Kini, kedua orang itu saling menyalahkan dan itu membuat Ibra muak mendengarkan perdebatan mereka yang menurutnya tidak ada manfaatnya itu. "Stop! Hentikan omong kosong kalian! Kalian berdua itu sama saja karena sama-sama tidak bisa menahan hawa napsu dan iman kalian lemah. Tapi meskipun begitu aku sangat berterima kasih padamu, Fahri. Dengan kamu yang melepaskan Ayra, aku jadi tidak kesepian lagi. Aku tidak jadi duda lagi dan hidupku sekarang jauh lebih berwarna. Terima Kasih telah melepas wanita sebaik dan sesempurna Ayra. Kamu bodoh telah melepas wanita yang hampir sempurna seperti istriku." Ibra pun pergi meninggalkan Fiona dan Fahri yang melebarkan matanya karena melihat Ibra merangkul pinggang sang istri sembari berjalan beriringan menuju kamar mereka. Namun, langkah Ibra dan Ayra terhenti saat sebuah suara memanggil nama mereka. "Lho kok aku ditinggalin? Terus aku harus gimana ini Pak Bos dan Mbak Bos?" Ayra dan Ibra saling pandang lantas keduanya melihat ke arah Sifa. Kedu
"Heh kamu pikir saya takut apa! Anak kecil berani-beraninya ngancam-ngancam aku. Sini kamu biar aku kasih pelajaran bagaimana caranya menghargai dan menghormati orang yang lebih tua!" Fahri merengsek maju mendekati Sifa. Sifa yang tidak gentar sedikit pun bukannya pergi tapi malah semakin maju mendekati Fahri yang juga masih berjalan ke arahnya. Sedangkan Ibra dan Ayra hanya melihat tontonan gratis di depan matanya. Anggap saja mereka sedang melihat para benalu kena tulah dan malu sendiri. Tangan Fahri sudah mencekal tangan Sifa cukup erat namun hal itu sama sekali tidak membuat Sifa meringis kesakitan, melainkan ia tersenyum sinis sembari memandangi tangannya yang dicekal oleh Fahri. "Ada yang lucu? Kenapa ketawa?" tangan Fahri yang berani melihat Sifa bukannya kesakitan tapi malah menampilkan deretan giginya yang rata. "Segini aja kekuatan Paman? Kalah dong sama anak kecil yang katanya kurang ajar ini?""Oh ini belum seberapa. Kalau aku kuatin takutnya ntar kamu nangis malah a
"Sayang, makasih ya," ucap Ibra sembari memeluk pinggang Ayra yang duduk di depan meja rias dari belakang. Ibra menghirup dalam ceruk leher jenjang Ayra dari belakang yang kebetulan rambutnya tengah ia cepol ke atas. Ayra kegelian dengan perlakuan Ibra itu dan membuatnya menjauhkan sedikit wajah Ibra dari lehernya. "Mas geli ah. Kamu makasih kenapa?" "Ya makasih karena kamu mau mendampingi hidupku. Mau menikah denganku si aki-aki yang selalu puber kedua ini." Ayra tersenyum sangat manis dan ia mengecup sekilas bibir Ibra. Namun, saat Ayra akan menjauhkan wajahnya dari wajah Ibra. Tangan Ibra menahan kepala Ayra dan Ibra kembali merasakan benda kenyal yang membuatnya candu setelah ia merasakan malam pertama bersama Ayra kemarin di hotel. Ayra mendorong tubuh Ibra dengan kedua tangannya karena hampir saja ia kehabisan napas. Wajah Ayra menghangat dan rona kemerahan tercipta di kedua pipinya. Ayra menunduk malu atas perbuatan Ibra barusan saja. Ibra mengangkat wajah cantik itu denga
KAU REBUT SUAMIKU, KUPACARI AYAHMU"Ayo, Sayang, kita makan malam dulu sebelum kembali memulai pertempuran panas kita malam ini," ucap Ibra sembari tersenyum jahil ke arah Ayra dan membuat Fahri menyemburkan nasi di dalam mulutnya ke wajah Fiona. "Astaga Mas Fahri! Kamu apa-apaan sih, Mas!" pekik Fiona. Wajahnya benar-benar berantakan karena disembur Fahri dengan nasi yang sedang ia kunyah. Sifa yang melihat pun mendadak terbahak, Ibra pun juga sama sedangkan Ayra hanya tersenyum geli melihat pemandangn yang ada di depannya. "M-maaf, Sayang, Mas tidak sengaja." Fahri cepat mengambil tisu dan langsung mengelap wajah Fiina dan mengusap-usapnya. Tentu saja membuat wajah Fiona yang selalu full make up mendadak bedaknya bergeser. Wajah Fiona memang bersih dari nasi sembran Fahri tapi juga sekaligus bersih dari make up yang ia pakai. Ditambah maskara dan eyeliner Fiona yang turut luntur saat dibersihkan Fahri tadi. Melihat itu, membuat Sifa semakin mengeraskan suara tawanya. Ibra pun s
