"HANIN! KENAPA PEREMPUAN TIDAK BERPENDIDIKAN ITU ADA DI SINI?" Sita berteriak kencang sambil mengepalkan kedua tangan. urat-urat di leher dan pelipisnya menyembul menampakkan warna biru di bawah kulit putihnya."Ibu. Ibu. Tidak ada Tante Hanin di sini. Ibu. Halo, Ayah? Ayah dimana?" Rindu berusaha memegang tubuh Sita yang akan berlari. Tetapi tenaganya terlalu kecil dibandingkan dengan ibunya. "S*ALAN! WANITA MISKIN ITU TIDAK PANTAS ADA DI SINI! PERGI! JAUHI MAS DIMAS! JANGAN DEKATI RINDU!"Sita berlari kencang, menerobos hamparan tulip yang terbentang indah sepanjang mata memandang."HANIH! PERGI DARI HIDUPKU. PERGI!!""Ayah dimana? Ibu, ibu mengamuk." Rindu terisak sambil terus berlari, berusaha mengejar ibunya yang entah pergi kemana.Dilain tempat, Levy hanya memperhatikan adegan yang terjadi di hadapannya. Jadi Sita benar-benar "sakit" seperti kata Rindu?Levy tersenyum miris. Tidak menyangka perjalanan dinas ke Amsterdam membawanya bertemu kembali dengan Sita. Tadinya dia mampi
Dimas akhirnya pulang dengan perasaan yang entahlah. Banyak dokter dan psikolog telah dia datangi, namun hasilnya Sita masih tetap belum bisa pulih seutuhnya.Lelaki itu benar-benar hampir putus asa. Entah tempat mana lagi yang harus dia datangi agar Sita bisa kembali seperti sedia kala."Dim." Papa Roy langsung berdiri dari duduknya saat melihat Dimas menggendong Sita ke arah kamar. Wanita itu masih dalam pengaruh obat penenang. "Sita kumat lagi, Dim?" Mama Desi bertanya saat Dimas ikut duduk di sofa ruang tengah. Dimas hanya mengangguk pelan. Lelaki itu terlihat memejamkan mata. Kepalanya serasa akan pecah. Selang beberapa menit kemudian, Bu Rita ikut bergabung dengan mereka. Wanita yang sudah berusia lanjut itu terlihat kuyu. Tadi dia memastikan Sita baik-baik saja di kamar, baru setelah itu keluar kamar menuju ruang tengah ini."Bagaimana Sita bisa kumat lagi, Nak Dimas? Bukankah beberapa bulan belakangan ini kondisinya sangat stabil?" Bu Rita bertanya pelan. Dari nada suaranya,
"Coba kita semua kendalikan diri. Tarik napas yang dalam dan berpikir dengan tenang." Suara berat Papa Roy menenuhi ruangan."Saya paham sekali. Kita semua yang ada di sini sudah merasa sangat kelelahan baik secara lahir maupun bathin. Namun seharusnya, hal itulah yang justru menjadikan kita semakin erat berpegangan tangan. Bukan saling menyalahkan seperti ini."Dimas, Bu Rita dan Mama Desi menunduk. Meresapi setiap kata yang Papa Roy ucapkan."Kau, Dimas! Kau jadi lelaki jangan plin plan seperti itu! Dari awal kau yang berkeras ingin mengobati Sita di sini. Jangan bicara yang aneh-aneh seolah akan meninggalkannya. Kau yang memulai semua ini, maka pastikan juga kau bisa menyelesaikannya!" Papa Roy menatap Dimas tajam."Paham?!"Dimas mengangguk pelan."Urus masalahmu sampai selesai! Jangan buat malu keluarga kita." Papa Roy berdiri setelah berkata demikian. Melangkah keluar rumah. Memilih melihat parit-parit raksasa di depan rumah, memandangi warna warni bunga tulip yang ditanam berje
Mereka sampai di apartemen yang Hadyan sewa setelah melalui hampir satu jam perjalanan. Dipta terpana melihat pemandangan dari kaca jendela apartemen mereka. Gunung Fuji terlihat indah dengan salju yang menyelimuti bagian puncaknya. Sementara Hanin sibuk memperhatikan ruangan di depannya. Wanita itu mungkin berpikir alangkah kecilnya tempat ini jika dibandingkan dengan rumah mereka di Indonesia. "Apartemen di sini memang ukurannya sangat minimalis, Nin. Ini sudah termasuk yang berukuran besar. Maklumlah, semakin besar apartemennya, semakin besar pula biaya yang dikeluarkan. Kalau diibaratkan, sewa tiga juta rupiah perbulan di Indonesia kita sudah bisa mendapatkan tempat yang lumayan. Di sini, uang segitu hanya untuk sewa apartemen berukuran 2×2 meter persegi." Hadyan menjelaskan, seolah bisa membaca pemikiran Hanin."Tempat ini cukuplah untuk kita bertiga. Apa lagi perabotannya sangat rapi." Hanin tersenyum pada Hadyan."Iya dong, siapa dulu yang memilih dan menyusunnya sedemikian r
