"Mas Yan." Satu sapaan mengagetkan Hadyan yang sedang sibuk dengan laptopnya.Lelaki itu mengangkat kepala untuk melihat siapa yang datang."Rissa." Hadyan tersenyum. Adik iparnya itu memang dekat dengannya. Jadi dia sudah tidak heran lagi, kalau Rissa tiba-tiba datang dan masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu."Mas Yan lagi sibuk?" Rissa duduk di sofa tamu. Melepaskan sepatu berhak tinggi yang dia kenakan, kemudian menaikkan kaki ke sofa. Selonjoran. Sambil punggungnya menyender ke sandaran sofa. Santai. Wanita itu terlihat sangat nyaman dengan posisinya. "Lumayan. Besok awal bulan, jadi aku sedang merekap pemasukan dan pengeluaran bulan ini." Hadyan menatap Rissa sekilas, kemudian kembali sibuk dengan laptopnya."Masuk." Hadyan mempersilakan saat mendengar ketukan di pintu. Pramusaji masuk sambil membawa makanan dan minuman dalam sebuah nampan. Hadyan mengerutkan kening. Dia tidak merasa meminta apapun."Silahkan, Mbak." Pramusaji meletakkan di meja dekat Rissa. Wanita itu sedi
"Hanin. Perempuan itu istimewa." Hadyan kembali bersuara setelah terdiam cukup lama."Istimewa?" Rissa bertanya.Hadyan mengangguk yakin."Apa istimewanya?""Penampilannya biasa-biasa saja, tetapi sikapnya luar biasa. Dibalik kelemah lembutan sikapnya, dia wanita yang sangat kuat. Ditinggalkan saat kehamilannya tinggal menunggu waktu persalinan, pasti sangat menyakitkan. Tetapi dia dengan berbesar hati tetap menerima mantan suaminya dengan baik. Dengan sikap dewasa, dia mengizinkan lelaki yang telah mencampakkannya itu tetap menemui anaknya." Hadyan menarik napas dalam."Dibutuhkan tameng perasaan sekuat baja, untuk bisa melakukan hal seperti itu. Aku sangat yakin, banyak wanita diluar sana jika mengalami seperti Hanin, pasti akan menjauhkan anak tersebut dari ayahnya. Tetapi Hanin tidak, dia menerima dengan rela demi kebaikan Dipta. Itulah yang membuat wanita itu berbeda." Senyum Hadyan kembali mengembang."Fisiknya memang kalah jauh dibandingkan dengan Sita, namun hatinya jauh lebih
"Ndu," sapaan Dimas membuat gadis kecil berambut panjang itu menoleh."Lihat apa, Sayang?" Dimas tersenyum sambil mengelus rambut putrinya yang dikepang dua.Rindu tersenyum manis. Sedari tadi dia menatap rinai air hujan yang jatuh dari atap rumah mereka dari balik jendela. Pukul 01.30 waktu Amsterdam.Tadi Rindu terbangun dari tidur. Suara angin terdengar jelas. Saat melihat ke jendela kamar, ternyata hujan sedang turun.Gadis itu akhirnya ke dapur. Mengambil minum. Sebelum tidur tadi dia lupa mengisi botol yang biasa dia letakkan di meja samping kasur.Langkah gadis itu terhenti saat akan menuju kamar. Matanya menatap air hujan yang jatuh dari balik jendela di ruang tengah. Dia memutuskan berhenti sebentar. Menikmati rinai air hujan."Ayah mau ambil minum juga?" Rindu mengangkat botol minumnya.Dimas tertawa. Dia memang merasa haus. Saat melewati ruang tengah tadi, lelaki itu melihat Rindu yang sedang melamun di bingkai jendela. Mata gadis kecil itu menyimpan kesedihan saat menatap
"Rindu juga kangen sama masakan Tante Hanin. Masakan Oma Desi dan Eyang Rita tidak seenak masakan Tante Hanin." Rindu menghembuskan napas kencang."Kapan kita pulang, Yah?"Dimas tergugu. Tangis lelaki itu akhirnya pecah. Dia sangat lelah. Jiwa dan raganya terasa sangat penat.Hampir satu tahun mereka di sini. Sita hanya mengalami sedikit sekali kemajuan. Wanita itu sudah bisa mengingat Rindu. Tetapi ingatannya hanya sebatas tentang keluarga kecil mereka.Sita benar-benar menghapus semua hal yang membuatnya trauma. Namun semua kenangan itu masih tersimpan rapi dalam alam bawah sadarnya. Sehingga hampir setiap pagi saat bangun tidur, Sita selalu histeris meneriakkan nama Hanin.Bahkan dalam keadaan keadaan tidak sadar pun, rasa benci itu masih tersimpan rapi dalam sanubari.Dimas tidak tahu kapan Sita akan pulih. Psikolog yang menangani Sita mengatakan selalu ada harapan. Tetapi kapan?Lelaki itu benar-benar sudah merasa sangat kelelahan. Dia hanya berusaha terlihat tetap tegar di hada