"Jangan kurang ajar kamu! Memangnya kamu pikir kamu siapa ha! Suka-suka aku lah mau bagaimana. Kamu gak bisa larang-larang aku.""Apa Tante gak tahu kalau mengganggu kenyamanan dan ketenangan orang lain itu bisa kena pasal? Kurasa seharusnya Tante tahu sih tapi memang dasarnya Tante gak punya malu jadi yah begitu deh. Oh atau Tante kebiasaan merebut suami orang jadinya keenakan jadi pelakor? Kenapa? Sudah habis uang-uang dari hasil Tange merebut suami orang? Atau Tante sudah gak laku lagi makanya berusaha menggoda suamiku?" ucap Ayra lagi yang benar-benar mematikan serangan lawannya. Wajah Reni sudah kembali memerah, rahangnya mengeras dan tatapannya sangat tajam seolah-olah ingin menusuk sang lawan. "Kamu jangan pernah menghina aku karena aku gak akan main-main dalam memberikanmu pelajaran," desis Reni dengan tatapan tajamnya itu. Tangan Reni maju berusaha untuk menyerang Ayra. Akan tetapi, Ayra memundurkan tubuhnya hingga tangan Reni tidak sampai mengenai dirinya. Reni semakin ke
Adzan berkumandang dan Ayra sudah terbangun dari tidurnya. Ia bersiap untuk mandi dan membersihkan badannya dari sisa-sisa pertempuran panas malam tadi bersama Ibra. Sekilas Ayra melihat ke arah Ibra yang masih terlelap.Wajahnya masih terlihat sangat tampan meski usianya yng tidak lagi muda. Rahang yang tegas, mata elang dan hidung yang menjulang tinggi membuat pria itu bertambah ketampanannya. "Jangan kelamaan diliatin nanti kamu minta nambah lagi." BlushUcapan Ibra membuat kedua pipi Ayra menghangat. Ingin sekali rasanya dia menenggelamkan diri ke lautan dalam. Rasanya sungguh malu sekali saat dirinya kedapatan sedang memindai wajah Ibra. Ibra membuka mata dan tersenyum jahil melihat ke arah dang istri. Ayra cemberut mendapati Ibra seolah-olah seperti tengah mengejeknya. "Kalau sudah bangun kenapa masih pura-pura tidur?""Mas memang sengaja, karena Mas tahu kalau kamu pasti belum puas ya sama yang malam tadi." Ibra menaik turunkan alisnya dan senyuman jahil kembali ia terbitka
Namun, saat Ayra berbalik badan ia hampir saja bertabrakan dengan Sifa. Sifa nyengir melihat Ayra yang terpekik karena terkejut. "Hehehe, maaf, Mbak, kaget ya?" "Enggak! Tapi mati!" ketus Ayra. "Oh innalillahi. Kalau mati kok masih bisa jalan? Dikubur dong, Mbak." Ayra melotot mendengar ucapan Sifa. "Kamu doakan aku mati?" "Heheheh piss Mbak, aku cuma bercanda." "Eh kamu tahu siapa yang membuat kekacauan ini?" "Oh tentu saja tahu.""Siapa?" "Duo F sama si Nenek peot.""Jadi maksudnya si nenek peot itu enggak pulang?" Sifa mengangguk cepat dan kembali berkata, "Tadi malam aku sudh nyuruh pulang cuman aku ini siapa sih, Mbak, mana mau mereka dengarkan aku. Yang ada aku malah dimaki-maki." Ayra mengepalkan tangannya. Tidak ada lagi dalam kamusnya sekarang ini membiarkan seorang pelakor masuk ke dalam rumahnya. Tidak akan lagi mau Ayra mecolongan akan hal itu. Tidak akan lagi Ayra mau membiarkan rumah tangganya dirusak oleh seorang pelakor jahanam seperti Reni. Tidak akan! Ayra
"Ngapain kamu nginep di sini hey lacur!" Pletak. Lagi-lagi Ayra menggetokkan kepala Reni menggunakan gayung yang ada di tangannya. Hal itu lantas membuat Reni langsung tersadar. "Heh kamu bocah bau kencur berani-beraninya kamu perlakukan aku kayak begini!" pekik Reni yang membuat Ayra langsung menutup hidungnya. "Kenapa kamu menjauh begitu? Kamu takut ha! Makanya jangan sok-sok an angguin aku. Kamu pikir kamu itu siapa?!" "Tante itu yang Tante pikir emangnya Tante siapa? Aku menjauh karena mulut Tante bau bangkai. Busuk banget huek! Abis makan tikus mati apa cicak mati sih? Huek.""Ada apa kamu bangunin aku seperti ini? Kamu mau cari mati sama aku?""Heh seharusnya aku yang nanya. Ngapain kamu nginep di rumahku tanpa seijinku. Apa otakmu sudah geser ha!" "Rumahmu? Hello jangan ngadi-ngadi sehm ini tuh rumah Mas Ibra bukan rumahmu jadi gak usah ngaku-ngaku begitu." "Apa kamu lupa kalau Mas Ibra itu suamiku. Suamiku! Jadi aku berhak mengakui rumah ini juga rumahku." "Eh tunggu-t