"Mati aku," gumam Fahri dan menelan salivanya berkali-kali. Ia mengusap wajahnya agar penglihatannya jelas jika dia tidak sedang bermimpi. "Astaga bodohnya kau Fahri, kenapa bisa sampai lupa sih kalau udah cerai sama Ayra. Oh Ayraku kenapa kamu jadi semakin cantik dari hari ke hari sih! Kenapa gak pas waktu sama aku kamu itu cantik seperti ini? Kenapa harus setelah menikah dengan bandot tua ini baru aura kecantikanmu terpancar? Arghh sialan!" Lagi-lagi Fahri menggeram dalam hatinya. Karena untuk mengucapkan pun ia takut pada Ibra. Hahahaha. "M-maaf, Pi, aku keceplosan." "Kenapa? Kamu nyesel udah buang berlian demi mendapatkan sampah?""Kenapa Papi mengatakan hal itu? Fiona kan juga anak Papi?""Ralat! Dia hanya keponakan. Keponakan yang sama tak tahu dirinya dengan ibunya." Ibra menatap Fahri dan Reni bergantian dengan tajam. seolah-olah pandangan mata itu begitu menusuk sang lawan. "Tapi dia itu tetap ada hubungan darah denganmu, Mas! Kenapa kamu lebih memilih perempuan yang suat
Fiona, Fahri dan juga Reni terdiam seketika. Mereka saling pandang satu sama lain. Mereka tidak menyangka jika akhirnya Ibra akan mengusir mereka dari rumah yang besar dan mewah itu. "Kenapa? Mikir apa lagi? Sudah sana pergi! Apa kalian pikir aku sedang main-main?" "Ah ya! Papi pasti lagi main-main kan? Ya kan, Pi? Mana tega kan Papi ngusir aku secara Papi yang sudah merawat aku sejak kecil." Fiona tertawa tapi ia juga mengeluarkan air matanya. "Apa di wajah Papi ada tulisan kalau Papi lagi main-main? Tidak! Papi serius dalam hal ini.""Pi, tapi kenapa, Pi? Aku ini anak Papi, Papi yang lebih dulu mengenal aku ketimbang istri Papi itu. Kenapa hanya karena dia lantas Papi tega mengusirku?" "Dengar Fiona! Aku merawatmu hanya karena merasa bertanggung jawab atas dirimu sebab kamu ditinggal pergi Ibumu yang gila harta dan suka mengobral selangkangan itu ditambah lagi ayah kandung kamu yang sedang sakit. Karena aku memiliki nurani makanya aku dan mendiang istriku merawatmu. Tapi sekaran
"Aduh kan sakit, Mas, main cubit aja sih.""Tapi kamu suka kan?" Ibra menaik turunkan alisnya. "Suka dong, kan suami sendiri yang nyubit kalau orang lain mah udah pasti aku tendang dia nya. Hahahaha." Ibra dan juga Ayra sama-sana tergelak mendengar jawaban Ayra. "Dasar istriku ini kenapa kamu barbae syekali.""Tapi kamu juga suka kan?" "Suka dong. Aku suka orang seperti kamu yang mempertahankan harga dirinya dengan caranya.""Ah maca ciii." Ayra membuat wajah gemas di depan Ibra. "Sudah stop jangan bermimik muka seperti itu.""Kenapa?" Ibra mendekatkan bibirnya ke telinga Ayra dan kembali berucap, "Karena aku sangat tidak tahan jika melihat ekspresi wajahmu itu. Ingin sekali rasanya aku memakanmu sekarang juga."BlushWajah Ayra memanas dan menghangat. Rona kemerahan pun tercipta di sana akibat ucapan Ibra padanya. "Mas genit deh.""Biarin, genit sama istri sendiri sah-sah saja dong." "Terserah deh. Yaudah aku mau ganti baju dulu ya."Sigap Ibra menahan tubuh Ayra agar tak menj
"Dia pemilik warung bakso langgananku tempatnya ada di seberang kantor. Gimana? Mau?" Sontak saja Sifa cemberut dan berwajah masam. Ibra tergelak melihat ekspresi Sifa yang tadinya berbinar kini berubah jadi masam. "Ya kali, Pak, dari seorang bodyguard berubah haluan jadi Mbak jualan bakso. Gak bonafit banget sih.""Lho, kamu jangan salah, Sif, meskipun kang bakso juga kalau duitnya banyak kan gak masalah.""Ya tapi gak gitu juga kali, Pak. Kalau kang baksonya yang ganteng gagah dan tampan sih gak masalah.""Lah kan tadi kamu yang minta dicarikan sugar daddy? Nah Pak Malik itu lah orangnya.""Au ah terserah Bapak aja."Ibra kembali tergelak karena Sifa semakin terlihat kesal. Sedangkan Ayra sejak tadi mengelilingi pandangannya yang ingin tahu dan melihat kalau para benalu itu masih ada ataukah tidak. "Tenang aja, Mbak, mereka udah gak ada. Sudah diusir sama Pak Tedi sama Pak Harun tadi," ucap Sifa seolah-olah mengerti apa yang Ayra pikirkan. "Oh, baguslah kalau begitu.""Ngomong-ng