"Nin.""Ya, Mas?""Mau ikut mas?""Maksudnya?" Hanin mengerutkan kening."Ikut mas ke luar negeri sana. Menemani mas menuntut ilmu." Hadyan menatap Hanin langsung di matanya."Hah?" Hanin balas menatap Hadyan. Mata teduh itu terlihat penuh tanya."Mas bukan lelaki romantis yang pandai berucap membuai, Nin. Maaf kalau semua serba mendadak dan tiba-tiba. Tetapi rasa di hati mas tidak muncul begitu saja, rasa itu perlahan hadir seiring bertahun seringnya kita berjumpa."Hanin menunduk. Apa maksud lelaki ini?"Nin."Hanin mengangkat kepala. Membalas tatapan Hadyan. Sedetik kemudian menunduk lagi. Tetapi dalam tatapan singkat tadi, Hanin bisa melihat kesungguhan dan keseriusan Hadyan.Wajah Hanin tiba-tiba terasa panas. Pipi ranum itu bersemu merah."Maukah engkau menggelar sajadah di belakangku setiap waktu shalat, Nin? Membiarkanku menjadi imammu, dan engkau serta Dipta menjadi makmumku."Setetes air mata Hanin mengalir. Lelaki ini bukan hanya melamarnya menjadi istri. Tetapi juga memint
"Kesederhanaan yang selalu kau tampilkan, justru menjadi daya pikat yang tak bisa dinapikkan. Aku memang tidak jatuh cinta pada pandangan pertama padamu, Nin. Tetapi seiring berjalannya waktu, kelembutan sikap dan kedewasaanmu dalam menghadapi banyak masalah membuat cinta perlahan menyapa hatiku."Hanin membisu. Ini pertama kalinya seorang lelaki mengatakan dengan lugas dan tegas ketertarikan padanya."Kehadiranmu membuka sisi lain di hatiku, Nin. Laras tak akan pernah terganti. Selamanya dia ada di hati. Tetapi kau mampu membuka ruang hatiku yang baru. Suatu tempat yang membuatku kembali merasakan cinta, setelah sekian lama memeluk luka."Lama mereka tidak bersuara. Hanin sibuk dengan pikirannya. Sementara Hadyan membiarkan wanita itu mencerna setiap kalimatnya.Lima menit berlalu. Mereka tetap membisu.Tik.Tik.Tik.Detik jam dinding terdengar jelas."Nin." Hadyan akhirnya bersuara setelah hampir sepuluh menit menunggu Hanin bicara."Tidak usah terburu-buru. Tadi malam aku sudah me
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Hadyan Permana Bin Almarhum Yudha Permana dengan kakak saya yang bernama Hanina Andira Binti Almarhum Hasyim dengan mas kawin logam mulia seberat lima puluh gram dan tiket umrah untuk tiga orang, tunai.” Lantang suara Saldi terdengar. Tangannya dan Hadyan berjabat erat. Mata kedua lelaki itu saling memandang dengan tatapan yakin."Saya terima nikahnya dan kawinnya Hanina Andira Binti Almarhum Hasyim dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.” Hadyan menyambut akad dari Saldi dalam satu tarikan napas. Suara yang terdengar sangat mantap dan tegas."Bagaimana saksi? Sah?" Penghulu bertanya pada dua orang saksi."Sah!" Kompak kedua saksi menjawab."Alhamdulillahirobbil alaamiin." Suara hamdalah langsung terdengar dari setiap tamu undangan yang hadir.Hanin menghapus air matanya yang mengalir. Perlahan dia berjalan keluar dari kamar menuju tempat ijab qabul dilakukan.Semua mata terpana menyaksikan kedatangan Hanin. Wanita yang selalu tampil bi
Tangan kanan Hadyan memegang kepala Hanin, sementara tangan kirinya membentuk gerakan sedang berdoa. "Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih.""Ya, Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya."Setelah memanjatkan doa, Hadyan kemudian mencium kening Hanin. Membuat wanita bermata teduh itu menunduk malu."Kayak masih gadis saja, Nin. Malu-malu begitu." Goda Pak Penghulu yang langsung disambut derai tawa oleh tamu-tamu yang lain. Sementara wajah Hanin semakin merona merah mendengar candaan Pak Penghulu."Selamat, Nak. Semoga bahagia selalu menyertaimu." Mbok Ti memeluk Hanin erat. isakan kecil yang sedari tadi ditahan akhirnya lolos juga dari bibirnya.Hanin mengangguk dalam saat mengaminkan do'a ibunya. Ruangan yang tadinya ramai oleh tawa, kin