"Nin.""Ya, Mas?""Mau ikut mas?""Maksudnya?" Hanin mengerutkan kening."Ikut mas ke luar negeri sana. Menemani mas menuntut ilmu." Hadyan menatap Hanin langsung di matanya."Hah?" Hanin balas menatap Hadyan. Mata teduh itu terlihat penuh tanya."Mas bukan lelaki romantis yang pandai berucap membuai, Nin. Maaf kalau semua serba mendadak dan tiba-tiba. Tetapi rasa di hati mas tidak muncul begitu saja, rasa itu perlahan hadir seiring bertahun seringnya kita berjumpa."Hanin menunduk. Apa maksud lelaki ini?"Nin."Hanin mengangkat kepala. Membalas tatapan Hadyan. Sedetik kemudian menunduk lagi. Tetapi dalam tatapan singkat tadi, Hanin bisa melihat kesungguhan dan keseriusan Hadyan.Wajah Hanin tiba-tiba terasa panas. Pipi ranum itu bersemu merah."Maukah engkau menggelar sajadah di belakangku setiap waktu shalat, Nin? Membiarkanku menjadi imammu, dan engkau serta Dipta menjadi makmumku."Setetes air mata Hanin mengalir. Lelaki ini bukan hanya melamarnya menjadi istri. Tetapi juga memint
"Kesederhanaan yang selalu kau tampilkan, justru menjadi daya pikat yang tak bisa dinapikkan. Aku memang tidak jatuh cinta pada pandangan pertama padamu, Nin. Tetapi seiring berjalannya waktu, kelembutan sikap dan kedewasaanmu dalam menghadapi banyak masalah membuat cinta perlahan menyapa hatiku."Hanin membisu. Ini pertama kalinya seorang lelaki mengatakan dengan lugas dan tegas ketertarikan padanya."Kehadiranmu membuka sisi lain di hatiku, Nin. Laras tak akan pernah terganti. Selamanya dia ada di hati. Tetapi kau mampu membuka ruang hatiku yang baru. Suatu tempat yang membuatku kembali merasakan cinta, setelah sekian lama memeluk luka."Lama mereka tidak bersuara. Hanin sibuk dengan pikirannya. Sementara Hadyan membiarkan wanita itu mencerna setiap kalimatnya.Lima menit berlalu. Mereka tetap membisu.Tik.Tik.Tik.Detik jam dinding terdengar jelas."Nin." Hadyan akhirnya bersuara setelah hampir sepuluh menit menunggu Hanin bicara."Tidak usah terburu-buru. Tadi malam aku sudah me
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Hadyan Permana Bin Almarhum Yudha Permana dengan kakak saya yang bernama Hanina Andira Binti Almarhum Hasyim dengan mas kawin logam mulia seberat lima puluh gram dan tiket umrah untuk tiga orang, tunai.” Lantang suara Saldi terdengar. Tangannya dan Hadyan berjabat erat. Mata kedua lelaki itu saling memandang dengan tatapan yakin."Saya terima nikahnya dan kawinnya Hanina Andira Binti Almarhum Hasyim dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.” Hadyan menyambut akad dari Saldi dalam satu tarikan napas. Suara yang terdengar sangat mantap dan tegas."Bagaimana saksi? Sah?" Penghulu bertanya pada dua orang saksi."Sah!" Kompak kedua saksi menjawab."Alhamdulillahirobbil alaamiin." Suara hamdalah langsung terdengar dari setiap tamu undangan yang hadir.Hanin menghapus air matanya yang mengalir. Perlahan dia berjalan keluar dari kamar menuju tempat ijab qabul dilakukan.Semua mata terpana menyaksikan kedatangan Hanin. Wanita yang selalu tampil bi
Tangan kanan Hadyan memegang kepala Hanin, sementara tangan kirinya membentuk gerakan sedang berdoa. "Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih.""Ya, Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya."Setelah memanjatkan doa, Hadyan kemudian mencium kening Hanin. Membuat wanita bermata teduh itu menunduk malu."Kayak masih gadis saja, Nin. Malu-malu begitu." Goda Pak Penghulu yang langsung disambut derai tawa oleh tamu-tamu yang lain. Sementara wajah Hanin semakin merona merah mendengar candaan Pak Penghulu."Selamat, Nak. Semoga bahagia selalu menyertaimu." Mbok Ti memeluk Hanin erat. isakan kecil yang sedari tadi ditahan akhirnya lolos juga dari bibirnya.Hanin mengangguk dalam saat mengaminkan do'a ibunya. Ruangan yang tadinya ramai oleh tawa, kin