Tiba-tiba saja rasa panas menjalar di kepala Ayra. Otaknya pun ikut mendidih mendengar cemoohan para karyawan Ibra. "Huft, kenapa sih ada saja orang-orang yang gak punya otak seperti mereka. Kenapa mereka harus nyinyir sama hidup orang? Kalau mereka mau kan mereka bisa mengikuti apa yang aku lakukan?" gumam Ayra dalam hatinya. Ayra bergegas menyudahi buang hajatnya karena ingin sekali ia menyumpal mulut para juliderwati itu. Namun, belum sempat ia keluar dari dalam wc tiba-tiba saja terdengar suara Sifa yang sangat khas yakni, cempreng bak kaleng rombeng itu memekakkan telinga. Ayra pun sangat yakin kalau suara Sifa mampu membuat para karyawati itu terkejut setengah mati. "Woi ngapain lu-lu pada ngimongin Bos gue? Mau gue laporin sama dia apa!" hardik Sifa yang baru saja keluar dari dalam wc setelah ia menuntaskan hajatnya. "Siapa lu? Keluar-keluar tuh suara dah kek kaleng rombeng berisik bener di kuping gue." Salah seorang karyawati itu menyahuti ucapan Sifa sembari tangannya me
"Kita? Iri sama lu? Hello memangnya lu siapa? Najis banget kita-kita iri sama lu." Kali ini Mayla yang menimpali ucapan mereka untuk membantu bestie nya yakni, Difa. "Bilang saja gak usah gengsi begitu. Tandanya orang iri tu ya seperti kalian ini. Iri tanda tak mampu.""Ngapain iriin kelakuan pelacur kek lu? Bergelayut manja sama si Bos. Dikira situ oke?" "Lho, apa yang salah kalau bergelayut manja sama suami sendiri. Situ sehat? Apa sakit otak? Oh mungkin gila kali ya. Masa meluk, rangkul suami sendiri dikatain pelcur? Kalian punya pacar kan? Sudah dibobol berapa kali? Lebih pelaxur mana gue apa kalian berdua? Dibobol tanpa dinikahi. Ups keceplosan i'm sorry. Hahahaha." Ayra menutup mulutnya seolah-olah ia tidak sengaja mengatakan itu. Padahal ia sengaja melakukannya untuk membalas nyinyiran Mayla dan Difa tadi. Dan hal itu ditambah semakin runyam dengan Sifa yang ikut tergelak mendengar ucapan Ayra pada Difa dan Mayla padahal sejak ucapan Ayra itu tangan Mayla juga Difa sudah meng
Ibra yang baru saja selesai meeting bersama para klien nya mendadak terkejut saat ada salah seorang pria yang membisikkan sesuatu di telinganya. "Kamu serius?" tanya Ibra pada pria yang bernama Abey tersebut. Abey menganggukkan kepalanya mantap, ia sangat yakin atas apa yang ia sampaikan pada Ibra. "Maaf ya untuk semuanya, saya harus kembali ke ruangan kerja saya sekarang karena ada urusan." Ibra berpamitan pada para kliennya sebelum ia meninggalkan ruangan rapat itu. "Panggil orang-orang itu segera ke ruangan saya!" titah Ibra pada Abey sebelum ia beranjak dari ruang meeting. Abey menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Setelah kepergian Ibra, Abey pun segera melakukan apa yang Ibra perintahkan. ***"Sayang? Maaf ya lama nunggunya," ucap Ibra pada Ayra saat dirinya baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya. Ia melihat Ayra yang sibuk bermain ponselnya sembari duduk di atas sofa empuk yang ada di ruangan itu. Sedangkan Sifa? Bocil itu pun juga melakukan hal yang sama dengan Ayra.
