampan. Hadyan mengerutkan kening. Dia tidak merasa meminta apapun."Silahkan, Mbak." Pramusaji meletakkan di meja dekat Rissa. Wanita itu sedi
"Hanin. Perempuan itu istimewa." Hadyan kembali bersuara setelah terdiam cukup lama."Istimewa?" Rissa bertanya.Hadyan mengangguk yakin."Apa istimewanya?""Penampilannya biasa-biasa saja, tetapi sikapnya luar biasa. Dibalik kelemah lembutan sikapnya, dia wanita yang sangat kuat. Ditinggalkan saat kehamilannya tinggal menunggu waktu persalinan, pasti sangat menyakitkan. Tetapi dia dengan berbesar hati tetap menerima mantan suaminya dengan baik. Dengan sikap dewasa, dia mengizinkan lelaki yang telah mencampakkannya itu tetap menemui anaknya." Hadyan menarik napas dalam."Dibutuhkan tameng perasaan sekuat baja, untuk bisa melakukan hal seperti itu. Aku sangat yakin, banyak wanita diluar sana jika mengalami seperti Hanin, pasti akan menjauhkan anak tersebut dari ayahnya. Tetapi Hanin tidak, dia menerima dengan rela demi kebaikan Dipta. Itulah yang membuat wanita itu berbeda." Senyum Hadyan kembali mengembang."Fisiknya memang kalah jauh dibandingkan dengan Sita, namun hatinya jauh lebih
"Ndu," sapaan Dimas membuat gadis kecil berambut panjang itu menoleh."Lihat apa, Sayang?" Dimas tersenyum sambil mengelus rambut putrinya yang dikepang dua.Rindu tersenyum manis. Sedari tadi dia menatap rinai air hujan yang jatuh dari atap rumah mereka dari balik jendela. Pukul 01.30 waktu Amsterdam.Tadi Rindu terbangun dari tidur. Suara angin terdengar jelas. Saat melihat ke jendela kamar, ternyata hujan sedang turun.Gadis itu akhirnya ke dapur. Mengambil minum. Sebelum tidur tadi dia lupa mengisi botol yang biasa dia letakkan di meja samping kasur.Langkah gadis itu terhenti saat akan menuju kamar. Matanya menatap air hujan yang jatuh dari balik jendela di ruang tengah. Dia memutuskan berhenti sebentar. Menikmati rinai air hujan."Ayah mau ambil minum juga?" Rindu mengangkat botol minumnya.Dimas tertawa. Dia memang merasa haus. Saat melewati ruang tengah tadi, lelaki itu melihat Rindu yang sedang melamun di bingkai jendela. Mata gadis kecil itu menyimpan kesedihan saat menatap
"Rindu juga kangen sama masakan Tante Hanin. Masakan Oma Desi dan Eyang Rita tidak seenak masakan Tante Hanin." Rindu menghembuskan napas kencang."Kapan kita pulang, Yah?"Dimas tergugu. Tangis lelaki itu akhirnya pecah. Dia sangat lelah. Jiwa dan raganya terasa sangat penat.Hampir satu tahun mereka di sini. Sita hanya mengalami sedikit sekali kemajuan. Wanita itu sudah bisa mengingat Rindu. Tetapi ingatannya hanya sebatas tentang keluarga kecil mereka.Sita benar-benar menghapus semua hal yang membuatnya trauma. Namun semua kenangan itu masih tersimpan rapi dalam alam bawah sadarnya. Sehingga hampir setiap pagi saat bangun tidur, Sita selalu histeris meneriakkan nama Hanin.Bahkan dalam keadaan keadaan tidak sadar pun, rasa benci itu masih tersimpan rapi dalam sanubari.Dimas tidak tahu kapan Sita akan pulih. Psikolog yang menangani Sita mengatakan selalu ada harapan. Tetapi kapan?Lelaki itu benar-benar sudah merasa sangat kelelahan. Dia hanya berusaha terlihat tetap tegar di hada