Petang mulai datang.Para tamu undangan dan keluarga sudah pulang semuanya. Begitupun dengan Bu Rinda, mertua Hanin.Malam ini Hadyan tidur di rumah Hanin. Lelaki itu ingin istrinya tidak terlalu gugup karena harus beradaptasi dengan suasana baru. Dari selesai acara tadi, Saldi sudah mengamankan Dipta. Adik Hanin itu mengajak Dipta ikut kegiatannya melakukan camping. Saldi merupakan anggota mahasiswa pecinta alam di kampusnya. Selama ini Dipta selalu ingin ikut setiap omnya itu ada kegiatan camping di kaki gunung, namun Saldi selalu menolak mengajak. Hari ini anak laki-laki itu senang bukan kepalang, akhirnya keinginannya bisa terwujud."Assalamualaikum." Hadyan mengetuk pintu kamar Hanin. Tadi dia sibuk ikut membantu menyiapkan apa-apa saja yang akan dibawa Dipta dan Saldi."Waalaikumussalam, masuk, Mas." Lembut suara Hanin terdengar.Aduh! Hadyan tersenyum malu. Dadanya mendadak berdebar kencang mendengar suara Hanin. Lelaki itu bergegas merapikan penampilan sebelum memasuki kamar
Bunga Tulip terhampar sepanjang mata memandang. Merah, merah muda, kuning, ungu, bermacam warna bunga tulip ditanam rapi, berjejer, sesuai dengan warnanya masing-masing.Ada pula yang ditanam secara acak, merah, kuning, ungu, ditanam dalam satu gerombolan. Indah. Lautan bunga tulip terlihat sangat cantik.Ditengah-tengah hamparan bunga, terdapat simbol negara itu, kincir angin. Baling-baling kincir akan berputar saat angin bertiup. Gerakannya pelan jika angin bertiup pelan, dan cepat jika angin bertiup cepat.Di salah satu sudut taman, terlihat seorang wanita berusia matang sedang duduk sambil tersenyum sumringah. Wajahnya yang cantik terlihat sangat bahagia saat menatap lautan bunga tulip di hadapannya."Ibu." Rindu tersenyum lebar sambil mengangkat dua es krim wafel di tangannya.Wanita yang sedari tadi sibuk memperhatikan keindahan hamparan bunga tulip mengangkat kepala. Menoleh ke arah sumber suara. Senyumnya mengembang saat melihat Rindu berjalan semakin dekat ke arahnya.Anak ga
"HANIN! KENAPA PEREMPUAN TIDAK BERPENDIDIKAN ITU ADA DI SINI?" Sita berteriak kencang sambil mengepalkan kedua tangan. urat-urat di leher dan pelipisnya menyembul menampakkan warna biru di bawah kulit putihnya."Ibu. Ibu. Tidak ada Tante Hanin di sini. Ibu. Halo, Ayah? Ayah dimana?" Rindu berusaha memegang tubuh Sita yang akan berlari. Tetapi tenaganya terlalu kecil dibandingkan dengan ibunya. "S*ALAN! WANITA MISKIN ITU TIDAK PANTAS ADA DI SINI! PERGI! JAUHI MAS DIMAS! JANGAN DEKATI RINDU!"Sita berlari kencang, menerobos hamparan tulip yang terbentang indah sepanjang mata memandang."HANIH! PERGI DARI HIDUPKU. PERGI!!""Ayah dimana? Ibu, ibu mengamuk." Rindu terisak sambil terus berlari, berusaha mengejar ibunya yang entah pergi kemana.Dilain tempat, Levy hanya memperhatikan adegan yang terjadi di hadapannya. Jadi Sita benar-benar "sakit" seperti kata Rindu?Levy tersenyum miris. Tidak menyangka perjalanan dinas ke Amsterdam membawanya bertemu kembali dengan Sita. Tadinya dia mampi
Dimas akhirnya pulang dengan perasaan yang entahlah. Banyak dokter dan psikolog telah dia datangi, namun hasilnya Sita masih tetap belum bisa pulih seutuhnya.Lelaki itu benar-benar hampir putus asa. Entah tempat mana lagi yang harus dia datangi agar Sita bisa kembali seperti sedia kala."Dim." Papa Roy langsung berdiri dari duduknya saat melihat Dimas menggendong Sita ke arah kamar. Wanita itu masih dalam pengaruh obat penenang. "Sita kumat lagi, Dim?" Mama Desi bertanya saat Dimas ikut duduk di sofa ruang tengah. Dimas hanya mengangguk pelan. Lelaki itu terlihat memejamkan mata. Kepalanya serasa akan pecah. Selang beberapa menit kemudian, Bu Rita ikut bergabung dengan mereka. Wanita yang sudah berusia lanjut itu terlihat kuyu. Tadi dia memastikan Sita baik-baik saja di kamar, baru setelah itu keluar kamar menuju ruang tengah ini."Bagaimana Sita bisa kumat lagi, Nak Dimas? Bukankah beberapa bulan belakangan ini kondisinya sangat stabil?" Bu Rita bertanya pelan. Dari nada suaranya,