"Tapi, Pak, ini gak adil buat kami! Kami ini sudah mengabdi selama 5 tahun lho. Kamu sudah membantu memajukan perusahaan Bapak! Apakah ini balasannya? Sungguh kami gak sangka kalau pemilik perusahaan tempat kami bekerja nyatanya sangat arogan sekali. Seharusnya kami ini mendapatkan penghargaan karena tanpa bantuan kami juga perusahaan ini gak akan maju." Meyla mencoba mencibir Ibra. Niatnya agar pria itu kena mental. Namun, nyatanya justru mereka telah memperlihatkan kebodohan mereka sendiri. Padahal mudah saja, tinggal mereka ber legowo minta maaf dengan tulus pada Ayra pastilah Ibra akan memaafkan mereka. Namun, nyatanya mereka juga lebih sombong dari yang Ibra perkirakan. "Cih! Benar-benar turunan iblis kalian itu. Jangan mengungkit soal apa yang sudah kalian berikan pada perusahaan karena faktanya apa yang perusahaan berikan kepada kalian sudah jauh lebih dari sekedar cukup. Bahkan, kami juga membiarkan kalian merasakan enaknya uang perusahaan bukan? Kalau saya mau, bisa saja s
Ayra beranjak dari tempat duduknya, menghampiri wanita itu, lalu memeluknya. Ia berusaha penuh untuk membuat Fiona nyaman saat berada di keluarga ini. Ibra yang melihat pemandangan itu pun ikut bahagia. Ia senang karena Fiona sudah menyadari kekeliruannya dan berjanji untuk memperbaiki diri. “Fiona.” Panggil Ibra. “Iya?” “Kamu boleh tinggal di sini lagi jika berkenan,” tukas Ibra tulus. “Benarkah?” Fiona menatap tak percaya. Ini seperti sebuah kemustahilan. “Tentu saja. Karena kamu masih anak angkatku,” sahut Ibra seraya menganggukkan kepala. “Terima kasih, Papi.” Keesokan paginya, mereka semua bersiap-siap untuk pergi ke Rumah Sakit jiwa di mana bapak kandung Fiona berada. Sesampainya di sana, Fiona terlihat sedih melihat kondisi bapaknya yang masih dalam proses penyembuhan. Ibra menepuk pundak Fiona. “Sudah, jangan menangis lagi. Doakan yang terbaik untuk bapakmu.” “Iya, Papi. Aku hanya ingin bapakku sembuh. Itu saja.” Fiona menghapus air matanya. Di lain sisi, saat Fiona
Kini Fiona berada di depan rumah Ayra dan Ibra. Wanita itu terlihat sangat gugup dan juga malu. Cemas jika permintaan maafnya tidak diterima. Ya, memang kesalahannya begitu besar. Jadi, wajar saja bila nantinya Ayra dan Ibra tidak memberikan pintu maaf tersebut kepada dirinya. Fiona juga hanya bisa pasrah jika hal demikian sampai terjadi. Dia tak akan marah apalagi sakit hati untuk respons yang akan diterima. Fiona mencoba menghilangkan rasa gugup dan cemasnya sebelum mengetuk pintu rumah Ayra dan Ibra. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Fiona lakukan berulang kali sampai sudah merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Walaupun permintaan maafnya diterima relatif kecil, ia tetap berusaha. Lagi pula, tidak ada salahnya bila Fiona mencoba. Karena bila tidak berusaha, dia tak akan tahu hasilnya.Fiona mengetuk pintu itu dengan dua ketukan. Selang beberapa menit, pintu segera terbuka. Pandangan pertama yang ia lihat adalah wajah cantik Ayra. Secara bersamaan, pasang