"Nin.""Ya, Mas?""Mau ikut mas?""Maksudnya?" Hanin mengerutkan kening."Ikut mas ke luar negeri sana. Menemani mas menuntut ilmu." Hadyan menatap Hanin langsung di matanya."Hah?" Hanin balas menatap Hadyan. Mata teduh itu terlihat penuh tanya."Mas bukan lelaki romantis yang pandai berucap membuai, Nin. Maaf kalau semua serba mendadak dan tiba-tiba. Tetapi rasa di hati mas tidak muncul begitu saja, rasa itu perlahan hadir seiring bertahun seringnya kita berjumpa."Hanin menunduk. Apa maksud lelaki ini?"Nin."Hanin mengangkat kepala. Membalas tatapan Hadyan. Sedetik kemudian menunduk lagi. Tetapi dalam tatapan singkat tadi, Hanin bisa melihat kesungguhan dan keseriusan Hadyan.Wajah Hanin tiba-tiba terasa panas. Pipi ranum itu bersemu merah."Maukah engkau menggelar sajadah di belakangku setiap waktu shalat, Nin? Membiarkanku menjadi imammu, dan engkau serta Dipta menjadi makmumku."Setetes air mata Hanin mengalir. Lelaki ini bukan hanya melamarnya menjadi istri. Tetapi juga memint
"Kesederhanaan yang selalu kau tampilkan, justru menjadi daya pikat yang tak bisa dinapikkan. Aku memang tidak jatuh cinta pada pandangan pertama padamu, Nin. Tetapi seiring berjalannya waktu, kelembutan sikap dan kedewasaanmu dalam menghadapi banyak masalah membuat cinta perlahan menyapa hatiku."Hanin membisu. Ini pertama kalinya seorang lelaki mengatakan dengan lugas dan tegas ketertarikan padanya."Kehadiranmu membuka sisi lain di hatiku, Nin. Laras tak akan pernah terganti. Selamanya dia ada di hati. Tetapi kau mampu membuka ruang hatiku yang baru. Suatu tempat yang membuatku kembali merasakan cinta, setelah sekian lama memeluk luka."Lama mereka tidak bersuara. Hanin sibuk dengan pikirannya. Sementara Hadyan membiarkan wanita itu mencerna setiap kalimatnya.Lima menit berlalu. Mereka tetap membisu.Tik.Tik.Tik.Detik jam dinding terdengar jelas."Nin." Hadyan akhirnya bersuara setelah hampir sepuluh menit menunggu Hanin bicara."Tidak usah terburu-buru. Tadi malam aku sudah me
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Hadyan Permana Bin Almarhum Yudha Permana dengan kakak saya yang bernama Hanina Andira Binti Almarhum Hasyim dengan mas kawin logam mulia seberat lima puluh gram dan tiket umrah untuk tiga orang, tunai.” Lantang suara Saldi terdengar. Tangannya dan Hadyan berjabat erat. Mata kedua lelaki itu saling memandang dengan tatapan yakin."Saya terima nikahnya dan kawinnya Hanina Andira Binti Almarhum Hasyim dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.” Hadyan menyambut akad dari Saldi dalam satu tarikan napas. Suara yang terdengar sangat mantap dan tegas."Bagaimana saksi? Sah?" Penghulu bertanya pada dua orang saksi."Sah!" Kompak kedua saksi menjawab."Alhamdulillahirobbil alaamiin." Suara hamdalah langsung terdengar dari setiap tamu undangan yang hadir.Hanin menghapus air matanya yang mengalir. Perlahan dia berjalan keluar dari kamar menuju tempat ijab qabul dilakukan.Semua mata terpana menyaksikan kedatangan Hanin. Wanita yang selalu tampil bi
"Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Dimas. Payung-payung hitam bertebaran memenuhi area pemakaman. Tepat sebelum papan penutup kuburan diletakkan, rekaman suara Dimas telah terkirim ke nomor telepon Hanin di Jepang.Saldi dan Mbok Ti ikut mengantar Dimas ke peristirahatan terakhirnya. Saldi akhirnya bersedia mengirimkan rekaman suara yang berisi permintaan maaf Dimas kepada kakaknya.Isak tangis terus terdengar dari Mama Desi. Wanita itu beberapa kali pingsan saat proses pemakaman Dimas. Pun dengan Rindu. Mata gadis remaja itu terlihat sembab. Dia berusaha keras agar terlihat tabah. Semua demi ibunya, Sita.Perlahan Rindu mulai mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Meski begitu, dia tidak membenci Sita. Walau bagaimana pun, dia pernah merasakan Sita sangat menyayanginya. Rasa sayang pada ibunya tidak berkurang sedikit pun, walau dia tahu kadang Sita tak bisa mengenalinya."Mas Dimas." Sita berbisik lirih.Rindu memeluk ibunya. Ini pertama kali Sita bersuara sejak mengetahui Dimas tela