Dua belas ribu lima ratus kilometer dari tempat gagahnya gunung fuji berdiri, di sini, bunga tulip menari anggun mengikuti hembusan angin."Ndu." Dimas memegang bahu Rindu yang duduk dengan menyandarkan kepala di kasur, tempat ibunya berbaring. Dimas tersenyum getir melihat wajah rindu yang dipenuhi air mata. Sorot mata yang biasanya cemerlang, kini terlihat padam dan kuyu. "Boleh ayah bertanya?" Dimas ikut duduk di samping Rindu.Gadis berusia sebelas tahun itu mengangguk pelan."Kenapa tadi ibu jadi "begitu" lagi?" Dimas bertanya hati-hati. "Tante Levy." Suara Rindu terdengar serak karena terlalu banyak menangis. Dia tidak berhenti menangis sejak dari taman tadi.Dimas mengernyitkan kening mendengar nama yang diucapkan anaknya. Tante Levy? Levy siapa? Otaknya berputar cepat memproses informasi yang dia terima. Hingga pada suatu titik ingatannya berhenti. Mata Dimas terbuka lebar."Tante Levy teman kerja ibu yang dulu?"Rindu mengangguk."Kenapa dengan Tante Levy?" Dimas mengelus
Pukul 15.30 WIB. Setengah tahun kemudian."Ladies and Gentlemen, we shortly will be landing at Soekarno Hatta International Airport in Jakarta. The local time now is 30 minutes past 3 p.m. The time in Jakarta is 6 hours ahead of the Netherlands."Suara pengumuman terdengar khas memenuhi seisi pesawat. Hampir dua tahun meninggalkan Indonesia, akhirnya Dimas sekeluarga menjejakkan kaki kembali di negara berlambang burung garuda.Enam bulan setelah Sita kembali "mengamuk", mereka akhirnya resmi meninggalkan Amsterdam. Ada banyak hal yang harus diselesaikan Dimas hingga menunda waktu kepulangan cukup lama, yang paling penting adalah administrasi untuk kepindahan sekolah Rindu. Selain itu, Dimas harus menyelesaikan semua pekerjaannya di sana.Salah satu alasan kenapa pengobatan Sita dilakukan di Belanda, adalah adanya tawaran pekerjaan dari kenalan Dimas. Karena kenalannya ini tahu kapasitas Dimas, dia merekrut Dimas sebagai pro hire. Tidak salah dugaannya, sebagai lulusan IT, Dimas member
"Ta." Bu Rita langsung maju dan memeluk Sita yang terlihat sangat kalap. Dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Bu Rita melemparkan bantal dan menghempas-hempaskan tubuhnya di ranjang.Dimas langsung menghubungi psikiater yang dulu merekomendasikan Sita agar menjalani pengobatan jauh dari tempat yang bisa membangkitkan traumanya. Sementara Mama Desi memeluk Rindu yang menangis sesenggukan melihat keadaan ibunya."Mohon maaf menyebabkan keributan ya, Pak, Bu." Mama Desi sekilas menangkap suara Papa Roy. Tadi memang terdengar ada yang mengucap salam. Mungkin tetangga yang merasa terganggu karena teriakan Sita."Pak Roy kapan pulang? Itu kenapa teriak-teriak?" Salah satu tetangga bertanya. Ada sekitar lima orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkerumun di depan rumah. Mereka heran karena rumah yang setahu mereka kosong selama beberapa bulan ini, mendadak menjadi ramai karena suara teriakan."Baru saja sampai, Pak." Papa Roy menjawab sambil tersenyum."Sita masih gila ya?"
"Lebih baik Bu Sita untuk sementara dibawa ke RSJ, Pak. Selain karena kondisinya yang sangat tidak stabil dapat membahayakan dirinya dan orang lain, juga agar saya lebih mudah memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi."Setelah berembuk beberapa saat, mereka mengambil keputusan untuk sementara Sita akan dirawat di rumah saja. Mereka akan meningkatkan penjagaan agar wanita itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan."Awas saja kalah kau sampai kembali pada Hanin, Mas! AKU AKAN MENCINCANG WANITA MISKIN ITU DENGAN KEDUA TANGANKU!"Sontak semua yang ada di kamar terkejut. Sita yang tadinya diam dan terlihat sangat terkendali saat ada psikiater yang datang mendadak kumat lagi.Entah mengapa, sepertinya rumah ini menyayat kembali lukanya yang mulai sembuh beberapa waktu yang lalu. Trauma itu sempurna kembali. Menelikung dan mempengaruhi alam bawah sadar Sita.Wanita itu mengamuk membabi buta. Menyerang siapa saja yang mencoba menahan gerakannya. Dia bahkan mencakar tangan R