"Ah! Tolong katakan itu di kantor, sekarang mari ikut kami untuk memenuhi prosedur," jelas polisi tersebut dengan lantas menarik tangan Fahri dan mulai memborgolnya.Fahri tentu meronta, ia berusaha menjelaskan semuanya namun kedua polisi itu tak mendengar dan seakan-akan menutup kedua telinganya.Sementara itu, Hilwa mulai meraung-raung memohon untuk tidak membawa anaknya ke kantor polisi."Tolong lepaskan anak saya! Kalian tidak pantas membawanya atas tuduhan tidak dilakukannya!" titah Hilwa dengan berteriak tak karuan, bahkan wanita itu sampai tak segan-segan untuk mencaci petugas polisi tersebut.Keributan itu jelas terdengar sampai ke dalam kamar pribadi milik Nazwa. Gadis yang tengah asyik memainkan gadgetnya merasa terganggu dengan kebisingan yang terjadi di rumahnya.Nazwa pun bangkit dari tempat tidurnya dan berdecih, "Ada apa sih!? Kenapa ribut sekali!?"Tanpa berpikir panjang Nazwa pun lekas beranjak dan keluar dari kamar untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.Hingga
"Apa-apaan ini!?" pekik Fahri saat ia mengetahui bahwa dirinya telah mendapat surat pemecatan dari HRD.Ya! Ketika Fahri tengah sibuk di ruang kerjanya ia tiba-tiba dikejutkan oleh sosok sekretaris yang mendatangi ruangannya dan menyerahkan secarik kertas yang berisikan sebuah surat pemecatan.Hal itu lantas membuat Fahri naik pitam, ia sama sekali tak terima diperlakukan seperti itu oleh Ibra, yang merupakan ayah mertuanya sendiri."M-maaf, Pak. Saya hanya menyampaikannya saja, selebihnya saya tidak tahu pasti," ucap sekretaris itu dengan menundukkan kepalanya. Wanita itu terlihat takut dengan temperamen atasannya yang tiba-tiba naik.Fahri pun berdecih kesal, lalu kembali membaca isi surat tersebut. Hingga ia kembali terkejut saat membaca pernyataan yang menyatakan bahwa Ibra tidak hanya akan memecatnya, namun lelaki itu juga akan melaporkan Fahri kepada pihak berwajib atas tindakan penggelapan dana yang ia lakukan pada perusahaan.Mengetahui hal itu, Fahri semakin geram, amarahnya
“Fahri pulang! Dia akhirnya pulang setelah berhari-hari,” sorak Fiona yang merasa memiliki secercah harapan dengan kepulangan pria itu.Beberapa hari belakangan, Fiona sama sekali tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas. Hari-harinya dipenuhi oleh fisik lesu dan perasaan lelah dan tekanan batin.Namun, begitu mendapati bahwa Fahri akhirnya kembali pulang membuat Fiona merasa bersemangat dan berharap-harap cemas. Akankah lelaki itu pulang karena sadar dan ingin meminta maaf, ataukah jangan-jangan ingin melakukan hal lain yang membuat Fiona semakin terpuruk? Itu lah pertanyaan yang memenuhi benak Fiona sekarang ini.Wanita itu langsung bangkit dari sofa dan berjalan beberapa langkah untuk membukakan pintu. Sebelum muncul di ambang pintu, Fiona sedikit merapikan rambut dan kondisi pakaiannya agar terlihat lebih layak untuk menyambut kepulangan suaminya.Fahri pun turun dari mobilnya begitu mesin mobil sudah dia matikan. Wajah pria itu tampak datar dan bahkan tanpa ekspresi. Dari sudu
Fiona masih tak kuasa menahan dadanya yang justru semakin sesak. Dia terus memukul-mukulnya dengan kepalan tangan saking sakit dan perih hatinya saat ini.“Fahri, kamu benar-benar kejam!” isaknya yang sejak ditinggal Fahri tadi sudah menangis dengan lelehan air mata berurai di kedua pipinya yang bening. Fiona bahkan tidak peduli bila saat ini dirinya hanya terduduk di lantai saking gontai dan lemas kedua lututnya mendengar untaian kalimat demi kalimat yang dilontarkan Fahri.Lantai keramik di ruang tengah yang dingin itu menjadi saksi pertengkaran keduanya beberapa saat yang lalu serta menjadi saksi pula betapa hancurnya perasaan Fiona saat ini.“Bisa-bisanya kamu bilang bahwa selama ini kamu hanya memanfaatkanku saja, Fahri!” Fiona masih tidak menyangka. “Padahal, waktu itu wajah kamu begitu tulus saat menyatakan perasaanmu. Kita bahkan harus menghadapi berbagai lika-liku sampai-sampai kau bercerai dengan Ayra.”“Perjuangan kita begitu panjang dan berat. Tapi kenapa … kamu malah ber