"Pakai hatimu, Sal. Apakah masih pantas disaat seperti ini kau membahas kesalahan Dimas? Dimas sekarat! Dimana hati kalian hingga tega menghukum orang yang sudah tidak berdaya?" Papa Roy akhirnya bersuara. Telinganya panas mendengar anaknya terus menjadi bulan-bulanan Saldi sejak tadi."Jangan bicara masalah hati, Pak Roy. Perlu saya ambil kaca agar kalian tahu siapa yang lebih tega? Dimana hati kalian saat melihat anakku dicampakkan dalam keadaan hamil besar? Susah payah dia hadir di persidangan, berharap hati Dimas terketuk melihat perutnya yang membuncit!" Mbok Ti mengusap air matanya yang mengalir."Itu masa lalu! Dimas dan Hanin bahkan sudah berdamai. Tidak perlu diungkit lagi! Apa susahnya hanya berbicara melalui telepon?" Papa Roy mengepalkan tangan."Ini bukan perkara susah atau mudah, Om." Saldi menggeleng tidak percaya."Saya kira anda bisa berpikir lebih dewasa. Ternyata sikap kekanakan Mas Dimas menurun dari anda." Saldi tertawa kecil."Ini masalah perasaan. Apakah kalian
"Kecelakaan tunggal yang terjadi pada hari Selasa, sekitar jam setengah sembilan malam di Daan Mogot, menyebabkan pengemudinya koma dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini.""Nasib tragis menimpa rumah tangga D Dan S. D yang saat ini koma, dulunya seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala divisi IT sebelum mengalami kecelakaan tunggal selasa lalu. Sementara istrinya, S, pernah menjabat sebagai General Manager di salah satu perusahaan sebelum kini mengalami gangguan jiwa.Pasangan yang seharusnya sangat ideal andai semua musibah tidak terjadi. Apakah ini karma karena mereka membangun rumah tangga di atas tangis seorang istri yang tengah membawa titipan di rahimnya?"Kecelakaan yang dialami Dimas menjadi pemberitaan nasional baik di televisi maupun media cetak. Bagaimana tidak, setelah video viral Sita melabrak Hanin beberapa tahun yang lalu mendapat reaksi yang sangat meledak di masyarakat.Kini, berita tentang kecelakaan yang dialami Dimas serta Sita yan
"Siapa kamu, datang dan pergi sesukamu? Kakak dan keponakanku bukan mainan. Kau tinggalkan saat bosan, kemudian kau datangi lagi saat kau ingin memainkannya." Suara Saldi terdengar berat. Membuat Dimas mengerutkan keningnya. "Kau tahu? Dipta sakit berhari-hari karena kehilangan sosok yang sangat ingin diakui sebagai ayah. Apa kau benar-benar tidak ada waktu walau hanya sekedar melakukan panggilan video barang sejenak? Anak lelaki itu merindukan kehangatan pelukan dan senda gurau seorang ayah. Tetapi, kau dimana? Kau abai dengan hal itu. Entah lupa atau sengaja melupakan. Hanya Allah yang maha mengetahui rahasia hati.""Aku minta maaf untuk semua itu, Sal. Aku datang kemari berusaha untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan pada kakakmu dan Dipta.""Apa yang ingin kau perbaiki? Semua sudah terlanjur rusak saat kau torehkan luka berkali-kali pada hati kakakku. Kau adalah gambaran seorang suami dan seorang ayah yang gagal. Tidak cukup kau sakiti ibunya saat hamil, kau tamb
"Kalian boleh tutup mulut serapat mungkin. Tetapi kupastikan aku akan mengusut tuntas kasus ini! Tidak akan hidup tenang orang yang sudah membuat hidup istriku hancur!" Dimas menatap sekitar.Rani langsung menarik Dimas keluar dari ruangan. Dia tidak mau suami sahabatnya itu semakin berbicara yang tidak-tidak."Dim, lebih baik fokus saja pada pengobatan Sita. Sudahi semua hal yang membuat keributan ini. Hal ini bisa memperburuk kondisi Sita."Dimas berdecak sebal saat mendengar omongan Rani."Beri aku gambaran orang seperti apa Hadyan, Ran.""Hah?! Hadyan?" Rani bingung kenapa tiba-tiba Dimas membahas Hadyan."Ada kemungkinan dia terlibat dalam menyabotase Sita dengan menyebarkan video itu. Kata Levy, Hadyan mengetahui perihal video itu sebelum tersebar. Sebagai seorang atasan, seharusnya dia memerintahkan pada bawahannya untuk menghapus video itu. Anehnya lagi, lelaki itu memilih tutup mulut saat Sita mengamuk dan menuduh Hanin yang menyebarkankannya."Rani menggeleng sambil menarik
"Bu Levy, ada tamu." Security memberitahu Levy yang sedang sibuk dengan setumpuk dokumen dan laptop di depannya."Tamu? Siapa, Pak?" Levy mengernyitkan kening sambil melirik jam di tangannya. Siapa yang bertamu sesore ini? Sepuluh menit lagi bahkan adzan maghrib akan berkumandang."Namanya Pak Dimas, katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Orangnya menunggu di ruang tunggu tamu." Security menjawab sambil pamit undur diri.Levy mengangguk pada security. Hatinya mendadak sedikit ciut. Ada apa gerangan Dimas kemari? Apa benar lelaki itu tahu dia yang pertama kali menyebarkan video Sita melabrak Hanin di warung?"Levy?"Levy terkejut saat mendengar ada yang menyebut namanya"Eh, Dim?" Sedikit tergagap dia mengangkat kepala, menatap Dimas yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya."Bisa bicara sebentar?" Dimas bertanya dengan tatapan tajam."Maaf. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Levy meletakkan tangan pada tumpukan dokumen di atas meja "Ini hal penting.""Maaf
"Lebih baik Bu Sita untuk sementara dibawa ke RSJ, Pak. Selain karena kondisinya yang sangat tidak stabil dapat membahayakan dirinya dan orang lain, juga agar saya lebih mudah memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi."Setelah berembuk beberapa saat, mereka mengambil keputusan untuk sementara Sita akan dirawat di rumah saja. Mereka akan meningkatkan penjagaan agar wanita itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan."Awas saja kalah kau sampai kembali pada Hanin, Mas! AKU AKAN MENCINCANG WANITA MISKIN ITU DENGAN KEDUA TANGANKU!"Sontak semua yang ada di kamar terkejut. Sita yang tadinya diam dan terlihat sangat terkendali saat ada psikiater yang datang mendadak kumat lagi.Entah mengapa, sepertinya rumah ini menyayat kembali lukanya yang mulai sembuh beberapa waktu yang lalu. Trauma itu sempurna kembali. Menelikung dan mempengaruhi alam bawah sadar Sita.Wanita itu mengamuk membabi buta. Menyerang siapa saja yang mencoba menahan gerakannya. Dia bahkan mencakar tangan R
"Ta." Bu Rita langsung maju dan memeluk Sita yang terlihat sangat kalap. Dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Bu Rita melemparkan bantal dan menghempas-hempaskan tubuhnya di ranjang.Dimas langsung menghubungi psikiater yang dulu merekomendasikan Sita agar menjalani pengobatan jauh dari tempat yang bisa membangkitkan traumanya. Sementara Mama Desi memeluk Rindu yang menangis sesenggukan melihat keadaan ibunya."Mohon maaf menyebabkan keributan ya, Pak, Bu." Mama Desi sekilas menangkap suara Papa Roy. Tadi memang terdengar ada yang mengucap salam. Mungkin tetangga yang merasa terganggu karena teriakan Sita."Pak Roy kapan pulang? Itu kenapa teriak-teriak?" Salah satu tetangga bertanya. Ada sekitar lima orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkerumun di depan rumah. Mereka heran karena rumah yang setahu mereka kosong selama beberapa bulan ini, mendadak menjadi ramai karena suara teriakan."Baru saja sampai, Pak." Papa Roy menjawab sambil tersenyum."Sita masih gila ya?"