Fahri masih diam saja. Dia asik memilih pakaian apa yang akan dirinya kemas. Fahri terdiam karena dia malas meladeni Fiona. Sampai pada akhirnya telinganya muak mendengar pekikan Fiona.Brak!Saat itu juga Fahri menggebrak meja."Brisik! Kamu gak lihat aku lagi ngapain?!" bentak Fahri yang kini sudah menatap Fiona tajam."Ya makanya kalau ada orang tanya itu dijawab!" balas Fiona tak mau kalah."Kalau aku diam saja itu tandanya aku tidak mau menjawab pertanyaan kamu. Sadar diri dong dari tadi, berisik tau gak!" marah Fahri yang kini sudah mengepalkan kedua tangannya.Ditatap seperti itu sukses membuat Fiona sedih. Fiona hampir saja meneteskan air matanya, tetapi dia cegah dengan mendongak cepat-cepat.Sedangkan Fahri sudah mengalihkan pandangannya ke lain arah. Setelah itu Fahri kembali membereskan pakaian yang sejak tadi menjadi tujuan utamanya datang ke rumah ini."Jahat kamu Mas. Berani-beraninya kamu bentak aku seperti itu," lirih Fiona merasa sedih.Tidak ingin ambil pusing, Fahr
Saat ini Fahri dan Alina meminta waktu berduaan. Mereka memilih untuk tidak diam rumah. Mereka berjalan-jalan sejenak mencari angin. Hubungan yang baru pertama kali terjalin itu benar-benar sangat menyenangkan bagi Alina. Begitupun dengan Fahri yang tidak bisa tidak tersenyum ketika menatap wanita di sebelahnya itu.Orangtua Fahri sangat menyukai Alina juga. Jadi, sudah tidak ada batasan bagi keduanya untuk tidak dekat. Fahri benar-benar merasa bahagia. Bahkan untuk menjalin hubungan ini mereka tidak perlu pikir panjang lagi."Aku benar-benar bahagia bisa mengenalmu, aku bahkan ingin mengenalmu lebih dalam lagi. Seiring berjalannya waktu aku pasti tau semua tentangmu," celetuk Fahri begitu serius.Alina yang malu-malu hanya bisa tersenyum manis. Entah mengapa hatinya juga terasa hangat bisa berduaan dengan Fahri."Jangan ditahan kalau mau senyum atau ketawa," ujar Fahri ketika melihat Alina yang entah mengapa menahan semua itu."Kapan kita jalan?" "Ini kan sekarang lagi jalan," ledek
"Benar-benar menyebalkan. Sepertinya aku tak bisa kalau harus terus-menerus bertahan dengannya. Bukannya jadi kaya, yang ada lama-lama aku malah jadi Jatuh Miskin karena Fiona sendiri sekarang selalu minta uang denganku gara-gara tua bangka itu sudah tak ingin memberikan banyak uang untuknya. Masa Fiona hanya dijatah satu bulan tiga juta saja. Dapat apa uang segitu? Untuk keperluan sehari-hari saja pasti tidak akan cukup!" Fahri kian merasa kesal kita kembali mengingat perdebatannya dengan Ibra beberapa hari lalu.Sejenak terdengar ibu Fahri berdecak. "Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi. Kalau memang sudah tidak berguna ya sudah, buang saja. Dan kita bisa langsung segera mencari yang baru, yang jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan wanita itu," papar ibu Fahri dengan santainya."Iya, Bu. Aku tahu. Tetapi memangnya siapa yang harus aku kejar? Kemarin-kemarin aku terlalu fokus dan menikmati waktuku dengan Fiona sampai-sampai aku lupa untuk mencari target yang baru saat Fiona s